Jurnal oloh Katingan

01.12.2006.
Saat saya masih kanak-kanak, mengakui diri sebagai «orang Dayak »seperti memakan buah simalakama. Karena pada kenyataannya, saya adalah seorang Dayak, dan bagi masyarakat sekitar, “kenyataan” dari seorang Dayak adalah seorang berkulit hitam gelap, pemburu kepala orang, dan berekor, dengan kata lain merupakan sebuah ketidakberadaban, sebuah kehinaan.
Saya katakan saat itu seperti memakan buah simalakama karena dihadapan Bapa, saya berbangga diri menjadi seorang Dayak, dihadapan orang luar saya hanya bisa menahan kegetiran dan rasa geram atas reaksi mereka. Saat saya mulai beranjak remaja, dari beberapa buku-buku yang saya baca, saya temukan secercah sinar kebanggaan atas pujian dan decak kagum yang diberikan pihak asing (non Indonesia) atas kegagah beranian dan kebesaran sejarah nenek moyang Dayak. Kebudayaan yang kaya akan arti dan makna tertulis dalam suatu objek yang menjadi saksi sejarah hidup beratus-ratus tahun.

Tapi pujian dan decak kagum tersebut tidaklah cukup bagi saya untuk menghapus kenangan masa kecil akan rasa geram dibalik rasa sedih saya dihadapan masyarakat yang mengambarkan “ketidak beradabannya” orang Dayak.

Saya ingin tahu kenapa mereka berpikir dan berpendapat seperti itu? Bagaimana standar “keberadaban” ditetapkan untuk menjadi pola ukur dalam perbandingan kehidupan? Kenapa Dayak memburu kepala orang, bagaimana mungkin mereka berekor? Apa yang salah dengan menjadi orang Dayak dan bagaimana membuktikan bahwa tidak ada yang salah untuk menjadi orang Dayak?

Semuanya berkecamuk dan terpendam dalam otak kecil saya.

Waktu berlalu dan bergulir dengan cepat, sementara situasi dan kenyataan yang ada di Indonesia tidaklah banyak berubah. Anggapan tersebut masih ada, berkulit hitam gelap, pemburu kepala orang, berekor. Bacaan artikel dan buku-buku yang saya temukan saat itu tidaklah cukup menjawab semua pertanyaan pribadi saya. Budaya dan sejarah kehidupan Dayak banyak terkontrol oleh pihak-pihak non dayak untuk kepentingan politik dan keuntungan pihak-pihak luar. Menjadi Dayak seolah terpuruk dalam legenda simpang siur dan mendiskreditkan penduduk asli tanah Kalimantan. Menjadi seorang Dayak seolah seperti sebuah ragi usang...

Bapa saya pernah bercerita tentang kisah "Sangumang dan Pang Awi." Dimana kesetiaan Pang Awi menggembirakan hati Sangumang tetapi butob ureng kahaen sakalan (batu kepandiran) yang ada pada Pang Awi menyedihkan hatinya. Setialah menjadi orang Dayak seperti kesetiaan Pang Awi, tetapi bijaksanalah sebijaksana Sangumang. Jangan menjadi ragi usang! Demikian kata Bapa saat saya masih berumur 20 tahun.

Ragi adalah salah satu elemen yang penting dalam pembuatan baram. Ragi yang bagus akan mebuat baram tersebut nikmat, tetapi ragi yang usang, lapuk dimakan masa akan terbuang begitu saja dengan sia-sia. Saya tidak ingin menjadi ragi usang!

Kebenaran adalah sesuatu yang yang berhubungan dengan kenyataan. Kebenaran akan suatu pendapat menjadi benar kalau kita bisa menemukannya dalam realitas, dan kebenaran tersebut menjadi palsu pada saat kita tidak bisa menemukannya dalam suatu kenyataan hidup, saat kita tidak bisa berkata apa-apa maka kebenaran tersebut menjadi palsu. Kebenaran yang murni terpuruk dengan ketidakmampuan dalam pengungkapan kenyataan.

Ketidakpuasan saya dengan buku-buku yang cenderung rancu atau bias dalam menjelaskan sejarah Dayak dikarenakan segi komersial yang cukup menekan para penerbit membuat saya berani mengocek kantong lebih dalam lagi untuk buku-buku yang lebih serius.

Didalam buku “PAGAN TRIBES OF BORNEO” (Charles Hose and William McDougall - 1912) tertulis tentang keadaan fisik Dayak Iban dimana mereka mempunyai kulit lebih gelap dibandingkan suku lainnya di Borneo, sekalipun kulit mereka tidaklah lebih gelap dari kulit orang Melayu asli.

Paragraf ini membuat saya mengerti kenapa masyarakat non dayak berpikiran/berpendapat bahwa dayak berkulit hitam legam. Dugaan saya dikarenakan Dayak Iban yang pada saat itu lebih banyak bertempat tinggal di pesisir area mempunyai warna kulit yang lebih gelap dikarenakan sinar matahari yang langsung dibandingkan suku lainnya yang lebih banyak menetap di dalam hutan yang lebat. Posisi Dayak Iban yang dekat dengan pesisir memungkinkan untuk mempunyai kontak dengan orang-orang luar dibandingkan suku dayak lainnya. Dimana pada akhirnya orang luar pun mengambil kesimpulan bahwa orang Dayak semuanya berkulit legam.

Bertolak belakang dengan kisah orang Dayak yang berkulit hitam, didalam buku “THROUGH CENTRAL BORNEO” (Carl Lumholtz -1913-1917) beliau (Carl Lumholtz) mendapatkan informasi dari salah satu sumber bahwa orang Dayak berkulit sangat putih seputih orang Eropa, berambut coklat tebal dan mempunyai anak bermata biru. "as white as Europeans, with coarse brown hair, and children with blue eyes".

Penasaran dengan informasi tersebut maka beliau menyempatkan diri untuk singgah di Rubea, kira-kira dua sampai tiga jam dibawah Muara Teweh. Setibanya disana didapatkan bahwa orang Dayak berkulit lebih cerah atau bisa dikatakan putih, berambut coklat gelap. Tetapi anak-anak yang bermata biru tidak ditemukannya. Membaca tulisan ini membuat saya teringat dengan Tambi (nenek) dan Bapa saya sendiri. Mereka berdua mempunyai mata dengan warna hampir abu kebiru-biruan dimana mereka bertempat tinggal di Desa Telangkah daerah aliran sungai Katingan.

Masih didalam buku yang sama, “THROUGH CENTRAL BORNEO” (Carl Lumholtz -1913-1917), saya menemukan kisah yang cukup menarik tentang mitos penciptaan Dayak berekor.
Suatu hari saat beliau (Carl Lumholtz) berada di Rongkang, seseorang menceritakan kisah manusia berekor yang hidup di daerah Sembulu. Begitu banyak orang-orang yang berusaha meyakinkan cerita tersebut bahkan berani mengatakan telah melihat dengan mata kepala sendiri akan adanya manusia berekor. Salah satu informasi tentang mitos tersebut di dapat dari seorang Dayak Kahayan, bekas kepala kampung, yang bernama Kiai Laman yang mengaku sudah banyak mengunjungi tempat-tempat/ desa-desa.

Kiai Laman berkisah tentang seekor anjing bernama Belang yang menghilang selama berbulan-bulan saat sedang berburu. Sementara si Belang selama lima belas hari tersesat didalam hutan sampai tiba di sebuah Desa yang bernama Desa Sembulu. Si Belang lalu berubah menjadi manusia dalam wujud lelaki dan beradaptasi didalam desa tersebut. Si Belang bekerja dan menikah dengan seorang wanita Sembulu. Pernikahan Belang dengan wanita Sembulu tersebut melahirkan dua orang anak. Anehnya semakin besar anak-anak tersebut, semakin jelas terlihat perbedaan dengan anak-anak lainnya. Perbedaannya adalah mereka mempunyai ekor sepanjang 10 cm. Wanita Sembulu tersebut mulai menyadari ketidaksamaan bentuk lahiriah dari anaknya dan mempertanyakan hal tersebut kepada Belang. Tidak tahan dengan desakan tersebut akhirnya Belang mengakui bahwa dirinya adalah seekor anjing, lalu setelah mengakui keaslian wujudnya, si Belang lari meninggalkan Desa Sembulu dan kembali ke desa tempat dia tinggal di sekitar sungai Kahayan atas. Sementara anak-anak dari pernikahan Belang dan Wanita Sembulu terus hidup, besar, menikah dan mempunyai keturunan berekor. Versi lain dari cerita manusia berekor didapat dalam cerita Melayu mengisahkan tentang seorang Raja yang hidup di Banjarmasin dimana Raja tersebut tidak disukai oleh rakyatnya. Lalu rakyat berhasil mengusir Raja tersebut, meninggalkan kerajaan pergi dengan perahu dan membawa seekor anjing betina. Raja tersebut tiba di Desa Sembulu lalu hidup dan beranak dimana semua anak-anaknya mempunyai ekor.

Mendengar berbagai macam cerita, kesaksian dan versi dari penciptaan manusia berekor, beliau (Carl Lumholtz) memutuskan untuk melihat sendiri dan memeriksa kebenaran cerita tersebut. Setibanya disana tidak ada satu orangpun yang berekor. Beliau (Carl Lumholtz) tidak menemukan kebenaran dalam kisah tersebut dan merasa puas akan ketidakberadaan orang berekor. Dia mengakui bahwa selama keberadaannya di Borneo, sangat sedikit sekali yang bisa dia pelajari tentang Borneo dan orang-orangnya. Menurutnya, banyaknya pengaruh-pengaruh dari Melayu dan Eropa yang mana demi kepentingan politik dan ekonomi membuat perubahan di dalam data dan informasi akan Budaya dan kehidupan sosial dari penduduk asli Borneo.

Kefrustasian Carl Lumholtz pada periode tahun 1913-1917 akan Borneo dan kehidupan sosialnya masih berlangsung sampai abad ke 21 ini. Begitu banyak pengaruh-pengaruh dari orang-orang luar (non Borneo) yang menciptakan Mitos penciptaan atas suku asli pulau Borneo dan begitu sedikit cerita dan kisah penciptaan tertulis oleh penduduk asli pulau Borneo. Seolah tenggelam oleh alasan-alasan ekonomi dan politik serta status sosial di masyarakat luar .

Tetek tatum (hikayat/cerita yang dituturkan dari generasi ke generasi) akan kebesaran, keberanian dan keindahan suku serta budaya tergantikan oleh kisah manis putri Cinderela yang akhirnya hidup kaya raya dan bahagia selama-lamanya. Keinginan untuk mengetahui bagaimana dan seperti apa suku asli Pulau Borneo, karam dihajar globalisasi kagetan.

Pernahkah terpikir bagaimana rasanya harus pergi mencari kepala orang untuk Tiwah? Apakah mereka pada saat itu bersorak-sorai gembira, bahagia karena telah mendapatkan sebuah kepala? Apakah berburu kepala manusia merupakan sebuah kegiatan yang di lakukan demi kesenangan dan ekonomi?

A.H. Klokke mencoba menguraikan bagaimana dan apa arti dari sebuah perburuan kepala manusia. Didalam buku “FISHING, HUNTING AND HEADHUNTING. In the former culture of the Ngaju Dayak in Central Kalimantan”, A.H. Klokke memasukkan catatan yang dibuat oleh Pandita Ison Birim pada 15 Nopember 1938, di Tumbang Lahan.

Menurut beliau (Pandita Ison Birim) perbuatan mengayau tidaklah bisa dikategorikan dalam kalimat “berburu kepala”. Karena berburu merupakan kegiatan dimana hasil buruan digunakan untuk kelangsungan hidup, untuk perut sendiri dan perut keluarga. Sedangkan mengayau dilakukan karena pada saat itu merupakan salah satu jalan/cara didalam memenuhi syarat penting pada sebuah proses acara adat yang sangat utama/primer dalam kehidupan penganut Kaharingan. Acara Tiwah.

Pada saat orang Dayak pergi mengayau, orang tersebut tidaklah harus bersifat kasar. Tidaklah berarti dia bahagia atau senang atau marah saat melihat darah. Bukan berarti dia hanya ingin membunuh. Tetapi ia harus melakukannya karena merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan demi mempertahankan derajatnya di hadapan keluarga dan roh. Saat ia pergi mengayau, ia meninggalkan rumah, keluarga dalam jangka waktu yang tidak tentu lamanya, berbulan-bulan bahkan bisa sampai bertahun-tahun, berjalan membelah hutan-hutan dengan menahan rasa sakit, menyeberangi sungai-sungai, mendaki bukit demi bukit, tidur dengan rasa khawatir dan takut, makan seadanya.

Pada saat itu, mengayau merupakan suatu tindakan yang bukan hanya membutuhkan keberanian mental tetapi juga ketaatan kepada perintah dan adat istiadat. Ketaatan dan rasa hormat yang besar yang dijunjung tinggi diatas kepala melebihi jiwanya sendiri. Karena pada saat mereka pergi mengayau, mereka meletakkan hidup dan jiwa sebagai taruhannya. Resiko mati merupakan salah satu resiko yang dipikul saat mengayau. Jadi pada intinya menurut saya, bukan karena membunuh dan memotong kepala orang yang menjadi elemen penting dalam kisah masa lalu Pengayauan. Tetapi ketaatan, semangat dan keberanian yang besar didalam membela keluarga, hormat menjunjung tinggi adat dan kebudayaan serta nenek moyang, rela menderita untuk menjalani kewajiban dan bangga menjadi diri sendiri, menjadi seorang Dayak .

Perlahan tetapi pasti, saya mulai membetulkan kenangan masa kecil akan rasa geram terhadap masyarakat yang meletakkan “jubah jelek” pada “tubuh Dayak”. Masyarakat yang beranggapan bahwa orang Dayak adalah berkulit hitam gelap, pemburu kepala orang, berekor. Mereka mungkin benar mendengar hal - hal tersebut. Tetapi mereka tidak mengenal siapa, seperti apa dan bagaimana “oloh asli Borneo”. Mereka tidak tahu apa artinya menjadi “oloh asli Borneo”, karena mereka tidak mendengar suara dan berita dari “oloh asli Borneo”. Mereka tidak mendengar, tidak melihat dan tidak kenal “oloh aseli”.

Sebagai bagian dari “oloh aseli” saya hanyalah merupakan setitik debu diatas tumpukkan pasir yang ada. Hanya sebutir ragi dari segenggam ragi. Tetapi saya percaya, setitik debu dapat membuat mata merah dan menarik perhatian. Sebutir ragi dapat memberikan rasa sekalipun kecil. Kenangan masa kanak-kanak melintas kembali didepan mata, tetapi saat ini kenangan tersebut merupakan momen yang indah sekarang. Karena dengan rasa geram masa kanak-kanak, saya menemukan kebenaran yang dianggap palsu. Kebenaran yang terhalang oleh kepalsuan mulai terangkat ke permukaan. Saya tidak ingin menjadi ragi usang, begitu juga dengan suami dan anak saya, saya tidak ingin kami menjadi ragi usang. Kebenaran mulai saya ajarkan ke anak saya yang berumur 10 tahun.

Pertama kali ia melihat film dokumentasi tentang Tiwah, hal pertama yang ia katakan bukanlah tentang orang Dayak liar dan tidak beradab.
Katanya “Sungguh besar menjadi orang Dayak, mampu mempersembahkan begitu banyak korban binatang. Pasti upacara itu sangat penting di dalam kehidupan. Sampai rela mengorbankan harta untuk sebuah upacara”. Sebuah pendapat dari anak lelaki berumur 10 tahun yang sedang belajar akan sebuah arti ketaatan, semangat dan keberanian, hormat akan adat dan kebudayaan dan bangga menjadi diri sendiri, menjadi seorang Dayak. Dia akan mampu mengenalkan kebenaran saat seseorang mencoba mengenakan “jubah jelek” pada darah dayaknya.
“Darah kami memang hanya separuh dayak, namun kami akan utuh menjadi seorang dayak !”


Junita Arneld Maiullari, Oloh Katingan, Switzerland