Kutukan Suster Ngesot

Kutukan Suster Ngesot
Dimuat di KoKi (Kolom Kita) Rabu, 9 Desember 2009
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/1079/kutukan_suster_ngesot

Sambil mengucek-ngucek mata, kutatap pemandangan yang terhampar dihadapan. Lantai berkeramik putih, orang-orang yang berpakaian serba sama dan beberapa perempuan berseragam suster. Satu hal yang membuat mereka semua seragam dan tampak sama, semuanya dalam posisi mendeplok di lantai dan tidak berjalan melainkan semuanya mengesot!

Terpana melihat manusia yang mengesot dengan nyaman di lantai, kusadari bahwa dirikupun sedang dalam posisi setengah berbaring di lantai. Tak percaya dengan situasi yang sedang kujalani, kucubit diriku, meyakinkan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Namun ternyata, rasa cubitan menjepit sakit dan aku tidak terbangun!

Sambil tertatih kucoba berdiri, melarikan diri dari posisi ngesot, tapi ahhhh rasanya kedua kaki terpaku kaku, tak mampu menegakkan lutut untuk berdiri layak. Akupun terjatuh dan kembali dalam posisi semula, tidak mampu berjalan, hanya bisa mengesot!

Di kejauhan kulihat seorang suster mengesot dengan sigap menghampiriku. Tatapannya yang pasti dan tajam meyakinkanku bahwa dia seorang suster yang profesional dalam bidangnya. Dengan cepat kuajukan pertanyaannya, saat jarak dia dan aku tidaklah terlalu jauh untuk berbicara dengan nada rendah.

“Sus, kenapa saya ada disini, apakah saya sedang bermimpi?”

Suster itu mengerutkan keningnya lalu menjawab dengan tegas.

“Ya, kamu sekarang sedang bermimpi dan kamu berada di tempat kami, dunia kami.”

Hah! Terbelalak aku mencoba meyakinkan, kenapa aku tidak terbangun saat mencubit lengan dengan keras?

“Jadi saya memang sedang bermimpi? Saya ada dimana? Dan kenapa semua orang disini mengesot?”

“Kamu ada di dalam dunia Rumah Sakit Per-ngesotan dan semua yang ada disini harus mengesot, hanya para dokter yang berada dalam posisi berdiri dan bisa berjalan.”

“Semuanya harus mengesot? Termasuk saya? Ah tidak mau! Saya tidak mau mengesot?” jawabku setengah berteriak.

“Kalau tidak mau mengesot, lalu kenapa kamu ada disini, kan kamu sendiri yang memilih untuk memasuki dunia pengesotan, sekarang jalanin saja apa yang ada” balas Suster tersebut dengan sengit.

“Saya kan sedang bermimpi, Sus, mana bisa saya memilih mau mimpi apa. Kalau saya bisa memilih, tidak akan pernah saya memilih untuk memasuki dunia pengesotan ini, hiks hiks” suaraku mulai melemah, tanda tidak tahu harus berbuat apa.

Suster itu mulai menampakkan rasa empati kepadaku, dengan tatapan ramah dia mencoba menghiburku.

“Sudahlah, terima saja apa adanya. Kita memang tidak bisa memilih tempat dimana kita dilahirkan, tempat dimana kita bermimpi. Sekarang, jalanin saja kehidupan mimpimu ini di dunia pengesotan. Terima apa adanya, ya... Sudah cup cup cup, jangan menangis...”

Dengan tersedu aku mulai menyadari bahwa diriku kini memang harus menjalani kehidupan perngesotan di dunia yang serba ngesot. Kini apa yang harus kulakukan? Peran apa yang harus ku ambil dalam dunia ini?

“Sus, saya mau menjadi dokter saja, biar bisa berdiri dan berjalan dengan normal. Bagaimana caranya untuk menjadi dokter?”

Suster cantik nan ramah menghela napas panjang, lalu menerangkan panjang lebar dengan kesabaran optimal layaknya seorang profesional.

“Menjadi dokter di dunia perngesotan itu tidak gampang. Bermodalkan ijasah saja tidak cukup. Mereka harus berjuang dengan keras untuk keluar dari kebiasaan mengesot. Jangan salah, beberapa dari mereka juga dulunya mengesot seperti kami. Namun dengan jalan yang panjang dan berliku mereka berhasil berdiri dan tidak mengesot lagi. Untuk bisa sampai dalam tahap berdiri, ada banyak cara yang dilakukan, dari berkampanye dimana-mana sampai mengorbankan harta dan perasaan, bahkan kadang mereka juga mampu mengorbankan moral, keluarga serta orang-orang yang ada disekitarnya. Mengesot bertahun-tahun sambil meleletkan lidah mendekati para dokter yang sudah berhasil berdiri, lalu mereka menjadi berani nekat mengambil sikap ekstrem mematahkan dengkul dokter yang mereka kenal dengan baik, sehingga mereka dapat mengambil alih posisi berdiri dokter yang kini hanya bisa mengesot beneran karena kondisi kakinya yang patah.”

Hiiii, kok seram begitu usaha dan perjuangan menjadi dokter? Bagaimana aku bisa berkampanye? Satu-satunya yang kupunya hanya baju tidur yang kupakai sekarang. Mana aku tahu harus mengantongi uang dan ijasah sebelum tidur?

“Sus, saya mau mencoba jadi suster saja deh, syarat-syaratnya apa ya?” tanyaku sambil kedap-kedip harap-harap cemas.

Kembali suster menghela napas, sekalipun tidak sepanjang helaan napas sebelumnya, namun jawabannya pun membuat kepalaku tidak berhenti dari rasa bingung dan pusing.

“Jadi suster juga tidak segampang dugaan kamu. Tugas suster itu mengabdi, jadi harus sabar mengatasi keresahan dan kesusahan mengesot para pasien yang mengesot. Sebagai suster, harus mampu menolong sekalipun dalam keadaan mengesot. Tapi jangan sangka kami para suster bersikap seperti itu semua. Ada memang suster yang mengesot dengan tenang dan melayani secara profesional sekalipun dalam posisi mengesot. Ada suster yang hanya pasrah mengesot tanpa berbuat lebih banyak pokoknya yang penting tiap bulan terima gaji. Ada juga suster yang dengan sengaja membuat pasien mengesot melebihi kemampuan dayanya, sehingga pasien tersebut lelah jiwa dan raga, sudah sakit lalu dimanipulir mengesot di lantai untuk mengepel ruangan setiap hari. Ada lagi jenis suster yang mengesot membersihkan tempat tidur pasien plus membersihkan pasien hingga ke kantong baju-bajunya sampai habis dengan alasan birokrasi yang rumit dan ruwet. Nah, sekarang kamu mau jenis suster yang mana?”

Ditanya dengan pertanyaan seperti itu, membuat saya melongo terplongo-plongo. Bagiku menjadi dokter banyak pengorbanannya dari korban harta hingga korban moral dan idealisme, jadi suster pun sama pusingnya, harus bisa memilih menjadi korban diri atau mengorbankan orang lain. Tampaknya aku memang harus memulai dari bawah, menjadi pasien. Sekalipun posisi sudah dibawah, ditambah mengesot dengan terengah-engah, setidak-tidaknya aku bisa mempunyai harapan untuk sembuh dan mampu keluar dari Rumah Sakit Perngesotan ini.

“Sus, saya daftar jadi pasien saja, bagaimana caranya?”

Suster tersebut lalu mengajakku berlalu mengesot ke luar ruangan, melewati taman dan memasuki suatu ruangan besar mirip aula. Dengan terkesot-kesot, aku mengesot terengah-engah melewati batu kerikil yang tersebar di taman, menyeberanginya dengan susah payah karena tidak terbiasa mengesot dengan waktu yang lama.


Tak lama kumasuki ruangan besar dan kulihat antrian panjang orang-orang yang mengesot di lantai. Ada yang sedang duduk mengesot hingga terkantuk-kantuk, ada yang sedang mengopi dengan nikmat, ada yang sedang duduk mengesot sambil membaca buku, ada juga yang asyik mengesot sambil bergosip bla bla bla, bahkan ada yang sedang mengesot sambil arisan.

“Untuk menjadi pasien di Rumah Sakit Perngesotan, pertama harus lapor diri, punya surat pengantar dari RT/Desa, foto copy Kartu Keluarga, foto copy Akte Kelahiran, pas foto hitam Putih ukuran 3x4 cm sebanyak 2 lembar, serta membayar biaya administrasi. Berhubung kamu baru saja mendarat di dunia perngesotan seorang diri, maka untuk surat pengantar, kartu keluarga, akte kelahiran, dan foto, bisa kami bantu membuatkan. Yang penting biaya administrasi harus dilengkapi dengan benar” kata suster cantik dengan nada suara yang mirip dengan orang yang sedang membaca formulir pendaftaran.

“Tapi Sus, saya kan tidak punya uang sama sekali, baju tidur saya pun tidak berkantong, bagaimana saya bisa membayar semua itu?” wajahku pun mulai memelas putus asa.

Suster cantik membelalakkan matanya, persis akting para artis sinetron televisi.
“Ya ampun, kamu ini tidak kreatif sama sekali deh. Hari gini masih basic standard, malu dong sudah jaman 3G masih pakai yang standaran model batu bata. Kalau tidak punya uang ya kerja dong, usaha! Terserah kamu bagaimana caranya. Banyak jalan keluar untuk mendapatkan uang, bisa mengesot sambil mengepel lantai ruangan tunggu, atau mengesot sambil meraup sampah yang banyak keluyuran di taman, atau mengesot sambil mengemis di lampu merah, atau mengesot di tengah jalan berpura-pura menjadi korban, lalu memeras orang. Atau kalau kamu tidak mau memeras orang, ya memeras sapi atau kambing, di halaman belakang rumah sakit ada peternakan sapi dan kambing. Pokoknya usaha dan dapat uang, lalu bayar biaya administrasi sehingga kamu bisa terdaftar sebagai warga dari Rumah Sakit Perngesotan.”

Akhirnya akupun memutuskan diri untuk bekerja dari pagi hingga petang, di mulai mengesot mengepel lantai, membersihkan sampah dan memeras sapi di halaman belakang. Aku memang tidak memilih untuk memeras orang, karena pengalaman pernah diperas oleh orang membuatku trauma dengan peras memeras. Paling apes, aku memilih bekerja untuk memeras pakaian saat mesin cuci rumah sakit tidak berfungsi karena listrik yang byar pet tidak kejuntrungan, kapan hidupnya.


Setelah beberapa hari mengesot dengan keras, susah payah memeras sapi dan pakaian, akhirnya aku berhasil mengumpulkan dana untuk membayar biaya administrasi.
Dengan bangga, diriku mengesot percaya diri, menuju ruangan pendaftaran dengan membawa surat-surat persyaratan dan tentu saja biaya administrasi yang kudapatkan dari kemampuan dan pengalaman memeras sapi dan pakaian selama beberapa hari.

Saat tiba di hadapan petugas administrasi, kuserahkan semua persyaratan dengan senyum mengembang lebar. Petugas itu lalu memeriksa semua persyaratan dan jumlah recehan hasil perasan keringatku, lalu dia menatapku dengan pandangan bingung. Minder takut salah hitung recehan, aku langsung bertanya dengan pelan. “Kenapa Pak? Kurang berapa recehannya, Pak?”

“Biaya rawat inapnya, mana?” Petugas administrasi lalu memberikan selembar kertas yang mirip daftar harga yang sering tertera di iklan supermarket atau papan iklan depan komplek pertokoan. Hanya bedanya, tidak tertulis kata discount 70%, obral ataupun sale.

Yang tertulis adalah jenis kamar tidur dari kelas VIP hingga menurun ke kelas kambing (maksudnya tidur di di halaman belakang dalam kandang kambing), menu makanan setiap hari dari menu restoran bintang lima hingga menu dapur bintang tujuh (juru masaknya pusing karena tidak tersedianya bahan baku makanan), jenis obat yang dipergunakan ada yang kelas manjur atau kelas setengah manjur setengah sakit, atau ada juga pilihan tidak pakai obat sama sekali, mau suster lulusan SMK atau lulusan universitas dengan gelar S1 atau master, mau dokter yang lulusan lokal atau lulusan internasional atau lulusan aspal ijazah boleh nembak (ini yang lumayan murah) atau dokter yang belum lulus dan dipekerjakan gratis secara paksa tidak suka rela di Rumah Sakit Perngesotan (nah ini, yang paling murah!).

Melihat aku yang masih bingung tidak punya recehan lagi, petugas administrasi mencoba menenangkan kegelisahan yang menggelora di dada dengan berkata mendayu-dayu.

“Jangan bingung dan ragu, kami ada untuk membantu dan kami ada karena anda. Kalau kelas anda hanya sampai pada batas recehan dan saat ini anda sudah tidak mempunyai simpanan recehan lagi, maka anda bisa memulai dengan melakukan simpedes, yang artinya simbok mangan pedes.

Anda harus mampu menahan rasa pedas karena anda akan bekerja untuk membayar perawatan anda. Anda akan saya masukkan dalam kelas kambing sehingga anda bisa kembali bekerja memeras kambing, lalu untuk menu makanan sehari-hari akan saya pilihkan menu dapur bintang tujuh dimana anda harus memetik sendiri bahan makanan yang tersedia di halaman belakang, kebetulan tanaman yang ada hanya dedaunan buat makan kambing dan sapi. Tapi jangan khawatir, kami juga menanam pohon cabe untuk memberikan rasa nikmat pada salad anda.

Suster yang akan merawat anda adalah suster yang bertugas dibagian kebersihan, sehingga anda dapat bekerja membantu suster anda dengan mengesot membersihkan lantai, sedangkan dokter pilihan yang tepat untuk anda adalah dokter yang belum lulus dan dipaksa bekerja disini karena tidak lunas membayar hutang administrasi. Dengan demikian, anda dapat bekerja dengan dokter tersebut melakukan foto kopi kertas tugas mereka, berhubung mereka bukan termasuk dokter yang sudah berdiri tapi dokter yang masih ngesot seperti anda, sehingga mereka tidak punya waktu cukup untuk mengesot dari ruang kerja ke ruang praktek lalu ke ruang fotokopi.

Ini nomor anda dan sekarang silahkan mengesot menuju kamar anda di halaman belakang, terima kasih atas kerjasamanya dan selamat beraktivitas, semoga tidak sembuh-sembuh!”


“Tunggu dulu, Pak,” sergahku dengan cepat. “Obat untuk saya bagaimana? Kok tidak ada dalam aplikasi program yang dipilihkan untuk saya?”

Petugas tersebut kembali tersenyum merayu lalu mendayu dengan mesra membisiki telinga ku.
“Anda kan hanya kelas recehan, jadi obat untuk anda ya hanya anda sendiri yang tahu dan anda sendiri yang harus berusaha mencari.

Maaf, sistim sosial kami tidak mengenal dan tidak memiliki program tunjangan sosial. Tapi jangan khawatir, sekali lagi ada jalan keluarnya.

Kalau anda ingin mendapatkan bantuan sosial, anda bisa mencarinya pada pihak swasta dengan menghubungi para rentenir atau turut berpartisipasi saat kampanye, atau juga anda bisa mendatangi orang-orang yang sedang mengumpulkan kekuatan (baik dalam bentuk tenaga maupun doa) untuk menjadi raja kecil, biasanya mereka cukup royal membagi-bagikan recehan.

Semua kemungkinan untuk mendapatkan bantuan sosial bisa anda temukan dalam lingkungan para pasien. Jadi, segala permasalahan anda telah kami atasi. Terima kasih untuk memilih dan mempercayai kami sebagai tempat kehidupan anda.”


Selesai membisikiku dengan mesra, lalu petugas tersebut mendorongku mengesot jauh, meninggalkan tempat pendaftaran.


Terdampar di halaman belakang, di depan kandang kambing, akupun mendengus seperti kambing jantan yang sedang mendengusku keheranan akan bau yang berbeda.

“Huh! Siapa yang memilih dan mempercayai kalian? Kalau bisa memilih, aku tidak akan memilih dilahirkan, eh salah, bermimpi hidup di dunia perngesotan. Kalaupun aku nanti mati, aku tidak akan mau mati dalam keadaan mengesot, bisa-bisa arwahku nanti dibajak oleh produser film kelas semprul untuk dipaksa berakting dalam film dengan judul “setan ngesot cap babak belur”. Tidak!!! Aku harus berusaha sembuh secepatnya dan keluar dari dunia perngesotan ini, sebelum aku menjadi manusia ngesot seumur hidup!”


Mulai hari itu, aku berdaya sekuat tenaga, berusaha untuk menjadi pemeras sapi dan kambing serta pakaian yang gigih, memetiki daun-dedaunan serta cabe sebanyak-banyaknya untuk dijual kembali ke tengkulak yang biasa menunggu di pintu belakang, mengepel lantai ruangan menjual kemampuan ngesot per meter persegi, membantu para dokter yang belum lulus dan masih ngesot dengan memfoto kopi kertas kerja serta diktat-diktat mereka, sambil membaca dan mempelajari contoh kasus yang tertulis, sehingga perlahan-lahan tapi pasti aku mulai mengetahui bagaimana caranya untuk menyembuhkan diri dengan murah tapi manjur. Kudapati dan kupelajari rahasia kemenangan. Cara untuk memupuk dan menyuburkan harapan dalam diri.


Recehan-recehan yang kutabung mulai membukit serta pengetahuan yang kudapat mulai bertambah. Melihat keadaanku yang mulai membaik, para tetangga sesama pasien kelas kambing yang menghuni di kandang kambing ini, mulai bertanya-tanya. Akupun lalu mulai membagi kiat-kiat tentang adanya keberadaan sebuah harapan, sehingga kami semua mulai belajar sendiri bagaimana caranya menyembuhkan diri sendiri tanpa harus mengeluarkan banyak recehan. Kami mulai menanam harapan dalam jiwa kami.


Semakin lama, usaha kami para pasien kelas kambing mulai menampakkan hasil. Wajah kami tidak lesu seperti wajah kambing yang mau dipotong dan badan kamipun mulai tidak berbau kambing bandot. Jiwa kami mulai dirambahi oleh harapan demi harapan, sehingga kami mampu tertawa lepas bersenda gurau dengan kambing-kambing yang menemani kami dengan setia setiap saat.


Perubahan keadaan kami para pasien kelas kambing rupanya dipantau dengan ketat oleh para pihak atas. Dari para petugas administrasi, para suster, para dokter hingga pihak direksi mulai kebat-kebit melihat keberhasilan dan harapan kami yang memuncak tinggi, yang bisa membuat kami dapat segera sembuh dan keluar dari Rumah Sakit Perngesotan.


Kami dianggap sebagai ancaman yang bisa mengganggu kestabilan dan kemakmuran dunia perngesotan. Tak lama kemudian pihak direksi mengirim suster cantik nan ramah yang kutemui saat pertama kali aku tiba mengesotkan diri di dunia perngesotan.


Suster cantik yang kini nan tidak ramah, mendatangiku dengan wajah garang. Membuat kambing-kambing mengembik-embik menyingkir ketakutan. Sementara aku terseot-seot mengesot ke pojok ruangan, berusaha menjauhi suster cantik yang mengesot dengan galak ke arah ku.


“Kamu! Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan, hah? Kamu pikir kamu bisa sembuh begitu saja? Kamu pikir dengan harapan yang ada serta kerja keras mengumpulkan recehan bisa membuatmu keluar dari dunia kami? Hah! Kamu ini kan sedang bermimpi, bagaimana kamu bisa melakukan hal tersebut? Mimpi kamu! Dan teruslah bermimpi! Tidak ada satupun pasien kelas kambing ini dapat keluar dari kandang kambing. Berani melawan kami maka kalian bisa kena gusur. Akan kami porak porandakan kandang kambing ini!”.


Akupun menjadi sewot bagaikan semut diinjak oleh gajah, maka aku segera mengajak semut-semut lainnya untuk membalas menggigit gajah tersebut beramai-ramai.

“TIDAK! Kami tidak akan pasrah mengesot di kandang kambing dan menjadi pasien kelas kambing seumur hidup, memeras kambing dan lalu diperas oleh kalian. Kami akan bekerja, berusaha sekuat tenaga mengesot dengan akal dan pikiran, menyembuhkan diri kami tanpa perlu memeras manusia dan menabung harapan demi harapan. YA! Kami berbeda dengan kalian, kami memang kelas kambing tapi kami mempunyai harapan. Harapan adalah kekuatan kami yang mampu membuat kami bekerja jauh lebih giat dari kalian. Harapan membuat kami menjadi sehat secara rohani dan jasmani. Kami memang pasien kelas kambing, tapi dengan adanya harapan, kami lebih sehat dari kalian. Karena kalian tidak mempunyai harapan!”

Aku berteriak dengan keras membalas tantangan suster cantik nan tidak ramah, begitu juga para pasien kelas kambing mulai meneriakkan yel-yelan “Kami punya harapan. Anda tidak!” secara serentak dan bersama-sama.


Suster cantik nan ramah mulai tidak sabar dan tidak ramah lagi. Ambang kemarahannya sudah meluap melewati titik batas kebanjiran. Dengan gemuruh kilat petir bersambung-sambungan, hujan mendadak turun membasahi kandang kambing yang berlantai tanah. Air mulai memasuki kandang kambing dan petir serta kilat mematahkan tiang bangunan yang terbuat dari dahan pohon kecil.

Suster cantik nan ramah kini terlihat tidak cantik dan tidak ramah lagi. Rambutnya yang tadi bersanggul rapi, mulai lepas terurai awut-awutan. Wajahnya memerah kotor penuh dengan warna merah dari beceknya tanah merah yang basah. Dengan ekpresi wajah yang menakutkan, suster mulai mengesot. Jari telunjuk dari tangan kanannya menunjuk ke kami, tangan kirinya menyentuh tanah, dengan kaki kiri yang menempel ke tanah, ia menggerakkan kaki kanannya ke udara, lalu ia berteriak dengan kencang.

“Ku kutuk harapan kalian menjadi basa basi. Ku kutuk harapan kalian menjadi batu penghalang yang bisa membuat kalian tersandung. Ku kutuk harapan kalian menjadi slogan-slogan manipulasi dalam berkampanye, ku kutuk harapan kalian menjadi boomerang yang akan membuat kalian menjadi budak ngesot seumur hidup, kukutuk harapan-harapan kalian menjadi fitnah nan kejam. YESSSSS!”


Gemuruh kilat saling bergeraman satu dengan lainnya menandakan dimulainya kutukan suster ngesot. Mendadak aku melihat harapan kami mulai layu menjadi kayu mati satu demi satu.

TIDAKKKKKK!

Brak! Pinggulku serasa pedas dan sakit. Lantai kayu dingin menyengat bagian bawah badanku. Mendadak aku menggigil kedinginan, namun aroma kopi segar dan hangat menyergap hidung. Menggelitikiku dengan manja, membangunkanku dari aroma kambing bandot.

“Lho! Kenapa kamu tidur di lantai? Dingin kan. Ayo bangun, kopinya sudah siap.” Suara ajakan tersebut seperti suara yang kukenal, suara orang yang sudah menemaniku bertahun-tahun. Suara orang yang bisa membuat hatiku tergetar saat ia memanggil namaku.

Aku menatap dirinya, lalu mencium kembali aroma kopi hangat, lalu memperhatikan keadaan sekitarya. Aku tidak lagi di dalam kandang kambing yang sedang kebanjiran penuh dengan lumpur tanah merah. Sedangkan manusia dihadapanku bukan lagi suster yang tidak cantik lagi dan tidak ramah lagi, melainkan suamiku. Orang yang sekalipun ramah ataupun lagi tidak ramah tetap aku cintai, apalagi kalau dia sedang rajin menjamahku, ohhh...

“Kenapa sih, kamu ada di lantai? Jatuh ya? Kenapa bisa jatuh?”

“Hiii, aku habis mimpi buruk, hiiii...”

“Hah? Mimpi buruk apa?”

“Mimpi di kutuk suster ngesot. Hiii seram! Dia mengutuk harapan menjadi kayu mati, hiks hiks”


Suamiku bengong, lalu buru-buru memberikan secangkir kopi hangat kepada ku. “Cepat diminum kopi ini. Dan hidupkan kembali harapanmu. Sekalipun dalam mimpi, jangan biarkan seorang pun mematikan harapanmu.”

Segera aku bangkit, girang karena bisa berdiri segera kuteguk kopi hangat, membiarkannya mengalir memanasi perutku yang dingin, menjalar membangunkan harapanku, akan hari yang baru. Akan matahari yang terbit dan selalu terbit keesokkan harinya. Matahari yang selalu ada setiap harinya, yang mampu memberikan harapan hari demi hari dan membakar kutukan suster ngesot!!!


7 Desember 2009

The Devil in Marge Simpson

The Devil in Marge Simpson
Ditayangkan di KoKi Kolom Kita, selasa 27 Oktober 2009
http://www.koki-kolomkita.com/baca/artikel/2/933/the_devil_in_marge_simpson

Mendengar dan membaca gonjang ganjing kisah biru Miyabi di layar biru, tidak dapat kukatakan betapa besar ketidaktahuanku akan wanita “be-biru ria” ini. Namun, kuakui ada satu wanita berambut biru, yang sangat kukenal dan sempat tergila-gila dengan perannya di layar berwarna tidak hanya biru, namun didominasi oleh warna kuning dan warna lain-lainnya.

Wanita berambut sasak tinggi berwarna biru yang kukenal dan pernah tergila-gila menunggu kehadirannya di layar berwarna lebih dari biru adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai seorang suami yang kadangkala (sering) bolot, kadangkala galak namun baik hatinya, seorang anak lelaki yang tobat-tobat kekreatifitasannya yang ngalmost menjurus pada anarkisme namun masih bisa terkendali dan terarah, seorang anak perempuan yang fanatik dengan saxophone dan mempunyai idealisme yang bongsor sehingga dikenal sebagai model tokoh feminist, serta seorang bayi perempuan yang selalu sibuk berjalan-jalan (pagi, siang, sore dan malam) dengan trademark dot di mulutnya yang mungil.


Wanita berambut sasak tinggi berwarna biru dan berpenampilan kalem serta terlihat bijaksana dan mampu membuatku tergila-gila, kini membuatku berteriak kencang, “Gila!!!” Asli gila karena debutnya yang terakhir mampu melontarkanku dengan cepat dari kursi rotan tua yang sering berdenyit-denyit saat aku duduk gugup menulis hasil penelitian. Judul yang tertulis besar-besar pada cover majalah kelinci berdasi a.k.a Playboy yang terpampang di layar monitor, meninjuku dengan telak! “The Devil in Marge Simpson”


Ada apa dengan keluarga Simpson yang telah bertahta selama 20 tahun sehingga rela membiarkan Marge Simpson “menjual kejalangannya”, yang hanya dikeluarkan bertahun-tahun di depan Homer, kepada publik, berpose sensual pada majalah Playboy yang menjadi konsumsi publik lelaki seantero dunia?

Ada apa dengan majalah Playboy yang terkenal dengan para model dari jaman dulkiplik seperti Marlyin Monroe, Ursula Andress, hingga Kim Basinger, LaToya Jackson, Ashley Harkleroad, dan masih banyak lagi para wanita-wanita cantik tersenyum menggoda dalam majalah milik sang kakek, Hugh Marston Hefner, sehingga kemehek-mehek menggaet Marge Simpson, yang idem ditto tokoh seorang ibu rumah tangga dalam keluarga bizzare the Simpson, untuk menjadi top model dalam cover terbitan November 2009?

Mengutip berbagai sumber yang berceloteh di dunia internet, alasan yang dikemukan oleh pihak The Simpson dalam melakukan gebrakan di dunia Playboy ini adalah untuk menyambut ulang tahun keluarga The Simpson yang keberadaannya sudah bercokol langgeng bebas perceraian selama 20 tahun.

Sekalipun dengan alasan ulang tahun ke 20 dari sebuah film seri kartun yang memang layak diakui kekuatannya bertahan ditengah gempuran berbagai film seri kartun era abad ke 21 terutama film-film dari negara Matahari Terbit, namun keputusan untuk “menjual” Marge Simpson pada majalah yang (hanya) memberikan mimpi-mimpi akan bahagianya menjadi wanita cantik dan seksi idaman setiap pria, membuat saya menangkap kesan satir atau mungkin lebih tepat lagi jika saya mengatakan akan adanya depresi dalam diri Marge yang dalam kehidupan sehari-harinya sering diremehkan oleh suami dan anak lelakinya karena sikap dan sifatnya yang sederhana.

Dalam salah satu cerita yang saya baca mengenai episode The Simpson, Marge menjawab pertanyaan Lisa bahwa Sup Seleri juga merupakan hal yang bisa membuatnya bergairah.

Selain sikap Marge yang tampaknya terlihat pasrah menjadi seorang istri dari Homer, cerita-cerita yang dituturkan dalam adegan antara Homer dan Marge pun banyak menggambar- kan akan adanya garis perbedaan gender yang lugas diterapkan, dimana Homer menganggap dirinya sebagai lelaki yang harus melakukan tugas yang selayaknya dilakukan sebagai seorang lelaki, sedangkan Marge sebagai seorang perempuan hanya bisa melakukan tugas yang sepatutnya dilakukan hanya oleh perempuan.

Jika suatu hari, Marge melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh lelaki, maka suaminya, Homer, akan berteriak keras menentang, karena jika Marge melakukan hal tersebut, maka Marge membuat Homer menjadi perempuan, dan hal itu sangat dibenci oleh lelaki berwajah persegi empat, Homer.


Terlepas dari siapakah (Homer atau Marge) yang memutuskan Marge menjadi cover majalah Simpson, satu hal yang pasti adalah mereka yang berada di balik dapur produksi The Simpson yang memegang palu keputusan untuk menggandeng majalah Playboy sebagai teman bersama untuk meniup lilin kesuksesan The Simpson selama 20 tahun.

Entah apakah motivasi ekonomi meraup pangsa pasar bersama antara pangsa pasar The Simpson dan pangsa pasar Playboy, tidak diketahui dengan gamblang, namun satu hal yang pasti telah diakui oleh pihak Majalah Playboy, bahwa pihak mereka memang berniat untuk menarik pangsa pasar baru.

Seperti yang dituturkan oleh pejabat eksekutif tertinggi (CEO) Playboy yang baru, Scott Flanders, pangsa pasar para pembaca berusia 20 tahunan merupakan lahan baru yang menggiurkan untuk diolah, setelah sekian lama mencangkul pada ladang pembaca berusia rata-rata 35 tahun ke atas.

Bukan hanya alasan itu saja yang diolah sedemikan manis oleh pihak Playboy, sang kakek pendiri kelinci putih, Hugh Hefner, mengatakan dengan adanya kerjasama pihak Playboy dengan The Simpson maka akan terjadi serangan kejutan yang mengagumkan untuk para fans berat Marge Simpson (termasuk saya yang langsung terbatuk-batuk, terkejut beneran, untungnya tidak terjatuh dari kursi rotan tua yang sudah menjadi kesayangan sejak dahulu kala).

Selain menempatkan Marge Simpson sebagai cover depan, mbah Hugh Hefner juga telah mempersiapkan model Victoria’s Secret yang aduhai, Alina Puscau. Dengan bangga ia menegaskan bahwa para penggemar yang sejati menginginkan kedua-duanya tampil dalam majalah kesayangan mereka. Dan untuk menyenangkan hati gundah gulana para penggemar The Simpson, mbah Hugh Hefner meyakinkan bahwa pemotret pose seksi menggoda Marge Simpson adalah Homer, suami Marge sendiri.

Sore ini saya melancarkan pertanyaan kepada Matt, bocahku satu-satunya,

“Matt, kamu sudah pernah nonton The Simpson kan? Masih ingat bagaimana rupanya Marge?”

“Hmm, iya ingat, yang rambutnya sering kepentok pintu masuk kan?”

“Iya, yang sasak rambutnya tinggi dan berwarna biru. Mmm, kamu tahu majalah Playboy?”


Pertanyaan apa sih? Iya,iya, aku pernah dengar tentang majalah Playboy. Ada apa sih? Kok tanya seperti itu?” jawab anakku dengan rasa gentar, seolah-olah saya sedang mencurigainya melakukan perbuatan diluar batas umurnya.

Ha ha ha, aku cuma mau tanya saja. Kamu tahu, kalau Marge Simpson menjadi cover majalah Playboy? Menurut kamu, Marge Simpson itu seksi atau tidak?”, tanyaku sambil menatap siap tertawa mendengar jawabannya.

Gila! Kenapa tokoh komik yang menjadi cover majalah? Lagipula kenapa yang diambil Marge Simpson, aduhhh... Sudah ah, jangan tanya-tanya lagi. Aku mau jjs dulu, mumpung matahari belum tidur” jawab Matt sambil geleng-geleng kepala, menganggap saya mungkin sudah jatuh gila, ha ha ha...
tanyaku lagi.


Gebrakan The Simpson tidak hanya berhenti di cover majalah Playboy, kembali untuk merayakan keutuhan bersama keluarga The Simpson selama 20 tahun, mereka akan mengeluarkan episode terbaru pada bulan November nanti dengan judul “THE DEVIL WEARS NADA” (setan yang tidak mengenakan apa-apa/telanjang), dimana Marge dan "Philanthro-Chicks" memutuskan untuk berpose untuk kalender dalam upaya mengumpulkan uang dalam suatu tindakan amal.



Hmm, sudah berapa tahun aku tidak menonton keluarga The Simpson? Mungkinkah The Devil Wears Nada akan menggerakkan diriku memelototi kembali Homer dan keluarganya? Ahhh tunggu nanti saja, bulan depan...

Salam sayang buat KoKiers dari “The Devil don’t Wear Prada”

Arita - CH
Sumber gambar:
  1. http://hollywoodindustry.digitalmedianet.com/articles/viewarticle.jsp?id=867757
  2. http://simpsons.wikia.com/wiki/The_Devil_Wears_Nada

Danau Superiore, Pegunungan Alpen

Di tayangkan di KoKi Kolom Kita, Jumat, 16 Oktober 2009 
http://www.koki-kolomkita.com/baca/artikel/14/902/danau_superiore_pegunungan_alpen 

Seperti musim panas yang telah lewat, musim panas 2009 sama panasnya dan sama gerahnya. Bau lembab di tengah kota serta “serangan” turis dari pojok-pojok Eropa ke Ticino, membuat kami bergegas mempersiapkan diri untuk bersembunyi dalam keheningan alam di atas sana, mencoba mencari matahari sejuk di pegunungan Alpen, tepatnya di lembah Sambuco, dengan ketinggian 2311 m. 

Di musim panas bulan Agustus, pada ketinggian diatas 2000 m, bongkahan salju masih mampu bertahta, sekalipun sebagian daerah kekuasaan sudah menghijau dijarah oleh matahari. Berpose dengan celana pendek dan beralaskan dataran salju, membuat klik foto berpijar, flash flish flosh... Puas dengan klak klik kamera serta cuci mata, Matt, anak lelaki saya, mulai melakukan pemanasan dengan memancing di danau Narèt. Namun tak lama kemudian, para pemancing lainnya mulai berdatangan, dan akhirnya danau ini menjadi penuh dengan pemancing yang berlomba mencari sekail ikan. Sesuai dengan tujuan awal, bersembunyi di dalam alam bebas, maka kami pun kabur, mencari lokasi strategis untuk mendirikan tenda jauh dari kerumunan orang banyak. 

Lembah Sambuco yang diperkaya dengan danau-danau, memberikan banyak pilihan untuk bersembunyi dari keramaian, kamipun turun beberapa meter dari puncak gunung dan memilih berhenti di ketinggian 2128 m, dan menetapkan danau Superiore (“Lag da sura”) sebagai pilihan yang tepat. Memiliki dataran yang lumayan berumput, dekat dengan sungai kecil yang menghubungkan antara danau Superiore (“Lag da sura”) dan danau Sassolo (“Lag bass”), sebagai rumah sementara selama beberapa hari. 


Hoppp... tenda pun dibuka, tepat di pinggir atas “kamar mandi”. Kamar mandi tak beratap, namun penuh dengan sumber air dan tentu saja aliran air yang cukup deras, yang mampu menyapu bersih segala kotoran, baik yang menempel di tubuh, maupun kotoran yang keluar dari dalam tubuh... 



Beberapa jam kemudian, kami mulai melihat tanda-tanda kegagalan dari usaha sembunyi kami, beberapa turis datang melakukan aktivitas selam di danau yang kini menjadi “daerah jajahan” kami. Setelah bla, bla, bla dengan mereka, kamipun berani bernafas lega, karena mereka hanya tertarik dengan dunia bawah air, lalu pulang kembali ke kamar hotel, dengan fasilitas kamar mandi beratap, bernafaskan peradaban moderen. 


Puas dengan lokasi jajahan, di tambah seruput kopi panas menghangatkan perut, kamipun mulai beraksi. Kugelar tikar mempersiapkan acara leyeh-leyeh baca buku disambung tidur siang, sedangkan Matt dan PM sibuk dengan pancingan serta buku petunjuk akan jenis ikan yang boleh dipancing. Kegiatan pancing memancing di Swiss lumayan penuh dengan aturan. Untuk memancing di tempat dengan ketinggian diatas 1000 m dibutuhkan ijin khusus memancing, dan hasil pancingan dibatasi hanya 12 ekor ikan per hari, serta jenis dan ukuran panjang ikan juga ditentukan minimum 23 cm (untuk ikan jenis Trout). 
Sudah beberapa jam, kulihat Matt hanya mendapatkan ikan berukuran kecil, sedangkan ikan berukuran besar tampaknya sedang menikmati acara tidur siang (tampaknya meniru kebiasaan manusia, dimana anak kecil memang paling senang kabur dari acara tidur siang hi hi hi ...). Posisi berdiri Matt mulai bergeser menjadi setengah berbaring, sambil melamunkan hasil tangkapan kelak, atau entah apa yang dilamunkan anak remaja tersebut hanya Tuhan dan Matt sendiri yang tahu, bentuk lamunan di depan air dingin berisikan ikan Trout dan ikan berjenis Salmonidae. 


Sang kala di tengah alam bebas tampaknya berdetak lebih cepat daripada di tengah kota. Perut yang berkriuk-kriuk keras menandakan hampir saatnya makan malam. Cuaca terang benderang yang sangat cerah seolah baru jam 3 sore, tampaknya mengkhianati ketepatan arloji dimana jarum pendeknya menunjuk ke angka 6. Ahhh! Harus bikin tungku api sekarang, karena untuk membuat api dengan kayu bakar bisa membutuhkan 2 jam hingga bara api siap untuk memanggang. Untuk kemping di atas gunung berbatu yang pelit pohon besar dibutuhkan persiapan matang, yang diantaranya adalah membawa kayu bakar sendiri dari rumah, kalau tidak mau gigit jari kelabakan cari kayu bakar di tengah dataran bebatuan dengan ketinggian pohon maksimum 30 cm. 
Dengan menggunakan tumpukan batu-batu gunung yang ada disekitar danau, maka dapur alla Mr. Flinstone pun mulai dibuat, dan acara tiup-tiup api pun kuhembuskan agar kayu-kayu yang sudah kami persiapkan dari rumah, segera terbakar habis. 

Menjelang pukul 8 malam, dari kejauhan terdengar dentang denting lonceng glang gling glung bergaung bersahut-sahutan. Tampak barisan memanjang binatang berkaki empat mendekat perlahan-lahan. Tak lama kemudian terlihat jelas, pasukan kambing menatap dan semakin menuju ke arah kami. Ada kurang lebih ratusan kambing menghampiri, berjalan menuju tenda, seakan tenda kami dirikan di jalur bebas hambatan pasukan kambing tersebut. Sempat ketar-ketir diserbu ratusan kambing, tengok kiri tengok kanan, tidak ada terlihat batang hidung pak gembala, yang ada hanya sang komandan, seekor kambing jantan berbulu hitam memimpin pasukannya dengan embikan keras disambut dentang-dentang kalung lonceng kecil yang tergantung di seluruh pasukan kambing yang berjumlah ratusan. 



Pasukan kambing tersebut sempat mengendus tenda kami, namun untunglah tenda kami berbau plastik, sehingga mereka hanya mencabik rumput-rumput di sekitar tenda lalu meneruskan perjalanan, menyeberangi titian sungai kecil, kamar mandi tak beratap kami, lalu mendaki gunung meneruskan perjalanan mereka pulang ke kandang yang entah terletak dimana. Sangat mengagumkan melihat kemampuan kaki-kaki mereka yang mencengkeram erat, berjalan di lereng gunung bebatuan curam, tanpa perlu tengok kiri tengok kanan. Sejenak sempat diriku merasa iri dengan kambing, namun akhirnya aku bahagia menjadi manusia, karena aku bisa menulis, mana bisa kambing menulis??? 




Hari – hari di gunung, kami habiskan dengan berbagai kegiatan, seperti memancing, baca buku, hiking mengelilingi danau Narèt dan sekitarnya, lalu turun kebawah mencari susu segar dan keju, dan ber-barbeque ria (ini favorite ku, yeaaa!). Di malam hari, belajar ilmu perbintangan, mencari ikat pinggang Orion ataupun membaca masa depan cuaca, meyakinkan diri kalau besok tidak akan ada hujan yang mampir bertamu, mengusir kami kembali ke peradaban moderen...argh! 





Arita - CH

Kisah cinta Yuma dan Yuki

Di bulan November tahun 2008 yang dingin dan kelabu, Yuma menatap Yuki dengan penuh cinta, terpesona akan kegagahan dan ketampanannya. Badan Yuki yang tinggi besar, berbulu putih dan hitam menambah ketegapan posturnya yang sangat jantan. Kedua mata Yuki yang biru cerah seolah menghipnotis pandangan Yuma, mengalirkan energi cinta yang bertubi-tubi, menghangatkan kedinginan bulan November yang menggigit. Yuki membalas tatapan Yuma dengan lolongan yang panjang. Pertemuan tersebut terlalu indah untuk di lolongkan. Sepanjang apapun Yuki melolong, ia tidak mampu melukiskan kecantikkan Yuma yang anggun, berbulu pirang dan berbadan ramping.




Yuma adalah seekor Siberian Husky, dilahirkan di kota Pécs, Hungaria, pada tanggal 26 November 2004. Saat Yuma berusia 5 tahun (cat: 5 tahun Siberian Husky = 3 bulan usia kehidupan manusia. Lihat tabel umur), Yuma bertemu dengan Barbara yang akhirnya memboyong Yuma tinggal di Swiss. Di besarkan oleh Barbara yang lulusan sekolah khusus untuk mengurus binatang, membuat Yuma tumbuh dengan pesat dan sehat. Sebagai seekor Siberian Husky, Yuma sangat rajin membersihkan diri, tubuhnya bebas dari bau tak sedap serta parasit-parasit. Berbeda dengan ras lainnya yang sering merontokkan bulu berulang-ulang, hanya dua kali dalam setahun Yuma merontokkan bulunya, lalu kemudian menumbuhkan kembali bulu-bulu pirang baru yang lebih indah dan tebal. Dengan 2 lapisan bulu, - lapisan bawah yang padat dan lapisan bulu yang panjang- seekor Siberian Husky mampu bertahan pada cuaca dingin dan cuaca panas. Bulu-bulu tersebut berfungsi sebagai mantel, mampu bertahan pada suhu dingin hingga -40 C, dan pada saat musim panas, bulu-bulu Siberian Husky memantulkan panas yang dapat membuat ia bertahan pada suhu panas hingga 40 C.

Seperti layaknya Siberian Husky, Yuma selalu senang bermain, aktif bahkan hiperaktif, serta sangat dekat dengan manusia, terutama anak-anak kecil. Sifatnya yang baik, ceria bahkan manja penuh kemesraan, tidak mampu diandalkan untuk menjadi anjing penjaga. Seringkali Barbara yang harus turun tangan membela Yuma yang pasrah di grecoki oleh bocah-bocah di taman.
Yuma mulai mengalami periode akil balik saat berumur 24 tahun (cat: 24 tahun usia Siberian Husky = 2 tahun usia kehidupan manusia. Lihat tabel usia). Berbeda dengan ras lainnya yang mudah dilatih sejak dini, dari umur 0 hingga 2 tahun Siberian Husky akan sering membandel, keras kepala, dablek, enggan menuruti kata-kata perintah.
Sekalipun Barbara berteriak-teriak hingga serak-serak kering hehausan, Yuma akan tetap acuh, mengabaikan setiap kata. Apalagi Yuma paling menyukai perkerjaan “bercocok tanam”, dimana dengan rajin Yuma menggali lubang-lubang di setiap sisi, sudut, tengah halaman rumah. Barbara dengan mengumpat kesal pada Yuma akan membungkuk-bungkuk menutup lubang dengan tanah yang berserakkan dimana-mana. Biasanya, setelah puas menggali lubang, maka Yuma akan duduk manis dengan mata setengah tertutup dan telinga yang ditulikan secara manual, menatap Barbara yang mengoceh panjang lebar akan pentingnya edukasi. Behave, girl...!
Saat Yuma memasuki usia 32 tahun (cat: 4 tahun usia kehidupan manusia) masa “ndablek bin geblek” berakhir. Yuma mulai mengerti, memahami dan mematuhi kata-kata Barbara. Kecerdikkan dan kepatuhan Yuma, menyempurnakan kecantikkannya. Namun, dalam kehidupan ini, segalanya baru menjadi “benar sempurna” saat memasuki periode berpasangan. Saat Yuma berusia 32 tahun, di sore bulan November yang dingin, Barbara tiba bersama dengan Yuki yang berusia 24 tahun (2 tahun usia kehidupan manusia), seekor Siberian Husky jantan yang dilahirkan di Milano pada tanggal 15 Februari 2007.

 Dibesarkan dalam keluarga Italiano, Yuki yang kental macho ala cappucino akhirnya mampu menaklukkan hati Yuma dengan susah payah. Sekalipun wajah Yuki sangar bak jawara, tingkah lakunya masih sangat kekanak-kanakan dan selalu girang gemilang bermain dengan kanak-kanak, tanpa mengingat tingginya yang telah melewati batas tinggi anak usia 7 tahun. Sering Yuki mengacuhkan Yuma dan memilih untuk menjilati anak-anak kecil. Namun akhirnya, setelah melewati masa hidup bersama selama 5 bulan, maka pada saat terang bulan purnama, hari jum’at 13 Maret 2009, Yuki berhasil memberikan malam pertama yang tak terlupakan bagi Yuma dan bagi Yuki sendiri. Malam bulan purnama demi malam bulan purnama berlangsung seru, lolong demi lolongan kemenangan Yuki mulai membuahkan hasil. Badan Yuma mulai membesar, ke enam payudaranya mulai membengkak, siap memproduksi air susu dan sejak saat itu, 65 hari yang mendebarkan berlalu merangkak pelan.

16 Mai 2009, pukul 03:30 dini hari, Yuma mulai gelisah, air ketubannya perlahan pecah. Sesuai dengan genetik awal nenek moyang Yuma ( serigala), maka Yuma mulai sibuk menggali-gali, mempersiapkan tempat kelahiran yang hangat dan aman. Namun, berhubung Yuma melahirkan di dalam rumah berdasar lantai keramik, Yuma harus puas dengan hanya menggali kain-kain tebal yang telah dipersiapkan oleh Barbara.
Detik-detik kelahiran sangat menegangkan, tidak hanya bagi Yuma namun juga bagi Barbara dan Yuki. Yuki mulai sibuk melolong-lolong, sementara Barbara sibuk mendiamkan Yuki sambil menunggu dengan tegang perjuangan Yuma yang panjang dan lama. 

17 Mai 2009, pukul 07:00 pagi, Yuma melahirkan si jantan kecil, Anuk, dengan selamat, disusul dengan Kiro yang keluar dengan mudahnya. Barbara berteriak senang menyambut kehadiran Anuk dan Kiro, namun sayangnya kebahagiaan berganti dengan kesedihan. Yuma melahirkan bayi yang ketiga, seekor Husky betina yang sudah tidak bernafas lagi. Dengan penuh kasih, Yuma membersihkan anak ketiga yang sudah tidak bernyawa, lalu menatap Barbara dengan pasrah. Barbara mengangkat anak yang sudah tidak bernyawa dan menguburkannya di halaman depan rumah dengan tangis yang tiada henti.
Seperti serigala yang hidup berkelompok, begitu juga Siberian Husky. Saat Husky-Husky kecil tiba, Husky betina lainnya akan mendekati Husky kecil tersebut dan mengurus secara berkelompok dengan kasih seperti anaknya sendiri. Berhubung hanya ada Yuki dan Barbara, maka dengan penuh rasa ingin tahu dan sayang, Yuki mendengus lembut kepala Anuk dan Kiro. Kedua Husky kecil yang belum mampu membuka kedua matanya mencari-cari sumber hembusan, memulai memperkerjakan indera penciuman, mencoba mengenali “bau” dari papa Yuki.

Kini, Anuk dan Kiro telah berusia 5 tahun (= 3 bulan usia manusia). Mereka tumbuh besar, kuat dan gagah, mengikuti kegagahan Yuki, sang papa. Yuma yang semakin bersikap tenang dan matang, rajin mengajak Anuk dan Kiro bermain dengan bola karet. Yuma yang dibesarkan dengan ketenangan seorang wanita Swiss, mencoba mengajarkan Anuk dan Kiro untuk bersikap dan bertindak dengan tenang. Namun Yuki yang dibesarkan dalam ambiance Italiano, mulai menularkan kebiasaan “memamerkan” kekuatan fisik dan kemampuan melolong tanpa kenal waktu. Anuk dan Kiro pun belajar dengan cepat, menjatuhkan pot-pot bunga yang di tata rapi oleh Barbara, mengais air minum hingga kosong melompong yang akhirnya membuat mereka melolong-lolong kehausan. Tak henti-hentinya Anuk dan Kiro berlari-lari mengikuti Yuki yang berlari mengelilingi halaman terus menerus tanpa mengenal lelah, sementara Yuma duduk di tengah halaman, menatap keluarganya asyik bermain.


Kadangkala Yuki menggigit lembut Anuk dan Kiro saat mereka bermain bersama, namun Anuk dan Kiro masih belum bisa membedakan kapan menggigit keras dan kapan menggigit lembut, sehingga saat Anuk dan Kiro bermain berdua, seringkali mereka saling menggigit dengan keras. Saat salah satu mulai mendengking tinggi, Yuma datang memisahkan mereka yang seru bergelut, mengusir Kiro dengan halus lalu menjilat moncong Anuk yang membengkak, tergigit Kiro yang hiperaktif.
Anuk dan Kiro terbiasa makan 3 kali sehari seperti layaknya anak-anak yang membutuhkan cukup asupan untuk berkembang, sedangkan Yuma dan Yuki yang sudah memasuki masa diet, hanya makan satu kali sehari, sepiring (besar) berdua di malam hari, mereguk kebahagiaan bersama-sama. Pada saat musim panas yang lekat dan kering, Barbara sering mengajak Yuma, Yuki, Anuk dan Kiro bermain air di sungai yang terletak tak jauh dari rumah. Mereka mampu bermain satu hari penuh tanpa mengenal lelah. Tenaga mereka yang sangat kuat, - dimana mereka merupakan ras yang biasa dijadikan penarik kereta ski-, membuat Yuma dan Yuki beradu cepat menarik sepeda Barbara, mendaki jalan yang menanjak tajam, di ikuti oleh Anuk dan Kiro yang melolong panjang, meneriakkan kemenangan bagi Yuma dan Yuki, papa dan mama tercinta. Barbara tersenyum lebar di atas sepeda, menikmati angin petang di musim panas. Kehidupan terlihat sempurna, apalagi jika tidak harus menggayuh sepeda, pada jalanan yang lurus menanjak tinggi.
Ahhh... la vie est belle. Allez Yuma, Yuki,... cours!!!



Arita-CH

Do Ghosts Live in Your House? (Bagian 2)

Suatu malam di tahun 1987.
Kuberjalan ditengah malam yang buta, bermodalkan lampu senter byar pet plus sinar rembulan yang kadang ada kadang hilang tertutup awan. Kami berempat, aku dan tiga orang teman serdadu wanita, susah payah membaca peta lokasi, mencari pos-pos pemberhentian yang harus kami hampiri. Malam itu merupakan salah satu malam dari malam-malam dimana kami digembleng untuk menjadi Resimen Mahasiswa Jayakarta. Malam – malam dimana kami harus tertatih bangun untuk belajar mengenal situasi dan medan perang. Belajar untuk bisa hidup dan berjuang dalam kesengsaraan di tengah hutan tanpa bantuan siapapun, hanya mengandalkan kerjasama kelompok. Kelompok yang harus dilem erat dengan rasa percaya dan kebersamaan, agar semuanya berhasil lulus dalam menghadapi rintangan apapun.
Malam itu, sudah 3 pos yang kami kunjungi, pada setiap masing-masing pos kami harus menyampaikan berita beruntun yang tidak boleh disimpan dalam bentuk tulisan. Berita-berita tersebut merupakan berita rahasia, sehingga kami harus mengingatnya dengan tepat dan jelas, tanpa merubah satu katapun. Kini, tinggal 3 pos lagi yang harus kami kunjungi. Pos yang ke empat terletak tak jauh dari pos yang ke 3, namun untuk tiba disana kami harus melewati pemakaman umum yang terletak di ujung kampung, terpisah jauh dari peradaban manusia hidup, kami harus menyeberangi peradaban manusia mati, untuk bisa tiba ke peradaban manusia hidup.
Samar-samar bau keras kemenyan mendesak hidung kami, suara burung hantu terdengar dalam dan parau, separau tenggorokan kami yang sudah mulai kering kehabisan air. Beberapa temanku mulai merapat satu dengan lainnya, kami berjalan beriring-iringan dempet memepet seolah tidak cukup ruangan disekitar kami. Dengan menggendong ransel seberat 5 kg dan menyandang senapan Gerund buatan tahun kuda gigit besi, ditambah rasa lelah yang membengkak, aku merasa kesal terhimpit bagaikan tangkupan roti.
Tiba-tiba, suara parau burung berhantu mulai tergantikan dengan suara lengkingan tinggi, terdengar berasal dari semak belakang kuburan. Kami berempat berhenti sejenak, saling memandang satu sama lainnya. Temanku yang menjadi ketua kelompok, segera mengambil kertas perintah yang diserahkan sejak awal perjalanan oleh komandan Kompi, kertas yang berisikan perintah-perintah yang harus kami lakukan pada tempat-tempat yang telah dipilih. Dalam kertas tersebut tertulis, kami harus mencari satu kuburan yang diterangi oleh pendar sebatang lilin kecil, mematikan lilin tersebut, menabur bunga pada kuburan, membaca nama yang tertulis pada nisan, menghapalnya, lalu menyalakan sebatang lilin kecil yang baru, kemudian meneruskan perjalanan. Sebuah pekerjaan yang mudah, kecuali menghapal nama, bagiku sudah terlalu banyak yang harus dihapalkan pada satu malam yang melelahkan. Otakku mulai kelebihan beban, mengingat-ingat paragraf berita rahasia, ditambah lagi nama dari sebuah nisan, oooh!
Mau tak mau kami mulai melakukan pencarian, mencari satu makam dengan sinar dari sebatang lilin kecil, sementara itu, suara lengkingan berubah menjadi rintihan kesakitan mengiris telinga. Kami berempat berjalan cepat meneruskan pencarian, tak sabar untuk segera melewati peradaban manusia mati. Tiba-tiba mata kami terarah ke tengah-tengah komplek pemakaman, diantara deretan nisan yang berjejer tidak teratur, persis ditengah – tengah area, dibawah pohon beringin yang besar, berdiri rindang dan menantang, cahaya lilin lamat-lamat melambai-lambai ke arah mata kami berempat. Kembali kami berempat saling berpandangan satu dengan lainnya, seolah mencari-cari alasan untuk menghindari langkah yang harus kami ayunkan, langkah untuk melewati nisan demi nisan, kuburan demi kuburan untuk tiba di tengah-tengah, dibawah pohon beringin, didepan pendar lilin kecil.
Ketua kelompok kami menganggukkan kepala, tanda kami harus segera melangkah menuju tempat tersebut, dengan setengah berlari kami berjuang untuk mencapai tempat tersebut secepat mungkin. Tak henti-hentinya saya mengucapkan kata maaf berkepanjangan karena tak sempat lagi mengatur langkah untuk tidak melompati atau tidak menginjak “rumah” manusia mati. Suara parau burung hantu kembali terdengar, disambut oleh dengkingan tinggi suara yang merintih, semakin lama, suara dengkingan tersebut berubah menjadi suara tangisan lirih. Kucoba mematikan syaraf pendengaranku, seperti aku mengecilkan volume televisi saat menonton film “Shining”nya Stanley Kubrick, namun tampaknya aku tak terlalu berhasil, ku tak dapat menemukan “tombol mute” di telingaku.
Jantungku berdegup kencang, dentuman demi dentuman memompa alirah darah semakin cepat dan cepat. Tampaknya aku tidak sendirian tersiksa oleh lecutan suara yang bersambung-sambung antara suara parau dan suara lengkingan berganti-ganti dengan rintihan dan tangisan kesakitan. Kaki kami akhirnya tiba di hadapan makam yang diterangi pendaran sinar lilin. Segera kami meniup lilin tersebut dengan kencang bersama-sama, seolah meniup lilin kue ulang tahun. Bunga kutaburkan di atas makam. Ah tidak! lebih cocok jika dikatakan aku membuang cepat semua bunga-bunga beserta kantung plastiknya. Bersama-sama kami melafalkan dengan keras nama yang tertulis di nisan, menghafalnya erat-erat lalu segera kami meletakkan lilin kecil yang baru. Frekuensi suara –suara parau, dengkingan, tangisan semakin meninggi dan semakin sering kami dengar. Ditambah lagi bau kemenyan yang keras bergantian dengan wangi mawar yang mulai menohok syaraf penciuman kami.
Ketua kelompok kami tidak berhasil menyalakan lilin, tangannya yang bergetar selalu menjatuhkan lilin setiap kali dia berhasil membakarnya. Sementara kami mulai membentuk lingkaran punggung dengan punggung. Kami tidak rela membiarkan punggung kami dijawil oleh sesuatu yang tidak masuk dalam kelompok kami. Aku mulai tidak sabar dan setengah berteriak kepada ketua kelompok untuk segera menyalakan lilin tersebut dengan benar, namun rupanya bentakanku membuat ia semakin gugup dan mengalami kesulitan untuk menyalakan korek api gas, seolah-olah ada angin yang selalu meniup mati nyala api yang keluar.
Suara percikan api terdengar semakin cepat, namun tidak ada api yang mau membantu kami menyelesaikan tugas tersebut dengan cepat. Ketua kelompok mulai komat-kamit berdoa, memohon ampun dan maaf kepada nisan yang diam membisu. Beberapa temanku mulai menangis, bahkan mulai berteriak histeris memanggil-manggil ibu mereka, memohon pertolongan sesegera mungkin. Kepanikan mulai membanjiriku, melumpah ruah dalam jiwaku. Kutatap lekat ketua kelompok yang masih berjongkok komat kamit berdoa didepan nisan, lalu kuberteriak kencang untuk menyadarkan dia, untuk segera menyalakan lilin dan pergi dari tempat tersebut secepat mungkin, namun teriakanku hanya teriakan lolongan di tengah malam buta nan pekat, ketua kelompok kami terjatuh pingsan, sedangkan kedua temanku mulai meracau tak karuan, menangis-nangis di tanah, ketakutan tak terkira.
Suara parau burung hantu, suara dengkingan yang tinggi serta tangisan histeris teman-temanku memecah malam kelam. Dunia peradaban manusia mati mendadak hingar bingar dengan berbagai macam pekak jenis suara, memekakkan telinga, membuatku berpeluh keringat dingin, tertiup angin malam yang lembab. Saat aku nyaris terjatuh dalam ketidaksadaran, aku teringat kembali akan “mantera” dari ayah: tidak ada orang yang mati karena hantu, yang ada adalah banyak orang yang mati karena dihantui rasa takutnya sendiri.
Rasa panas kemarahan meradang cepat dalam diriku, mendidih menyerang otakku membabi buta, gemeletuk gigi menahan kemarahan tidak dapat kutahan lagi, aku berteriak dengan kencang, sekencang-kencangnya, lalu berlari kearah suara parau burung hantu dan suara dengkingan yang semakin tinggi dan tinggi.
AAAAAA!!! Ku ayunkan senapan Gerund buatan entah tahun berapa ke arah semak belukar. Kuteriakkan kata-kata panas mengusir pergi suara-suara tersebut, “Pergi, pergi! Kalian tidak bisa membuatku mati! Kalian tidak sama dengan aku! Dunia kalian tidak sama dengan dunia ku! Aku tidak akan membiarkan kalian memasukiku! Aku tidak akan mati ketakutan! Pergi, pergi! Jangan ganggu kami!!!” Kupukulkan senapan Gerund ke semak belukar, kuayunkan sekuat tenaga berkali-kali. Prak, prak prak! Suara semak belukar pecah terpukul hentakan senapan Gerund yang berat. Saat itulah aku mendengar suara yang lain, bukan suara parau ataupun dengkingan tinggi. Bukan hanya suara prak, prak, prak, semak belukar. Namun suara teriakan yang mengaduh, suara teriakan kesakitan seorang lelaki!
“ADUH! Hentikan, hentikan. Stopppp! Kamu bisa membunuhku!!!”
Kuhentikan ayunan senapan Gerund, kukeluarkan senter kecil dari kantung celanaku. Kusorot bayangan didepan mataku, terlihat seseorang berpangkat kopral menatap garang diriku, lalu bermunculan bayang-bayang hitam lainnya dari balik semak belukar, mendekat membentuk wujud manusia dan salah satunya,... kukenali sebagai seniorku. Aku terpana menganga, mulutku terbuka lebar. Mantera ayah memang mantera terbaik yang paling manjur!
Februari 2007
Penduduk desa tempat kami melakukan penelitian menyiapkan pesta perpisahan. Aku dan suamiku yang bertugas sebagai peneliti, menatap haru akan kebaikan hati dan keramah tamahan penduduk terhadap kami. Kesabaran mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, serta ketelatenan mereka membantu kami, - yang kadangkala terlalu bersikap alla “orang kota” -, untuk beradaptasi, membuat hutang budi yang kami tanggung semakin menggunung. Ditambah lagi pesta perpisahan yang bagi kami merupakan kemewahan yang tak terhingga, digelar dengan tulus dari penduduk desa yang sederhana.
Usai makan malam, kepala desa menyerahkan kepada kami sebuah ukiran kayu berbentuk kapal. Ukiran tersebut dibuat 10 tahun yang lalu dan biasa digunakan untuk mengobati penyakit. Dengan tidak adanya dokter yang rela bermukim di desa yang harus ditempuh berjalan kaki 2 hari 2 malam, membuat desa ini hanya mengenal “dokter” tradisional. Ada kalanya “dokter” tersebut bisa menyembuhkan penyakit, namun tidak jarang juga mendapati pasien yang sudah sekarat tidak mampu tertolong lagi. Ukiran kayu berbentuk kapal tersebut digunakan untuk “menjemput” pulang roh manusia sakit yang tersesat. Dipercayai, manusia jatuh sakit karena jiwanya yang “tersesat”. Hmmm, aku berkata dalam hati, rasa-rasanya di kota-kota besar lebih banyak orang yang mengalami penyakit ini. Orang-orang yang sengaja menyesatkan jiwanya dan jiwa orang lain, demi kepentingan pribadi.
Kami berdua menerima ukiran kayu hitam berbentuk kapal tersebut dengan senang hati, lalu mengucapkan terima kasih setulusnya. Hadiah tersebut kami bungkus dengan hati-hati dan suamiku membawa sendiri hadiah tersebut selama perjalanan. Saat kami tiba di kota yang pertama kami temui, kami mencari losmen untuk menginap semalaman. Letih dan lelah berjalan kaki serta menginap di hutan, membuat kami ingin merasakan sedikit kemewahan akan nyamannya kasur.
Dengan hati-hati suamiku meletakkan hadiah ukiran kapal di atas meja tulis, tepat di depan tempat tidur, lalu bersiap-siap untuk beristirahat. Kami berdua sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk menyantap makan malam, yang ada dalam benak kami adalah segera mencium bantal dan terlelap di alam mimpi.
Tengah terlelap dalam tidur yang dalam, tiba-tiba aku merasa kekeringan yang sangat. Tenggorokanku seolah berada diatas panas api yang membakar. Kubuka kedua belah mataku, tanganku menggapai gelas air putih yang berada pada meja kecil sebelah tempat tidur. Saat kuraih ujung gelas, ujung mata kiriku menangkap sesuatu dari arah meja tulis, tepat di depan tempat tidur. Kubalikkan badanku menatap lurus ke depan, mencoba mengatur fokus mata yang masih setengah terpejam. Dengan sinar terang bulan yang menerobos dari sela-sela lubang angin, kutangkap bayangan meja tulis dengan jelas. Diatas meja tulis tersebut, masih berdiri tegak ukiran kayu berbentuk kapal, hadiah dari penduduk desa. Tidak ada yang aneh ataupun sesuatu yang berubah, hanya saja...
Disebelah kanan meja tulis, dimana ukiran kayu berbentuk kapal berdiri tegak, suatu bayangan hitam berdiri tegak menatapku lekat. Ku buka mataku lebih lebar untuk melihat dengan jelas, seluruh indera syaraf kukerahkan untuk bisa mencerna lebih jauh lagi. Sosok hitam tersebut kini terlihat menjadi sosok seorang lelaki tua yang membawa tombak. Matanya menatap tajam, namun tidak ada kesan jahat ataupun kesan kemarahan. Dengan berpakaian celana panjang serta kemeja berlengan pendek, ia hanya berdiri diam menatapku tak terlekang. Aku menarik nafas panjang lalu menghela perlahan, kutatap balik wujud tersebut dan berkata dengan tenang,
“Pergilah. Aku tidak bisa memberikanmu apa-apa. Dunia kita berbeda dan terpisah, kau dan aku tidak bisa bersatu. Pulanglah dan beristirahatlah. Tugasmu telah selesai.”
Kutatap lekat tak bergerak, bayangan tersebut mulai mengabur dan menipis, lalu perlahan hilang. Terbawa desiran angin yang keluar dari sela-sela lubang angin. Kini dihadapanku hanyalah sebuah meja tulis dengan ukiran kayu berbentuk kapal, masih tegak berdiri. Ku teguk air putih dari gelas yang hanya kupegangi sejak tadi, lalu kembali membaringkan kepalaku. Hari-hari esok yang melelahkan masih panjang. Aku butuh tidur cukup.
Keesokan paginya, kami berdua sarapan di kedai warung tak jauh dari losmen. Suamiku terlihat segar tanda tidur yang cukup, sedangkan aku masih terkantuk-kantuk, rasanya aku masih membutuhkan 10 gelas kopi tubruk. Sambil mengunyah nasi kuning, suamiku menatapku dan bertanya akan kekantukkanku yang kental, jauh lebih kental dari kopi dihadapanku. Kukatakan sambil mengaduk-aduk kopi, kalau aku masih membutuhkan jam tidur yang panjang. Sesuatu telah memperpendek masa tidurku.
“Kenapa? Kamu mimpi buruk?” tanya suamiku.
“Ah entahlah. Mimpi atau bukan, yang pasti aku jadi tidak cukup tidur”, jawabku sambil memesan satu lagi kopi tubruk.
“Aku juga semalam bermimpi. Ah tidak, aku jadi tidak yakin apakah itu mimpi atau kenyataan” kata suamiku sambil menghabiskan nasi kuning.
“Eh? Kamu mimpi apa? Ah maksud ku, kamu melihat sesuatu? Sesuatu yang nyata tapi tidak nyata atau sesuatu yang tidak nyata tetapi nyata” sontak aku menjadi penasaran. Kutunggu ia menghabiskan kunyahan terakhir nasi kuning, lalu mencuci tangannya di dalam mangkok kaca berisikan air bening.
“Entahlah itu nyata atau tidak. Aku merasa semalam ada seseorang lelaki membawa tombak, menatap dan memperhatikan kita. Aku tidak tahu apakah aku bermimpi atau tidak, namun aku terlalu lelah untuk mencerna pandangan tersebut, akupun kembali terjatuh dalam tidur” jelas suamiku sambil melap tangannya yang basah.
Aku teringat apa yang tejadi semalam, dan tampaknya malam itu kita berdua mempunyai mimpi yang sama, ah... atau tepatnya malam itu kita berdua mengalami hal yang sama hanya saja tidak pada waktu yang bersamaan. Kami berdua sama-sama melihat wujud seorang lelaki menyandang tombak, pada malam yang sama. Kuceritakan kejadian yang kualami pada malam itu, suamiku terbelalak keheranan, lalu menghela nafas.
“Selama dia tidak mengganggu kita berdua, biarkan saja dia di alamnya. Kamu benar, alam dia dan alam kita berbeda. Biarkan dia hidup terpisah di alamnya” suamiku lalu berdiri dan merogoh kantung kemeja, membayar makanan dan minuman yang kami santap.
Aku menghela nafas, hmmm... rasanya aku akan mengalami lagi hal-hal seperti ini di masa mendatang. Ku bangkit berdiri berjalan menuju kearah losmen bersama suamiku.
2009
Sontak tersentak aku dari lamunanku. Getaran buzz dari yahoo messenger menggoyangkan layar komputer. Ah..., kutatap halaman MukaBuku (FB) dihadapanku, tulisan tersebut masih ada dilayar. “Do ghosts live in your house? Not the harmful ones.”
Yeaa...not harmful ones lah. Kututup halaman MukaBuku, kubaca pesan yang tertulis di YM dari salah satu sahabatku,
“ woi! Sudah nonton Ju On yang terakhir?”
Kubalas pesan tersebut dengan pertanyaan “yang mana? Ju-on: Shiroi Roujo atau Ju-on: Kuroi Shoujo?”
“Dua-duanya. Sudah lihat belum?”
“Belum! Bagaimana? Seru nggak? tanyaku lagi
“Ya mana gue tahu, justru gua nanya elo dulu. Kalau elo bilang jelek baru gue tonton, kalau elo bilang bagus, gue ogah nonton” jawab sahabatku dengan menampilkan emoticon nyengir kuda.
“Halah! Semprul! Elo kira gue ini barometer film horror yeee?” jawabku gondok.
Lah kan elo yang sering nonton film horror buat relaksasi. Dari seluruh teman yang gue kenal, cuman elo yang bisa tidur ngorok sambil nonton film horror” sanggah temanku dengan emoticon meleletkan lidah.
“Sudah ah, sudah tengah malam nih. Gue ngantuk” jawabku sambil menampilkan emoticon melambaikan tangan.
“Halah kutu! Gue jadi sahabat elo sudah sejak jaman kuliah, mana pernah elo tidur jam 00:00 teng. Boong nih yee...hihihi. Ok deh, sudah jam 5 pagi disini. Gue kudu mandi, hari senin hari macet nih. Dag temannn” sahabatku melampirkan emoticon ciuman lalu terlihat tanda offline di profilenya.
Aku tersenyum sendirian, kutatap suamiku yang sudah terbaring nyenyak dengan hembusan nafas teratur. Ah indahnya tertidur dengan nyenyak, pikirku. Namun saat aku hendak “membunuh” komputer, tiba-tiba aku teringat, ada file movie “Ju-on: The Grudge” dalam komputer. Ahhh, bagaimana ya cerita film itu? Aku kok sudah lupa. Kupasang headphone di speaker komputer lalu kubuka file “Ju-on: The Grudge”. Musik pembuka filmpun bergema memenuhi kedua daun telingaku,

“Dringgggg...............
Crappy thing is coming,
The long hair is twisting around the neck
And the innocent face opens her eyes wide
Do ghosts live in your house?

Ah no, not the harmful ones
Since the harmful ghosts stay still in the movie!”

Arita-CH