Belajar di luar negeri (2)

13.04.2009.

Dear Zev, Kokiers, kokoers, pokoknya dear semua komunitas KoKi....

Senang rasanya melihat edisi 9 April 2008, dimana semua aspirasi tertampung dalam logo yang menganut asas musyawarah dan mufakat. Akhirnya terbit juga logo dari kolom yang mengayomi dan menampung “kehidupan” kita dengan segala welas asih dan dedikasi maju terus pantang mundur.

1 April 2008, hari yang kutulis sebagai hari untuk mengungkapkan tabir “kebohongan”, berlangsung dengan sukses. Kutulis kata “kebohongan” dengan tanda kutip, karena sedikit berbeda dengan kebohongan tanpa tanda kutip. Kebohongan dengan tanda kutip disini, tidak sama artinya dengan arti kebohongan menurut kamus besar bahasa Indonesia. Kebohongan dengan tanda kutip disini lebih merupakan, unspoken truth. Kebenaran yang tidak dikatakan, yang disimpan dibalik sebagian dari kebenaran lainnya. Salah satu contoh misalnya adalah pengetahuan penduduk Lugano akan keberadaan pulau Borneo. Selama ini, banyak dari penduduk Lugano (menurut survey pribadi) dicekoki oleh iklan-iklan parawisata untuk berwisata petualang di Borneo. Begitu hebatnya iklan tersebut, membuat pengetahuan dasar mereka tentang Borneo menjadi rancu. Borneo yang mereka kenal adalah suatu kawasan yang terletak di satu negara. Jadi pengetahuan mereka bukanlah Borneo yang “menampung” tiga negara, tetapi lebih condong hanya satu negara yang menampung Borneo. Dengan waktu yang sangat terbatas, kami berusaha semaksimum mungkin, mengatakan kebenaran yang tak terkatakan, di sore hari, selasa 1 April 2008.

Kembali kepada dua tokoh, yang tidak bisa kulewatkan begitu saja, pada saat aku belajar di luar negeri. Kini saatnya aku menceritakan, seorang bapak yang sederhana, hidup di tengah keramaian bunyi burung dan binatang yang lalu lalang di alam bebas.

Cerita ini sebenarnya sudah selesai kuketik sejak 8 April 2008, tetapi waktu kubaca KoKiResensi: Tino Saroengallo Bukan Okonkwo, edisi 9 April, mataku terbelalak, lho kok masalah si bapak tokoh kedua ini bisa mirip-mirip dengan masalah yang dihadapi oleh Tino Saroengallo?

Bapak ini biasa kami panggil dengan sebutan, Pang Sayen. Sayen bukanlah nama yang diberikan kedua orangtuanya, tetapi adalah nama dari anak pertamanya. Pada suku dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, saat seseorang mempunyai anak pertama, maka ia akan dipanggil dengan menggunakan nama anak pertama. Jika anak pertama bernama Sayen, maka sang ayah akan dipanggil dengan sebutan, pang (kependekkan dari Japang) atau pak Sayen, yang berarti bapaknya Sayen. Sedangkan sang ibu akan dipanggil dengan sebutan indang atau indu Sayen, yang berarti, ibunya Sayen. Nama Pang Sayen adalah Suner Sukur, lahir di Kampung Tewang Darayu, Katingan Tengah, propinsi Kalimantan Tengah. Tanggal kelahiran beliau tidak diketahui dengan pasti, hanya tempat kelahiran yang jelas terekam dalam cerita keluarga. Tepat dibawah pohon durian yang belum berbuah, saat sang ibu sedang menumbuk padi, Suner, anak bapak Sukur, lahir dengan santainya tanpa bantuan dokter yang memang belum ada.

Pertemuanku tahun ini dengan pang Sayen bukan pertemuan yang pertama. Masih terkenang “goro-goro” yang dimainkan oleh pang Sayen, saat pertama kali aku bertemu muka dengannya tahun 1992, di Jakarta. Pang Sayen dan keluarga mengunjungi Jakarta untuk bertemu dengan ayahku yang masih sepupu. Dengan menumpangi kapal laut dari Banjarmasin, pang Sayen menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Tanjung Priuk, Jakarta. Aku yang saat itu ditugaskan menjadi supir plus pemandu wisata, sempat kebingungan, menemukan mereka ditengah-tengah serbuan penumpang yang turun dari kapal laut. Sambil garuk-garuk kepala, kuingat-ingat pesan yang diwanti-wantikan oleh ayah “pokoknya kamu cari saja bapak yang berkumis, berkopiah dan berkaki telanjang tanpa alas kaki, titik.” Tengkuk ini rasanya berat, terus menerus menunduk, memelototi kaki-kaki penumpang yang beraneka macam. Akhirnya usahaku mendapatkan hasil, mataku menabrak sepasang kaki besar, lebar, tanpa alas, menyangga badan lelaki berkumis, berjenggot, beralis tebal dan berkopiah. Goro-goro mulai terjadi saat pang Sayen mulai dipelototi satpam-satpam dari berbagai jenis bangunan di Jakarta. Bukan hanya dipelototi tetapi juga dilarang masuk! Gerah dengan peraturan yang bertubi-tubi, akhirnya kubujuk pang Sayen untuk membeli sepatu. Seluruh toko sepatu, di pasar Baru Jakarta, kami sambangi tanpa pandang bulu, pokoknya beli sepatu! Tapi apa daya, standar ukuran dan model sepatu tidak mampu bersanding dengan “sepatu” alam yang lekat di kaki pang Sayen. Akhirnya kami semua menyerah, program jalan-jalan tetap dilanjutkan dengan (hanya) menatap Jakarta dari balik kaca mobil.

Tahun 2008 ini merupakan kunjunganku ke pang Sayen yang kesekian kalinya, tetapi baru sekarang, aku mulai mempelajari secara dalam, kearifan dan “daya ramal” pang Sayen, akan masa depan, masa yang akan datang, masa saat kematian menjelang.

Sengaja artikel ini kukemas dalam bentuk narasi, sebagaimana pang Sayen bakesah (bercerita) kepadaku, sambil menghabiskan entah berapa piring nasi kelapa, gelas kopi dan kelapa muda.

“Namaku Suner Sukur, biasa dipanggil dengan sebutan pang Sayen. Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang masih tetap memegang teguh adat, tradisi serta agama yang diturunkan oleh tatu hiang (nenek moyang), pada jaman Lewu Telo (kampung tiga). Jamannya Raja Buno (nenek moyang manusia) turun ke Pantai Danum Kalunen (bumi). Sewaktu aku kecil, aku mengenal agama kami dengan nama, agama helo (agama dulu), yang kemudian pada jaman merdeka, dikenal dengan nama, Kaharingan (diajukan oleh Damang J. Salilah tahun 1945, diresmikan negara tahun 1980). Bagiku, rasanya lebih nyaman dengan sebutan agama helo, apalagi bisa dikatakan kalau aku ini uluh helo (orang dulu). Agama helo telah berperan banyak dalam hidupku, dari sejak ku lahir, menikah, mempunyai anak dan tentu saja juga nanti, pada saat aku mati.

Menurutku, kematian bukan hal yang menyeramkan atau menyedihkan. Memang aku akan bersedih pada saat aku ngalingu (teringat) keluarga dan kehidupan di pantai danum kalunen (bumi), tapi, kematian adalah suatu jalan. Seperti juga kelahiran, kematian adalah jalan untuk pergi ke suatu tempat. Kematian yang kukenal adalah suatu jalan untuk buli lewu (pulang kampung) tatu hiang (nenek moyang), kampung yang makmur dan berkecukupan segalanya (lewu tatau). Nah, jadi untuk apa aku takut dan bersedih untuk pulang ke kampung halaman yang makmur dan bertemu kembali dengan nenek moyang?

Tetapi kutegaskan, memang benar ada yang kutakutkan pada saat kematian. Aku sangat takut tidak bisa buli lewu tatu hiang (pulang ke kampung nenek moyang). Aku takut jika nanti liau ku (arwahku) tetap terbenam di bawah sana, di tempatnya Raja Entai Nyahu dan Kameluh Tantan Dayu, dewa dan dewi lewu (kampung) Bukit Pasahan Raung, penguasa dunia alam kubur.

Nah, lebih dahulu akan kuceritakan pengetahuanku tentang kematian. Menurut tetek tatum (cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi), jiwa yang meninggalkan badan yang sudah mati akan menjadi liau (arwah). Liau itu lalu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah liau (arwah) yang murni. Nah, liau yang murni ini akan langsung lompat, menuju suatu tempat di dunia atas, menunggu liau bagian kedua. Liau (arwah) bagian kedua adalah liau (arwah) yang terbentuk dan melekat dengan badan, terisi oleh perbuatan badaniah semasa hidup. Nah, liau ini tidak murni seperti liau yang pertama, karena sudah campur aduk dengan perbuatan semasa hidup, dari yang baik sampai yang jelek. Liau bagian kedua ini akan masuk kedalam dunia alam kubur, menunggu saatnya pembersihan, hingga saat tiba waktunya, untuk bersatu lagi dengan liau pertama yang murni, lalu lompat ke langit yang paling atas, langsung buli lewu (pulang kampung), berjumpa lagi dengan tatu hiang (nenek moyang).

Bagian yang sangat berarti saat aku mati adalah saat liau bagian kedua dibersihkan, lalu, liau bagian pertama yang murni disatukan dengan liau bagian kedua yang sudah bersih, untuk diantar lompat ke langit ketujuh dengan menggunakan banama bulau (kapal emas) balunas tambun belum (dengan lunas kapal berbentuk ular air). Nah, jadi aku harus meyakinkan diriku, bahwa setelah penguburanku, kelak keluargaku yang masih hidup akan melakukan upacara untuk membersihkan liau, menyatukan dua bagian liau dan memberangkatkan liau dengan banama bulau (perahu emas) berlunas tambun.

Saat yang penting adalah saat keluargaku membongkar kembali kuburanku setelah beberapa waktu/tahun, membersihkan tulang-tulangku, kemudian meletakkan tulang-tulangku yang sudah bersih di peti yang baru, masuk ke dalam pambak (sebutan untuk mausoleum pada suku dayak Ngaju daerah katingan hilir hingga katingan tengah). Acara ini dinamakan acara pesta Tiwah. Suatu pesta terakhir untuk melancarkan keberangkatanku selama-lamanya.

Nah, untuk buli lewu tatu hiang (pulang ke kampung nenek moyang), aku tidak bisa pergi sendirian, manusia pun tidak bisa ikut aku mengantar, karena mereka itu masih hidup. Nah, yang bisa mengantar aku pulang adalah nenek moyangku, keturunan dari saudara-saudara Raja Buno, nenek moyang para kalunen (manusia) di bumi, yang tinggal di langit atas sana. Nenek moyangku juga yang akan mensucikan liau, melepaskan pengaruh buruk dari kehidupanku, menyatukan kedua liau dan mengantar pulang. Tapi nenek moyangku ini, mereka tinggal di langit atas, mereka tidak akan tahu bahwa aku membutuhkan mereka, kalau mereka tidak di beritahu. Oleh karena itu, pada saat tiwah, keluargaku yang masih hidup akan memberitahu dan meminta nenek moyangku, untuk membersihkan, mensucikan, menyatukan dan mengantar liau (arwah) hingga tiba tempat di tujuan. Acara tiwah itu benar-benar merupakan suatu pesta, bagi yang hidup maupun yang meninggal. Bagi yang almarhum, tiwah adalah pesta keberhasilan untuk bisa buli lewu tatu hiang di lewu tatau. Bagi yang hidup juga merupakan pesta, karena selain acara makan-makan, mereka juga berhasil melancarkan kepulangan sang almarhum, berhasil memenuhi permintaan yang sangat penting dari almarhum, permintaan yang bisa dikiaskan sebagai “pembayaran hutang” pribadi, antara yang masih hidup dan yang sudah meninggal.

Nah, kembali kuulang lagi kata-kataku, yang aku takutkan adalah tidak bisa buli lewu tatu hiang (pulang kampung nenek moyang). Aku takut jika nanti liau ku (arwahku) tetap terbenam di bawah sana, terpisah dengan bagian liauku yang lain, yang menungguku di suatu tempat di langit atas. Bagaimana nasibku? Terdiam tanpa arah dan tujuan dalam dunia alam kubur, terbenam bersama dengan pengaruh buruk dan sial kematian. Kematian seperti itulah yang kutakutkan, kematian yang dingin dan gelap.

Anak-anakku hampir semuanya adalah peladang, sama seperti aku. Pekerjaan kami adalah berladang padi, sayur-sayuran, serta berkebun rotan dan karet. Kadangkala kami pergi berburu dan menjala ikan untuk melengkapi makanan dan menutup biaya kebutuhan sampingan, seperti gula, kopi, teh, susu, baju dan lain-lainnya. Kebutuhan pangan kami mencukupi, bahkan kadang berlebih. Kami tidak pernah membeli beras, bahkan kami bisa menjual beras dengan harga murah, untuk membantu kampung tetangga yang gagal panen. Kampung kami tidak miskin, hidup kami cukup.

Generasiku dan generasi anak-anakku sudah banyak berbeda. Mereka, anak-anakku, bukanlah lagi penganut agama helu. Heh, mungkin karena mereka bukan lagi uluh helu (orang dulu) seperti aku. Generasi mereka adalah generasi yang tidak tahu lagi bagaimana caranya menganyam keba (tas punggung dari rotan), membuat pasuran (alat untuk menangkap ikan), ataupun membuat alat kebutuhan rumah tangga dari kayu. Generasi aku adalah generasi yang tidak tahu sama sekali bagaimana menggunakan telepon tangan, bagaimana menggunakan kompor, baik kompor minyak tanah maupun gas. Bahkan aku baru sekali ini melihat televisi yang bisa merangkap sebagai mesin tik (komputer laptop).

Tetapi mereka, anak-anakku, adalah anak-anak yang baik dan hormat kepada orang tua, juga kepada orang-orang yang lebih tua. Akupun juga menghormati pilihan mereka untuk tidak menganut agama helu, karena agama bagiku adalah suatu pilihan hidup. Seperti anak-anakku yang memilih agama lain, aku, istri dan orang-orang tua disekitarku juga memilih untuk tetap menganut agama helu. Untungnya aku dan istriku, sekalipun anak-anak kami tidak lagi menganut agama helu, mereka masih tetap menghormati dan menghargai tradisi uluh helu. Aku sebagai uluh helu dan penganut agama helu sadar sesadarnya bahwa, jaman sekarang bukanlah jaman helu (jaman dulu) lagi, jaman sekarang adalah jaman serba praktis. Seperti anak-anak kami yang masih dan tetap menghormati tradisi uluh helu, akupun berusaha memahami jaman sekarang, jaman serba praktis. Oleh sebab itu, aku berusaha agar kelak pelaksanaan pesta tiwahku dilakukan secara praktis, sesuai dengan jaman yang serba praktis.

Benar pesta tiwah itu tidak praktis, lamanya bisa berlangsung antara tujuh sampai tigapuluh hari, bahkan bisa lebih, biayanya pun tinggi. Masih ku ingat pesta tiwah abaku (ayahku) pada tahun 1960, kami harus mendayung jauh hingga ke kota sampit, untuk membeli kerbau dan sapi dengan biaya dan ongkos yang tinggi. Tahun ini, kudengar dari temanku yang baru saja mengadakan pesta tiwah bulan desember 2007, untuk almarhum istrinya yang meninggal 5 tahun yang lalu. Ia menghabiskan 30 juta hanya untuk membangun pambak baru (mausoleum) dan 2 sapundu (tiang kayu pengikat korban binatang), belum biaya untuk membeli kerbau, sapi, dan biaya-biaya lainnya.

Akupun kelak membutuhkan pambak baru. Sebenarnya masih ada pambak lama, tempat tulang belulang almarhum abaku (ayah) dan datu-datu (kakek nenek dahulu). Tetapi pambak tersebut sudah terlalu tua dan penuh dengan beratus-ratus tulang. Dibutuhkan pambak baru untuk tulang-tulang istri dan aku kelak.

Nah, karena jaman sekarang adalah jaman serba praktis, maka aku pikir, pesta tiwahku nanti akan menjadi “pesta yang tidak praktis” bagi anak-anakku. Harga-harga kebutuhan tiwah semakin melambung tinggi, menambah ketidakpraktisan dalam jaman serba praktis. Ketakutanku pun menjadi bertambah, bagaimana kalau “ketidakpraktisan” tiwah menjadi halangan bagi liau-liauku untuk bersatu dan lumpat buli lewu tatau? Bisa merana nanti aku di liang kubur.

Sekalipun masih ada para tetua adat dan orang-orang tua yang masih tetap berpegang dengan tata cara adat, tetapi aku tetap harus meyakinkan diriku, bahwa anak-anakku, yang masuk dalam generasi serba praktis, pasti akan melaksanakan pesta tiwah yang “tidak praktis”. Nah, maka itu, aku mulai menyiapkan diri.

Sejak tahun 2006, aku membeli tanah dan membangun pambak baru untuk aku dan istriku kelak. Pemahat dan pematung sapundu pun sudah kuhubungi, kayu–kayu tabalien (kayu besi/ulin) untuk sapundu sudah kubeli, tujuh gong, satu gendang, kangkanong (gamelan kecil) dan katambong (gendang/drum kecil) sudah siap di rumahku. Uang untuk membeli kerbau dan sapi sudah tersedia, dan tertulis dalam surat wasiat, yang dibikin di hadapan anak-anak dan penghulu (panatua) adat. Begitu juga dengan uang untuk membayar pemahat dan pisor (sebutan untuk pendoa & pemimpin upacara agama helu/kaharingan pada suku dayak Ngaju Katingan) sudah terkumpul. Semuanya tertulis dan diketahui oleh panatua adat dan keluarga besar. Setidaknya aku sudah menyiapkan sebagian besar dari upacara tiwahku, upacara yang akan memberitahu dan meminta nenek moyangku, untuk mengantar aku, pulang bersama, buli lewu tatau, buli lewu tatu hiang. Aku sudah mempersiapkan diri kami semua, anak-anakku, istri dan aku sendiri, bahwa kami uluh helu, yang penuh dengan tata cara dan adat yang “tidak praktis”, masih sanggup mengatasi jaman yang serba praktis.

Kini aku tidak takut lagi, kujalani sisa hidupku dengan tetap berladang, menjala dan menganyam. Setiap pagi pisau ku asah, untuk membelah rotan dan menganyamnya, sehingga menjadi keranjang ataupun benda lainnya. Kulewati hari demi hari dengan bekerja dan bersyukur, tanpa rasa takut dan khawatir. Kini aku siap pulang, tidak ada lagi yang kutakuti. Tugasku sekarang adalah mengisi waktu yang tersisa, dengan berbuat sesuai dengan ajaran agama helu, tetap menjadi uluh helu, sambil sekali-kali menceritakan kepada ikau (kamu - Arita), akan kesah-kesah (kisah-kisah) keluhuran tatu hiang dulu.”

Zev, Kokiers, kokoers, kutatap pang Sayen yang asyik dengan pipa yang dibuatnya sendiri. Wajah yang dihiasi dengan alis, kumis dan janggut yang memutih. Wajah uluh helu (orang dulu) yang tegar dan siap menyongsong, bukan hanya masa depan, tetapi juga masa kematian dan masa depan anak-anaknya. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam, tanpa berani membuka suara. Sekalipun kata-kata pang Sayen tidak bermaksud mengguruiku, tetapi, identitas diri pang Sayen telah mengguruiku dengan telak.

Identitas manusia terletak pada sejarah dan sumber dari sejarah tersebut. Sumber sejarah paling jauh yang dapat ditemukan, terletak pada mitos penciptaan manusia. Seseorang atau suatu komunitas menemukan akar mereka dalam mitos penciptaan manusia, menciptakan rasa kebersamaan, kekuatan, stabilitas dan rasa aman menghadapi ancaman dari pihak luar yang tidak dikenal.

Pang Sayen dan keluarga memiliki identitas, yang berasal dari masa dulu, terprojeksikan pada masa sekarang dan masa depan. Identitas yang merupakan harta berharga, yang dapat membuat pang Sayen hidup setiap hari dengan rasa damai.

Kutatap dengan sedikit rasa iri pada pang Sayen, lelaki yang damai, dengan identitas mengalir deras dalam hidupnya. Kucari-cari identitas diriku di tumpukkan buku-buku dan sela-sela dompetku yang tipis.

Kupanggil dengan keras sang identitas, “dimana kau, hai identitasku?” Sayup-sayup kudengar jawaban, dari suara yang jauh terdengar, “aku disini, terhalang oleh buku-buku dan perhitungan logikamu.”

Terima kasih setulusnya kuucapkan pada Zev, kokiers dan kokoers yang berada di seantero 166 negara, bahagia menjadi bagian dari kalian, beruntung bisa belajar dari sekian banyak pengalaman yang tertulis.

Are tabe bara (banyak salam dari)

Arita-CH

Belajar di luar negeri (1)

21.02.2009.

Awal tahun 2008, ku buka dengan perjalanan “belajar di luar negeri”, disponsori oleh museum Lugano, Swiss. Mendengar kata “luar negeri”, terutama saat mendengar negara tujuan, aku lompat-lompat kecil, tidak berani lompat besar, takut jatuh dari tangga mimpi.

Program “ke luar negeri” berhasil diputuskan dalam komite scientifik Museum Lugano Swiss tahun 2008 dimana kami berdua (suami dan aku), kolaborator ilmiah eksternal Museum Lugano Swiss, terpilih untuk “belajar” di luar negeri Swiss, mengunjungi suatu negara nun jauh letaknya dari pegunungan Alpen, negara yang harus ditempuh dengan penerbangan selama 14 jam dari kota Zurich plus transit 2 jam. Negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara, melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia, antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

“Jalan-jalan keluar negeri” ini berkaitan dalam proyek penelitian antropologi, jadi kami berdua tidak bisa terlalu “berzalan-zalan zambil berziul-ziul” (permisi Ibu Ira-Canada, pinjam istilahnya), namun demikian, saat surat jalan dan tiket diletakkan di tangan, hati kami berdua berdendang ria menyanyikan lagu yang berbeda, suamiku bernyanyi akan “serunya” keluar negeri, hatiku juga bernyanyi akan indahnya keluar negeri untuk memasuki negeri yang telah membesarkan aku dengan segala “kebijaksanaannya”.

Saat kaki kami melangkah keluar dari pintu pesawat, aroma khas mendekap hidungku, udara yang lekat dengan kelembapan merangkulku dengan segala kehangatannya, membuatku kepanasan akan rengkuhannya yang erat. Kedua bola mataku “berlari” terburu-buru, mencoba mengalahkan kaki yang kesemutan tertekuk selama beberapa belas jam. Pusat syarafku harus bergelut dengan anggota tubuhku yang enggan bersinkronisasi, masing-masing ingin saling mendahului, berpacu dengan melodi kerinduan untuk segera tiba di tempat tujuan, menambatkan cinta yang terpisah oleh jarak dan waktu.

Ditemani dengan seorang sepupu, kami bertiga menggerakkan seluruh tenaga untuk menjalani roda penelitian yang “bertempat” di propinsi Kalimantan Tengah, menyelusuri sungai Katingan yang “lahir” di kaki pegunungan Schwaner, meliuk-liuk sepanjang 650 km hingga laut Jawa.

Berhubung jatah sepanjang 650 km terpotong dengan masalah pribadi, sedangkan waktu yang “disediakan” tidak bisa diulur seperti karet, maka penelitian pun “diperpendek” menjadi 400 km.

Penelitian “sependek” 400 km kami arungi dengan mengayuh dayung secepat mungkin. Berbekal fasilitas abad ke 21, dayung digantikan oleh mesin motor Yamaha dan Mitsubitshi. Menumpangi 3 macam jenis dan ukuran perahu, menyusuri sungai Katingan, dari dermaga Kasungan hingga hulu Katingan, lalu kembali ke dermaga Kasungan untuk menumpangi mobil yang juga bermesin Mitsubitshi, menuju Palangka Raya, menaiki kapal terbang yang untungnya tidak bermesin Mitsubitshi, menuju Jakarta, langsung lanjut ke kota Zurich, masuk ke dalam kebekuan salju yang masih belum juga mencair di bulan Maret.

1 April, the april fools' day atau April Mop. Hari yang biasanya “disahkan” untuk berbohong tanpa dianggap bersalah. Tetapi bagi kami, pada tanggal 1 April 2008 lebih merupakan hari untuk mengungkapkan tabir “kebohongan”. Hari ini kami (suami dan saya) menjadi pembicara dalam konferensi “Altra Altri Asia” dengan tema “Pulau Borneo”, di Lugano.

Pertama kali slide peta pulau Borneo terpampang di layar, banyak wajah-wajah yang ternganga bingung, menatap tiga negara di pulau Borneo. Saat kami berdua menjelaskan, menerangkan, “berdakwah”, tentang pulau beserta penduduk aslinya, kembali kami melihat wajah-wajah yang penuh dengan kebingungan bercampur kekaguman. Kutatap wajah-wajah peserta dihadapanku yang terpaku menatap gambar di layar, gambar-gambar yang terekam saat penelitian sepanjang sungai Katingan, gambar-gambar yang “menculik” jiwaku kembali ke kaki pegunungan Schwaner, milir sungai Katingan.

Benakku dipenuhi oleh wajah-wajah penduduk sekitar sungai Katingan. Wajah-wajah yang menatap penuh dengan kekuatan dan semangat hidup, wajah-wajah yang berani menyambut hari esok, tanpa tahu apa yang akan terjadi pada keesokkan hari. Wajah-wajah tua yang bangga menyebutkan jumlah tahun yang telah dilalui, sebagai tanda kemenangan dalam menjalani hidup. Hidup yang kadangkala sering kuanggap sebagai beban yang panjang. Wajah yang tidak akan pernah kulupakan dan terpatri kuat dalam hatiku, wajah yang selalu membuat aku bertanya -tanya, “mampukah aku berdiri tegak seperti mereka?”

Diantara wajah-wajah tersebut, ada dua tokoh yang tidak bisa kulewatkan begitu saja dalam kehidupanku sehari-hari. Sepak terjang dan perjuangan mereka jauh di hutan belantara, menjadi contoh bagi diriku dalam menghadapi hutan belantara gedung bertingkat. Hutan kehidupan abad ke 21 yang dipenuhi dengan semak belukar intrik duniawi yang jauh dari bersahabat. Kedua tokoh ini memenuhi alam pikiranku, kupinta betara kala kembali ke belakang berjalan mundur, kala pertama kali aku bertemu dengan 2 tokoh.

05:07 dini hari.

Hari masih gelap, fajar seolah enggan menyingsing. Kami sudah terlambat 7 menit dari waktu yang dijanjikan. Kulihat tukang perahu kelotok, -perahu bermesin 2 tak berbunyi tok, tok, tok, tok-, sudah siap di dalam perahu, siap menggertak kami yang masih terantuk-antuk. Suara klotok yang menggontok, mendesak kepalaku yang belum teracuni dengan kafein, “ah seandainya ada warung kopi di tengah jalan”. Kami bertiga, Didi sepupuku, sang suami dan aku sendiri, masih terbuai di alam mimpi, terguncang-guncang dalam perahu kecil yang bernyanyi tok tok tok tok. . .

Kami memasuki sungai Samba, anak sungai Katingan, sungai yang akan membawa kami ke desa Tumbang Manggu ( cat.- berbeda dengan bahasa Indonesia, tumbang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rebah jatuh; runtuh, sedangkan tumbang dalam bahasa dayak Ngaju adalah muara. Jadi Tumbang Manggu adalah desa yang terletak di muara sungai Manggu). Tidak ada yang bisa kulihat disekitarnya saat itu, semuanya masih gelap, dingin, ditiup oleh angin sungai pagi hari, kami “tenggelam” dalam kedinginan pagi, diselimuti kehangatan bunyi mesin kelotok, tok tok tok tok.

Satu jam kemudian, matahari mulai menampakkan sinarnya dengan gagah, sekalipun masih jauh terlihat, tetapi ia menumpahkan warna biru terang jauh di ufuk cakrawala. Bentuk kehidupan mulai menampakkan diri, menyinari kami, menjanjikan harapan baru, hari yang indah untuk disongsong.

Disebelah kiri, kulihat kumpulan batang-batang kayu besar terabaikan dipinggir sungai, debit air yang rendah tidak memungkinkan bagi tongkang untuk masuk dan membawa kayu-kayu tersebut ke hilir hingga laut Jawa. Aku menghela napas, perplex, tidak tahu harus berkata apa. Dalam situasi “moderen”, paradoks tercipta diantara kebutuhan menjadi “modern” dan kebutuhan untuk melanjutkan hidup secara tradisional à la turun temurun. Televisi, majalah, iklan, memberikan contoh model akan suatu kehidupan “modern”, pada komunitas pertanian yang tidak mempunyai gambaran “pasti” akan definisi dari suatu “modernitas”. Mereka membiarkan diri mereka memasuki dunia asing, yang dikenalkan oleh orang “asing”, beradaptasi dengan dunia asing, demi orang “asing” yang datang untuk mengambil kekayaan mereka, dan kemudian pergi tanpa meninggalkan apa-apa. Aku kembali ke dalam kenyataan, kini aku berada ditengah hutan raksasa, ditengah-tengah raksasa kayu-kayu dan mesin-mesin.

06 :30

Kami tiba di desa Tumbang Manggu, dimana terletak betang Bintang Patendu. Betang umumnya diartikan sebagai rumah panjang. Dalam bahasa dayak Ngaju sering juga disebut huma hai (rumah besar). Didalam betang, hidup lebih dari satu keluarga, bahkan pada abad ke 18 bisa mencapai 20 keluarga, yang kalau ditotal jumlah manusia yang hidup dalam satu atap mencapai 200 orang.

Pembangunan betang Bintang Patendu dimulai pada tanggal 15 maret 2002, dengan maksud untuk meneruskan dan menjaga budaya dan tradisi Dayak Ngaju yang bisa dikatakan hampir hilang “dari peredaran”. Betang Bintang Patendu dibangun diatas tanah seluas 1,3 hektar, terdiri dari dua bangunan yang dihubungkan dengan satu bagian, yang dinamakan selasar/karayan, seluas 84 m2. Bangunan pertama seluas 171 m2 adalah bangunan utama, dimana terletak ruang pertemuan/balai dan kamar tempat tinggal, sedangkan bangunan kedua adalah ruang dapur dan ruang makan, seluas 135 m2.

Betang yang dibangun diatas 4 meter dari tanah, ditopang oleh 100 potong kayu besi (scie. Eusideroxylon zwageri) atau kayu tabalien (dayak Ngaju), menimbulkan kesan yang sangat kuat akan kekayaan alam dan kehidupan masa lalu, dalam konteks masa sekarang.

Kami menaiki hejan (tangga-bahasa dayak Ngaju) yang terbuat dari 1 batang pohon utuh, memasuki balai pertemuan yang bernama Balai Karungut. Seperti nama balai pertemuan, “karungut”, seperti juga pemilik betang yang adalah seorang artis, the real celebrity of Karungut. Karungut adalah sejenis pantun, yang dilagukan, diiringi dengan musik kecapi, suling dan kangkanong (semacam gambang). Tema karungut berkisar pada ekspresi perasaan manusia, keadaan alam sekitar, mitologi dan legenda/cerita rakyat. Syair-syair Karungut mengajarkan akan kebajikan dan nilai-nilai luhur budaya.

Seperti syair-syair karungut yang berbicara akan keluhuran budaya, begitu juga dengan sang pendendang Karungut, Bapak Syaer Sua. Begitu banyak hal-hal yang dapat kami pelajari dengan mengenal beliau, sekalipun dalam waktu yang singkat.

Bapak Syaer Sua lahir pada tanggal 15 mei 1952 di desa Bukit Rawi tepi sungai Kahayan, sedangkan kedua orangtuanya berasal dari Desa Tumbang Manggu. Bapak Syaer adalah seorang lelaki yang terlihat tegas, pola bicaranya lugas, tanpa tedeng aling-aling, khas orang Dayak Ngaju. Sistim bermasyarakat Dayak Ngaju adalah sistim budaya betang. Suatu betang adalah juga suatu lewu (kampung), orang-orang yang tinggal di dalam betang adalah satu keluarga yang juga berarti penduduk kampung, jadi pada jaman dahulu, suatu kampung terdiri dari satu betang yang besar dimana anggota keluarga, yang otomatis penduduk kampung, vice versa, selalu bekerja bersama-sama, bergotong royong, tanpa perlu menunggu uluran tangan dari pihak luar. Dalam budaya betang terdapat sistim egaliter, di mana kita biasa memanggil orang dengan sebutan “ikau" (-kamu- Dayak Ngaju), kepada orang yang lebih muda, seumur, bahkan yang lebih tua. Nama orang jarang diucapkan dalam percakapan, kebanyakkan menggunakan panggilan seperti Aba (ayah), Mama (paman), Mina (bibi). Bagi orang yang terbiasa dengan adat yang menggunakan sebutan “anda”, akan menganggap nada bersahabat tersebut sebagai nada ketidaksopanan.

Dibalik sikapnya yang lugas, kami merasakan ketulusan dan kebaikan hati. Ketulusannya untuk terus menurunkan dan mengembangkan tradisi yang diwarisi turun temurun dari nenek moyang, tetek tatum (cerita) yang dilantunkan sang ayah kepada anak-anaknya, diterangi oleh sinar pelita damar, mengisahkan riwayat panjang kehidupan dari masa lalu, sebagai pedoman dan contoh dalam menghadapi masa yang akan datang. Prinsip yang tertanam sejak kecil membuat Pak Syaer Sua menggunakan seluruh kemampuannya untuk membangun betang, untuk mempertahankan budaya betang.

Dalam mempertahankan dan menjalankan prinsip-prinsipnya, tidak jarang Pak Syaer menemukan kesulitan-kesulitan, di antara degradasi moral dan penilaian sepihak dari pihak luar, akan ide-ide dan cita-cita pak Syaer. Tidaklah mudah membangun sesuatu yang hampir punah, meleleh dalam gerakan globalisasi dan modernitas instant. Kehidupan terplastikkan oleh sistem instant, semuanya (harus) serba instant, serba “harus” cepat. Berbalapan dengan waktu, berusaha mengalahkan waktu, tanpa melalui proses alami. Hasil yang didapat akhirnya bersifat instant, begitu juga durasi ketahanannya bersifat instant, tidak tahan lama. Yang kesemuanya menuju pada kemiskinan moral dan material. Pak Syaer Sua harus mampu berhadapan dengan generasi yang diserbu oleh ragam instanitas dari berbagai penjuru.

Pada jaman dahulu kala, betang dibikin dan didirikan oleh orang banyak secara gotong royong. Dengan pengetahuan, peralatan yang sederhana, kesabaran dan kegigihan, mereka membangun betang dengan waktu yang lama. Pada masa kini, waktu dan gotong royong mulai punah. Teknologi modern menawarkan bantuan fasilitas dan kecepatan, tetapi tidak ada yang gratis. Pak Syaer harus memutar otaknya berkali-kali untuk bisa mewujudkan betang. Sudah tidak banyak lagi tangan-tangan yang menawarkan bantuan, dibandingkan pada jaman dulu. Secara materi, proyek Betang merupakan proyek yang jauh dari jangkauan kantong pak Syaer. Tetapi keberuntungan selalu datang dibalik kegigihan dan ketekunan, Betang Bintang Patendu dapat terwujud dengan bantuan fasilitas alat berat dari perusahaan perhutanan.

Betang Bintang Patendu berdiri dengan megah, mengingatkan dan mengajak kembali masyarakat untuk “kembali ke asal”, kembali ke budaya betang. Tetapi globalisasi masih bertengger dengan sombongnya. Pendapat-pendapat orang mulai menggerogoti kesabaran pak Syaer. Dari sebutan sebagai pemimpi hingga orang gila, sudah kenyang didengar oleh kedua telinganya, tetapi bukan kata-kata itu yang kadang kala melahirkan kekecewaan dan kemarahan. Kurangnya informasi dan pengetahuan budaya, akan asal-usul betang tersebut, membuat banyak pengunjung betang menilai “rendah” betang Bintang Patendu.

Banyak orang yang berpikiran bahwa betang hanyalah bangunan sisa dari masa purbakala, yang hanya dibangun pada jaman dahulu, begitu juga pikir mereka tentang Betang Bintang Patendu. Dari beberapa komentar-komentar di internet, banyak yang mengimajinasikan untuk menemukan betang tua, reot, “orisinil”, tidak berjendela kaca, akibat dari imajinasi “eksotis” mereka, para pengunjung, menjadi “menyesal” dengan betang Bintang Patendu. Secara tidak langsung mereka “mendakwa” bahwa betang Bintang Patendu hanyalah “betang tiruan”, betang yang telah dimodifikasi, “betang modern”. Tampaknya pengunjung lebih mudah “mendakwa” sebagai tameng dari rasa kekecewaan dan kekesalan akibat imajinasi eksotis masa lampau. Sayangnya, mereka tidak sadar, bahwa “dakwaan” mereka melahirkan kesedihan mendalam di hati Pak Syaer Sua. Pekerjaan besarnya hanya diartikan sebagai suatu bangunan baru tanpa sejarah, tanpa cerita, tanpa arti.

Tetapi Pak Syaer tidak bergeming dari pendiriannya, ia siap malahap (pekik Dayak Ngaju), mengikatkan lawung bahandang (kain merah) di kepala. Dengan sikapnya yang mamut meteng (gagah berani), ia berjalan dengan semangat isen mulang yang berarti hanya boleh pulang dengan kemenangan. Kemenangan atas janji manusia kepada Ranying (sang pencipta), untuk mengelola bumi dengan baik, dan pulang kembali ke nenek moyang di dunia atas dengan kemenangan, bahwa pantai danum kalunen (dunia) yang dipinjamkan Ranying kepada mereka, telah dikelola dengan baik.

Pak Syaer Sua kembali membangun betang kedua pada 15 September 2005, dengan bangunan utama seluas 300 m2, bangunan dapur seluas 96 m2 , dihubungkan oleh pelataran (selasar/kerayan) seluas 128 m2. Betang kedua ini mempunyai balai yang bernama Balai Basara, yang berarti “Balai Bicara”. Balai yang berbicara, sekalipun betang tersebut belum tuntas selesai terpaku masalah dana, tetapi kekuatan dan kegigihan akan tetap ada, sekalipun harus menahan rahang sang angkara globalisasi yang meraung kuat, mencemooh the real celebrity yang tidak dipuja, seorang Syaer Sua akan tetap meneriakkan lahap (pekik), menantang masa depan.

Saat kami sudah kembali ke Jakarta, pak Syaer Sua memberikan aku satu pertanyaan, “bagaimana pendapat kau tentang betang Bintang Patendu dan betang tua?”

Tanpa ragu-ragu aku menjawab dengan lugas,

“semuanya sangat berarti bagi aku, karena semuanya mengandung jiwa semangat nenek moyang. Kedua-duanya adalah betang, rumah nenek moyangku, rumahku juga, dan aku bangga.”

Teman..., kegigihan pak Syaer Sua membuat aku malu pada diriku sendiri, malu karena aku masih suka nelangsa bila orang mencemooh usaha kami, aku masih suka mengasihani diri sendiri, menyalahkan orang yang mencemooh usaha kami mengenalkan Indonesia.

Kini aku mulai berkaca pada tindakan pak Syaer Sua. Tidak sia-sia aku belajar “di luar negeri Swiss”, tepatnya di Indonesia, di Kalimantan Tengah. Kini aku harus “membangun balai basara” dengan lebih banyak basara (bicara) agar auchku (suaraku) dapat memecahkan batu hitam kekalahan.

Tikas toh helo doa dan tabe

Bara ikei bawi hatue

Tangis ingganti hapan tatawe

kalampangan ih gulung mangat rata itah mangkeme

Sekian dulu doa dan salam

Dari kami lelaki dan perempuan

Tangis diganti dengan tertawa

Kalampangan saja cepat agar rata kita rasakan

Karungut “Bara Kampung Hantapang Mujai ” (ciptaan J. Lampe Bulit)

Info:

Betang Bintang Patendu.

Bapak Syaer Sua

Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Senaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah

Video:


Arita-CH

Karungut Foto

06.04.2008.

Banyak berfikir, kening banyak berkerut, mungkin lebih baik kita berkarungut.
Bukan aku pandai mengarang, ku hanya ingin mengusir si bimbang.

Dengan bendera yang berkibar, kususuri sungai yang lebar.
Mengajak kami bermalam, dipinggir sungai Tumbang Samba yang dalam.
Dini hari ayam berkokok, kami menaiki perahu kelotok.
Dengan kantuk yang belum pergi, tetap menyambut matahari pagi.
Perahu melaju mengalir, sang anak kecil menatap riak air. Semilir-semilir, angin mendesir-desir.
Tiba di Tumbang Manggu, berdiri betang Bintang Patendu.
Tampak hejan terpaku, kunaiki tanpa ragu.
Memasuki balai Karungut, tampak terurut, perlengkapan alat musik untuk mangarungut.
Perut mulai bergoyang tanda belum makan, kumasuki ruang dapur mencari sesuatu untuk ditelan
Memasuki betang kedua, hati mulai nelangsa, dapur masih berbentuk kerangka
Waktu berlalu perjalanan harus berlanjut, sekalipun cerita belum lengkap terajut .
Pak Syaer Sua turun mengantar, kami harus meneruskan pekerjaan yang terlantar
Kembali ke tengah sungai, bertemu mereka yang gigih menjala.
Kuat menjala kehidupan, demi meneruskan masa depan.
Senja turun menyapa, tanda malam telah tiba.
Menutup hari, menutup kisah cerita.

Apabila ada salah dendangku, minta ampun saja beribu-ribu,
jangan tertinggal, terima dulu terima kasihku.

Arita-CH

Psyché, kupu-kupu putih, & Zhonghua

30.10.2007.

Psyché, kupu-kupu putih, dan Zhonghua (“bangsa tengah”)

Mengetahui dan mengenal budaya teman akan menambah pengetahuan dan kebijaksanaan diri untuk menghormati dan bertoleransi, di dalam dunia yang penuh dengan syak prasangka karena ketidaktahuan.

Dear Zev, para Kokier, Kokoer dan pembaca Kolom Kita, sebelumnya saya meminta ijin untuk menulis lebih panjang dari biasanya. Tulisan ini pada dasarnya berawal dari kebetulan yang tidak disengaja. Sejak tahun lalu hingga kini (dan masih belum tahu kapan selesai), saya menulis tentang kematian dan upacaranya dalam sudut pandang budaya satu suku tertentu. Secara tidak disengaja saya membaca tulisan JC tentang peringatan kematian 49 hari sang Ibunda. Oleh karena itu saya berpikir untuk berbagi pengetahuan yang sangat sedikit saya ketahui. Tulisan ini sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu sebelumnya, saya haturkan banyak terima kasih atas waktunya membaca tulisan ini.

Di bumi, kehidupan berdampingan dengan kematian. Definisi kematian secara umum adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan atau berhentinya sesuatu yang menghidupkan dalam organisme biologis. Tetapi, kepastian akan keakhiran total “seluruh kehidupan” saat kematian datang, tidak selalu dapat didefinisikan “total” dikarenakan berbagai macam kebudayaan yang mempercayai adanya kehidupan jiwa di dalam badan.

Menurut berbagai macam budaya, saat kehidupan badaniah berakhir, jiwa yang adalah energi vital kehidupan memasuki dimensi yang berbeda, yang turut mengubah sifatnya dari sebuah energi vital kehidupan menjadi energi vital dalam kehidupan yang lain. Prana (Sansekerta), Nephesh (Ibrani ), Pneuma (Yunani ), Qalbi (Arab)- adalah sesuatu yang menghidupkan manusia dan berhubungan dengan sang Pencipta, sang Pemilik, sang Tertinggi, ataupun nenek moyang, cikal bakal manusia pertama terjadi. Psyché (Yunani) dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai jiwa, suatu bagian dari manusia yang tidak bersifat jasmani, tetapi bersifat roh dan tetap hidup setelah tubuh jasmani mati. Forma kekalnya tidak terhambat oleh kegelapan dan keterbatasan "gua", di alam pikiran ini jiwa itu mudah mengakses semua pengetahuan.

Tulisan ini ingin menceritakan sedikit tentang perjalanan psyché ‘setelah’ hidup badaniah dan sikap keluarga almarhum menurut sudut pandang tradisi dari “Zhongguo” (Negara Tengah), yang dalam dialek Hokkien dikenal dengan nama Tiongkok.

Perilaku manusia terhadap kematian meliputi komponen akan pengertian, kasih sayang, dan kehilangan, yang juga refleksi diri manusia terhadap kematian. Berdasarkan komponen dasar maka diasumsikan bahwa konsep kematian adalah universal dan variasi dari sikap terhadap kematian serta acara ritualnya di seluruh dunia sangat minim adanya.

Bagaimanapun juga, pengalaman dan ekspresi manusia terhadap rasa kehilangan, dipertajam oleh konteks sosial dan budaya. Dengan adanya faktor struktur sosial dalam peristiwa kematian maka dapat dipelajari perkembangan dari suatu kebudayaan, yang menggambarkan sejarah budaya dari suatu masyarakat.

Pengalaman dan ekspresi saat menghadapi kematian sangat beragam dan “kompleks” bagi “Zhonghua” (bangsa tengah), dimana, 3 doktrin besar (San jiao) mendominasi dalam kehidupan beragama. Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme

Konfusius atau Kong Qiu hidup pada periode 551 SM - 479 SM. Ajarannya digambarkan sebagai filsafat yang menekankan pada kedamaian, hierarki dan tingkat pemerintahan. Ajaran utamanya menjelaskan 5 dasar dalam hubungan sosial, antara penguasa dan rakyat, ayah dan anak, saudara tua dengan saudara muda, suami dan istri, serta sesama teman. Pada periode dinasti Han (202 SM-220) dengan dukungan penuh dari pemerintah maka ajaran ini ditetapkan menjadi suatu ajaran yang bernama Konfusianisme -berasal dari nama Kong Qiu- dan tersebar, terutama, pada kelas sosial atas.

Taoisme merujuk pada variasi filosofis, tradisi dan konsep keagamaan Zhonghua. Taoisme mengkonsiderasikan dua elemen, agama dan filsafat, dengan penekanan terhadap kemerdekaan individual dan hubungannya dengan kekuatan hidup secara alamiah. Taoisme lebih menfokuskan cara untuk mendapatkan keharmonian secara alamiah daripada merubah lingkungan yang ada disekitarnya. Jika ada orang yang meninggal muda, bukanlah suatu nasib tetapi lebih merupakan kesalahan dari diri orang tersebut yang tidak “mengurus” tubuhnya dengan baik.

Dua karya tulis Taoisme yang menonjol adalah kitab “Dao De Jing”atau Tao Te Ching, “Kitab klasik tentang jalan kebaikan serta kekuatannya”ditulis oleh Lao Zi atau Lao-tseu dan Kitab Zhuangzi yang merupakan juga nama dari sang penulis, Zhuang Zhou / Zhuangzi (±. 370-301 SM.). Taoisme mempertajam kedudukkannya dalam jajaran agama pada abad ke 2 dengan gerakan Tianshi Dao, “jalan dewa-dewa angkasa”, yang didirikan oleh Zhang Daoling.

Buddhisme sebagai salah satu agama mayoritas Zhonghua (bangsa tengah) diperkirakan memasuki Zhongguo (“negara tengah’) dari India pada abad ke 1 dan mendominasi sejak pertengahan abad ke 4 hingga abad ke 8. Doktrin dari Buddhisme berazaskan dalam Empat Kesunyataan Mulia: (1) Hidup itu adalah penderitaan/ketidakpuasan; (2) Penderitaan akan ketidakpuasan berasal dari kenginan; (3) untuk menghilangkan penderitaan maka keinginanpun harus diakhiri sehingga terbebas dari ketidakpuasan (4) Jalan untuk menghilangkan penderitaan dengan sikap hidup yang benar, dikenal dengan nama “Jalan Mulia Berunsur Delapan”. Keadaan yang paling akhir, adalah nirvana, dimana tercapainya kedamaian, tanpa ketidakpuasan diri.

Saat kita memandang pada periode jauh kebelakang, dunia pandang Zhonghua hanya melihat batas tipis antara agama dan budaya. Sebelum periode jaman modern, kata “agama” tidak dapat diketemukan secara spesifik dalam bahasa Zhonghua tua. Untuk dapat menjelaskan agama adalah dengan menanggapi pokok umum dari budaya. Ada 2 pokok utama kosmologik dalam dunia pandang kebudayaan ini;

  1. Metafora Yin-Yang
  2. Keluarga sebagai dasar kepercayaan beragama.

Yin-Yang mengekespresikan kepercayaan alam apotropaic dimana dua kekuatan yang berlawanan berputar membuang jauh kejahatan dan pada saat yang sama mereka mencari kebaikan. Kekuatan Yin-Yang berada dalam kesatuan yang konstan dan saling mempengaruhi. Sekalipun dua kekuatan tersebut memiliki konflik dasar, kedua kekuatan tersebut juga saling melengkapi.

“Agama keluarga” adalah bentuk lain dari budaya beragama Zhonghua. Penghormatan kepada leluhur adalah kewajiban utama dalam beragama, meliputi upacara, sikap dan pemeliharaan martabat keluarga dan sosial.


Sistim religious Zhonghua bersifat polytheisme, penyembahan berbagai macam dewa untuk berbagai macam tujuan. Struktur sosial “Negara Tengah” yang awalnya berlandaskan pada masyarakat pertanian membuat mereka bergantung kepada tanah untuk menunjang kehidupan, sehingga bentuk persembahan dan pemujaan banyak dilakukan terhadap Dewa Tanah. Dalam beberapa hal, kepercayaan tradisional berkembang dari produk kehidupan pertanian, berlanjut dengan mengkombinasikan aspek-aspek yang berbeda akan keyakinan dan tradisi. Ekspresi beragama dilakukan dengan mengkombinasikan penghormatan kepada leluhur, etika Konfusian, pengabdian kepada dewa-dewa setempat, penguniversalan Zhonghua, beberapa buddhisme dan pratek upacara yang berhubungan dengan cenayang, firasat/ramalan, ilmu gaib dan takhayul. Hingga hari ini, pengaruh dari percampuran tersebut, sekalipun tidak seragam ataupun sama, banyak ditemukan pada individual dan keluarga Zhonghua dan juga pada masyarakat dan keturunan Zhonghua di Indonesia, yang masih banyak menganut kepercayaan tradisional, yaitu tradisi kepercayaan rakyat, yang merupakan sinkretisme Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme. Dalam buku “Fengshen yanyi” (pelantikan dewa-dewa), abad ke 16, tertulis peribahasa yang berbunyi “ Tiga ajaran -emas dan cinnabar (batu mineral, basque armine) Daoisme, kesucian figur-figur buddhisme, beserta pandangan kemanusiaan dan kebenaran dari konfusianisme- pada dasarnya adalah satu tradisi”. Bermula dari pendapat tentang “Trinitarian idea” maka kata “syncretism” (penyatuan aliran) digunakan dalam menggambarkan kepercayaan religius Zhonghua, dimana sering didengar kata “tiga ajaran melebur menjadi satu (San Jiao He Yi).”

Bagi Zhonghua, orang tua mempunyai peranan penting dalam keberuntungan, kesehatan dan kesuksesan hidup. Lebih jauh lagi, melakukan penghormatan mendalam kepada orang tua atau orang yang dianggap lebih tua akan memberikan berkat kepada seluruh keluarga, sebaliknya ketidakberuntungan dan malapetaka akan menimpa jika melakukan perbuatan yang menimbulkan ketidaksenangan dan kemarahan orang tua.

Menurut penulis Zhang (1993), pemujaan leluhur banyak dilakukan terutama pada jaman dinasti Shang (1600—1046 SM). Setelah periode 1100 SM hingga 256 SM pemakaian kata “pemujaan” dianggap kurang tepat. Karena pemujaan lebih dimaksudkan dalam arti “segenap hati” oleh karena itu, kata “pembaktian diri” dianggap lebih mewakili, sehingga penghormatan diberikan tidak hanya bagi mereka yang masih hidup tetapi juga untuk orangtua/leluhur yang sudah tiada. Menghormati orang tua atau orang yang lebih tua dianggap sebagai perbuatan yang bijaksana, dan menghormati mereka yang sudah meninggal merupakan perbuatan yang sangat bijaksana.

Bagi masyarakat dunia secara umum, melakukan dan menghadiri acara pemakaman merupakan tanda hormat seseorang terhadap almarhum. Hal ini juga berlaku bagi budaya Zhonghua. Dengan sedikit perbedaan konotasi, perayaan pemakaman yang dilaksanakan keluarga almarhum lebih menekankan pada“kewajiban anak untuk berbakti terhadap orang tua” (hsiao atau xiao). Sebuah sistim dimana sang anak diwajibkan untuk membantu secara ekonomi maupun moral, menyayangi, memberikan status dan martabat kepada orang tua. Diatas semua kewajiban, kewajiban yang paling utama bagi anak adalah melaksanakan acara kematian bagi orang tua secara lengkap dan terperinci (kegiatan upacara dari sejak kematian, saat penguburan hingga setelah penguburan dilakukan). Semakin besar, lengkap, rumit dan terperinci perayaan upacara kematian, prosesi dan “penggambaran” rasa berduka maka semakin terangkat status keluarga. Oleh karena itu, saat “mengantar” psyché dari orang tua maka perayaan upacara diadakan sebesar, selengkap dan serinci mungkin. Rasa berduka cita, kehilangan karena kematian, lebih merupakan urusan umum (public affair) daripada masalah pribadi. Pada saat pemakaman, anggota keluarga, seluruh teman dan para kenalan akan menyampaikan rasa duka cita serta dukungan moral bagi anggota keluarga almarhum.

Banyaknya penelitian yang menuliskan bahwa pelaksanaan upacara kematian, sebelum dan sesudah pemakaman mengandung elemen Buddhisme, Taoisme dan kepercayaan adat serta takhayul profane Zhonghua. Selama acara pemakaman, dupa dibakar, para anggota keluarga membakar uang kertas dan kertas lainnya yang bersimbolkan kebutuhan hidup secara material. Kegiatan ini dilakukan untuk menjamin tercukupnya kebutuhan hidup almarhum di “dunia baru”. Sebelum peti ditutup, selimut dan pakaian membungkus almarhum, agar tetap merasa hangat saat tiba di “dunia” lain. Prosesi pemakaman adalah prosesi yang rumit dan terperinci. Pada saat mayat disemayamkan di rumah, selembar kertas putih bertuliskan kematian dan nama almarhum diletakkan pada pintu masuk utama. Didalam rumah, disiapkan altar sementara lengkap dengan foto almarhum, serta kursi atau dalam Buddhisme dikenal dengan nama “kursi teratai”, terletak di tengah. Biasanya kursi terbuat dari kertas atau kayu berbentuk persegi panjang yang bertuliskan nama almarhum, dan merupakan tempat sementara bagi psyché. Persembahan seperti bunga, lilin, dupa, makanan dan minuman diletakkan. Para tamu akan memberikan penghormatan dan persembahan, membungkuk ke arah foto almarhum, mempersembahkan uang atau poster kepada keluarga almarhum yang bertuliskan penghormatan dan kenangan mereka. Biasanya poster untuk acara kematian berwarna putih, tetapi jika almarhum meninggal pada saat berumur lebih dari 80 tahun maka poster berwarna merah di buat untuk merayakan hidup panjang yang telah dilalui.

Kebanyakkan dari perayaan pemakaman Zhonghua juga dipenuhi dengan karangan bunga duka. Kertas yang bertuliskan kenangan atas almarhum serta nama dari para pemberi rangkaian bunga terletak di tengah rangkaian bunga yang berbentuk lingkaran. Semakin banyak karangan bunga maka semakin terlihat martabat dan status hubungan almarhum dengan pemberi karangan bunga. Begitu juga posisi peletakkan karangan bunga menggambarkan seberapa dekat hubungan almarhum dengan pemberi. Karangan bunga dari keluarga terdekat akan diletakkan sedekat mungkin dengan peti mayat, dibandingkan dengan pemberi karangan bunga yang mempunyai hubungan jauh.

Peti mayat diletakkan bersama dengan karangan bunga di dalam mobil/kereta mayat. Prosesi pemakaman biasanya dilakukan dengan mengitari tempat persemayaman, kemudian menuju komplek pemakaman. Sebelum menuju ke tempat pemakaman, rombongan akan menuju ke rumah almarhum. Pengendara mobil/kereta mayat akan menuju ke pintu depan rumah dan membuka pintu. Hal ini dilakukan agar roh-roh jahat yang masih ada di rumah almarhum dapat segera pergi meninggalkan rumah tersebut dan juga agar almarhum dapat mengetahui jalan menuju rumahnya “yang dahulu”. Setelah pemakaman, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam, yang kadang kala dilakukan di restoran yang menyediakan menu “makan malam setelah pemakaman”, dimana biasanya dihidangkan menu vegetarian.

Perayaan upacara setelah pemakaman sama penting artinya dengan upacara saat pemakaman. Dalam tradisi Zhonghua kuno, periode perkabungan berlangsung selama 7 tahun, pada masa sekarang periode berkabung berlangsung selama 49 hari. Seluruh keluarga bertemu bersama di komplek pemakaman pada hari ke 3 setelah penguburan dan melakukan pembakaran uang dan persembahan makanan. Hal ini juga dilakukan pada hari ke 7, hingga hari ke 49 setelah kematian.

Upacara hari ketujuh setelah kematian biasanya dilakukan di kuil ataupun di rumah keluarga almarhum. Menurut budaya profane Zhonghua, dipercayai bahwa pada hari ke tujuh setelah kematian, arwah almarhum akan mengunjungi rumah keluarga. Lempeng merah dengan nama lengkap almarhum diletakkan di depan rumah untuk menjamin agar arwah almarhum dapat menemukan kembali rumahnya. Perayaan upacara kematian pada hari ke 7 juga menggambarkan prinsip Buddhisme karena diyakini bahwa psyché yang berada di tempat “yang tidak pasti” mempersiapkan keberangkatannya melalui proses kematian pada setiap tujuh hari. Oleh karena itu, saatnya bagi keluarga untuk menolong agar psyché dapat “lahir kembali” dalam keadaan dan berkualitas baik. Hari ke 49 dianggap hari yang penting karena menandakan titik akhir antara kelahiran dan kematian. Pada Buddhisme, umumnya acara ini dilakukan untuk kepentingan almarhum pada waktu memasuki tingkat kelanjutan kelahiran di tanah yang suci setelah melalui kematian dengan pertolongan kasih Ēmítuó Fó/Amida/Amitābha Buddha.

Selama periode 49 hari, anggota keluarga almarhum diharuskan memakai pakaian berkabung. Anak laki-laki almarhum mengikat kain hitam pada lengan baju mereka, kain warna biru bagi cucu lelaki dan kain hijau diikatkan pada lengan baju cicit lelaki, sedangkan anggota keluarga perempuan menyematkan bunga rajutan wool berwarna pada rambut mereka. Istri dan anak perempuan almarhum mengenakan bunga rajut putih, anggota keluarga jauh menyematkan bunga rajut berwarna biru atau hijau pada rambutnya. Anggota keluarga akan meneruskan mengenang almarhum, dimana anak lelaki tertua membakar dupa dekat lempeng prasasti almarhum atau foto almarhum yang diletakkan di dalam rumah. Pada perayaan “Hari Menyapu Kuburan” yang dikenal dengan “festival Qingming/Qing Ming Jie” atau di Indonesia lebih dikenal sebagai Ceng Beng (bahasa Hokkien), para anggota keluarga mengunjungi makam almarhum. Pembersihan makam dan pembakaran uang kertas dilakukan. Qingmingjie, atau festival Qing Ming ditetapkan sebagai “Hari Menyapu Kuburan Nasional” sejak tahun 1935 di Zhongguo. Upacara ini dilakukan untuk mengenang almarhum, serta merupakan salah satu cara bagi anggota keluarga untuk memastikan bahwa almarhum tidak mengalami “kelaparan” dan terpenuhi kebutuhannya.

Perayaan upacara kematian berguna bagi tiga pihak: almarhum, keluarga almarhum dan komunitas masyarakat. Dengan perayaan ini, almarhum dapat melanjutkan perjalanannya pada kehidupan dan status yang baru; bagi keluarga almarhum upacara merupakan forum untuk mengekspresikan perasaan berduka cita serta pembaktian diri; dan bagi komunitas secara lebar merupakan kesempatan dan sarana dalam memberikan bantuan sosial dan dukungan moral.

Masyarakat Zhonghua mempercayai adanya kelangsungan hubungan antara yang sudah meninggal dengan keluarga yang masih hidup. Arwah almarhum melangsungkan kehidupannya dan keluarga yang masih hidup, bertanggung jawab dalam meneruskan perhatian kepada mereka. Tindakan ini merupakan bagian dari konsep berbakti (hsiao atau xiao). Kegagalan dalam mengurus almarhum akan mendatangkan ketidakberuntungan tidak hanya pada keluarga terdekat tetapi juga bagi seluruh anggota keluarga besar. Jika penguburan tidak dilangsungkan secara tepat dan lengkap, jika tempat pemakaman dilakukan di tempat yang tidak cocok, dan jika penghormatan serta persembahan tidak dilakukan sesuai dengan waktunya, maka Psyché berubah menjadi “hantu yang lapar” (hungry ghost), yang akan mendatangi, mengganggu, dan menimbulkan wabah pada anggota keluarga yang hidup. Untuk menghindari hal ini, keluarga akan mendatangi ahli ramal untuk menanyakan tempat yang cocok dan tanggal dari penguburan, agar almarhum dapat berisirahat di tempat yang tenang dengan tanah yang baik, menghadap ke arah yang menguntungkan.

Sekalipun ada beberapa cara dan adat yang berubah dan penyesuaian keadaan oleh para Zhonghua, imigrant Zhonghua ataupun yang berkelahiran di luar “negara tengah”, masih banyak Zhonghua yang tetap membakar dupa, uang kertas dan pakaian kertas, menjamin arwah leluhur tetap terpelihara pada kehidupan barunya.

Bagi Zhonghua, kematian dan upacara kematian pertama (premiere funeral) berasosiasikan pada ketidakberuntungan, berbeda dengan upacara kematian kedua (second funeral) yang disambut dengan kegembiraan. Mereka takut akan adanya potensi ketidakberuntungan dalam acara pemakaman. Konsekuensinya, banyak dari mereka yang memunggungi peti yang terbuka. Ketika para tamu selesai memberikan penghormatan terakhir, hadiah kecil berbentuk permen dan uang koin yang dibungkus dengan kertas putih, diberikan. Uang koin tersebut digunakan untuk membeli sesuatu yang manis, sedangkan permen harus dimakan saat itu juga, lalu kertas pembungkus dibuang sebelum mereka tiba di rumah, atau meminum teh manis sebelum memasuki rumah sebagai tanda bahwa mereka telah membuang jauh ketidakberuntungan.


Ketakutan terhadap ketidakberuntungan bagi diri sendiri ataupun bagi orang lain terilustrasikan dalam beberapa bentuk hadiah dan jenis warna yang melambangkan kematian. Contohnya, orang Zhonghua tidak akan menganggap saputangan sebagai hadiah karena benda tersebut merupakan lambang dari tangis, duka cita dan kematian. Begitu juga dengan jenis warna, warna putih melambangkan kematian, sedangkan warna merah mendatangkan keberuntungan dan keberhasilan. Hal ini juga merupakan salah satu alasan mengapa tempat persembahyangan Zhonghua (kuil, kelenteng, dll) didominasi dengan warna merah. Dalam adat kuno Zhonghua, pengantin diharuskan berpakaian warna merah, yang melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan, berlawanan dengan cara berpakaian pengantin adat lain yang menggunakan warna putih. Konsekuensinya, mengenakan pita putih pada rambut dikonsiderasikan sebagai tanda pembawa kemalangan.

Sekalipun kematian dimasukkan dalam kategori tabu atau ketidakberuntungan, ketika orang yang sudah tua meninggal dunia, mereka percaya bahwa dia tetap hidup selamanya dan keyakinan ini membawa kegembiraan. Tetapi pada saat seorang anak meninggal, orang Zhonghua percaya bahwa hal tersebut tidaklah konsisten dengan kehidupan alamiah. Ada pepatah Zhonghua yang mengatakan “rambut putih tidak mengirim pergi rambut hitam”. Ketika seorang anak meninggal maka keluarga yang ditinggalkan menganggap kematian tersebut sebagai hal yang memalukan dan mereka akan “menghukum” diri mereka sendiri, karena diyakini bahwa para dewa tidak memberkati kehidupan mereka. Jika manusia hidup berkelakuan baik maka mereka akan mempunyai umur panjang dan banyak anak. Semua anak akan panjang umur dan berhasil dalam kehidupannya. Tetapi, jika tiba-tiba salah satu anak meninggal, maka ada sesuatu yang salah. Para Dewa tidak memberkati, sehingga jika orang tua sang anak yang sudah berambut putih dan tua, tidak akan menghadiri pemakaman karena rasa malu yang besar.

Aplikasi nilai dan upacara dalam kematian ini dilaksanakan dengan berbagai macam alasan. Dalam beberapa hal sistim nilai tradisi budaya Zhonghua tertanam tidak hanya pada pelaksanaan pemakaman tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Menyelamatkan “muka” (martabat) keluarga dan “pembaktian diri terhadap orang tua” merupakan bagian dari pengertian akan nilai-nilai budaya Zhonghua yang konstan keberadaannya.

Bagaimanapun juga, beberapa pendapat memberikan alasan akan hubungan antara yang sudah meninggal dengan yang masih hidup. Banyak dari acara ritual ini dilakukan karena adanya rasa takut terhadap roh jahat dan keinginan untuk mengusir ketidakberuntungan. Mereka percaya bahwa keberuntungan dan ketidakberuntungan dalam hidup tergantung dari bagaimana mereka bersikap dan berbakti terhadap orang tua. Pendapat lain mengatakan bahwa acara perayaan kematian dilakukan bukan hanya sekedar kegiatan religius tetapi juga berguna bagi mereka untuk mempertahankan identitas Zhonghua, mekanisme untuk melestarikan budaya Zhonghua pada tanah air mereka yang “baru”.

King (1991) mencatat, bahwa masyarakat Zhonghua berdiri diatas prinsip-prinsip dari “martabat” dan “kewajiban”. Hal ini adalah konsep dari sosial budaya yang membantu untuk mengerti struktur sosial Zhonghua. Konsep sosial budaya adalah kunci pembangunan dan contoh baku bagi sikap hidup sosial sehari-hari. King menekankan bahwa sekalipun modernisasi dan budaya barat mempengaruhi negara Taiwan, Hongkong dan “negara tengah” Zhongguo itu sendiri, konsep sosial budaya tetap merupakan pola baku bagi sikap sosial Zhonghua dan struktur sosialitas.

Struktur sosial dari masyarakat Zhonghua berfokus pada garis silsilah pihak ayah (paternal lineage). Mempunyai anak lelaki pewaris keturunan adalah hal yang vital karena mereka adalah peran utama dalam ,melaksanaan pembaktian kepada nenek moyang. Mereka percaya bahwa “kekekalan” dapat dicapai jika garis silsilah keluarga diabadikan, dan hal tersebut hanya bisa disempurnakan oleh anak lelaki tertua, yang tidak hanya membawa nama marga keluarga tetapi juga melakukan upacara pada makam leluhur. Anak lelaki tertua bertanggung jawab dalam memenuhi pelaksanaan upacara, pada saat festival Qing Ming, meletakkan lempeng papan nama leluhur dan membakar dupa untuk leluhur, di dalam rumahnya. Penulisan kata “Xiong” (kakak lelaki tertua) dalam pictograph Zhonghua digambar dalam bentuk ” dimana bentuk “” berarti mulut, melambangkan tugas kewajiban anak lelaki tertua, sebagai orang yang “berbicara” mewakili keluarga.

Sangatlah tidak mungkin untuk tidak memperhitungkan prinsip beragama di dalam sikap menghadapi dan pelaksanaan upacara dalam kematian. Terlihat dengan jelas bahwa “alunan” dari Konfusianisme, Taoisme, Buddhisme dan takhayul rakyat domestik berdampingan bersama dalam tata cara menghadapi dan pelaksanaan upacara dalam kematian.

Cara peraturan khusus dalam pakaian berkabung dan posisi peletakkan karangan bunga dari anggota keluarga dan teman-teman, adalah hal yang penting dalam nilai budaya Zhonghua yang mendorong ketaatan kepada autoritas dan struktur hierarki. Hal ini juga didukung oleh Konfusius yang mempercayai kelakuan yang tepat akan mengalir secara alamiah dari struktur yang benar. Pakaian berkabung berguna untuk membedakan anggota keluarga dan kedudukkan mereka pada struktur sosial dan hubungan dekat dengan almarhum. Penempatan karangan bunga juga berfungsi sebagai lambang dari kedudukkan pemberi karangan bunga dalam struktur komunitas.

Begitupula kepercayaan akan kematian dan penerapannya, didasarkan oleh kepentingan dari gabungan keluarga dan keharmonian antar anggota keluarga, yang juga menggambarkan prinsip dari Taoisme .

Menurut tradisi buddhisme, diantaranya, kematian bukanlah sesuatu keakhiran, dimana siklus hidup berlangsung pada dunia akhirat. Oleh karena itu, pembakaran uang kertas dan barang seperti milik pribadi lebih dilihat dari sudut pandang akan “jaminan sosial” almarhum pada kehidupan yang baru.

Akan tetapi, beberapa kepercayaan Zhonghua menyatakan bahwa ritual tersebut dilaksanakan untuk menghindari “roh yang lapar”. Dalam cerita rakyat kuno dikatakan bahwa jiwa manusia mempunyai dua kekuatan, Shen dan Gui. Shen melambangkan sifat baik/positif dari almarhum, seperti cahaya dan kehangatan. Sedangkan Gui melambangkan keprimitifan dasar alamiah manusia seperti kegelapan dan kedinginan. Setelah manusia meninggal, dua kekuatan jiwa tersebut terpisah dan meninggalkan badan. Jika upacara pemakaman tidak dilakukan dengan benar maka Gui akan kembali memasuki tubuh almarhum dan menghantui anggota keluarga.

Simbol binatang dalam upacara kematian

Jade Girde-Pendant
Chinese Jade Girde-Pendant
Han Dynasty, 206-220 B.C.

Penggunaan figur binatang sebagai simbol dalam kematian banyak digunakan dalam adat Zhonghua. Diantara begitu banyak figur binatang, dua diantaranya adalah tonggeret (cicada) dan kupu-kupu.

Chinese Tongue Amulet
Chinese Tongue Amulet. Brown jade
Han Dynasty, 206-220 B.C.

Beberapa anthropolog dan arkeolog mengetahui bahwa budaya Zhonghua kuno mempercayai tonggeret sebagai symbol dari kelahiran kembali dan keabadian. Penggunaan tonggeret sebagai simbol kelahiran kembali setelah kematian, diduga terjadi pada ± tahun 500 SM -1000. “Simbol binatang sakral” ini digunakan sejak periode Han (202 SM – 220) dalam bentuk ukiran batu giok. Benda ini dikenal dengan nama yang bervariasi, yaitu “giok pemakaman” (funeral jade), “penangkal kematian” (amulets of death), “jimat lidah” (tongue amulets) atau juga dengan nama "Han yü" yang berarti “diletakkan di dalam mulut”. Benda ini diletakkan pada lidah almarhum dengan maksud untuk menarik kehidupan kembali dengan keajaiban akan kasih. Beberapa bentuk dari benda ini adalah ceper dan berukir, tetapi kebanyakkan berbentuk seperti bentuk asli tonggeret atau sedikit lebih lebar dengan detail variasi yang terperinci.

Binatang kupu-kupu sendiri mempunyai arti yang beragam, tergantung dari situasi dan tujuan pemakaiannya. Figur kupu-kupu lebih merupakan lambang yang universal dan banyak ditemukan pada budaya-budaya besar di dunia. Dalam bahasa Yunani, Psyché adalah kupu-kupu dan juga berarti roh. Psyché ialah roh manusia yang dimurnikan dengan penderitaan dan ketidakberhasilan, lalu kemudian dipersiapkan untuk menikmati kesucian dan kebenaran dari kebahagiaan. Dalam cerita Yunani kuno, tertulis kisah Psyché dan Eros dimana Psyché adalah putri yang paling cantik dari 3 anak perempuan Raja Yunani, ia mengalami ketidakberuntungan dan penderitaan tetapi pada saat kematiannya ia hidup kembali. Melalui Eros, suami Psyché yang tidak terlihat, Psyche belajar tentang cinta dan bangkit dari penderitaannya, dengan hasrat dan usaha, dia berhasil hidup kembali dan memenangkan kecantikan spritual.

Bagi para Zhonghua, kupu-kupu berwarna putih dapat ditemukan pada saat upacara kematian dimana warna putih itu sendiri merupakan lambang kematian. Proses kehidupan kupu-kupu dan transformasinya, dari larva menjadi kupu-kupu merupakan simbol dari kehidupan manusia, sejak kelahiran hingga kematian dan lalu kelahiran kembali karena kasih Ēmítuó Fó dalam kehidupan yang baru.

Dari Piramid hingga Kayon.

Didalam kehidupan semesta, poros vertical kosmologi pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, dunia bawah, bumi dan dunia atas, dimana Löffler (1968:22) mendefinisikan letak bumi di antara langit dan air, serta banyaknya lambang dengan figure binatang melata, binatang bersayap (burung) dan ikan. Ketiga bagian poros vertical tersebut dapat juga dilihat dalam bentuk rumah hingga monument kosmik. Dari bentuk Piramid di Mesir hingga Kayon atau Gunungan (pohon kosmik) dalam pertunjukkan wayang Jawa dan menara Bade dalam upacara Ngaben di Bali.

Piramid sendiri dalam definisi esoteris melambangkan poros dunia dan pencerahan. Piramid merupakan perpaduan dari berbagai bentuk: bagian dasar yang berbentuk kotak melambangkan dunia, puncaknya adalah lambang dari awal dan akhir segalanya, sedangkan lekuk/lereng yang adalah sisi segitiga menghubungkan puncak dengan dasar, melambangkan api, wahyu agung dan lipat tiga prinsip dari penciptaan yang merupakan simbol dari seluruh ciptaan. Bentuk Piramid juga dikenal dengan nama lain atau bentuk lain, yaitu Pohon kehidupan atau pohon semesta yang menggabungkan konsep semesta dunia. Dapat juga digambarkan sebagai Pohon pengetahuan, pohon kesuburan, pohon keinginan, pohon pendakian yang artinya dari bumi naik ke dunia atas atau dari bumi menurun ke dunia bawah. Pohon kehidupan berperan mempersatukan, mengatur elemen dalam setiap sistim mitologis tua.

Kepustakaan

  • Jung, M. (1998), Chinese American family therapy: A new model for clinicians
  • Kalish, R. A. and Reynolds, D.K. (1976), Death and ethnicity: A psycho-cultural study
  • Kastenbaum, R. and Aisenberg, R. (1972), The psychology of death
  • King, A.Y.C. (1991), Kuan-his and network building: A sociological interpretation
  • Klass, D. and Goss, R.E. (1998), Asian ways of grief, In Kenneth J. Doka and Joyce D. Davidson (Eds.), Living with grief: Who we are, how we grieve
  • Lee, E. (1991) , Mourning rituals in Chinese culture, In E Walsh and M. McGoldrick (Eds.), Living beyond loss: Death in the family
  • Löffler, Lorenz G (1968), Beast, bird, and fish: An essay in South-East Asian symbolism, In Folk Religion and the Worldview in the Southwestern Pacific
  • Plopper, Clifford H. (1926),Chinese Religion Seen through the Proverb
  • Rosenblatt, P.C. (1988), Grief: The social context of private feelings
  • Tanner, J.G. (1995), Death, dying, and grief in the Chinese-American culture, In J.K. Parry and A.S. Ryan (Eds.), A cross-cultural look at death, dying, and religion
  • Yang, C.K. (1961), Religion in Chinese society
  • Zhang, Z. (1993), A brief account of traditional Chinese festival customs
  • Teiser, Stephen F. (1996), The Spirits of Chinese Religion

Arita-CH