Menjadi Merdeka

23.08.2009.
Dear Zev, kokiers, kokoers, talkative readers dan silence readers, dimanapun berada…
Menjadi merdeka adalah sebuah perasaan dan keadaan yang terbebas dari suatu penjajahan. Kata “penjajahan atau kolonialisme”, yang telah ada sejak jaman klasik kuda gigit besi, bahkan masih (tetap?) ada hingga kini, jaman modern kuda berkecepatan petaflop, berhubungan erat dengan prinsip yang mengatakan “suatu tindakan kebijaksanaan yang dilakukan oleh suatu kekuatan besar untuk mengexploitasi keterbelakangan atau kelemahan dari manusia”. Kata “kebijaksanaan” disini, tentu saja timbul dan berkaitan erat dengan kepentingan penguasa kekuatan, yang seringkali berdalih, demi suatu tindakan kebaikkan yang bijaksana bagi semua orang.
Secara metafora, penjajahan dan penjajah, menjadi suatu kata sandi, simbol dari sesuatu atau seseorang yang berhubungan dengan segala kegiatan/tindakan yang melibatkan exploitasi. Perasaan terjajah ataupun menjadi penjajah adalah masalah persepsi bukan sensasi karena sensasi hanya berupa kesan sesaat. Saya sendiri masih merasa “terjajah” sekalipun hidup di dunia yang bernafaskan kemerdekaan dan menjadi warga negara di negara yang sudah merdeka.
Persepsi seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Dan faktor eksternal yang paling penting dalam membentuk suatu persepsi adalah pengalaman sejati. Pengalaman yang terjadi pada diri sendiri, yang dirasakan, dilihat, dan dipikirkan sampai judeg bin gedeg.
Pengalaman sejati yang terjadi pada diri saya membuat saya berpersepsi bahwa saya masih terjajah oleh penjajah yang dengan bersarung ayat-ayat hukum dan bersandal undang-undang dasar, menjajah hak saya sebagai seorang ibu dari seorang anak. Mungkin kokiers masih ingat dengan cerita yang pernah saya tulis di era Koki 2006 (28 dan 30 Maret 2006), bagi kokiers yang belum pernah membaca, tulisan tersebut di muat dalam dua bagian dengan judul “Alasan saya meninggalkan Indonesia” (bisa di klik disini bag 1 dan bag 2).
Hak asasi saya sebagai seorang ibu “dirampas” habis dengan dalih politik. Adanya perbedaan kewarganegaraan kedua orang tua, membuat seorang anak “diwajibkan” untuk mengikuti kewarganegaraan ayah. Penerapan pola Jus sanguinis (hak kewarganegaraan berdasarkan keturunan darah) diterapkan secara sepihak, yang tentu saja dalam pengaplikasian secara negatif dan tanpa kompromi, menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan besar untuk menjajah.
Bertahun-tahun saya mengejar hak asasi, bergulat dengan berbagai macam peraturan dan perasaan. Sekalipun talenta dan keinginan kuat dipanjatkan setinggi bintang-bintang dilangit, namun tanpa dukungan dari undang-undang hukum, tetap saja saya terkapar lemah di injak-injak oleh penjajah.
Suatu hari, saya menghubungi melalui telepon (cat: saya sudah bertempat tinggal di Swiss), konsulat negara asal dari Ayah si anak, untuk menanyakan status saya sebagai ibu dari si anak. Dengan gamblang dan pedas, saya harus mendengar kenyataan, bahwa hak ayah berlaku dominan, selama kedua negara dari kedua belah pihak mengesahkan di atas keputusan pengadilan. Jadi, jika terjadi sesuatu menimpa si Ayah, si Ibu tidak mempunyai secuilpun hak untuk mengasuh anak. Anak saya tetap (hanya) anak si Ayah (dan keluarga si Ayah) yang kudu, pokoke, wajib, ikut dan hidup, serta hanya milik si Ayah dan keluarganya, sedangkan saya, si Ibu (tetap) hanya dan cukup menerima untuk menjadi mesin penghasil anak yang baik dan berkualitas.
17 Agustus 2008, 63 tahun sudah kemerdekaan Indonesia terpahat, terbebas dari penjajahan negara lain. Seperti yang sudah-sudah, hari keramat bangsa Indonesia, yang tentu saja di rayakan di seantero Negara Kepulauan Republik Indonesia, juga dirayakan dimanapun, disetiap Kedutaan Besar Republik Indonesia berada. Saya, suami dan anak saya - yang selalu menghabiskan liburannya bersama kami - (cat: anak saya masih tinggal dengan ayahnya hingga kini) dengan semangat 45, bermobil ria selama kurang lebih 4 jam-an, menuju Bern, menghadiri perayaan yang bertuah. Siapa tahu, kunjungan pada hari keramat bangsa itu akan memberi tuah tersendiri bagi kami.
Sekalipun saya berpersepsi saya masih terjajah, namun saya menikmati perayaan tujuhbelasan tersebut. Pengalaman sejati yang saya alami saat masih kecil, saat aktif berpartisipasi dalam setiap perlombaan tujuhbelasan, membuat saya sumringah menatap anak saya melompat-lompat dalam lomba balap karung.
Persepsi saya setiap tanggal 17 Agustus adalah sebuah momen kemerdekaan. Persepsi momen kemerdekaan ala saya jaman piyik adalah, merdeka dari tidur siang yang melelahkan, dan merdeka untuk main sepanjang hari, dari pagi hingga malam menjelang. Persepsi momen kemerdekaan ala saya jaman pancaroba adalah, merdeka dari sekolah dan pekerjaan rumah. Persepsi momen kemerdekaan ala saya jaman tigapuluhan adalah, nasionalisme yang mulai menonjok-nonjok dengan keras lambung, berteriak-teriak dengan lantang menggugat, ala John F. Kennedy yang membakar pagi yang dingin di tanggal 20 januari 1961. “Ask not what your country can do for you -- ask what you can do for your country."
Sekalipun merasa masih terjajah, tetapi saya tetap melantunkan kalimat api abadi “Apa yang dapat saya lakukan untuk negara saya, untuk Ibu Pertiwi,” untuk memutar terus roda kehidupan saya. Mengutip artikel salah satu kokier, Sid, “Stop WHINING and Start ACTION!” saya menghapus sedu sedan, berlomba-lomba dengan usia, di dalam melakukan action-action.
Kembali ke perayaan tujuhbelasan yang diadakan oleh KBRI Bern. Ternyata tidak hanya lomba tarik tambang dan lompat karung yang mendominasi hari keramat tersebut. Final acara perlombaan ditutup dengan Lomba berpakaian daerah dalam mewujudkan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Frase yang dikutip dari “kakawin Sutasoma” karangan Mpu Tantular. Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.- Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran -.
Dengan membludaknya peserta yang berpakaian daerah, membuat para juri mathuk-mathuk kebingungan untuk menetapkan (hanya) satu orang juara. Dari 10 semi finalis yang lengang lengang kangkung di panggung, tersaring 5 finalis yang akhirnya menetaskan tiga orang juara satu (ketiga-tiganya ya juara satu...) dengan predikat, Putri Kebaya, Putri Tujuhbelasan dan Putri Parawisata. Putri Parawisata ini dimenangkan oleh seorang gadis manis berumur 15 tahun dari tanah Sumatera dengan berpakaian adat Batak Toba, hidup penyanyi dangdut/PDD!
(lho kok? Maaf kokiers, agak OOT (out of topic) sedikit).
Dengan selesainya perlombaan berpakaian daerah, berarti akhir dari segala macam lomba-lomba yang diadakan oleh KBRI Bern. Namun ternyata bagi saya, belum merupakan suatu final dari hari yang keramat bagi bangsa Indonesia. Momen final pada acara tujuhbelasan di KBRI Bern bagi saya tercipta dan memuncak, saat saya menerima selembar surat keputusan, keputusan yang menyatakan secara simbolis, bahwa masa penjajahan terhadap saya telah berakhir.
Sang penjajah menyerah kalah oleh raungan para pendukung Ibu Pertiwi, ibu-ibu yang meraung-raung kehilangan anak-anak mereka, karena diskriminasi politik kewarganegaraan. Si Penjajah bertekuk lutut dihadapan undang-undang yang revolusioner, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 12 TAHUN 2006, tentang kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-undang yang salah satu ayatnya berbunyi “Warga Indonesia adalah: anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan Ibu Warga Negara Indonesia (BAB II. WARGA NEGARA INDONESIA, Pasal 4d). Dengan terbitnya undang-undang ini, tentu saja saya tidak tinggal diam berpangku tangan dalam mensyukuri berkat. Dengan segera, pada tahun 2006, permohonan permintaan warga negara Indonesia untuk anak, saya ajukan. Namun, sekalipun surat permohonan tersebut saya ajukan melalui KBRI Bern, tetapi keputusan hanya berada di tangan Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Indonesia. Dapat saya bayangkan dengan jelas tumpukkan surat-surat permohonan yang ditulis oleh ibu-ibu warga negara Indonesia dari berbagai ujung kepulauan Indonesia dan ibu-ibu warga negara Indonesia sejagat raya. Membuat saya berkesimpulan bahwa saya akan menunggu dalam jangka waktu yang entah kapan terjadi. Namun, hal positif dari penantian ini adalah adanya kepastian di ujung penantian. Kepastian yang absolut diatas dasar Undang-Undang negara Republik Indonesia.
17 Agustus 2008, 63 tahun sudah kemerdekaan Indonesia terpahat, terbebas dari penjajahan negara lain. Pada hari itu, hari keramat bangsa Indonesia, tuah yang manjur dan mustajab melimpahi diri saya. Pada saat Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang kewarganegaraan Republik Indonesia atas nama anak saya, berada di atas kedua tangan ini, maka, penjajahan selama bertahun-tahun pada diri saya berakhir sudah. Saya bukan lagi hanya suatu mesin penghasil anak yang baik dan berkualitas, yang dijajah oleh penjajah yang dulu bersarung ayat-ayat hukum dan bersandal undang-undang dasar.
Saya kini adalah seorang Ibu Indonesia yang mempunyai hak yang jelas secara hukum terhadap anaknya yang kini juga adalah seorang warga negara Indonesia.
Saya kini, menjadi merdeka!
Terima Kasih Indonesia !
Dari seorang ibu dan seorang anak.
Dari dua orang warga negara Indonesia, yang sudah merdeka.
Merdeka!
Arita-CH
Previous
Next Post »