Kisah cinta Yuma dan Yuki

Di bulan November tahun 2008 yang dingin dan kelabu, Yuma menatap Yuki dengan penuh cinta, terpesona akan kegagahan dan ketampanannya. Badan Yuki yang tinggi besar, berbulu putih dan hitam menambah ketegapan posturnya yang sangat jantan. Kedua mata Yuki yang biru cerah seolah menghipnotis pandangan Yuma, mengalirkan energi cinta yang bertubi-tubi, menghangatkan kedinginan bulan November yang menggigit. Yuki membalas tatapan Yuma dengan lolongan yang panjang. Pertemuan tersebut terlalu indah untuk di lolongkan. Sepanjang apapun Yuki melolong, ia tidak mampu melukiskan kecantikkan Yuma yang anggun, berbulu pirang dan berbadan ramping.




Yuma adalah seekor Siberian Husky, dilahirkan di kota Pécs, Hungaria, pada tanggal 26 November 2004. Saat Yuma berusia 5 tahun (cat: 5 tahun Siberian Husky = 3 bulan usia kehidupan manusia. Lihat tabel umur), Yuma bertemu dengan Barbara yang akhirnya memboyong Yuma tinggal di Swiss. Di besarkan oleh Barbara yang lulusan sekolah khusus untuk mengurus binatang, membuat Yuma tumbuh dengan pesat dan sehat. Sebagai seekor Siberian Husky, Yuma sangat rajin membersihkan diri, tubuhnya bebas dari bau tak sedap serta parasit-parasit. Berbeda dengan ras lainnya yang sering merontokkan bulu berulang-ulang, hanya dua kali dalam setahun Yuma merontokkan bulunya, lalu kemudian menumbuhkan kembali bulu-bulu pirang baru yang lebih indah dan tebal. Dengan 2 lapisan bulu, - lapisan bawah yang padat dan lapisan bulu yang panjang- seekor Siberian Husky mampu bertahan pada cuaca dingin dan cuaca panas. Bulu-bulu tersebut berfungsi sebagai mantel, mampu bertahan pada suhu dingin hingga -40 C, dan pada saat musim panas, bulu-bulu Siberian Husky memantulkan panas yang dapat membuat ia bertahan pada suhu panas hingga 40 C.

Seperti layaknya Siberian Husky, Yuma selalu senang bermain, aktif bahkan hiperaktif, serta sangat dekat dengan manusia, terutama anak-anak kecil. Sifatnya yang baik, ceria bahkan manja penuh kemesraan, tidak mampu diandalkan untuk menjadi anjing penjaga. Seringkali Barbara yang harus turun tangan membela Yuma yang pasrah di grecoki oleh bocah-bocah di taman.
Yuma mulai mengalami periode akil balik saat berumur 24 tahun (cat: 24 tahun usia Siberian Husky = 2 tahun usia kehidupan manusia. Lihat tabel usia). Berbeda dengan ras lainnya yang mudah dilatih sejak dini, dari umur 0 hingga 2 tahun Siberian Husky akan sering membandel, keras kepala, dablek, enggan menuruti kata-kata perintah.
Sekalipun Barbara berteriak-teriak hingga serak-serak kering hehausan, Yuma akan tetap acuh, mengabaikan setiap kata. Apalagi Yuma paling menyukai perkerjaan “bercocok tanam”, dimana dengan rajin Yuma menggali lubang-lubang di setiap sisi, sudut, tengah halaman rumah. Barbara dengan mengumpat kesal pada Yuma akan membungkuk-bungkuk menutup lubang dengan tanah yang berserakkan dimana-mana. Biasanya, setelah puas menggali lubang, maka Yuma akan duduk manis dengan mata setengah tertutup dan telinga yang ditulikan secara manual, menatap Barbara yang mengoceh panjang lebar akan pentingnya edukasi. Behave, girl...!
Saat Yuma memasuki usia 32 tahun (cat: 4 tahun usia kehidupan manusia) masa “ndablek bin geblek” berakhir. Yuma mulai mengerti, memahami dan mematuhi kata-kata Barbara. Kecerdikkan dan kepatuhan Yuma, menyempurnakan kecantikkannya. Namun, dalam kehidupan ini, segalanya baru menjadi “benar sempurna” saat memasuki periode berpasangan. Saat Yuma berusia 32 tahun, di sore bulan November yang dingin, Barbara tiba bersama dengan Yuki yang berusia 24 tahun (2 tahun usia kehidupan manusia), seekor Siberian Husky jantan yang dilahirkan di Milano pada tanggal 15 Februari 2007.

 Dibesarkan dalam keluarga Italiano, Yuki yang kental macho ala cappucino akhirnya mampu menaklukkan hati Yuma dengan susah payah. Sekalipun wajah Yuki sangar bak jawara, tingkah lakunya masih sangat kekanak-kanakan dan selalu girang gemilang bermain dengan kanak-kanak, tanpa mengingat tingginya yang telah melewati batas tinggi anak usia 7 tahun. Sering Yuki mengacuhkan Yuma dan memilih untuk menjilati anak-anak kecil. Namun akhirnya, setelah melewati masa hidup bersama selama 5 bulan, maka pada saat terang bulan purnama, hari jum’at 13 Maret 2009, Yuki berhasil memberikan malam pertama yang tak terlupakan bagi Yuma dan bagi Yuki sendiri. Malam bulan purnama demi malam bulan purnama berlangsung seru, lolong demi lolongan kemenangan Yuki mulai membuahkan hasil. Badan Yuma mulai membesar, ke enam payudaranya mulai membengkak, siap memproduksi air susu dan sejak saat itu, 65 hari yang mendebarkan berlalu merangkak pelan.

16 Mai 2009, pukul 03:30 dini hari, Yuma mulai gelisah, air ketubannya perlahan pecah. Sesuai dengan genetik awal nenek moyang Yuma ( serigala), maka Yuma mulai sibuk menggali-gali, mempersiapkan tempat kelahiran yang hangat dan aman. Namun, berhubung Yuma melahirkan di dalam rumah berdasar lantai keramik, Yuma harus puas dengan hanya menggali kain-kain tebal yang telah dipersiapkan oleh Barbara.
Detik-detik kelahiran sangat menegangkan, tidak hanya bagi Yuma namun juga bagi Barbara dan Yuki. Yuki mulai sibuk melolong-lolong, sementara Barbara sibuk mendiamkan Yuki sambil menunggu dengan tegang perjuangan Yuma yang panjang dan lama. 

17 Mai 2009, pukul 07:00 pagi, Yuma melahirkan si jantan kecil, Anuk, dengan selamat, disusul dengan Kiro yang keluar dengan mudahnya. Barbara berteriak senang menyambut kehadiran Anuk dan Kiro, namun sayangnya kebahagiaan berganti dengan kesedihan. Yuma melahirkan bayi yang ketiga, seekor Husky betina yang sudah tidak bernafas lagi. Dengan penuh kasih, Yuma membersihkan anak ketiga yang sudah tidak bernyawa, lalu menatap Barbara dengan pasrah. Barbara mengangkat anak yang sudah tidak bernyawa dan menguburkannya di halaman depan rumah dengan tangis yang tiada henti.
Seperti serigala yang hidup berkelompok, begitu juga Siberian Husky. Saat Husky-Husky kecil tiba, Husky betina lainnya akan mendekati Husky kecil tersebut dan mengurus secara berkelompok dengan kasih seperti anaknya sendiri. Berhubung hanya ada Yuki dan Barbara, maka dengan penuh rasa ingin tahu dan sayang, Yuki mendengus lembut kepala Anuk dan Kiro. Kedua Husky kecil yang belum mampu membuka kedua matanya mencari-cari sumber hembusan, memulai memperkerjakan indera penciuman, mencoba mengenali “bau” dari papa Yuki.

Kini, Anuk dan Kiro telah berusia 5 tahun (= 3 bulan usia manusia). Mereka tumbuh besar, kuat dan gagah, mengikuti kegagahan Yuki, sang papa. Yuma yang semakin bersikap tenang dan matang, rajin mengajak Anuk dan Kiro bermain dengan bola karet. Yuma yang dibesarkan dengan ketenangan seorang wanita Swiss, mencoba mengajarkan Anuk dan Kiro untuk bersikap dan bertindak dengan tenang. Namun Yuki yang dibesarkan dalam ambiance Italiano, mulai menularkan kebiasaan “memamerkan” kekuatan fisik dan kemampuan melolong tanpa kenal waktu. Anuk dan Kiro pun belajar dengan cepat, menjatuhkan pot-pot bunga yang di tata rapi oleh Barbara, mengais air minum hingga kosong melompong yang akhirnya membuat mereka melolong-lolong kehausan. Tak henti-hentinya Anuk dan Kiro berlari-lari mengikuti Yuki yang berlari mengelilingi halaman terus menerus tanpa mengenal lelah, sementara Yuma duduk di tengah halaman, menatap keluarganya asyik bermain.


Kadangkala Yuki menggigit lembut Anuk dan Kiro saat mereka bermain bersama, namun Anuk dan Kiro masih belum bisa membedakan kapan menggigit keras dan kapan menggigit lembut, sehingga saat Anuk dan Kiro bermain berdua, seringkali mereka saling menggigit dengan keras. Saat salah satu mulai mendengking tinggi, Yuma datang memisahkan mereka yang seru bergelut, mengusir Kiro dengan halus lalu menjilat moncong Anuk yang membengkak, tergigit Kiro yang hiperaktif.
Anuk dan Kiro terbiasa makan 3 kali sehari seperti layaknya anak-anak yang membutuhkan cukup asupan untuk berkembang, sedangkan Yuma dan Yuki yang sudah memasuki masa diet, hanya makan satu kali sehari, sepiring (besar) berdua di malam hari, mereguk kebahagiaan bersama-sama. Pada saat musim panas yang lekat dan kering, Barbara sering mengajak Yuma, Yuki, Anuk dan Kiro bermain air di sungai yang terletak tak jauh dari rumah. Mereka mampu bermain satu hari penuh tanpa mengenal lelah. Tenaga mereka yang sangat kuat, - dimana mereka merupakan ras yang biasa dijadikan penarik kereta ski-, membuat Yuma dan Yuki beradu cepat menarik sepeda Barbara, mendaki jalan yang menanjak tajam, di ikuti oleh Anuk dan Kiro yang melolong panjang, meneriakkan kemenangan bagi Yuma dan Yuki, papa dan mama tercinta. Barbara tersenyum lebar di atas sepeda, menikmati angin petang di musim panas. Kehidupan terlihat sempurna, apalagi jika tidak harus menggayuh sepeda, pada jalanan yang lurus menanjak tinggi.
Ahhh... la vie est belle. Allez Yuma, Yuki,... cours!!!



Arita-CH

Do Ghosts Live in Your House? (Bagian 2)

Suatu malam di tahun 1987.
Kuberjalan ditengah malam yang buta, bermodalkan lampu senter byar pet plus sinar rembulan yang kadang ada kadang hilang tertutup awan. Kami berempat, aku dan tiga orang teman serdadu wanita, susah payah membaca peta lokasi, mencari pos-pos pemberhentian yang harus kami hampiri. Malam itu merupakan salah satu malam dari malam-malam dimana kami digembleng untuk menjadi Resimen Mahasiswa Jayakarta. Malam – malam dimana kami harus tertatih bangun untuk belajar mengenal situasi dan medan perang. Belajar untuk bisa hidup dan berjuang dalam kesengsaraan di tengah hutan tanpa bantuan siapapun, hanya mengandalkan kerjasama kelompok. Kelompok yang harus dilem erat dengan rasa percaya dan kebersamaan, agar semuanya berhasil lulus dalam menghadapi rintangan apapun.
Malam itu, sudah 3 pos yang kami kunjungi, pada setiap masing-masing pos kami harus menyampaikan berita beruntun yang tidak boleh disimpan dalam bentuk tulisan. Berita-berita tersebut merupakan berita rahasia, sehingga kami harus mengingatnya dengan tepat dan jelas, tanpa merubah satu katapun. Kini, tinggal 3 pos lagi yang harus kami kunjungi. Pos yang ke empat terletak tak jauh dari pos yang ke 3, namun untuk tiba disana kami harus melewati pemakaman umum yang terletak di ujung kampung, terpisah jauh dari peradaban manusia hidup, kami harus menyeberangi peradaban manusia mati, untuk bisa tiba ke peradaban manusia hidup.
Samar-samar bau keras kemenyan mendesak hidung kami, suara burung hantu terdengar dalam dan parau, separau tenggorokan kami yang sudah mulai kering kehabisan air. Beberapa temanku mulai merapat satu dengan lainnya, kami berjalan beriring-iringan dempet memepet seolah tidak cukup ruangan disekitar kami. Dengan menggendong ransel seberat 5 kg dan menyandang senapan Gerund buatan tahun kuda gigit besi, ditambah rasa lelah yang membengkak, aku merasa kesal terhimpit bagaikan tangkupan roti.
Tiba-tiba, suara parau burung berhantu mulai tergantikan dengan suara lengkingan tinggi, terdengar berasal dari semak belakang kuburan. Kami berempat berhenti sejenak, saling memandang satu sama lainnya. Temanku yang menjadi ketua kelompok, segera mengambil kertas perintah yang diserahkan sejak awal perjalanan oleh komandan Kompi, kertas yang berisikan perintah-perintah yang harus kami lakukan pada tempat-tempat yang telah dipilih. Dalam kertas tersebut tertulis, kami harus mencari satu kuburan yang diterangi oleh pendar sebatang lilin kecil, mematikan lilin tersebut, menabur bunga pada kuburan, membaca nama yang tertulis pada nisan, menghapalnya, lalu menyalakan sebatang lilin kecil yang baru, kemudian meneruskan perjalanan. Sebuah pekerjaan yang mudah, kecuali menghapal nama, bagiku sudah terlalu banyak yang harus dihapalkan pada satu malam yang melelahkan. Otakku mulai kelebihan beban, mengingat-ingat paragraf berita rahasia, ditambah lagi nama dari sebuah nisan, oooh!
Mau tak mau kami mulai melakukan pencarian, mencari satu makam dengan sinar dari sebatang lilin kecil, sementara itu, suara lengkingan berubah menjadi rintihan kesakitan mengiris telinga. Kami berempat berjalan cepat meneruskan pencarian, tak sabar untuk segera melewati peradaban manusia mati. Tiba-tiba mata kami terarah ke tengah-tengah komplek pemakaman, diantara deretan nisan yang berjejer tidak teratur, persis ditengah – tengah area, dibawah pohon beringin yang besar, berdiri rindang dan menantang, cahaya lilin lamat-lamat melambai-lambai ke arah mata kami berempat. Kembali kami berempat saling berpandangan satu dengan lainnya, seolah mencari-cari alasan untuk menghindari langkah yang harus kami ayunkan, langkah untuk melewati nisan demi nisan, kuburan demi kuburan untuk tiba di tengah-tengah, dibawah pohon beringin, didepan pendar lilin kecil.
Ketua kelompok kami menganggukkan kepala, tanda kami harus segera melangkah menuju tempat tersebut, dengan setengah berlari kami berjuang untuk mencapai tempat tersebut secepat mungkin. Tak henti-hentinya saya mengucapkan kata maaf berkepanjangan karena tak sempat lagi mengatur langkah untuk tidak melompati atau tidak menginjak “rumah” manusia mati. Suara parau burung hantu kembali terdengar, disambut oleh dengkingan tinggi suara yang merintih, semakin lama, suara dengkingan tersebut berubah menjadi suara tangisan lirih. Kucoba mematikan syaraf pendengaranku, seperti aku mengecilkan volume televisi saat menonton film “Shining”nya Stanley Kubrick, namun tampaknya aku tak terlalu berhasil, ku tak dapat menemukan “tombol mute” di telingaku.
Jantungku berdegup kencang, dentuman demi dentuman memompa alirah darah semakin cepat dan cepat. Tampaknya aku tidak sendirian tersiksa oleh lecutan suara yang bersambung-sambung antara suara parau dan suara lengkingan berganti-ganti dengan rintihan dan tangisan kesakitan. Kaki kami akhirnya tiba di hadapan makam yang diterangi pendaran sinar lilin. Segera kami meniup lilin tersebut dengan kencang bersama-sama, seolah meniup lilin kue ulang tahun. Bunga kutaburkan di atas makam. Ah tidak! lebih cocok jika dikatakan aku membuang cepat semua bunga-bunga beserta kantung plastiknya. Bersama-sama kami melafalkan dengan keras nama yang tertulis di nisan, menghafalnya erat-erat lalu segera kami meletakkan lilin kecil yang baru. Frekuensi suara –suara parau, dengkingan, tangisan semakin meninggi dan semakin sering kami dengar. Ditambah lagi bau kemenyan yang keras bergantian dengan wangi mawar yang mulai menohok syaraf penciuman kami.
Ketua kelompok kami tidak berhasil menyalakan lilin, tangannya yang bergetar selalu menjatuhkan lilin setiap kali dia berhasil membakarnya. Sementara kami mulai membentuk lingkaran punggung dengan punggung. Kami tidak rela membiarkan punggung kami dijawil oleh sesuatu yang tidak masuk dalam kelompok kami. Aku mulai tidak sabar dan setengah berteriak kepada ketua kelompok untuk segera menyalakan lilin tersebut dengan benar, namun rupanya bentakanku membuat ia semakin gugup dan mengalami kesulitan untuk menyalakan korek api gas, seolah-olah ada angin yang selalu meniup mati nyala api yang keluar.
Suara percikan api terdengar semakin cepat, namun tidak ada api yang mau membantu kami menyelesaikan tugas tersebut dengan cepat. Ketua kelompok mulai komat-kamit berdoa, memohon ampun dan maaf kepada nisan yang diam membisu. Beberapa temanku mulai menangis, bahkan mulai berteriak histeris memanggil-manggil ibu mereka, memohon pertolongan sesegera mungkin. Kepanikan mulai membanjiriku, melumpah ruah dalam jiwaku. Kutatap lekat ketua kelompok yang masih berjongkok komat kamit berdoa didepan nisan, lalu kuberteriak kencang untuk menyadarkan dia, untuk segera menyalakan lilin dan pergi dari tempat tersebut secepat mungkin, namun teriakanku hanya teriakan lolongan di tengah malam buta nan pekat, ketua kelompok kami terjatuh pingsan, sedangkan kedua temanku mulai meracau tak karuan, menangis-nangis di tanah, ketakutan tak terkira.
Suara parau burung hantu, suara dengkingan yang tinggi serta tangisan histeris teman-temanku memecah malam kelam. Dunia peradaban manusia mati mendadak hingar bingar dengan berbagai macam pekak jenis suara, memekakkan telinga, membuatku berpeluh keringat dingin, tertiup angin malam yang lembab. Saat aku nyaris terjatuh dalam ketidaksadaran, aku teringat kembali akan “mantera” dari ayah: tidak ada orang yang mati karena hantu, yang ada adalah banyak orang yang mati karena dihantui rasa takutnya sendiri.
Rasa panas kemarahan meradang cepat dalam diriku, mendidih menyerang otakku membabi buta, gemeletuk gigi menahan kemarahan tidak dapat kutahan lagi, aku berteriak dengan kencang, sekencang-kencangnya, lalu berlari kearah suara parau burung hantu dan suara dengkingan yang semakin tinggi dan tinggi.
AAAAAA!!! Ku ayunkan senapan Gerund buatan entah tahun berapa ke arah semak belukar. Kuteriakkan kata-kata panas mengusir pergi suara-suara tersebut, “Pergi, pergi! Kalian tidak bisa membuatku mati! Kalian tidak sama dengan aku! Dunia kalian tidak sama dengan dunia ku! Aku tidak akan membiarkan kalian memasukiku! Aku tidak akan mati ketakutan! Pergi, pergi! Jangan ganggu kami!!!” Kupukulkan senapan Gerund ke semak belukar, kuayunkan sekuat tenaga berkali-kali. Prak, prak prak! Suara semak belukar pecah terpukul hentakan senapan Gerund yang berat. Saat itulah aku mendengar suara yang lain, bukan suara parau ataupun dengkingan tinggi. Bukan hanya suara prak, prak, prak, semak belukar. Namun suara teriakan yang mengaduh, suara teriakan kesakitan seorang lelaki!
“ADUH! Hentikan, hentikan. Stopppp! Kamu bisa membunuhku!!!”
Kuhentikan ayunan senapan Gerund, kukeluarkan senter kecil dari kantung celanaku. Kusorot bayangan didepan mataku, terlihat seseorang berpangkat kopral menatap garang diriku, lalu bermunculan bayang-bayang hitam lainnya dari balik semak belukar, mendekat membentuk wujud manusia dan salah satunya,... kukenali sebagai seniorku. Aku terpana menganga, mulutku terbuka lebar. Mantera ayah memang mantera terbaik yang paling manjur!
Februari 2007
Penduduk desa tempat kami melakukan penelitian menyiapkan pesta perpisahan. Aku dan suamiku yang bertugas sebagai peneliti, menatap haru akan kebaikan hati dan keramah tamahan penduduk terhadap kami. Kesabaran mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, serta ketelatenan mereka membantu kami, - yang kadangkala terlalu bersikap alla “orang kota” -, untuk beradaptasi, membuat hutang budi yang kami tanggung semakin menggunung. Ditambah lagi pesta perpisahan yang bagi kami merupakan kemewahan yang tak terhingga, digelar dengan tulus dari penduduk desa yang sederhana.
Usai makan malam, kepala desa menyerahkan kepada kami sebuah ukiran kayu berbentuk kapal. Ukiran tersebut dibuat 10 tahun yang lalu dan biasa digunakan untuk mengobati penyakit. Dengan tidak adanya dokter yang rela bermukim di desa yang harus ditempuh berjalan kaki 2 hari 2 malam, membuat desa ini hanya mengenal “dokter” tradisional. Ada kalanya “dokter” tersebut bisa menyembuhkan penyakit, namun tidak jarang juga mendapati pasien yang sudah sekarat tidak mampu tertolong lagi. Ukiran kayu berbentuk kapal tersebut digunakan untuk “menjemput” pulang roh manusia sakit yang tersesat. Dipercayai, manusia jatuh sakit karena jiwanya yang “tersesat”. Hmmm, aku berkata dalam hati, rasa-rasanya di kota-kota besar lebih banyak orang yang mengalami penyakit ini. Orang-orang yang sengaja menyesatkan jiwanya dan jiwa orang lain, demi kepentingan pribadi.
Kami berdua menerima ukiran kayu hitam berbentuk kapal tersebut dengan senang hati, lalu mengucapkan terima kasih setulusnya. Hadiah tersebut kami bungkus dengan hati-hati dan suamiku membawa sendiri hadiah tersebut selama perjalanan. Saat kami tiba di kota yang pertama kami temui, kami mencari losmen untuk menginap semalaman. Letih dan lelah berjalan kaki serta menginap di hutan, membuat kami ingin merasakan sedikit kemewahan akan nyamannya kasur.
Dengan hati-hati suamiku meletakkan hadiah ukiran kapal di atas meja tulis, tepat di depan tempat tidur, lalu bersiap-siap untuk beristirahat. Kami berdua sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk menyantap makan malam, yang ada dalam benak kami adalah segera mencium bantal dan terlelap di alam mimpi.
Tengah terlelap dalam tidur yang dalam, tiba-tiba aku merasa kekeringan yang sangat. Tenggorokanku seolah berada diatas panas api yang membakar. Kubuka kedua belah mataku, tanganku menggapai gelas air putih yang berada pada meja kecil sebelah tempat tidur. Saat kuraih ujung gelas, ujung mata kiriku menangkap sesuatu dari arah meja tulis, tepat di depan tempat tidur. Kubalikkan badanku menatap lurus ke depan, mencoba mengatur fokus mata yang masih setengah terpejam. Dengan sinar terang bulan yang menerobos dari sela-sela lubang angin, kutangkap bayangan meja tulis dengan jelas. Diatas meja tulis tersebut, masih berdiri tegak ukiran kayu berbentuk kapal, hadiah dari penduduk desa. Tidak ada yang aneh ataupun sesuatu yang berubah, hanya saja...
Disebelah kanan meja tulis, dimana ukiran kayu berbentuk kapal berdiri tegak, suatu bayangan hitam berdiri tegak menatapku lekat. Ku buka mataku lebih lebar untuk melihat dengan jelas, seluruh indera syaraf kukerahkan untuk bisa mencerna lebih jauh lagi. Sosok hitam tersebut kini terlihat menjadi sosok seorang lelaki tua yang membawa tombak. Matanya menatap tajam, namun tidak ada kesan jahat ataupun kesan kemarahan. Dengan berpakaian celana panjang serta kemeja berlengan pendek, ia hanya berdiri diam menatapku tak terlekang. Aku menarik nafas panjang lalu menghela perlahan, kutatap balik wujud tersebut dan berkata dengan tenang,
“Pergilah. Aku tidak bisa memberikanmu apa-apa. Dunia kita berbeda dan terpisah, kau dan aku tidak bisa bersatu. Pulanglah dan beristirahatlah. Tugasmu telah selesai.”
Kutatap lekat tak bergerak, bayangan tersebut mulai mengabur dan menipis, lalu perlahan hilang. Terbawa desiran angin yang keluar dari sela-sela lubang angin. Kini dihadapanku hanyalah sebuah meja tulis dengan ukiran kayu berbentuk kapal, masih tegak berdiri. Ku teguk air putih dari gelas yang hanya kupegangi sejak tadi, lalu kembali membaringkan kepalaku. Hari-hari esok yang melelahkan masih panjang. Aku butuh tidur cukup.
Keesokan paginya, kami berdua sarapan di kedai warung tak jauh dari losmen. Suamiku terlihat segar tanda tidur yang cukup, sedangkan aku masih terkantuk-kantuk, rasanya aku masih membutuhkan 10 gelas kopi tubruk. Sambil mengunyah nasi kuning, suamiku menatapku dan bertanya akan kekantukkanku yang kental, jauh lebih kental dari kopi dihadapanku. Kukatakan sambil mengaduk-aduk kopi, kalau aku masih membutuhkan jam tidur yang panjang. Sesuatu telah memperpendek masa tidurku.
“Kenapa? Kamu mimpi buruk?” tanya suamiku.
“Ah entahlah. Mimpi atau bukan, yang pasti aku jadi tidak cukup tidur”, jawabku sambil memesan satu lagi kopi tubruk.
“Aku juga semalam bermimpi. Ah tidak, aku jadi tidak yakin apakah itu mimpi atau kenyataan” kata suamiku sambil menghabiskan nasi kuning.
“Eh? Kamu mimpi apa? Ah maksud ku, kamu melihat sesuatu? Sesuatu yang nyata tapi tidak nyata atau sesuatu yang tidak nyata tetapi nyata” sontak aku menjadi penasaran. Kutunggu ia menghabiskan kunyahan terakhir nasi kuning, lalu mencuci tangannya di dalam mangkok kaca berisikan air bening.
“Entahlah itu nyata atau tidak. Aku merasa semalam ada seseorang lelaki membawa tombak, menatap dan memperhatikan kita. Aku tidak tahu apakah aku bermimpi atau tidak, namun aku terlalu lelah untuk mencerna pandangan tersebut, akupun kembali terjatuh dalam tidur” jelas suamiku sambil melap tangannya yang basah.
Aku teringat apa yang tejadi semalam, dan tampaknya malam itu kita berdua mempunyai mimpi yang sama, ah... atau tepatnya malam itu kita berdua mengalami hal yang sama hanya saja tidak pada waktu yang bersamaan. Kami berdua sama-sama melihat wujud seorang lelaki menyandang tombak, pada malam yang sama. Kuceritakan kejadian yang kualami pada malam itu, suamiku terbelalak keheranan, lalu menghela nafas.
“Selama dia tidak mengganggu kita berdua, biarkan saja dia di alamnya. Kamu benar, alam dia dan alam kita berbeda. Biarkan dia hidup terpisah di alamnya” suamiku lalu berdiri dan merogoh kantung kemeja, membayar makanan dan minuman yang kami santap.
Aku menghela nafas, hmmm... rasanya aku akan mengalami lagi hal-hal seperti ini di masa mendatang. Ku bangkit berdiri berjalan menuju kearah losmen bersama suamiku.
2009
Sontak tersentak aku dari lamunanku. Getaran buzz dari yahoo messenger menggoyangkan layar komputer. Ah..., kutatap halaman MukaBuku (FB) dihadapanku, tulisan tersebut masih ada dilayar. “Do ghosts live in your house? Not the harmful ones.”
Yeaa...not harmful ones lah. Kututup halaman MukaBuku, kubaca pesan yang tertulis di YM dari salah satu sahabatku,
“ woi! Sudah nonton Ju On yang terakhir?”
Kubalas pesan tersebut dengan pertanyaan “yang mana? Ju-on: Shiroi Roujo atau Ju-on: Kuroi Shoujo?”
“Dua-duanya. Sudah lihat belum?”
“Belum! Bagaimana? Seru nggak? tanyaku lagi
“Ya mana gue tahu, justru gua nanya elo dulu. Kalau elo bilang jelek baru gue tonton, kalau elo bilang bagus, gue ogah nonton” jawab sahabatku dengan menampilkan emoticon nyengir kuda.
“Halah! Semprul! Elo kira gue ini barometer film horror yeee?” jawabku gondok.
Lah kan elo yang sering nonton film horror buat relaksasi. Dari seluruh teman yang gue kenal, cuman elo yang bisa tidur ngorok sambil nonton film horror” sanggah temanku dengan emoticon meleletkan lidah.
“Sudah ah, sudah tengah malam nih. Gue ngantuk” jawabku sambil menampilkan emoticon melambaikan tangan.
“Halah kutu! Gue jadi sahabat elo sudah sejak jaman kuliah, mana pernah elo tidur jam 00:00 teng. Boong nih yee...hihihi. Ok deh, sudah jam 5 pagi disini. Gue kudu mandi, hari senin hari macet nih. Dag temannn” sahabatku melampirkan emoticon ciuman lalu terlihat tanda offline di profilenya.
Aku tersenyum sendirian, kutatap suamiku yang sudah terbaring nyenyak dengan hembusan nafas teratur. Ah indahnya tertidur dengan nyenyak, pikirku. Namun saat aku hendak “membunuh” komputer, tiba-tiba aku teringat, ada file movie “Ju-on: The Grudge” dalam komputer. Ahhh, bagaimana ya cerita film itu? Aku kok sudah lupa. Kupasang headphone di speaker komputer lalu kubuka file “Ju-on: The Grudge”. Musik pembuka filmpun bergema memenuhi kedua daun telingaku,

“Dringgggg...............
Crappy thing is coming,
The long hair is twisting around the neck
And the innocent face opens her eyes wide
Do ghosts live in your house?

Ah no, not the harmful ones
Since the harmful ghosts stay still in the movie!”

Arita-CH

Do Ghosts Live in Your House? (Bagian I)

Suatu malam menjelang dini, tanpa tahu mau bikin apa, kubuka halaman kuis-kuis dari “Muka Buku” (FB). Ahaaa...satu tema kuis membuatku terbelalak penasaran, “Do ghosts live in your house?” hmmm, lumayan daripada celingak-celinguk tak bisa tidur, ku jawab pertanyaan aneh bin ajaib yang menghasilkan satu jawaban dari kuis tersebut, “Not harmful ones”.
Huuu, kesimpulannya jadi ada ghost tapi not harmful ones, maksa deh, weks! membikin aku cekikikan sendiri yang akhirnya membuat aku menerawang kembali, kembali ke masa saat aku berumur 9 tahun...
***
Usia 9 tahun
Hari itu adalah hari pertama aku resmi mendapatkan kamar pribadi. Kamar sendiri, tempat tidur sendiri, lemari sendiri, meja belajar sendiri, semuanya untuk aku sendiri dan aku sendirian...benarkah?
Malam pertama tidur sendiri, aku bahagia sekali, bisa tidur lewat dari jam 9 malam. Sekalipun masuk kamar jam 9 malam, namun aku masih bisa membaca kisah cerita Paman Gembul, Juwita dan Sirik, serta Deni Manusia Ikan tanpa takut kena semprot ibu. Dengan diterangi lampu baca 50 watt, aku mulai terkantuk-kantuk membaca lembar demi lembar hingga rasa kantuk yang keras mulai menekanku untuk menguap kuat-kuat. Gerakan rahang yang membuka lebar membuatku mengangkat wajahku, menatap lurus ke depan pintu. Perlahan kedua biji mataku mulai bekerja keras, mendefinisikan bidikan mata, mencerna dengan otak sebelah kanan yang mengirimkan transmisi untuk mengaktifkan reaksiku, menyimpulkan suatu bayangan lelaki setengah tua, tengah menatapku. Kutatap lekat bayangan tersebut, terasa ringkih tanpa wujud yang jelas. Seolah aku hanya melihat sebentuk asap berwujud lelaki setengah tua, tanpa ekspresi, tanpa rasa, tatapannya lurus memperhatikanku.
Tersentak aku mendengar bunyi pintu ditutup keras dari kamar ayah dan ibu, sekejap mataku berkedip kaget, bayangan tersebut menghilang dari pandangan nanarku. Diriku terpaku kembali menatap daun pintu yang membisu, tanpa satupun wujud bayangan. Ku tak mampu mengerti apa yang telah kulihat. Ku tutup buku, menuju tempat tidur, kalah menyerah terserang rasa kantuk yang membentang luas.
Keesokkan hari saat diriku menyantap sarapan pagi, dengan mulut penuh nasi putih, kuceritakan perihal bayangan lelaki setengah tua kepada ayah. Ayah yang asyik mengunyah hanya berkata “ya” dan “hmm” lalu balik bertanya kepadaku, adakah rasa aneh yang menggigit? Kukatakan ya dan aku tidak mampu mengerti, apakah arti dari semua itu. Ayah kembali meneruskan sarapannya dan hanya menjawab pendek, “Tidak ada apa-apa. Yang penting kamu merasa tidak terganggu dan hal tersebut tidak mengganggu, kan?” Aku mengangguk mantap, kalau ayah bilang tidak apa-apa, ya sudah memang tidak ada apa-apa.
Hari demi hari berlalu, kunikmati kebebasan mempunyai kamar sendiri. Namun kebebasan tidak selalu berarti kenikmatan, aku harus membersihkan kamarku sendiri. Menyapu dan mengepel bersih serta menggosok keras debu yang sering bandel melekat harus kulakukan, sendirian. Enggan melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh ibu, aku menyingkirkan debu-debu dan menyapunya ke kolong tempat tidur. Terlihat bersih sejauh pandangan mata menatap lurus, namun jangan pernah membungkukkan badan, kolong tempat tidurku bukanlah tempat yang nyaman untuk bersembunyi.
Suatu malam, saat aku tertidur lelap, samar-samar aku merasa tersedak sulit bernafas. Kedua mataku seolah melekat terpejam erat, hidungku tersumbat kuat. Dadaku sesak tak mampu bernafas dengan benar, sesuatu yang berat menimpaku, membuatku tak mampu bergerak. Aku masih sempat bertanya pada diriku sendiri, mimpikah aku? Atau terjagakah diriku dari tidur? Kegelapan membungkusku lekat, kucoba berteriak memanggil ibu dan ayahku, namun hanya gumaman tak teratur yang keluar dari bibir yang terkatup rapat. Kepanikan mulai menjalari diriku, matikah aku? Mampukah aku melihat matahari esok? Dengan segenap tenaga, kucoba mendudukkan diriku, melawan himpitan keras di dada, meronta-ronta berjuang melawan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa yang kulawan. Kutendang kakiku ke kanan dan ke kiri, menyapu apa saja di sekitar tempat tidur yang bisa membuatku terbangun, kedua kakiku bergerak tanpa arah, melawan dengan keras. KRINGGG!!!! kaki kananku menendang jam weker warna hijau muda, jatuh ke lantai yang dingin lalu berdering keras, suaranya yang pekak menyusup cepat ke dalam lubang telingaku, mengguncangkan syarafku untuk bereaksi, membangunkan diri dari perjuangan entah dengan apa. Aku terduduk di pinggir tempat tidur dengan peluh keringat membasahi, terheran tak mampu mencerna kejadian sebelumnya. Ada apakah dengan diriku? Beberapa waktu yang lalu aku menyangka diriku dalam ambang kematian, kini kuterduduk kelu menatap jam weker yang tergeletak pada lantai dingin. Jarum pendeknya menunjuk ke angka 3. Untuk pertama kalinya aku mengenal, apa artinya sebuah rasa takut...
Suatu pagi, ibu mengadakan sidak kebersihan di kamarku. Matanya yang tajam bagaikan rajawali, menyoroti setiap celah dan sudut, hingga kolong tempat tidur, hingga sarang berbagai macam jenis debu menumpuk indah. Mulut ibu mulai mengeluarkan suara yang lebih mirip dengan teriakan, ah bukan..., tepatnya suatu omelan di minggu pagi yang indah. Hari liburku, hari dimana aku tak usah duduk diam belajar, hari dimana aku bisa bermain sepuasnya, menjadi hari yang menyebalkan. Aku terperangkap dengan sikat dan kain pel.
“Kenapa semua bersih kecuali kolong tempat tidur?” tanya ibu yang bagiku merupakan godam hakim.
Aku menunduk menatap lantai, mencoba mencari jawaban pada sela-sela debu, namun hanya desiran angin yang menjawab perlahan, dasar anak pemalas.
“Kamu tahu kalau kamu sedang menciptakan sarang laba-laba? Huh! Satu hari laba-laba itu akan datang dalam tidurmu dan kamu akan mengalami mimpi buruk!” tambah ibu sambil memerintahkan ku untuk menyikat keras tumpukan debu di ujung kolong tempat tidur.
DEK! Kata tersebut menyeretku kembali ke pengalaman buruk beberapa malam yang lalu, saat aku merasa di ambang kematian, saat aku mengenal arti dari sebuah ketakutan. Mataku nanar, seluruh tubuhku bergetar ketakutan, mendadak tanganku bergerak cepat menyikat lantai semakin kuat, mengosok terus dan terus tanpa henti, ku tak sudi mengundang maut, ku tak sudi tersiksa karena rasa malasku. Ibu menatap terheran-heran, keanehan terjadi pada diri anaknya, dari yang pemalas menjadi seorang penyikat lantai yang gigih.
Kutatap wajah ayah di ujung meja makan sambil mencoba merangkai kata-kata pertanyaan. Haruskah kuakui kemalasanku demi sebuah jawaban? Hmmm..., akhirnya kuceritakan kejadian malam itu tanpa menyebutkan keberadaan kerajaan laba-laba di kolong tempat tidurku. Kututurkan rasa ketakutan yang mengangguku, tanpa mengakui bahwa rasa takut itu sangat menghantuiku, rasa takut yang lebih menyeramkan daripada film horror yang dibintangi oleh Suzanna, film yang kuintip dari balik kamar, saat paman asyik menonton di ruang tengah.
Seperti biasa ayah mengomentari dengan gumaman teratur, “hm dan ah”, kudesak ayah nyaris berkata panik, mempertanyakan arti dari semuanya itu.
Ayah menghela nafas lalu berkata, “dulu waktu ayah bertugas di dalam hutan, saat mengadakan patroli ataupun jalan malam, ayah selalu membawa cabai rawit dalam kantong baju. Saat bulu kuduk mulai bergidik dan ayah merasa takut dengan kesendirian, maka yang ayah lakukan adalah menggigit cabai rawit sebanyaknya, hingga rasa pedas menggantikan rasa ketakutan.”
Kutatap ayah terlongo-longo, tak percaya akan jalan keluar yang diberikan. Haruskah kuberbekal cabai rawit untuk menuju dunia mimpi? Bah!
Sejak hari itu, aku mulai melengkapi rasa penasaranku dengan mencoba mengenal lebih jauh arti dari sebuah rasa takut. Diskusi tentang dunia horor mulai kulancarkan satu demi satu dengan teman-temanku, namun kebanyakkan dari mereka menghindari kata-kata tersebut, bagaikan penyakit menular yang dapat menjangkiti dengan hanya sekali mendengar. Kutonton diam-diam film “Exorcist” yang dibintangi oleh Linda Blair. Kubayangkan bagaimana mengatasi rasa takut tersebut, namun yang kudapati hanya kedua tanganku yang menutup rapat biji mataku, aku terperangkap dengan rasa penasaran dan rasa takut.
Satu malam, setelah lelah belajar setengah hidup untuk ulangan umum, aku jatuh tertidur di meja belajar. Tidur yang nyenyak dengan dengkuran yang mirip suara binatang di rumah jagal. Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu menekan kepalaku keras menempel meja belajar. Hidungku kembali tersumbat, tenggorokanku kering tak mampu mengeluarkan erangan lirih sekalipun. Badanku terasa berat bertumpu pada meja belajar yang kecil. Aku terserang kembali dengan rasa takut yang kelam. Sekelebat kata ayah akan cabai rawit mencoba membangunkanku, namun ku tersadar tidak ada satu bijipun cabai rawit di sampingku. Tanganku mencoba menggapai sesuatu, apa saja yang bisa menyeretku keluar dari rasa takut. Namun seolah tanganku hanya melayang diudara, tanpa bisa menyentuh sesuatupun. Rasa takutku berubah menjadi rasa marah, aku tidak sudi menjadi seorang korban. Kemarahan yang sangat menohokku dengan geram, kugigit bibirku keras sekuat tenaga, kubayangkan diriku sedang melawan dengan mengigit sesuatu yang sama sekali tidak kukenal, hingga kurasakan aliran hangat disudut mulutku mengucur perlahan, mengundang rasa sakit yang tak tertahankan perihnya. Keperihan demi keperihan menusuk syarafku, membangunkan nalarku, perlahan tekanan di kepalaku mengendur, hingga hilang sama sekali, tergantikan dengan keperihan yang amat pada bibirku. Mataku membuka lebar, warna merah menganga dihadapanku. Buku belajarku sudah basah oleh darahku sendiri. Cepat aku menoleh ke arah jam weker, jarum pendeknya menunjuk ke angka 3, aku menyeringai penuh rasa kemenangan. Aku tidak akan mati hanya karena sesuatu yang aku tidak bisa lihat, sesuatu yang tidak aku kenal, kerajaan laba-laba atau apapun itu namanya, aku telah memenangkan rasa takut itu, sekalipun esok pagi aku akan kesekolah dengan bibir yang membengkak lebam.
September 1986
Huh, mimpi apa harus liburan di tengah hutan, jauh dari kota, jauh dari televisi, jauh dari peralatan elektronik, jauh dari listrik, hanya berteman dengan serangga dan binatang entah apa saja isinya, hiii...
Tak henti gerundelan demi gerundelan mengalir deras dari mulutku. Liburan panjang di kampung halaman tempat kelahiran ayah bukanlah impian seorang remaja yang sedang asyiknya tercandu radio yang menyiarkan “Catatan si Boy” dari stasiun Prambors. Ayah memutuskan untuk membawa aku kembali ke “akar”. Sejak usia 3 tahun, aku belum pernah sekalipun kembali ke kampung halaman. Kini ayah menganggap sudah saatnya aku menoleh ke asal muasal, sebelum melangkah memasuki dunia kedewasaan. Aku yang dibesarkan menjadi produk ibukota, terus bersungut-sungut menjalani jalan setapak menuju kampung ayah tercinta. Mengeluh diam-diam, tanpa daya tak mampu berontak atas kehendak ayah yang sudah tertanam dalam. Sudah hampir setengah hari kami berjalan, sejak turun dari mobil yang membawa kami dari bandara Palangkaraya ke kota terdekat. Ayah tampak asyik berbincang dengan sepupu-sepupuku yang menjemput kami, sedangkan aku berjalan perlahan dibelakang mencoba menyiratkan maksud hati, inilah akhir dunia, huaaa...!
Kami tiba di sebuah perkampungan pinggir sungai. Jalan setapak ditengah rumput yang ditebas kanan kiri terlihat bersih dan asri. Hawa panas matahari tertutup lamat-lamat oleh pohon-pohon tua yang rindang. Sekelompok anak-anak menghampiriku, beberapa seumuran dengan aku. Mereka menatapku dari ujung sepatu hingga ujung rambut, terheran-heran dengan walkman yang ada di saku jaketku. Beberapa dari mereka berbicara dalam bahasa daerah, beberapa mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, jauh lebih baik dari cara aku berbicara dengan teman-temanku yang dipenuhi dengan kosa kata “lo” dan “gue”. Terpana dengan keramahan mereka serta segarnya air kelapa muda, aku mulai mencoba beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hmm, tidak ada salahnya mencoba menikmati apa yang ada, mungkin kelak aku bisa bermain “Tarzan kota gagap masuk desa” ditempat ini.
Malam hari datang menjelang, mendadak hari pekat gelap, melebihi kegelapan pekat malam kota yang dipenuhi oleh sinar lampu listrik. Kulihat bibi-bibiku mulai menyalakan lentera satu demi satu, menerangi rumah panggung yang lumayan luas. Hari berlalu dengan cepat disini, matahari serasa enggan berlama-lama menyinari hari-hariku. Aku menghirup udara malam yang sejuk, mencoba memahami ada berapa banyak serangga malam yang bernyanyi berkesinambungan. Beberapa sepupuku mengajak untuk pergi melihat bintang-bintang di tepi sungai, di tempat dimana pohon-pohon besar tidaklah terlalu rindang menutupi pandangan mata menuju cakrawala hitam di atas. Kutengadahkan wajahku, kelap-kelip sejuta, ah seratus juta, ah bukan, bermilyar, ah mungkin lebih tepat trilyun bintang-bintang menghampar luas diatas sana. Bagaikan lampu-lampu kota yang sering kulihat dari teras restaurant di Puncak Pass, bintang-bintang tersebut jauh terang benderang, bagaikan sebuah kota yang padat penat penduduk. Rasanya ingin kembali bernyanyi lagu “bintang kecil”, tapi rasa malu sudah tidak kecil lagi, membuatku hanya mendendangkan gumaman ringan. Rasa damai yang lain mulai menyelimutiku, aku mulai mengenal rasa jatuh cinta terhadap alam.
Rasa tenang itu tiba-tiba terusik oleh satu bintang yang jauh lebih terang dari bintang lainnya. Bintang tersebut berpendar binar berwarna kuning kemerahan. Semakin lama mataku semakin terikat pada satu titik pandang, pada binaran bintang berwarna kuning kemerahan yang semakin membesar dan membesar, hingga berbentuk bundar sebesar bola kasti. Aku masih terpana memandangi bintang tersebut, tak kuhiraukan tarikan tangan sepupuku pada lengan bajuku. Hingga salah satu sepupu berteriak keras di depan telinga kiriku, teriakan yang hampir membuatku mati rasa dan tuli.
LARI!!! Hah? Lari? Kenapa harus lari? Aku masih tidak mengerti maksud dari teriakan tersebut, namun kubiarkan sepupu-sepupuku menyeret tanganku dengan kencang dan berlari bersama mereka. Kulihat lagi sekilas, bintang berwarna kuning kemerahan menjadi semakin besar membulat sebesar bola kaki, indah bagaikan bulan berwarna kuning kemerahan, bulan yang terbakar oleh api, yang mulai melayang ke kiri dan ke kanan. Perlahan rasa takut menjalar, bagaimana mungkin sebuah bintang bisa menjadi bulan? Apakah itu meteorit? Bintang yang jatuh dan terbakar karena gesekan oksigen di bumi? Tapi melihat sepupu-sepupu yang berlari tunggang langgang, aku mulai merasakan bahwa mereka ketakutan akan sesuatu yang lain. Mereka bukan takut dengan bintang yang sedang jatuh, mereka bukan takut pada meteorit. Mereka takut pada bintang itu, bintang yang semakin lama semakin dekat menuju tempat kami, bintang yang seolah-olah mengemudikan arahnya mengikuti kami, kemanapun kami lari.
Kami tiba di depan halaman rumah, satu demi satu kami menaiki tangga rumah sambil mendorong satu dengan lainnya. Pintu masuk kami buka dengan keras dan debuman bantingan pintu kayu yang berat membuat ayah dan paman melongokkan kepala mereka, bingung memperhatikan kami yang termegap-megap kehabisan nafas, meracaukan kata-kata dengan bahasa yang sama sekali tidak dimengerti. Aku yang tidak tahu menahu akan alasan kenapa kami berlari kencang, hanya bisa membelalakkan mata lalu berkata “ada bintang terbakar di depan”. Sementara salah satu sepupuku meneriakkan kata “ada hantu, ada hantu, ada hantu”, seolah-olah kata tersebut bagaikan mantra yang dia ketahui. Bibi datang dengan beberapa gelas dan sekendi air putih, sepupu-sepupuku berebutan meminum air tersebut. Aku yang sudah terlanjur haus sehabis berlari tunggang langgang, tanpa pinggir panjang segera menyambar gelas kopi ayah yang besar. Wekkk! Pahit!
Setelah diriku mampu bernafas teratur dan mencerna terpaksa rasa pahit kopi tubruk tanpa gula, kuberondong ayah dengan pertanyaan-pertanyaan, benarkah bintang berwarna kuning kemerahan adalah perwujudan dari hantu. Kenapa tidak berwujud seperti manusia yang berwajah buruk amit-amit atau berbentuk monster buas bertaring panjang, atau berbentuk seperti Linda Blair yang kesurupan? Ayah tergelak tertawa, disambangi dengan kekehan paman-pamanku. Sebuah pertanyaan dari seorang anak yang overdose menonton film horror secara diam-diam, ahh akhirnya terbuka rahasiaku.
“Itu bukan hantu. Kamu takut dengan hantu? Masak takut? Bukannya kamu sering menonton film horror? Ayah tahu kok, kenapa setiap lihat susunan video selalu berubah-ubah tempat. Siapa lagi yang menonton video tanpa mengembalikan kaset video ketempatnya?”
Argh...bodohnya aku ini, pikirku kesal sambil mengingat, lain waktu akan kukembalikan kaset video persis seperti sebelumnya.
“Hantu jangan ditakuti, karena mereka berbeda dimensi dengan kita, manusia. Dunia mereka dan dunia kita tidak sama. Yang sangat menakutkan adalah manusia, bukan hantu. Tahukah kamu kalau manusia jauh lebih jahat daripada hantu?” tanya ayah membalas pandanganku yang pasti terlihat bloon bin culun.
Hei! Manusia lebih jahat daripada hantu? Maksudnya?
“Yang kamu lihat bukanlah hantu, tetapi sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Manusia yang serakah, yang tidak beriman, yang rela mengorbankan siapapun demi memuaskan keinginan demi tercapai tujuan. Manusia bodoh, lebih bodoh daripada makhluk ciptaan manapun. Itu yang menakutkan. Manusia seperti itu sangat jauh menakutkan melebihi hantu manapun di seantero jagad dunia.” Penjelasan ayah yang panjang lebar malah membuatku semakin tidak mengerti, untunglah salah satu pamanku termasuk orang yang pelit kata, “itu adalah salah satu praktek dari orang yang menjadi dukun ilmu hitam”.
Hah ilmu hitam?! Dukun? Dukun beranak? Atau dukun-dukun yang sering kulihat dalam film-film di televisi yang dibintangi oleh Suzanna dan Barry Prima?
Kembali ayah mengetuk kepalaku dengan buku yang sedang dipegangnya. “makanya jangan kebanyakan nonton film seperti itu, hanya membodohi diri kamu dengan bayangan-bayangan buatan industri film. Lama-lama kamu bisa sakit jiwa dihantui oleh bayangan tersebut.”
Malam itu ayah memberikan kuliah dengan mata pelajaran “dunia lain”; dunia hantu dan dua dunia manusia. Dunia manusia baik dan manusia jahat. Menurut ayah dunia hantu tidak bisa memasuki dunia manusia, namun sebaliknya manusia bisa memasuki dunia hantu, lalu kemudian memanipulasi dan menggunakan hantu-hantu tersebut untuk kepentingan pribadi. Sekalipun hantu tidak bisa memasuki dunia manusia, namun dengan menggunakan media dari manusia sendiri yang sudah “menjajah” dunia hantu tersebut, maka hantu bisa mengganggu keberadaan manusia lainnya. Karena sesungguhnya bukan kekuatan hantu yang bekerja, namun kekuatan manusia. Hantu hanyalah menjadi alat, pihak yang terjajah. Manusia adalah makhluk istimewa yang bisa menjajah tidak hanya sesama manusia, namun juga mampu menjajah alam beserta isinya, termasuk hantu dan gerombolannya.
Malam itu aku mencoba mencerna semua kata-kata ayah, kembali terbayang dalam benakku, peristiwa asap yang berwujud lelaki setengah tua, malam-malam dimana aku merasa ada sesuatu yang menekanku dengan ketat, membuatku sulit bernafas. Ucapan Ayah yang terakhir membuatku perlahan memahami apa yang terjadi pada diriku, ucapan yang masih ku ingat dan kupegang hingga hari ini, ucapan ampuh bagaikan aji mantra yang sakti:
“tidak ada orang yang mati karena hantu, yang ada adalah banyak orang yang mati karena dihantui rasa takutnya sendiri, mati karena kesalahan sendiri, membiarkan rasa takut menguasai melebihi iman.” (bersambung)
Arita-CH