Aku Trauma ...


Diterjemahkan dan disadur dari buku “Il Trauma E La Cura, Un Eterno Ritorno. Saggio sopra alcune conoscenze psicologiche nella Grecica antica”, Carocci editore, Roma, 2008.

Catatan:
Kisah dibawah ini saya tulis tanpa merusak garis besar cerita dari salah satu kisah yang terdapat pada buku yang membahas tentang Trauma. Adapun yang membuat kisah ini menarik karena, diantara saksi hidup  -yang kebanyakkan berkebangsaan Italia-  yang diwawancarai oleh penulis buku “Trauma”  -yang juga berkebangsaan Italia-  adalah seorang Bapak yang 100% memiliki darah Indonesia yang mengalir deras. Kisah hidup dan trauma yang dialaminya adalah sebuah kehidupan yang mengandung sejarah. Sejarah yang menceritakan apa yang pernah terjadi di Indonesia, yang pernah terjadi pada kehidupan seorang lelaki Indonesia.
Sengaja nama saksi hidup tersebut saya rubah untuk menjaga privasi beliau.

Selamat membaca!
Arita-CH
* * *

Nama ku NN, lahir di awal tahun empatpuluhan di sebuah kampung kecil yang terletak pada pulau kecil sebelah barat Indonesia. Aku hidup dan tumbuh besar di suatu kampung yang dikelilingi oleh hutan belantara dan lekukan sungai yang meliuk panjang, menyuburkan tanaman rambat serta pohon-pohon besar yang mampu membuat sinar matahari menyerah lemah menerawangi tanah.

Setiap pagi, aku mengayuh dayung selama 2 jam, membawa sampan melaju ke desa tempat dimana aku belajar membaca dan menulis. Saat petang menjelang, aku selalu menghabiskan waktu dengan bermain dan berenang di sungai, melepaskan lelah dan bercanda dengan teman dan alam.
Setelah aku tamat sekolah menengah pertama, aku memutuskan untuk mendayung “sampan” kehidupan” lebih jauh dari biasanya, meninggalkan kampung, sungai dan hutan, meninggalkan pulau kecil, menyeberangi laut Jawa, menimba pengalaman di sebuah kota besar di Pulau Jawa.

Beberapa waktu di Jakarta, suatu kesempatan “menubruk” ku, dan membawa ku ke dalam pendidikkan militer, “menjejal” dalam kehidupan serdadu. Saat itu tahun enampuluhan.
Hanya satu tahun aku beradaptasi dalam dunia baru, suatu tugas datang menghampiri ku, memberikan satu kehormatan tersendiri. Aku ditugaskan untuk bekerja di Istana, menjadi penjaga Presiden Soekarno, orang yang sangat aku hormati.

Trauma I
Dari pagi hingga malam hari, kuhabiskan waktu hanya dalam dunia ku, dunia militer. Tinggal di barak, menunggu tiupan peluit dari komandan untuk memulai hari, mengikuti melodi yang diteriakkan saat berlari mengelilingi komplek, menunggu perintah untuk melewati hari, menunggu saatnya duduk tegak di meja makan, menunggu perintah untuk memegang sendok, perintah untuk memulai menyantap makanan, lalu akhirnya mendengarkan sirene tanda hari telah berakhir. Hari-hari di dunia militer.

Hari itu saat sholat jum’at, aku berdiri tegap siap sedia, menatap lurus ke arah Presiden Soekarno yang sedang menunaikan sholat jum’at. Kupandang punggung beliau dari kejauhan, melewati ratusan orang yang sedang bersembahyang, melakukan gerakan yang sama. Mereka duduk, lalu berdiri, lalu membungkuk lalu duduk kembali, menyembah kepada sang Khalik Maha Agung. Rasa diam menyergap, mengikuti irama gerakan yang berulang, bagaikan dendang abadi pujian agung hanya untukNya. Hingga tiba-tiba, sesuatu mendesing di atas kepala ku, sesuatu yang mengarah kepada Presiden.

Rasa kaget mengejutkan beberapa detik membuat aku terdiam beku, lalu pecahlah keheningan. Peluru panas meluncur tanpa ragu menuju sasaran. Menuju sang Presiden. Serentak hawa kalang kabut memenuhi ruangan, orang-orang berlarian panik ke berbagai penjuru, saat itu adalah untuk pertama kalinya aku melihat satu serangan. Saat pertama kali aku merasakan suatu shock! Namun, sekejap shock berlalu, kuangkat kepala mengarahkan pandangan ke segala penjuru, lalu ku sigap bergerak sesuai dengan instruksi, ku masuk ke dalam reflek seorang prajurit. Ku masuk dalam duniaku, dunia otomatis, dimana diriku hanyalah seorang prajurit dengan nomor panjang, sebagai identitasku.

Aku bukan lagi NN, kini namaku adalah deretan angka-angka ...

Trauma II
Saat ini aku berada jauh sekali dari Jakarta, ditempatkan di sebuah pulau ujung timur Indonesia. Perang antar suku berkecamuk, perintah dari atas sangat jelas dan tegas: tugas kami hanyalah mengawasi dan memastikan keamanan penduduk. Kami tidak boleh memihak suku manapun, tugas kami hanya menghentikan kekacauan dengan menembakkan peluru ke arah atas, menembak angin! Kami bahkan tidak boleh melakukan kontak fisik, tidak boleh ada pemukulan sama sekali dan perintah tersebut ditanamkan dalam-dalam di benak kami, dalam pikiran kami, dalam darah kami.

Suatu pagi yang cerah, kelompok ku sedang melakukan piket patroli. Desa tersebut terlihat sangat tenang, para lelaki pergi ke ladang, burung-burung berteriak dengan berbagai macam tonasi suara, melakonkan aktivitas kehidupan sehari-hari, pagi itu terlihat seperti pagi hari yang tenang di sebuah desa yang hijau, namun tampaknya aku keliru ...

Riuh pekak teriakan mendentang dari arah sebelah kiri ku, bersamaan dengan riuh tersebut kedua mata ku memandang nanar ke arah kanan, tampak sekumpulan manusia yang berlarian ke arah kami dengan wajah garang. Sejenak aku terpaku dengan pandangan mata yang tidak sinkron dengan pendengaran, akhirnya aku menyadari bahwa saat itu kami berada pada titik tengah sebuah pertempuran dua suku yang menyerang dari dua arah yang berlawanan, kami tepat berdiri pada sasaran dua kelompok yang berlari dengan cepat membawa tombak dan panah. Aku tidak sempat bergerak ataupun menghindari pertempuran tersebut. Saat aku menerima pukulan dari berbagai arah pada kepala aku, aku segera ingat bahwa aku memegang senjata api. Namun, saat itu jarak ku dengan kedua kelompok yang sedang dilanda marah sangat dekat sekali. Sekali lagi perintah dari komandan mengiang keras dalam telinga, “tidak boleh melakukan kontak fisik dan melukai penduduk!

Aku terdiam lemah, tak berdaya membela diri, aku mencoba untuk memberontak, namun jumlah mereka terlalu besar dibandingkan kami yang berdiri di tengah-tengah dan tak bisa mempergunakan senjata di tangan kami. Perintah dari komandan menutup mata ku, aku membiarkan diri ku menjadi sasaran pukulan dari kedua grup yang sedang berperang, grup yang hanya ingin menyerang grup lainnya, grup yang tidak bertujuan untuk menyerang kami. Kami hanyalah sekelompok manusia yang kebetulan “salah jalan” dan “salah waktu”. Rasa frustasi menyerang ku dengan kuat, namun perintah tersebut lebih kuat dari rasa sakit yang ku derita. Ku tutup kedua belah mataku, hingga saat kedua belah mata itu terbuka, kudapati diriku terbaring dalam sebuah kamar di rumah sakit, terbalut perban putih, hidung ku mencium bau darah ku yang mulai mengering ...

Hari berganti dan berlalu, diri ku mulai sembuh dari luka-luka dan melanjutkan hari-hari ku sebagai seorang prajurit seperti biasanya, seolah pertempuran tersebut tidak pernah terjadi. Sedikitpun tidak ada rasa benci terhadap suku-suku yang pernah menyerang dan memukul aku. Bukanlah salah mereka kalau aku sampai terluka, namun setiap aku menghadapi dan melihat pertempuran antar suku, aku bisa merasakan luka-luka yang telah mengering kembali meradang. Saat aku menghabiskan malam demi malam di rumah sakit, aku masih sering mendengar teriakan-teriakan peperangan, seolah peristiwa tersebut menjelma menjadi film abadi yang terputar saat malam menjelang.

Mimpi buruk pun menghantui malam demi malam, membangunkan ku dengan rasa pening yang hebat di pagi hari ...

Trauma III
Mimpi buruk sejak peristiwa penyerangan ternyata tidak berhenti pada malam hari. Kini mimpi tersebut menjadi kisah nyata di hari terang benderang. Semakin hari, semakin sering aku menjadi saksi hidup dari pertempuran, menatap mayat-mayat bergelimpangan, darah berceceran dimana-mana. Aku hidup dalam mimpi buruk yang nyata, terlalu nyata hingga membuat sensibilitas aku perlahan memudar. Dimana-mana hanya bau kematian yang tercium, dan aku mulai merasa hidup dalam udara kematian. Aku mulai berkesimpulan bahwa kematian dan aku sudah menjadi sahabat sehari-hari, membuat aku menjadi kebal dengan arti dari suatu kematian. Namun sekali lagi, aku keliru menilai diri ku. Kematian ternyata masih merupakan momok bagi ku...

Hari itu adalah hari liburan, kuhabiskan petang hari dengan bersantai di depan pantai, memandang hamparan air membuat aku rindu akan sungai di kampung halaman. Ku tatap ombak yang menggulung kencang, di kejauhan kulihat dua orang manusia sedang berenang. Reaksi pertama saat melihat mereka adalah terheran-heran menatap mereka yang berani menghadang ombak yang kuat menjerat, namun seketika kusadari, tangan mereka melambai dan samar-samar kudengar teriakan panik dari arah tersebut. Seluruh urat syarafku bereaksi cepat, kulari mencari ban serep mobil yang tergeletak di bangku belakang mobil dan dengan secepat kilat kuterjang ombak Samudra Hindia, berenang menuju ketengah gelombang.

Sambil berenang cepat, kulihat dua wanita sedang berjuang melawan arus ombak, terombang-ambing naik dan turun. Saat aku berhasil mendekati mereka, kuberikan ban tersebut kepada kedua wanita dan mulai berenang mendorong ban tersebut ke arah pantai. Tapi, semakin aku berenang keras ke arah pantai, ombak demi ombak menggulung kami dan membawa kami kembali ketengah samudra.

Semakin lama, kulihat daratan semakin menjauh dan ombak semakin tinggi menggulung kami ke tengah. Ku berjuang melawan arus deras, namun semakin keras ku melawan, pikiranku mulai berteriak bahwa ombak sedang menggulung kami menuju perut samudra, menyeret kami semakin dalam. Rasa takut menggulungku, seperti ombak yang beradu padu dengan lainnya. Di depan mataku, kembali kulihat gambaran gelimpang mayat demi mayat yang kini berwajahkan diriku dan kedua wanita, terombang-ambing di tengah samudra. Mataku mulai perih, dimana-mana hanya ada air dan air, hanya rasa garam air laut yang memenuhi kerongkonganku. Aku panik! Ku lihat diriku perlahan menghampiri sang kematian, hawa busuk mayat seolah mulai merasuki hidungku, paru-paruku mulai terbasahi oleh air asin.

Kala maut mulai menjelang, pertahanan terakhirku hanyalah doa. Ku berdoa, berteriak memohonkan pertolonganNya, menangis dalam ketakutan yang sangat. Tanpa sengaja, kedua tanganku terlepas dari ban yang mengombang-ambingkan kedua wanita tersebut. Kaki ku bergerak tanpa arah, mataku terpejam, kuserahkan kehidupanku hanya kepadaNya.

Entah berapa lama mataku terpejam, hingga tiba saat kakiku menyentuh pasir halus. Ah! Aku menyentuh daratan! Ku lihat sekumpulan orang-orang dipinggir pantai berlarian ke arah ku. Ku tengok kebelakang, dua wanita dalam ban serep mobil memandangku lemah. Kami bertiga selamat! Rasa letih tak terkira menyergapku, kurasakan kekosongan tenaga mengeringkanku.

Sejak saat itu, ku tak mampu lagi menatap bentangan air luas. Aku merasa tersesat di tengah hamparan air, suara debur ombak yang biasanya menidurkanku kini menjadi dentum genderang kematian di telingaku ...

Trauma IV
Kini aku berada di Jakarta, meneruskan sekolah militer, memasuki bagian intelijensi. Tahun ini adalah masa kegelapan di negaraku. Kehidupan politik dan kehidupan sosial bergontokkan satu dengan lainnya, menciptakan aura chaos. Saat dimana rasa saling tidak percaya merasuki dari kelas elite hingga kelas bawah, saat semua orang ketakutan dengan cap Komunis.
Tugasku saat itu adalah mencari dalang dari kerusuhan, tugas yang membuatku “melompat” dalam api bahaya. Beberapa waktu kemudian, kudengar pembunuhan kejam tujuh orang jenderal, lalu pembunuhan-pembunuhan lainnya mulai bermunculan satu demi satu. Dimana-mana hanya ada pembunuhan dan kematian berdalihkan kata “komunis”, bahkan seorang petani yang menghabiskan waktunya hanya di ladang dan tidak mampu membaca dan menulis, harus mati merana tanpa alasan, meninggalkan stempel “komunis” pada keluarga yang ditinggalkan.

Kematian demi kematian menghantui setiap sudut negaraku, bau anyir darah menyelimuti negaraku. Perlahan-lahan kusadari adanya permainan di balik bau busuk mayat, kutemukan rasa “pahit” dunia politik. Tingkat atas mengorbankan tingkat bawah dengan tanpa rasa ragu. Hidupku mulai terguncang, ku tatap idealisme yang hilang dalam permainan ini. Dan kembali aku berada di tengah-tengah, bagaikan pion catur yang siap untuk dikorbankan. Ku ingat kembali peperangan antar suku yang pernah ku alami. Jika bisa memilih, aku memilih untuk berada di tengah-tengah dua suku yang berperang daripada menjadi pion lemah terhimpit kekuatan politik yang serakah, yang selalu tanpa ragu siap sedia mengorbankanku segera.
Ingin rasanya aku keluar dari permainan tersebut, keluar dari dunia militer, namun tampaknya aku tidak mempunyai banyak pilihan. Keluarga ku masih membutuhkan seorang kepala keluarga yang bisa memberikan pemasukkan beras tiap bulan, dan kemampuan serta pengetahuan ku hanyalah di bidang militer.

Ku tak mampu bergerak di dunia lain. Kuteruskan kehidupan sebagai seorang serdadu ...

Trauma V
Tahun tujuhpuluhan, aku ditugaskan untuk mengintai sekelompok grup mafia. Sudah tujuh hari kami berdua mengintai gerak gerik seseorang yang di curigai sebagi kunci dari pencurian uang negara.
Rekanku tiba-tiba merasa lapar, lalu pergi membeli nasi bungkus di warung belakang. Ku diam sendiri mengintai mobil yang masih saja diam tak bergerak sejak beberapa hari ini. Tiba-tiba kulihat seorang lelaki mendekati dan memasuki mobil tersebut. Khawatir intaian kami pergi lari begitu saja, segera kuhampiri lelaki tersebut dan memasuki mobil itu. Ku perintahkan lelaki tersebut untuk mengemudi menuju markas militer dan menyebutkan alasan kenapa dia harus mengikuti kata-kataku. Lelaki tersebut hanya menundukkan kepalanya lalu mulai menjalankan mobil.

Ditengah perjalanan, ia mulai membuka percakapan dan dengan gaya bahasa yang halus, mulai menawarkan suatu diskusi untuk “membuang” barang bukti yang dibawanya. Ku gertak lelaki tersebut untuk menutup mulutnya, namun dia memberhentikan mobil lalu mengambil tas yang tergeletak di bangku belakang. Di bangku belakang, kulihat 7 tas berwarna hitam tergeletak diam, kutatap lelaki tersebut dan ia mulai melemparkan senyuman bak seringai serigala. Perlahan dibukanya tas hitam tersebut dan memandang diriku dengan rasa penuh percaya diri. Rasa penasaran menghampiriku, kulongokkan mata menatap isi tas tersebut dan mendadak aliran darah mengalir deras sekali menjejalku. Tumpukan uang berjejer dengan rapi bagaikan barisan pasukan apel di pagi hari.

Nafasku tertahan, tersedak, kutatap kembali wajah lelaki tersebut yang tersenyum lebar mengatakan bahwa satu tas hitam akan segera menjadi tasku, milikku pribadi, dalam hitungan detik. Ku lihat kembali jejeran kertas tersusun rapi menggunung, terbayang di benakku, dengan jumlah uang tersebut aku bisa keluar dari pekerjaanku, aku bisa menghidupi keluargaku, anak-anakku bisa sekolah hingga universitas, istriku bisa berhenti bekerja sebagai tukang masak di kantin, aku bisa melakukan banyak hal untuk keluargaku, untuk diriku, jika aku menerima tas hitam tersebut.

Namun sesaat, aku merasakan ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak “klik”. Seolah-olah adegan ini sudah terencanakan dari awal, seolah-olah tas hitam itu memang sudah ada disitu menunggu kehadiranku. Sudah beberapa hari ini kami mengintai lelaki yang ada di depanku, namun kenapa baru sekarang dia muncul saat rekan kerjaku pergi, saat aku sendirian? Kurasakan akan adanya kebocoran dalam kelompok kerja kami dan kurasakan adanya “ombak” yang hendak menenggelamkanku kedalam kolam kotoran permainan.

Kututup tas hitam tersebut, kututup mimpi-mimpiku, ku pertahankan kepalaku dari permainan ini dan kuperintahkan lelaki tersebut untuk kembali menjalankan mobil tersebut, menuju markas militer, menuju ruang interogasi.
Sejak kejadian itu, aku berhasil menyelamatkan keluarga dan diriku. Aku berhasil melepaskan diri dari pion permainan, skak mat kujalankan, ku “korbankan” ketua kelompok dan rekan kerjaku. Dugaanku benar, terjadi kebocoran dalam kelompok kerja kami, dan sang pengkhianat adalah ketua dan rekan kerjaku sendiri.

Aku merasa terkhianati ...

Trauma VI
Karirku perlahan mulai meningkat dan berpenghasilan cukup. Anak-anakku mulai memasuki universitas dan istriku tidak lagi bekerja sebagai tukang masak. Kini istriku menjalankan usaha bersama dengan salah seorang kenalannya dan usahanya berjalan lancar, sangat membantu kami untuk mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. Tabungan kami mulai berbuah, menenangkan impian masa depan kami. Namun kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Tahun delapan puluhan kami terjatuh dalam masa buruk. Rekan kerja istriku berlaku curang dan melarikan modal bersama. Tiba-tiba saja kami kehilangan sejumlah uang yang sangat besar, jumlah yang merupakan gaji kerjaku selama 7 tahun. Aku sangat marah, kemarahan bercampur rasa takut, kemarahan melihat masa depan kami yang runtuh begitu saja. Segera aku pergi mencari rekan kerja istriku, dan mendapatinya sedang bersiap lari menuju bandara. Kubawa ia ke suatu tempat lalu menginterogasinya, mempertanyakan pertanggung jawaban darinya.

Sudah dua hari ia berdiam diri tak mau menjawab pertanyaanku, tiba-tiba di suatu siang, sekelompok tentara memasuki tempat aku menginterogasi rekan kerja istriku. Seseorang melaporkan bahwa aku menculik seorang pengusaha. Dalam hitungan menit, aku sudah duduk di depan meja interogasi, meja yang kukenal bertahun-tahun, hanya saat ini aku tidak berdiri dan menginterogasi, aku terduduk menghadap meja itu, bagaikan seorang pendosa.

Kupandang mereka yang menginterogasiku, wajah-wajah yang kukenal, wajah-wajah yang bekerja bersama denganku, kini menatapku seolah aku adalah seorang kriminal. Sesaat aku ingin muntah, perut ini bergejolak memutar dan melilit. Sejak usia 16 tahun aku memasuki dunia militer dan sejak saat itu aku mengabdikan diri seutuhnya hanya untuk militer, dan kini saat aku membutuhkan bantuan dari dunia yang sudah menjadi bagian dari kehidupanku, dia tidak ada bagiku, bahkan dia mengkhianatiku bulat-bulat.
Dunia militer, duniaku, kini berpihak kepada musuhku, kepada lembaran kertas-kertas rupiah ...

Mereka menginterogasiku selama 24 jam tak berhenti, lalu mereka melepaskanku karena tidak adanya alasan kuat untuk menjebloskanku kedalam sel. Tidak ada juga alasan untuk mengembalikan uang kami yang hilang entah dimana rimbanya, tidak ada juga alasan untuk memasukkan rekan kerja istriku kedalam sel, melainkan banyak alasan yang dibuat untuk membuat dia pergi melenggang meninggalkan negeri ini.

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk meninggalkan dunia militer selama-lamanya, meninggalkan dunia yang sudah membesarkanku ...

Penutup
Aku mengambil pensiun dini. Teringat masa-masa saat aku mengalami kesedihan, aku sering berkunjung atau sekedar mencurahkan perasaan hati pada teman-teman sesama militer. Bagiku mereka bukan hanya rekan namun mereka adalah saudara-saudaraku, orang tua ku. Aku tidak pernah bisa mencurahkan perasaan hati pada keluarga, sebab aku tidak bisa membagi dunia militer dengan keluarga. Segala masalah kehidupan yang pernah terjadi, selalu behubungan dengan dunia militer dan bagi aku hanya merekalah, rekan-rekanku, yang bisa memahami dan mengerti permasalahan duniaku.

Kini aku telah meninggalkan dunia militer, duniaku. Kadang aku melakukan kunjungan silahturahmi ke rekan-rekan, berbicara tentang dunia dan kehidupan, namun aku tidak mampu lagi melakukannya dengan perasaan hati yang sama seperti dulu, kini rasa percaya telah memudar. Kini aku merasa sendirian dan hatiku terluka oleh rasa pengkhianatan.

Ketidaksetiaan dunia militer menjebloskanku dalam kesendirian. Aku membenci situasi politik yang memisahkanku dengan duniaku, menjatuhkanku dan membuatku tak berdaya. Aku merasa tidak pernah cukup mampu untuk bisa menerapkan teori yang kukenal sejak berusia 16 tahun, aku merasa tidak cukup tenagaku untuk mengabdi secara total pada negeriku.

Aku trauma dan merasa tidak berguna ...


Ditayangkan di KoKi (Kolom Kita), Rabu, 16 September 2009.
  
Sumber artikel:
  • Il trauma e la cura, un eterno ritorno. Saggio sopra alcune conoscenzepsicologiche nella Grecia antica, Carocci editore, Roma, 2008.

Sumber foto:

  • Buku dan Laut : by Arita


  • Karikatur Monumen Nasional (Monas). Pramono: "Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran", Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1983, hal:19.