Ini Budi!


Ini Budi. Ini ibu Budi. Ini Bapak Budi. Wati kakak Budi. Iwan adik Budi.
Nama “Budi” membawa angan saya melayang pada saat masih mengenakan seragam sekolah dasar. Saat “Budi dan Keluarga” menjadi bagian dari kehidupan saya sehari-hari. Saat guru bahasa Indonesia berdiri di depan kelas dengan penggarisan panjang menunjuk tulisan kapur putih pada papan hitam, saat saya dan teman-teman sekelas melafalkan tulisan itu dengan keras dan lantang. “Ini Budi. Ini ibu Budi. Ini Bapak Budi. Wati kakak Budi. Iwan adik Budi”.

Budi dan keluarga menjadi bagian dari setiap anak-anak di Indonesia. Sekalipun pemeran dalam pelajaran membaca terdiri dari berbagai karakter pribadi (Budi, Amir, Wati, Bapak Budi dan Ibu Budi), namun pemeran utama dalam “teater” ini adalah Budi. Cerita kehidupan keluarga tersebut bertumpu pada kegiatan yang dilakukan Budi, apa yang dipikirkan Budi, bagaimana Budi menikmati hidupnya, bagaimana senangnya Budi bermain bola, dst. Semuanya bertumpu pada Budi dan Budi adalah sang selebritis pilihan .

Entah kenapa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat itu) memilih nama Budi sebagai pemeran utama dalam pelajaran membaca. Kenapa bukan Amir yang menjadi pemeran? Atau kenapa bukan bapak Budi yang saya tidak ketahui namanya? Semuanya itu tidak pernah terpikirkan saat itu, saat saya masih bersekolah di SD.

Arti “Budi” itu sendiri bagi saya saat sekolah dasar adalah: tokoh dalam pelajaran membaca, nama teman sekelas yang duduk di barisan depan dan berada dalam urutan 10 murid terbaik, sebutan bagi seseorang yang bersikap baik hati dan tidak sombong.

Kata “Budi” pun saya pelajari sebagai kata yang menggambarkan sesuatu yang positif. Akal budi, hati budi, budi bicara, budi pekerti, budi daya, budi luhur, segala sesuatu yang berbau “Budi” menjadi contoh yang patut menjadi teladan bagi setiap anak-anak di Indonesia sejak mereka mengenal abjad dan tulis menulis.

Sejak setiap anak menjejakkan kakinya dalam dunia pendidikkan, maka mereka pun menjejakkan kakinya pada dunia BUDI. Mungkinkah pemerintah saat itu memilih “Budi” sebagai pemeran utama yang “membesarkan” setiap anak-anak yang ada di bumi Indonesia supaya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berbudi luhur, baik budi, berbudi bicara, berbudi pekerti dan berhati seperti “Budi”?

Tentu saja setiap bangsa di muka dunia ini menginginkan menjadi bangsa yang baik dan berbudi, setidaknya terlihat (seperti) bangsa baik dan berbudi. Begitu juga dengan bangsa yang lahir dan hidup di bumi pertiwi Indonesia, bangsa yang terkenal dengan keramah-tamahannya dan berbudi bicara, bangsa yang memperkenalkan kata “Budi” sejak dini kepada setiap manusia yang ada di Indonesia, jadi sudah sewajarnya jika bangsa Indonesia (bisa) menjadi bangsa yang berbudi.



Namun pertanyaan saya saat ini, di awal abad ke 21 ini, apakah bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa berbudi? Sudah tepatkah aplikasi «Budi» ke dalam setiap jiwa bangsa Indonesia?



Budiman dan Budiwati Indonesia abad ke 20 dan abad ke 21
Pada akhir abad ke 20, situasi di Indonesia secara kasat mata dapat dikatakan “berbudi dan dihidupi oleh para budiman dan budiwati”. Nama-nama koruptor yang tercuat pun hanya sedikit dibandingkan pada awal abad ke 21. Beberapa teman berpendapat secara kecut asam jawa bahwa memang pada awal abad ke 21, koruptor yang ada berjumlah buanyak gotong royong ramai-ramai membuat dunianya menjadi hijau loh jinawi.



Tapi sekalipun di akhir abad ke 20 hanya sedikit jumlah koruptor yang ngetop, namun dengan otoritas pemerintahan kleptocratic selama 32 tahun, bukan berarti kerugian negara dan kesusahan penduduk lebih sedikit dibandingkan awal abad ke 21.

Lalu benarkah di awal abad ke 21 ini, Indonesia (hanya) dipenuhi dengan orang-orang yang tidak berbudi?
Tentu saja Indonesia tidak hanya dipenuhi oleh mereka. Di pelosok pedalaman, desa, kampung, tempat dimana alam masih menjadi guru dan teknologi masih gagap pakai, saya masih banyak menemui orang-orang yang berbudi. Orang-orang yang berbudi pekerti dan membudidayakan alam serta lingkungan sekitarnya dengan baik dan efektif. Orang-orang yang masih berhati perut, mempunyai hati budi yang turut memikirkan perut sekitarnya. Tapi mengapa mereka yang mencoba mengaplikasikan nilai "Budi" malah masuk dalam kategori penduduk kelas 3 atau kelas akhir atau bahkan korban dari penduduk kelas 1?

Lalu, salahkah menjadi penduduk kelas 1 atau penduduk kelas 2? Salahkah tinggal di kota? Salahkah mengenal modernitas dan teknologi? Jawabannya tentu saja tidak. Lalu siapakah yang patut disalahkan? Salah "Budi" kah?
Jawaban dari pertanyaan ini saya jawab dengan pertanyaan lagi: kenapa harus mencari siapa yang harus dipersalahkan? Berkaca adalah tindakan yang tepat, mencoba mencari "Budi" dalam diri sendiri, dalam identitas diri.

Pertanyaan yang utama adalah kepada siapakah kita mengidentitaskan diri kita? Jawaban yang saya tawarkan adalah berkaca kepada himpunan Budi. Kepada "Budi" yang merupakan satu himpunan yang terdiri dari berbagai elemen baik POSITIF maupun NEGATIF.





Definisi Budi

Ahhh… jadi sesungguhnya apa arti Budi? Benarkah "Budi" juga mengandung elemen bernilai NEGATIF? Ada baiknya kita mencoba untuk mengenal dan mempelajari arti "Budi" jauh lebih dalam lagi. Arti "Budi" sebagai kesatuan dan satuan-satuan yang membentuk "Budi" menjadi satu keutuhan.


Nama "Budi" sejatinya berasal dari bahasa Sansekerta, “buddhi” yang berarti kebijaksanaan, pemahaman, atau kecerdasan. Di dalam Kamus Sansekerta-Inggris, buddhi didefinisikan sebagai "kekuatan untuk membentuk dan mempertahankan konsep-konsep dan gagasan umum, kecerdasan, akal, intelek, pikiran, penegasan, penghakiman " (Monier-Williams 1956:733).

Budi (“buddhi”) dalam bahasa Sansekerta adalah kata benda femina (kata benda maskulin: buddha) yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan kecerdasan. Mempunyai kemampuan dalam berpikir serta mempunyai sifat diskriminatif, yang mampu membedakan kebenaran dari kebohongan sehingga dapat bersikap/bertindak bijaksana.

Dalam mitologi Hindu, Buddhi adalah nama dari istri Ganesha, dimana Ganesha juga dikenal dengan nama Buddhipriya yang berarti suami buddhi. Selain itu defini ini juga bisa berarti suka kecerdasan (Buddhi= cerdas; Priya= suka).

Buddhi juga merupakan salah satu filsafat India yang berisikan seperangkat alat-alat pengetahuan, kearifan dan keputusan. Suatu pengetahuan yang membuat seseorang menjadi kuat sehingga mampu membentuk, memutuskan serta mempertahankan suatu konsep, gagasan, akal, pikiran. Sesuatu yang mendefinisikan seseorang yang mempunyai kepandaian, dan dengan kemampuan diskriminatifnya membuat ia mampu membedakan kebaikan dan keburukan, sehingga mampu memutuskan sesuatu secara bijaksana. Buddhi adalah sesuatu yang ideal bagi setiap insan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi dari “Budi” adalah sebagai berikut:

  • Alat batin yg merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk: pendidikan untuk memperkembangkan badan dan -- manusia.
  • Tabiat; akhlak; watak: orang yg baik -- .
  • Perbuatan baik; kebaikan: ada ubi ada talas, ada -- ada balas .
  • Daya upaya; ikhtiar: mencari -- untuk mengalahkan lawan.
  • Bahasa tingkah laku dan tutur kata; tingkah laku dan kesopanan; -- bicara ;akal budi; -- pekerti; tingkah laku; perangai; akhlak.
  • akal (dl arti kecerdikan menipu atau tipu daya): bermain --.
  • ber•bu•di: 1 v mempunyai budi; 2 v mempunyai kebijaksanaan; berakal; 3 v berkelakuan baik; 4 a murah hati; baik hati.
  • mem•per•bu•di•kan: v memperdayakan; menipu.
  • se•bu•di, (dng) - akal (dng) segala usaha.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, 1991.
  • Lim Kim-Hui, “Budi as the Malay Mind”, IIAS Newsletter no 31, International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden, 2003.
Jadi arti “Budi” dalam bahasa Indonesia merupakan satu himpunan dari segala tabiat, akhlak, watak, perbuatan baik, tingkah laku dan tutur kata, kesopanan perangai, daya upaya, ikhtiar, kecerdikan daya upaya menipu atau tipu daya, yang semuanya ini dianggap sebagai satu kesatuan.


“Budi” dalam KBBI ternyata mempunyai konotasi negatif yang terselimuti sebaran konotasi positif. “Budi” dalam bahasa Indonesia tidak hanya sekedar berarti baik, luhur dan bijaksana, namun “Budi” juga berakal yang bisa digunakan untuk melakukan tipu daya, seperti kata “bermain budi”, “memperbudikan” .

Jadi, benarkah bangsa Indonesia yang mengenal kata “Budi” sejak sekolah dasar menjadi bangsa budiman dan budiwati yang akhirnya mengaplikasikan semua komponen positif dan negatif secara bersamaan? Baik hati dan ramah tamah namun juga munafik dan penipu, bagaikan serigala berbulu domba?

Bagi saya pribadi, “Budi” adalah kata yang tepat dan jujur untuk menggambarkan seorang manusia yang utuh. Setiap manusia mempunyai sifat positif dan negatif. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi baik dan juga mampu menjadi munafik, mampu menjadi pembela keadilan dan mampu menjadi pemberantas keadilan. Kunci utama yang terletak dalam kata “Budi” adalah pengaplikasian posisi serta fungsi dan kombinasi nilai elemen-elemen “Budi” yang terkandung di dalamnya.

Mengutip tulisan Lim Kim-Hui dalam tulisannya yang berjudul “Budi as the Malay Mind” dikatakan, “arti Budi sebenarnya jika dilihat melalui rasionalitas mungkin menuduh “Budi” bermuka dua, munafik, curang, atau tidak tulus dalam mengatakan kebenaran. Tapi klaim ini berlaku di satu sisi, karena dalam arti lain kita mungkin perlu melakukan pemeriksaan lebih pada filosofis dan argumentasi. Misalnya, pada saat terjadi konflik yang memanas, dialektik keteladanan yang kuat (mungkin) bisa merugikan (yaitu, tuntutan kehidupan), dan karena itu orang harus 'berbohong' dalam rangka menjaga keharmonisan. Tapi 'kebohongan' ini harus diuraikan saat konflik sudah mendingin. Inilah semangat sejati dari ‘Budi dan elemennya”.

“Budi” dan elemen-elemennya bekerja sama untuk mewujudkan satu tujuan yang menghasilkan enlightenment (pencerahan/penerangan). Elemen-elemen bernilai positif berada pada posisi dari dalam hingga ke posisi paling depan, dan berfungsi untuk menciptakan ide/gagasan, melakukan dan mewujudkan gagasan sehingga mencapai tujuan dari ”Budi” (kebijaksanaan).

Sedangkan elemen bernilai negatif berada pada posisi dimana ia berfungsi sebagai pendukung dan pertahanan elemen-elemen bernilai positif. Nilai-nilai negatif bekerja dan berfungsi untuk mendukung serta mempertahankan gagasan, ide ataupun tindakan yang diciptakan oleh nilai-nilai positif sehingga kesatuan dari kerjasama nilai positif dengan dukungan nilai negatif menjadi satu pencerahan (enlightenment) yang berakhir pada satu tindakan kebijaksanaan yang bijaksana.

Sejak sekolah dasar, manusia di Indonesia diajarkan dan dikenalkan pada definisi “Budi” yang HANYA bernilai positif. Sedangkan nilai berkonotasi negatif tersembunyi dalam-dalam tanpa diperkenalkan secara luas. Akibatnya, pengaplikasian “Budi” dalam kehidupan hanya berfungsi setengah bagian. Pengaplikasian yang setengah dikarenakan pengetahuan dan pengertian yang ada hanya diberikan sebagian saja, membuat tujuan dari “Budi” (kebijaksanaan) menjadi gagal.

Salah satu contoh pengaplikasian “Budi” yang hanya mengutamakan nilai-nilai positif misalnya adalah pengaplikasian nilai rendah hati sebagai salah satu elemen “Budi”. Pengaplikasian nilai "rendah hati" yang berlebihan untuk mencapai satu keharmonian malah berakhir menjadi "rendah diri". Dimana rasa rendah diri mengakibatkan perubahan peranan manusia menjadi korban sesama manusia, menjadi pihak yang dimangsa.
Adapun masalah yang lebih parah lagi dalam pengaplikasian “Budi” bukan saja karena pengaplikasian “Budi” yang tidak sempurna/setengah, tapi juga PEMBALIKAN dari posisi dan cara kerja fungsi elemen-elemen yang ada pada ”Budi”.

Cara bekerja yang seharusnya bagi “Budi” dan elemen-elemennya adalah pengaplikasian nilai-nilai positif untuk menciptakan dan mewujudkan gagasan dengan dukungan nilai negatif untuk mencapai hasil positif secara keseluruhan yaitu kebijaksanaan.

Salah satu contoh yang paling mudah kita temui adalah cerita rakyat "Kancil & Buaya". Kancil adalah salah satu contoh perwujudan dimana Kancil digambarkan bersikap dan bertidak dengan nilai positif. Untuk mempertahankan konsep dan gagasannya yang positif, ia mengaplikasikan nilai negatif dengan melakukan penipuan. Penipuan disini merupakan hasil bernilai negatif yang berasal dari pengaplikasian nilai positif (ikhtiar dan kecerdikan daya upaya menipu). Hasil akhir dari nilai negatif ini digunakan untuk mendukung aplikasi keseluruhan elemen-elemen bernilai positif yang berakhir pada kebijasanaan (buddhi).

Namun kenyataan yang terjadi saat ini adalah pembalikan fungsi dan posisi “Budi” dan elemennya, dimana elemen-elemen bernilai negatif di jadikan dasar untuk menciptakan suatu gagasan dan mengambil alih nilai positif untuk mencapai hasil negatif secara keseluruhan yaitu keegoisan. Pengaplikasian elemen-elemen “Budi” yaitu pintar (positif) dan penuh akal (positif) dalam “bermain budi” (negatif) untuk memenuhi kepuasan egonya (negatif).

Salah satu contohnya adalah seseorang yang mengetahui dengan jelas dan pasti akan adanya nilai “hutang budi” yang berlaku dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dengan gagasan/ide suatu penipuan yang didasari oleh keegoisan (negatif), seseorang menggunakan akal pikiran (positif) dengan memanipulasi (negatif) prinsip “balas budi” (positif), memanipulasi sifat “budi luhur” (positif) untuk mewujudkan aplikasi keseluruhan dari elemen-elemen bernilai negatif (keegoisan) yang berakhir pada keangkaraan (ahamkara) .



Lalu sekarang, mau dibawa kemana bangsa ini? Bangsa yang mengaplikasikan “Budi” dan elemennya dengan utuh dan benar atau bangsa yang mengaplikasikan “Budi” dan elemen-elemennya dengan terbalik?
Saya sendiripun belum bisa menjadi budiwati yang sempurna dengan segala sifat baik dan sifat buruk. Satu hal yang saya coba aplikasikan dalam kehidupan yang tersisa adalah kembali belajar tentang “Budi”. Kembali belajar, “ini Budi! Ini elemen-elemen Budi. Ini identitas Budi!”. Kembali kepada “Budi”, memahami “Budi” dan berkaca kepada identitas “Budi” yang seharusnya.

Lalu, berusaha mengajari anak saya akan identitas “Budi”, mencoba membuat anak beridentitas “Budi” dengan sebenarnya. Semoga saja dengan mengenalkan dan mengajarkan “Budi” dengan lengkap dan benar, saya masih mampu menyelamatkan dunia masa depan anak bersama buddhi (bijaksana) yang utuh.



Ini cicak tetangga BUDI, ini buaya kenalan BUDI, ini Century bermain BUDI, ini KPK musuh Budi, ini Gayus mem-per-BUDI- daya-kan ...


Arita - CH

Kepustakaan:
 Dimuat di KoKi (Kolom Kita), Senin, 24 Mei 2010 (Klik)