Ateisme. Apa dan Siapa


Catatan penulis: 
"Don't judge a book by its cover". Untuk menilai ateisme, janganlah melihat hanya dari ‘sampul’ belaka yang seringkali ‘bergambar’ arogan, sombong, atau mungkin kasar. Namun, ada baiknya membuka lembar halaman demi halaman, apa yang dapat dipaparkan langsung oleh para ateis tentang ateisme. 

Tulisan singkat bertemakan ateisme ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana ateisme itu. Apakah ateisme merupakan prinsip atau agama atau bentuk penyembahan, atau sesuatu yang imoral, atau merupakan suatu grup tertentu, hanya para ateis sendiri yang mampu menjelaskan secara obyektif tentang ateisme, dan bukan mereka yang non ateisme.


Oleh karena itu, tulisan ini merujuk langsung pada berbagai referensi artikel ateis yang ditulis secara ilmiah dan mengajak pembaca untuk mencoba mengenal ateis dari sudut pandang serta definisi yang diutarakan oleh para penulis ateis itu sendiri.


Tulisan ini TIDAK mengajak pembaca untuk menjadi ateis. Namun, adanya definisi yang “salah” mengenai ateisme, dapat menimbulkan kesalahpahaman baik pada diskusi maupun dalam bertindak dan berinteraksi secara sosial. Lebih jauh lagi, kesalahan definisi juga bisa menjurus pada kesalahpahaman nasional, yang berakibatkan jatuhnya beribu-ribu korban manusia secara masal, seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1965-1966.

Defini ateis dalam bahasa.

  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: ate•is /atéis/ n orang yg tidak percaya akan adanya Tuhan.
  • Asal muasal kata ateis dari bahasa Yunani adalah atheos. Kata “a” disini berartikan “tanpa” atau “tidak”. Sedangkan terjemahan langsung dari “theos” berarti sesuatu yang tinggal di langit, bersifat luar biasa dan sangat bercahaya, diintrepetasikan dan diterjemahkan sebagai ‘dewa’ atau ‘Tuhan’. Jadi, dari sudut pandang bahasa Yunani kuno, seorang ateis adalah seseorang yang tidak berdewa atau ber-Tuhan.

Atheos, Era klasik Yunani
Dalam sejarah Yunani, kata atheos mulai dikenal luas dalam karya tulis Plato (circa. 429-347 SM). Kata atheos dalam bahasa Yunani pada mulanya berarti: “tidak berkepercayaan terhadap theos” -sesuatu yang luar biasa, bercahaya dan tinggal di langit-, atau “terkutuk”. Kata ‘atheos’ juga digunakan untuk me-labelkan para kaum cendekiawan yang menyangkal keberadaan Tuhan, dewa atau segala bentuk-bentuk luar biasa bersinar yang tinggal di langit.

Philodemus, seorang filsafat Yunani (ca. 110–35 sm.) mengklasifikasikan orang ateis sbb:
  1. Mereka yang mengatakan bahwa tidak mengetahui apakah ada dewa atau seperti apa bentuknya.
  2. Mereka yang secara terbuka mengatakan bahwa Tuhan tidak ada.
  3. Mereka yang dengan jelas menyiratkan itu.

Dalam sejarah ateisme, ada 3 poin utama yang ditemukan dalam periode klasik Yunani.

  1. Ditemukannya teori ateisme yang juga merupakan salah satu kejadian penting dalam sejarah agama.
  2. Bangsa Yunani menciptakan istilah ‘atheos’, yang kemudian oleh bangsa Romawi istilah ini menjadi atheus, cikal bakal kata ateis dan ateisme.
  3. Ditemukannya kegunaan istilah ‘atheis’ sebagai sarana untuk me-label-kan lawan-lawan. Penemuan isme ateis membuka jalan baru bagi kebebasan intelektual, bersamaan juga terbukanya kemungkinan bagi banyak pihak untuk memberi label terhadap pihak oposisi mereka.

Pertanyaan tentang ateisme

  1. Apakah ateisme adalah agama?
    Menilik dari kacata agamawan, seringkali ateisme didefinisikan sebagai suatu bentuk kepercayaan. Suatu agama. Agama yang rasional dan penuh dengan optimisme. 
    Alister McGrath, seorang teolog Kristen dari Inggris menulis dalam bukunya yang berjudul "The Twilight of Atheism: The Rise and Fall of Disbelief in the Modern World":
    “Atheism is the religion of the autonomous and rational human being, who believes that reason is able to uncover and express the deepest truths of the universe, from the mechanics of the rising sun to the nature and final destiny of humanity” (2004: 220).
    Namun pendapat ini ditolak oleh para ateis. Mereka mengatakan bahwa McGrath berpikir bahwa ateisme merupakan kebalikan keyakinan dalam beragama. Akibatnya, McGrath merumuskan bahwa ateis juga memiliki elemen-elemen agama. Namun sebenarnya, para ateis TIDAK memiliki elemen agamawi. Mereka tidak pernah menyatakan penemuan mereka akan bagaimana kebenaran dari misteri kehidupan serta keberadaan akhir hidup manusia dan alam semesta. Kemungkinan, McGrath merujuk pada pola pandangan Marxism-Leninism dimana penolakan Tuhan merupakan salah satu bagian dari prinsipnya. 

    Karena ateisme tidak berpikir dalam konsep agamawi seperti para teis (orang yang percaya akan keberadaan Tuhan), maka dengan kata lain, posisi ateisme berada dalam posisi baku, jadi pihak teis yang seharusnya membuktikan kebenaran dari pemikiran teisme mereka.

  2. Apakah hubungan Ateisme dengan Teisme?
    Julian Baggini, seorang filsafat Inggris dan penulis buku “Atheism: A Very Short Introduction” mendefinisikan ateisme bertolak belakang dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan teisme.

    Sedangkan Robin Le Poidevin, seorang professor metafisik dari Univeritas Leed, Inggris, dan penulis buku "Arguing for Atheism: An Introduction to the Philosophy of Religion" menyatakan:

  • Seorang ateis lebih merupakan seseorang yang menyangkal keberadaan dan pribadi sang maha pencipta alam semesta daripada seseorang yang hanya hidup secara sederhana tanpa merujuk pada keberadaan sang pencipta alam.
  • Sedangkan seorang teis adalah orang yang menegaskan keberadaan sang pencipta.
Jadi setiap diskusi yang berhubungan dengan ateisme pasti juga berhubungan dengan teisme atau monoteisme. Berbeda dengan pendapat Baggini, Le Poidevin menegaskan lebih jauh bahwa seorang ateis mempunyai pengetahuan tentang agama dan ia menyadari keateisannya secara tegas lugas.
Jadi, seseorang yang hidup sederhana tanpa pernah mengetahui atau pernah mengenal keberadaan agama (monoteisme) ataupun sang pencipta, tidak dapat dikatakan bahwa orang itu ateis.

Kata “A” dalam bahasa Yunani merupakan Alpha privans yang berarti menyangkal semua kata yang diletakkan sesudah huruf “A”. Jadi ateis berarti menyangkal segala sesuatu yang ditegaskan oleh teis. Mereka menyangkal bukan karena mereka tidak tahu, tetapi mereka tidak setuju dengan pernyataan teistik dari teisme. Dengan penyangkalan ini, maka ateisme tidak identik dengan para penganut teisme.


Karena setiap ateisme selalu menyangkut pada teisme maka pertanyaan yang besar adalah, Apakah teisme?
Teisme itu sendiri dapat dikatakan sama dengan –dalam definisi saat ini- monoteisme. Para teis adalah para penganut dari tiga agama besar monoteisme: Yudaisme, Kristen dan Islam.

Lebih dari sekedar hanya percaya pada satu Tuhan, seorang teis juga memiliki konsep akan apa itu Tuhan. Konsep yang menyatakan bahwa Tuhan itu baik. Bukan hanya sekedar baik, tetapi sangatlah baik. Dan kebaikan bukan hanya prinsip dari teistik tapi Tuhan menurut teisme adalah abadi, pencipta alam semesta, mahakuasa, luar biasa, maha tahu, suci, dan hidup.


Ateisme berkaitan dan mengenal konsep akan khalik, khaliknya teistik, yang mempunyai nama dan ditulis dengan huruf besar: Tuhan. Jadi seorang ateis memerhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengan konsep : pencipta, penguasa, maha tahu, suci dan sempurna.


Paul Cliteur, seorang ahli hukum dan filsuf Belanda membatasi konsep ateisme sebagai penyangkalan dari pernyataan pihak teisme.
Ia memberikan contoh sebagai berikut:
Seorang teis menyatakan, Tuhan adalah kasih, sedangkan penyangkalan ateis bahwa “Tuhan itu adalah kasih” bukan karena ia menolak pentingnya arti kasih, tetapi seorang ateis merasa bahwa tidak layak mencampuradukkan emosi manusia dengan keberadaan dari Tuhan yang dianggap oleh para teis sebagai serba maha, berkepribadian dan secara sempurna sangat baik.




Tiga karakter dari ateisme
Untuk melihat lebih jauh ateisme, mari kita coba lihat karakter yang ada pada ateisme.

  1. Ateisme sebagai non teisme, bukan anti teisme
    Charles Bradlaugh (1833-1891), seorang aktivis politik dan juga salah satu ateis Inggris terkenal di abad ke 19 menyatakan bahwa para ateis TIDAK mengatakan bahwa tidak ada Tuhan, namun mereka berpendapat bahwa mereka memiliki ketidakjelasan akan ide atau pengertian naluriah akan Tuhan.

    Bukan ‘Tuhan’ yang disangkal oleh ateis, karena bagi mereka figur Tuhan adalah satu hal yang tidak jelas atau tidak tegas dan tidak sempurna untuk didefinisikan. 
    Jadi secara sederhana, pernyataan teisme akan keberadaan Tuhanlah yang disangkal ateisme, sehingga ateisme dapat disamakan dengan non teisme dan BUKAN anti teisme. 

    Kata “sangkal” dan kata “anti” mempunyai perbedaan makna, dimana kata “sangkal” terjadi karena adanya alasan ketidaksetujuan secara rasional, sedangkan kata “anti” merupakan kata yang berlandaskan pada perasaan, rasa tidak senang dan tidak suka belaka.
  2. Ateis tidak perlu membuktikan pernyataan teisme 
    Seorang yang beragama percaya akan keberadaan Tuhan, sedangkan seorang ateis tidak mempunyai kepercayaan tersebut. Seorang ateis juga tidak memiliki keinginan untuk membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.
    George H. Smith, seorang ateis penulis "Atheism: The Case Against God" merumuskannya sebagai berikut:

"Ateisme, dalam bentuk dasarnya, bukan keyakinan namun merupakan ketiadaannya satu kepercayaan".
Menurut Smith, seorang ateis bukanlah orang yang percaya bahwa Tuhan tidak ada, melainkan, ia tidak percaya akan adanya Tuhan.
Karena ateisme merupakan doktrin yang mengandung peniadaan atau penyangkalan, maka seorang ateis tidak terpengaruh dengan bukti-bukti dari teisme.
Seorang ateis tidak harus memiliki keinginan untuk memecahkan teka-teki alam semesta. Dia tidak harus mengekspresikan kosa kata "kebenaran terdalam dari alam semesta" yang dianggap tidak masuk akal untuk seorang ateis.
Seorang ateis tidak perlu membela atau membuktikan suatu pernyataan, karena pernyataan ‘Tuhan itu ada’ dikeluarkan oleh pihak teis/beragama. Jadi, sudah sewajarnya jika hanya pihak teis yang harus membuktikan pernyataan tersebut. Dan pihak ateis akan menunggu argumen pihak teis dan menimbang apakan argumen tersebut meyakinkan dirinya atau tidak.

  1. Ateisme adalah suatu pilihan yang disadari dan telah dipikirkan dengan matang.
    Unsur ketiga dari posisi ateis adalah sikap psikologis dari ateis itu sendiri: ateisme dianggap sebagai pilihan yang intelektual dan eksplisit. Kita kembali ke dalam pernyataan Le Poidevin di atas: “seseorang yang hidup sederhana tanpa pengetahuan akan Tuhan tidak cukup untuk melabelkan seseorang sebagai ateis”. 

    Paul Cliteur mencontohkan pernyataan tersebut sebagai berikut:
    Misalnya seseorang bertanya kepada kita : 
    Apakah Tuhan? Saya tidak tahu apa artinya. Saya tidak pernah berpikir dalam tentang hal tersebut.

    Bermula dari pertanyaan diatas maka akan banyak yang berpendapat bahwa orang tersebut ateis, namun sesungguhnya TIDAK benar. Apa yang kurang dari orang tersebut adalah pengetahuan atau kesadaran intelektual, sehingga orang tersebut tidak pantas disebut ateis.

    Oleh karena itu, Holbach mengatakan bahwa anak-anak (yang tumbuh dalam lingkungan tidak beragama) tidak pantas juga disebut ateis, dikarenakan mereka belum memiliki kesadaran intelektual untuk memilih dan menilai suatu prinsip/doktrin.

    Satu hari, anak saya mengatakan bahwa teman sekelasnya mengaku sebagai ateis. Seorang anak mengaku ateis mungkin saja karena terbawa pengaruh atau besar dalam lingkungan ateis, namun secara kemampuan intelektual, seorang anak kecil belum memiliki pengetahuan agama yang mendetail dan pengertian rasional yang merupakan dasar utama seseorang menjadi ateis. Jadi, pengakuan seorang anak kecil sebagai ateis, tidak dapat dianggap layak dan tidak bisa diterima.
    Karena seorang ateis adalah orang yang SUDAH mempunyai pengetahuan akan agama, atau mungkin dibesarkan dalam lingkungan keluarga beragama, bahkan mungkin juga adalah orang yang (pernah) beragama, namun memutuskan untuk tidak menjadikan agama sebagai bagian dari dirinya.

    Mereka yang tidak berpengetahuan agama (monoteisme) atau mereka yang menganut politeisme ataupun aliran kepercayaan ataupun pagan, BUKANLAH ateis. Yang utama dalam menilai apakah orang tersebut ateis atau tidak adalah tingkat kesadaran serta pengetahuan intelektual agamawi mereka.

    Penting untuk diketahui dalam menilai ateis adalah mereka MENELAAH semua pilihan atau opsi yang ada, semua argumentasi tradisional akan keberadaan Tuhan.

    Seorang yang (memilih) menjadi ateis adalah seseorang yang MEMPUNYAI pengetahuan akan argumentasi tentang Tuhan, dan MENIMBANG dengan matang ketidakpercayaannya akan keberadaan Tuhan.

    Jadi dalam unsur ketiga ini, seorang ateis bukan seseorang yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan akan Tuhan. Mereka tahu dan menelaah ilmu agama (bahkan mungkin juga dibesarkan dalam keluarga yang beragama), namun mereka memutuskan untuk tidak menjadikan agama sebagai satu iman dalam akal mereka.

Konsep ateisme dan motive untuk ateisme.

  1. Tidak beriman dan beriman
    Banyak orang yang menolak memeluk satu agama dan mempercayai ke-Esaan dan kesempurnaan Tuhan karena hal ini berlawanan atau menciptakan konflik dengan nilai-nilai utama yang mereka yakini. Karena mereka dapat dikatakan sebagai “orang yang tidak berkepercayaan” dalam hubungannya dengan Tuhan, namun mereka dapat juga dikatakan “orang yang berkepercayaan” di dalam kebebasan berpikir dan bertindak, kesetaraan martabat manusia, dsb.

    Di dalam ateis kita menemukan kombinasi dari beriman dan tidak beriman. Mereka beriman, tapi bukan didalam Tuhan dan kadangkala dianggap tidak dapat didamaikan dengan Tuhan.

    Salah satu contohnya adalah pernyataan seorang politikus Amerika, Robert Ingersoll (1833-1899):

    I am an unbeliever, and I am a believer . . . I do not believe in the “Mosaic” account of creation, or in the flood, or the Tower of Babel, or that General Joshua turned back the sun or stopped the earth. I do not believe in the Jonah story . . . and I have my doubts about the broiled quails furnished in the wilderness. Neither do I believe that man is wholly depraved. I have not the least faith in the Eden, stake and apple story. Neither do I believe that God is an eternal jailer; that he is going to be the warden of an everlasting penitentiary in which the most of men are to be eternally tormented. I do not believe that any man can be justly punished or rewarded on account of his belief.

    But I do believe in the nobility of human nature; I believe in love and home, and kindness and humanity; I believe in good fellowship and cheerfulness, in making wife and children happy. I believe in good nature, in giving to others all the rights that you claim for yourself. I believe in free thought, in reason, observation and experience. I believe in self-reliance and in expressing your honest thoughts. I have hope for the whole human race. What will happen to one, will, I hope, happen to all, and that, I hope, will be good. Above all, I believe in Liberty (quoted in Williams: 67).
  2. Kebebasan dalam berkehidupan
    Filsafat Perancis abad ke 20, Jean-Paul Sartre (1905-1980), mengembangkan konsep ateistik eksistensialisme. Konsep yang didasarkan pada teori kebebasan manusia. Menurutnya: Jika kita mencoba untuk membayangkan suatu dunia yang diciptakan oleh pencipta ilahi supranatural, kita, sebagai manusia, tidaklah bebas. Kita hanya bisa memainkan peran yang sudah tertulis untuk kita. Konsekuensinya, hal ini menghancurkan kebebasan manusia secara keseluruhan.
  3. Ateisme atau non-teisme? 
    Dalam istilah populer, ateisme diasosiasikan dengan segala hal yang negatif, baik dari pola pikir maupun tingkah laku, terutama dari cara mereka «membela» pendapatnya. Mereka bereputasi sebagai orang yang arogan, berhaluan keras, penyebar, bersemangat tinggi dan juga tidak sopan atau kasar.

    Reputasi ateisme yang buruk ini membuat George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang ahli sekuler Inggris, menciptakan sebutan ‘sekularisme’. Holyoake menciptakan kata ‘sekularisme’ karena adanya reputasi yang buruk pada kata ateisme. Dia mendefinisikan sekularisme atas keprihatinannya dengan masalah-masalah yang ada di dunia ini.

    Holyoake menyimpulkan sekularisme sebagai berikut:
    1. Secularism maintains the sufficiency of Secular reason for guidance in human duties.
    2. The adequacy of the Utilitarian rule which makes the good of others, the law of duty.
    3. That the duty nearest at hand and most reliable in results is the use of material means, tempered by human sympathy for the attainment of social improvement.
    4. The sinlessness of well-informed sincerity.
    5. That the sign and condition of such sincerity are – Freethought – expository speech – the practice of personal conviction within the limits of neither outraging nor harming others” .

Ateisme dikenal dengan image yang negatif dan setiap penulis yang berusaha menonjolkan ateismenya sebagai bagian dari gaya hidupnya terpaksa sering harus berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang tak terhingga.

Holyoake memberikan salah satu contoh tanya-jawab yang sering ia hadapi:

Tanya: Bukankah ateis terlalu arogan dengan bersikap seolah tahu bahwa Tuhan itu tidak ada?
Jawab: Ateis tidak menyatakan bahwa Tuhan tidak ada, mereka hanya menegaskan bahwa alasan-alasan untuk mempercayai keberadaan Tuhan, tidaklah meyakinkan.

Tanya:Kenapa kita tidak diperbolehkan untuk beriman di dalam Tuhan?
Jawab:Ateis tidak menentang kebebasan berbicara atau kebebasan menentukan sikap hati nurani, mereka hanya mengklaim hak mereka untuk tidak setuju dengan seseorang yang menegaskan keberadaan Tuhan.

Tanya: Tapi, bukankah sikap ateisme sedikit arogan?
Jawab: Ateisme tidaklah lebih arogan daripada agnostisisme atau teisme. Arogansi/keangkuhan tidak berada dalam posisi ateisme melainkan berada dalam sikap orang-orang yang mempertahankan pendapat/dogmatic mereka dalam ketidakinginan mereka mendiskusikan pandangan mereka. Para ateis umumnya senang mendalami suatu diskusi.

Jenis ateisme.

Paul Cliteur membagi ateisme ke dalam tiga jenis:

  1. Private atheisme atau dikenal dengan ‘non teisme’: suatu pola pikir yang menolak pandangan teistik dan menyatakan bahwa keputusan mereka menjadi ateis dilakukan untuk maksud yang baik.
  2. Public atheism: para ateis yang berkeyakinan bahwa mereka patut berbagi prinsip dengan orang awam demi tercapainya masyarakat yang bersusila. Dalam jenis ini didapatkan unsur penyebaran dimana para ateis secara aktif berusaha merubah masyarakat sekitarnya.
  3. Political atheism: dimana satu negara berkeyakinan untuk memberantas segala agama hingga keakarnya, seperti yang terjadi pada Uni Sovyet dan Albania.

Menurut Paul Cliteur, untuk menjadikan ateisme sebagai posisi yang dapat dipertahankan, seharusnya ateisme masuk kedalam jenis ‘private atheism’ atau non-theism. Ateisme yang tepat selayaknya bersikap skeptis terhadap public atheism dan menghapus political atheism.
Namun, karena ateisme jenis pertama juga bisa berkonotasikan ateisme jenis kedua dan jenis ketiga, maka mungkin merupakan strategi yang mudah untuk berhenti menggunakan semua istilah jenis ateisme dan lebih merujuk pada penggunaan istilah ‘non teisme’.

Penutup:
Kesimpulannya, apakah ateisme suatu agama, atau suatu penyembahan, atau suatu grup, atau sesuatu yang imoral? Jawabannya adalah TIDAK, untuk semuanya.


Ateisme bukan satu agama karena mereka tidak memiliki pemikiran elemen agamawi.

Para ateis tidak menyembah kemampuan rasional mereka, karena kata ‘sembah’ bersifat sakral dan rutin. Sedangkan kemampuan rasional tidak mengandung nilai sakral dan tidak memiliki rutinitas.

Ateis bukanlah paham satu grup, karena ateis merupakan pilihan individualistik. Suatu pilihan yang dilakukan sendiri oleh diri sendiri, tanpa memiliki ikatan dalam struktur organisasi.

Ateisme bukanlah suatu pikiran yang imoral, karena mereka memiliki moral untuk membuat dunia menjadi lebih baik lagi dengan menghindari perbuatan jahat berdasarkan nilai-nilai manusiawi dalam kehidupan, bukan berdasarkan perintah agama ataupun rasa takut akan adanya neraka atau hukuman dari Tuhan.

Dan satu hal yang utama, kita tidak bisa dengan gampang memberi cap “ateis” pada seseorang hanya dikarenakan mereka tidak menganut agama monoteisme. Pada saat sekarang ini, walaupun kelihatannya banyak terdapat ateis di dunia ini namun sebenarnya sangatlah sedikit orang yang benar-benar mengaku secara lugas bahwa mereka ateis, karena kebanyakan yang terjadi adalah orang-orang yang di-BERI label atau di-CAP ateis oleh pihak oposisi. Hal ini terjadi tidak hanya dalam dunia politik, namun juga dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Seorang penganut aliran kepercayaan, ataupun politeisme, atau paganisme, bukanlah seorang ateis, karena mereka juga mengimani sesuatu yang lebih kuasa dari manusia dan bersifat luar biasa. Mereka mempunyai iman dan percaya pada sesuatu yang tidak dapat dirasakan oleh indra manusia. Jadi mereka tidak layak dicap sebagai ateis dan terlebih lagi, bukan berarti penganut paham komunisme. Oleh karena itu, peristiwa korban jiwa yang berjatuhan pada tahun 1965-1966 di Indonesia, lebih banyak  yang merupakan peristiwa pembunuhan/kejahatan masal daripada pembasmian paham komunisme.


Kepustakaan:

  • The Cambridge companion to atheism, edited by Michael Martin, Cambridge University Press, 2007.
  • Paul Cliteur, The Definition of Atheism, The Kripke Center, University of Leiden, the Netherlands, Journal of Religion and Society Volume 11, 2009.