Parodi Bulu Ketek Ibu Pertiwi

06.07.2008. 


Dalam tulisan ini, saya menghidangkan “parodi bulu ketek Ibu Pertiwi”. Suatu metafor Ibu Pertiwi melalui cerita kehidupan seorang wanita. Parodi ini timbul, akibat kegusaran saya terhadap “bulu ketek”. Ia yang tumbuh dan tumbuh lagi, sekalipun di basmi berkali-kali. Pemilihan kata “bulu ketek” disini, sengaja saya tekankan, daripada kata “bulu ketiak”, karena memang sisi vulgarnya yang ingin saya tonjolkan.

Secara perempuan, kehadiran dan pertumbuhan bulu ketek sangat merepotkan dan meresahkan. Ia mengganggu pemandangan, membuat saya gatal gatal, menebarkan aroma kecut seperti sup Tom Yang Kung tak layak makan!

Dalam sejarah peradaban, terukir berbagai alasan yang di utarakan untuk membasmi bulu-bulu ketek. Mulai dari alasan religius, seperti yang terjadi pada jaman Mesir Kuno, dimana para imam dan para Firaun di haruskan mencukur seluruh bulu-bulu yang ada di tubuh, sebagai tanda yang membedakan tingkat kemurnian mereka dengan yang lainnya, hingga alasan medical, serta alasan hubungan sosial dan budaya.

Seperti kebanyakkan perempuan, alasan hubungan sosial dan budaya saya ke depankan, untuk menerapkan image diri sebagai “seorang perempuan yang bersih”. Oleh karena itu saya mencoba mendisiplinkan diri untuk “membasmi” bulu ketek, membuat ketiak saya menjadi mulus, wangi serta enak dipandang. Seperti juga seorang perempuan yang ingin bersih, indah dipandang, wangi dan mengundang selera, begitu juga dengan Ibu Pertiwi. Oleh karena itu, pembasmian bulu-bulu ketek akan menjadi topik utama dalam tulisan ini.

Dalam mitologi suku-suku bangsa, bumi banyak dipersonifikasikan sebagai Dewi, dimana kita mengenalnya dengan panggilan “Ibu Pertiwi”. Ibu Pertiwi yang feminin, selain welas asih, melahirkan dan rela berkorban atas kerakusan sebagian dari anak-anaknya, ia juga membutuhkan badan yang indah serta ketiak yang bersih, mulus, enak dipandang dan tidak berbau kecut. Tetapi tampaknya Ibu Pertiwi harus sering menderita gatal-gatal yang meresahkan, membuat dirinya merasa risih dengan pemandangan yang kurang indah, terbelengu oleh perasaan rendah diri, akibat bau kecut yang menebar dari bulu-bulu ketek yang memanjang.

Yang saya maksud dengan bulu-bulu ketek dalam konteks ini adalah para koruptor-koruptor yang bertumbuh dengan suburnya, yang tanpa malu-malu keluar dari persembunyiannya, di balik ketiak Ibu Pertiwi. Seperti bulu ketek yang memang secara alami tumbuh pada setiap manusia, begitu juga dengan para koruptor yang eksistensinya ada di negara manapun, sekalipun di negara- negara yang struktur perekonomiannya maju dan ketat.

Para koruptor-koruptor tersebut memang vulgar, oleh karena itu pantasnya disebut “para bulu ketek” daripada para bulu ketiak. Selain sifatnya, yang senang bersembunyi dalam kehangatan di balik ketiak, para koruptor tersebut juga senang membuat gatal-gatal. Dengan kondisi tanah Indonesia, yang gembur dan kaya dengan sumber daya alam, maka, pertumbuhan “para bulu ketek” tersebut semakin subur. Di tambah dengan, lembabnya udara di Indonesia dan kestabilan cuaca yang panas, “para bulu ketek” dengan sigap menebarkan bau kecut hingga ke seantero dunia. Setidaknya pada saat ini, jumlah tingkatan “para bulu ketek”, menempatkan Ibu Pertiwi pada jajaran ke 140 “negara berketek kecut”dari 160 tingkatan (country rank) yang ada
(http://www.nationmaster.com/red/graph/gov_cor-government-corruption&b_printable=1&b_desc=1). (cat: semakin besar tingkatannya berarti semakin “kecut” bulu-bulu keteknya).

Bulu ketek itu sendiri memang merupakan fenomena yang alami, dimana setiap badan pasti mempunyai bulu ketek, begitu juga dengan Ibu Pertiwi. Secara alami, patut juga diketahui, kalau “para bulu ketek” tersebut tidak bisa di basmi secara permanen. Tetapi, sekalipun tidak bisa di basmi secara permanen, Ibu Pertiwi tidak akan rela begitu saja menyerah. Segala daya dan upaya di kerahkan untuk mencari dan menemukan “mesin-mesin pembasmi” yang efektif.

Sejak zaman dahulu, telah banyak di lakukan pembasmian bulu-bulu ketek dengan cara mencabut, mencukur, waxes, penggunaan epilator, obat-obatan, enzim hingga penggunaan teknologi canggih seperti penggunaan laser dan teknologi yang paling baru yaitu IPL (Intense Pulsed Light).

Begitu juga dengan sang Ibu Pertiwi, beliau telah banyak melewati berbagai macam cara, dalam membasmi “para bulu ketek” yang tumbuh di ketiaknya. Betapa tersiksanya Ibu Pertiwi, kala ia hanya mampu menggunakan alat penjepit/pencabut bulu, dimana, ia harus menanggung rasa sakit yang lama akibat sistim cabut satu per satu “para bulu ketek” tersebut. Di tambah dengan lamanya proses dan akibat saat dicabut, muncul luka yang tak kasat mata serta pori-pori yang membesar, membuat penderitaan Ibu Pertiwi berkepanjangan, terantai oleh rasa rendah diri di depan publik. Memasuki era reformasi, sang Ibu Pertiwi mulai melirik penggunaan silet cukur untuk membasmi “para bulu ketek”. Dengan penggunaan silet cukur, maka berkuranglah penderitaan Ibu Pertiwi dari rasa sakit. Tapi sayangnya, penggunaan silet cukur tidaklah efektif. “Para bulu ketek” tumbuh lagi dengan lebih cepat, dan lebih ganas menebarkan aromanya. Selain itu, bukan saja kecepatan pertumbuhan kembali “para bulu ketek” yang meresahkan, tetapi akibat “kebandelan” dan kekerasan akar dari “para bulu ketek” menyebabkan silet cukur menekan lebih keras dan menimbulkan iritasi, menyayat kulit Ibu pertiwi, menyebabkan kematian salah satu anaknya, menorehkan luka yang tak kunjung kering.

Beralih dari penggunaan pisau cukur, dengan kondisi perekonomian dan situasi politik yang memungkinkan, maka cara waxes mulai digunakan. Dengan mengecilnya risiko, dibandingkan penggunaan alat pencabut bulu dan pisau cukur, tampaknya waxes menjadi pilihan yang tepat saat itu.

Menurut laporan organisasi “Transparency International” (http://www.transparency.org) pada tahun 2005, Indonesia termasuk negara yang optimis dalam pembasmian “para bulu ketek” dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sejak tahun 2005 hingga 2007, tingkat ranking CPI (Corruption Perceptions Index) Indonesia menunjukkan bahwa pembasmian ala waxes cukup membawa hasil. Dimana pada tahun 2005, Indonesia berada pada tingkatan ke 140 negara berbau kecut dari 159 country rank, lalu pada tahun 2006, Indonesia berhasil mencabut lebih “para bulu ketek” yang membuat ia berada pada posisi ke 130 dari 163 tingkatan, dan pada tahun 2007, Indonesia membasmi lebih banyak lagi “para bulu ketek” sehingga mendudukkan diri pada tingkatan ke 143 dari 179 country rank.
Tetapi sekali lagi, “para bulu ketek” menonjolkan keangkuhannya. Akibat samping dari penggunaan waxes malah membuat mereka, “para bulu ketek”, tumbuh lebih kasar dari sebelumnya dan lebih kecut aromanya. Menurut perhitungan tabel CPI saat ini (2008), pertumbuhan “para bulu kletek” bekletek, merambah dengan kekasarannya, membuat Indonesia untuk sementara (mudah-mudahan) berada pada posisi ke 140 dari 160 tingkatan.

Sesungguhnya, keberadaan jumlah para bulu-bulu ketek ini juga tergantung dari faktor kondisi alam dan ekonomi. Kondisi alam yang saya maksudkan disini adalah kondisi hukum yang ada. Seperti halnya negara-negara Eropa Utara, yang kondisi suhu alamnya sering mencapai titik beku, membuat “para bulu ketek” tergeletak beku kedinginan, menderita kelambatan pertumbuhan, tertekan oleh daya hukum yang “beku” dan ketat. Ditambah lagi dengan daya kantong yang cukup tebal, memungkinkan mereka menggunakan teknik IPL (intense pulse light) untuk menghilangkan “para bulu-bulu ketek”. Dengan waktu pengerjaan yang sangat pendek, “para bulu ketek” tidak akan tumbuh lagi dalam jangka waktu lebih lama. Tetapi untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, IPL tidak dapat dilakukan hanya satu kali. Dibutuhkan pengulangan-pengulangan yang rutin, oleh sebab itu, potensi kantong ekonomi sangat penting di dalam menjaga kestabilan dan kebersihan akan serangan pertumbuhan “para bulu ketek”.

Pada tahun 2008 ini, Indonesia memperkuat usahanya untuk meningkatkan kegiatan pembasmian “para bulu ketek”. Apalagi, dalam waktu yang sangat dekat, akan diadakan kembali pemilihan umum. Dengan harapan, akan situasi yang baru dan lebih baik, tampaknya penggunaan “Mesin Epilator” untuk membasmi “para bulu ketek” mulai digunakan. Berbagai jenis dan merek ditayangkan, namun pada intinya adalah sama. Mencabut “para bulu ketek” dengan efektif dan memperlambat pertumbuhan mereka. Setidaknya, mereka “para bulu ketek”, akan tumbuh jauh lebih halus daripada penggunaan sistim lainnya.
Masa pertama kali penggunaan “Mesin Epilator”, pasti akan menimbulkan rasa sakit, tetapi semakin sering pemakaian, maka kulitpun akan terbiasa. Sehingga dengan demikian, Ibu Pertiwi dapat menyambut musim panas dengan badan yang bersih, indah dan terlepas dari bau kecut yang menyebalkan.

Tetapi jangan lupa, selain harus sering-sering menggunakan “Mesin Epilator” secara rutin, Ibu Pertiwi harus rajin membersihkan “Mesin Epilator” setiap akhir proses pembasmian. Karena bukan tidak mungkin “para bulu ketek” tersebut menyangkut erat pada mesin, yang mengakibatkan “Mesin Epilator” tidak berfungsi dengan sempurna. Penyikatan “para bulu ketek”, pada “Mesin Epilator” harus sering-sering dilakukan. Bukan tidak mungkin, kalau “para bulu ketek” ini memberatkan atau menumpulkan pisau penjepit “Mesin Epilator”. Akibatnya banyak kita baca pada berita-berita di media masa, bahwa korban “para bulu ketek” tidak hanya Ibu Pertiwi tetapi juga “Mesin Epilator”. “Mesin Epilator” juga harus dijaga kebersihan dan kesterilannya, karena bukan tidak mungkin, antek-antek “para bulu ketek” yang berbentuk bakteri-bakteri akan menyerang Ibu Pertiwi setelah proses pembasmian. Akibatnya, sering terbaca kisah akan keberhasilan pembasmian “para bulu ketek”, di sertai dengan penyerangan mikroskopik “bakteri-bakteri” yang sama sekali tidak bisa terlihat, penyerangan yang kasat mata.

Jadi untuk mengakhiri kisah parodi “para bulu ketek”, saya hendak menekankan bahwa, pada dasarnya “para bulu ketek” selalu hidup dimana pun dan kapan pun, selama bola dunia ini masih berputar, dan terisi oleh manusia dan makhluk hidup lainnya.

Oleh karena itu, pembasmian “para bulu ketek” harus dilakukan dengan disiplin yang ketat, terjaga frekuensi kerutinannya. Penggunaan dan pemakaian alat pembasmi “para bulu ketek” juga harus diperhatikan dan selalu terpantau kebersihannya, dari “para bulu ketek” yang menyangkut di mesin pembasmi. Kesterilan mesin pembasmi dari “bakteri-bakteri”, sahabat “para bulu ketek” merupakan syarat utama demi kesempurnaan mesin.

Saat ini, kantong ekonomi Indonesia memang belum mampu menggunakan teknologi canggih nan mahal, seperti penggunaan teknik IPL (intense pulse light), untuk membasmi “para bulu ketek”. Ditambah lagi dengan kondisi alam hukumnya, yang masih mempunyai tingkat kelembapan yang tinggi, membuat Ibu Pertiwi masih tetap harus berjuang keras, dalam meredam tingkat pertumbuhan “para bulu ketek”. Tapi hal ini bukan berarti membuat kita harus pasrah dengan serangan gencar aroma kecut dari “para bulu ketek”.

Tulisan ini mengajak kita semua untuk, berhenti menutup hidung, berhenti berkeluh kesah, akibat bau kecut dan ketidaknyamanan yang di timbulkan oleh “para bulu ketek”. Mulailah sejak sekarang, kita membasmi “para bulu ketek”. Janganlah kita hanya mengandalkan satu mesin saja untuk membasmi, tetapi berkreatiflah, dengan potensi kantong ekonomi yang ada pada diri masing-masing. Dengan bersatunya kita, menggunakan berbagai macam alat dan cara untuk membasmi “para bulu ketek”, maka bukan tidak mungkin, kita akan meredam tingkat dan waktu pertumbuhan “para bulu ketek”. Sehingga, saat kita menunjukkan diri kita di hadapan publik, kita akan tampil berani, dengan rasa nyaman dan percaya diri, bebas dari tebaran aroma kecut.

Mari kita singsingkan lengan, cabuti ramai-ramai “para bulu ketek”!

Arita-CH