Titipan Berharga

09.07.2007.




Cerita saya berawal dari empat tahun yang lalu, sewaktu membaca tulisan Dr.JJ. Kusni dalam buku “Masalah Etnis dan pembangunan”. Dalam salah satu tulisannya, beliau membahas sebuah novel yang berjudul “Lonceng Kematian” karya Ray Rizal, cerita tentang kehidupan orang Dayak Punan di Kalimantan Timur. Dalam pembahasannya, beberapa tulisan beliau (J.J Kusni) “mengetuk” kepala saya dengan keras, dimana dengan ciri khasnya yang tajam ia menulis,

“Ketika Kalimantan sudah mulai diusahakan seperti sekarang, orang-orang Dayak makin terdesak dan terdesak saja. Siapa yang memperdulikan mereka? Mengapa bertanya kepada orang luar dan tidak mengalamatkan pertanyaan kepada yang paling bersangkutan langsung yaitu etnik itu sendiri? Pernahkah kemajuan dan pembangunan berkembang merata karena belas kasihan?”.

Mak deg! Kata-kata “belas kasihan” itu mendengung di kepala saya. Sering sekali saya dengar (langsung di depan telinga saya) komentar dari orang-orang asing tentang Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung intinya adalah “mengasihani” Indonesia. “poor Indonesia, poor country, poor people” dan lain sebagainya, saya yang mendengar ikut mantuk-mantuk seperti burung Tekukur, iya ya, kasihan bangsaku. Sebagai seorang peneliti, sering saya berjumpa dengan peneliti asing yang mempunyai “cita-cita” untuk memperkenalkan Indonesia lebih jauh, menulis tentang Indonesia, tentang budayanya, tentang sejarahnya, pokoke semuanya yang berbau Indonesia, dan saya yang peneliti lokal, mantuk-mantuk lagi, terkagum-kagum mendengar betapa tinggi cita-citanya bagi bangsa saya. Tetapi, lagi-lagi tulisan J.J. Kusni, mengetuk kepala saya yang mantuk-mantuk, tulisnya

Apakah yang bisa diharapkan dari peneliti asing seperti Nanette (tokoh dalam novel “Lonceng Kematian”), misalnya. Seusai penelitian dan mengumpulkan data, iapun kembali ke Prancis, dan orang Dayak yang ditelitinya berada di hutan Kaltim, sementara Nanette dengan bahan-bahannya tentang Dayak boleh jadi kian memperkokoh posisi di Lembaga Pusat Penelitian Ilmiah Prancis. [...] Lalu untuk manusia, untuk orang Punan, kaum pengembara yang selama ini hidup di hutan dan ingin dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat, siapakah yang perduli?” [...] Adakah tanggapan positif dari masyarakat dan lembaga terkait untuk segera melakukan tindakan penyelamatan? [..] Tapi sungguh mustahil apabila orang-orang Dayak sendiri menjadi manusia tidak perduli atas nasib diri sendiri. Jika memang demikian, janganlah menangisi langit dan bumi melihat kepunahan diri dari permukaan bumi, dan apabila benar-benar demikian maka betul lonceng kematian alias bamba (gong kematian) sudah ditabuh [..]. Dayak hanyalah suatu kasus, karena nama ini bisa saja digantikan dengan nama etnik-etnik lainnya.Apakah saya pesimis? Boleh jadi ya, tapi boleh jadi tidak, karena yang nampaknya pesimis bisa berganti kualitas menjadi sesuatu positif apabila ia membangkitkan kesadaran dan mendorong tindakan menjawab mengalahkan tantangan. Mudah-mudahan!”

Aduh! Saya seperti digodam dengan palu besar, sebagai peneliti kok aksi saya selama ini yah mantuk-mantuk saja, “NATO” kebanyakkan bla, bla, bla, mengalihkan pembicaraan dengan alasan belum ada sponsor, belum top jadi tidak ada yang mau membiayai, mau riset ke pedalaman saja masih menghitung dana yang baru sebatas jumlah “jemari tangan kanan”, belum termasuk “jemari tangan kiri”, lha tidak bisa tepuk tangan toh? Pokoke banyak alasan saya untuk tidak “beraksi”yang akhirnya saya jadi mati kutu digodam tulisan J.J. Kusni. Mengadulah saya ke suami tersayang, berbagi rasa malu, kan dia juga peneliti, walaupun bukan peneliti lokal, mengadu juga ke orang tua dan mertua sekaligus mencari jalan keluar, yang hasilnya lumayan untuk menggenapi dana riset beberapa bulan ke pedalaman.

Hasil riset beberapa bulan hanya berbentuk artikel sebanyak beberapa lembar yang disodorkan ke kanan dan kiri tetapi ditolak oleh berbagai lembaga penerbit. Kenapa? Kurang populer nama penelitinya, masih bau kencur, kurang komersil, tidak ada dukungan nama institusi besar, alasan klasik yang juga berlaku di dunia penelitian. Tapi maju terus pantang mundur, lebih baik bolak-balik cari penerbit dari pada “digodam” dengan rasa malu. Sampai akhirnya artikel kami berdua diterima dengan tangan lebar oleh sebuah badan penelitian di Amerika, wah senangnya bisa berhasil. Tapi tunggu dulu, mana hasil konkritnya? Bah! Ternyata kurang berdampak besar untuk sebuah peradaban, hanya setitik debu di lautan pasir! Kami berdua mulai memasuki tahap berikutnya, mencoba lembaga pemerintah, sebuah Museum Budaya di kota Lugano, tepatnya terletak di bagian selatan Swiss, hanya beberapa kilometer dari perbatasan Swiss-Itali.

Pertama kali saya mengunjungi museum tersebut, saya terpukau dengan banyaknya benda-benda dari Indonesia, mengalahkan koleksi museum Musée de l'Homme di Paris yang dipamerkan untuk umum (sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar koleksi dari Indonesia “terkubur” di gudang Musée de l'Homme, sedih lagi ya?). Setelah habis rasa kagumnya, datanglah rasa sedih, ya sedih benar nasib Indonesia, koleksi dari pulau Borneo semuanya ditulis Malaysia, tidak ada secuilpun bertuliskan INDONESIA. Bahkan salah satu nama suku dayak yang jelas-jelasan berada di Indonesia, nama negara asal bertuliskan juga Malaysia. Bosan saya menangis dan mengeluh! Bosan “dijajah” terus oleh bangsa lain. Saatnya untuk bertindak, walaupun kecewa dengan pemerintah yang sebagian amburadul tetapi sebuah peradaban adalah akar dari sebuah bangsa. Walaupun saya sangat dikecewakan oleh hukum di Indonesia, tetapi peradaban bangsa Indonesia adalah pohon yang membesarkan saya, intinya, saya bosan mendengar dan membaca definisi Borneo = Malaysia (Brunei saja dicuekin), padahal nama Borneo “tercipta” pada tahun 1521 karena “kesalahpahaman” dari Antonio Pigafetta seorang jurnalis Italia yang ikut dalam pelayaran ekspedisi Ferdinand Magellan.
Pigafetta salah kaprah dalam menulis laporan perjalanan, dimana saat ia berlabuh di sebuah pelabuhan, ia terpukau dengan sambutan yang sangat istimewa, menaiki gajah yang berbajukan emas (emasnya pasti buanyakk), melihat rumah-rumah besar (rumah betang) yang bisa memuat 50 orang Eropa. Saat ia menanyakan nama tempat tersebut maka penduduk lokal pun menjawab bahwa ia saat itu berada di Bornei (sekarang bernama Brunei Darussalam ). Pulanglah Pigafetta dengan laporan bahwa ia telah berlabuh di sebuah pulau yang sangat besar dan kaya raya yang bernama Bornei dan akhirnya karena mengikuti lidah orang eropa maka nama “Bornei” menjadi “Borneo”. Gemblung ya, memang susah-susah gampang menjadi jurnalis.Padahal orang melayu (malaysian) yang menetap di pulau tersebut saat itu (tahun 1500) sudah mengenal dan mengetahui nama pulau dengan nama “Kalamantan”.

Karena bosan mendengar omelan saya sendiri, begitu juga suami saya sampai “penuh” telinganya mendengar keluhan saya, maka kami memberanikan diri untuk menulis ke Museum Budaya Lugano, menawarkan diri untuk “mengoreksi” secara sukarela, tidak digajipun ya tidak apa-apa karena bagi kami sebuah kebenaran adalah suatu bayaran yang mahal. Tapi tunggu punya tunggu, gigit jari saja yang terjadi, penolakkan dari pihak museumpun tidak terdengar, mungkin tawaran kami dianggap “aneh bin ajaib”. Ya sudah, daripada marah-marah ya berdoa saja menunggu waktu untuk mengungkapkan kebenaran, sambil “cuap-cuap” di sekitar tempat tinggal berbagi pengetahuan tentang Indonesia.

Pada tahun 2005, kami mendengar pergantian pengurus di Museum Budaya Lugano dimana pemimpin yang baru adalah seorang profesor asal Itali ahli budaya akan Sepik dan Bali. Ya dicoba lagi menawarkan diri kembali ke Museum Budaya Lugano, tidak ada salahnya sudah kebal dengan penolakan, jadi kami maju lagi “bertempur” di susunan pengurus yang baru.
“Bak gayung bersambut” jadilah kami “memandikan” Indonesia yang “kotor ketutupan debu ketidakbenaran”. Pemimpin museum yang baru setuju untuk memberikan “gayung” kepada kami dalam mengoreksi beberapa koleksi benda-benda budaya di Museum Budaya Lugano, bahkan bukan hanya “gayung” yang diberikan kepada kami berdua, tetapi juga “tempayan besar penuh berisi air” untuk membersihkan. Kami berdua dipercayakan dalam mengorganisir Pameran Budaya akan benda-benda budaya dari pulau yang pernah dikenal dengan nama Pulau Bagawan Bawi Lewu Telo (Riwut, 2003 :3),Burnéi (Stanley, 1874:108), Nusa Tanjung Negara dan Pulo Kalamantan (Saint John, 1847:15). Wah lompat-lompat ditempat kami, senangnya bukan kepalang serta takutnya hampir menjadi penghalang. Senang karena waktu yang ditunggu-tunggu sudah di depan mata, takut karena yang akan digelar adalah martabat bangsa.


Wara-wiri mengatur acara pameran ternyata lebih pusing daripada membuat makalah ilmiah, makanya karena sudah kadung pusing ya sekalian saya coba-coba membikin acara “seramai” mungkin. Dari sebanyak 39 objek budaya dari pulau Borneo yang dipamerkan, hanya 5 objek yang positif dari Malaysia, oleh karena itu, bisa dikatakan yang mejadi “tuan rumah” dari pameran adalah INDONESIA. Jadi saya mengusulkan agar setidaknya pemerintah Indonesia bisa membuka acara pameran tersebut.


Dikarenakan sebagian besar objek berasal dari Indonesia, oleh karena itu pihak kota Lugano setuju untuk mengundang Duta Besar Republik Indonesia, Ibu Lucia Helwinda Rustam dan juga mengundang langsung Gubernur Kalimantan Tengah serta menanggung seluruh biaya transportasi dari Indonesia hingga tiba di Lugano, akomodasi selama di Lugano serta kunjungan-kunjungan sosial ke berbagai tempat di Lugano, sebagai wujud penghormatan dan penghargaan akan kebesaran peradaban Kalimantan di Indonesia. Saya (kembali) mencoba memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mengusulkan (lagi) ke kota Lugano untuk mengadakan seminar tentang Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi tapi tampaknya, “gayung belum tersambut”, karena saat ini negara yang menjadi prioritas bagi jaringan bisnis Switzerland (OSEC) adalah negara Thailand, alasan ketidakstabilan politik menjadi landasan untuk mendudukkan Indonesia di “lantai”, ya gedebuk lagi saya ndeprok “menunggu” lagi.

Singkatnya, pameran tersebut berhasil dilaksanakan dibantu oleh para “sesepuh” antropolog Kalimantan yang diantaranya adalah Mina (cat: bibi) Nila Riwut, bapak Antonio Guerreiro dan bapak Bernard Sellato dari Perancis, dimana beliau mampu bercakap dalam bahasa daerah, lebih canggih dari saya sendiri (malu jeg!). Pameran yang berjudul “PATONG. Great Figures Carved by the People of Borneo” bertempat di Galleria Gottardo, Lugano dan berlangsung selama tiga bulan dari tanggal 23 Mai hingga 25 Agustus 2007, bisa lihat di website http://www.galleria-gottardo.org/galleria_gottardo/en/Index.html.Saat pembukaan pameran, tanggal 23 Mai 2007, Duta Besar Indonesia, Ibu Lucia H Rustam memberikan kata sambutan yang sangat menyentuh hati saya. Baru sekali saya bertemu dengan para pejabat pemerintah yang sangat “membumi” dimana kedua kakinya “menginjak tanah” dengan pasti. Pujian, rasa kagum dan hormat saya kepada beliau. Begitu juga dengan Gubernur Kalimantan Tengah dan istri, Bapak Teras Narang dan Ibu Moenartining, mereka berdua mengangkat wajah dengan tegak, bangga memperkenalkan Kalimantan kepada masyarakat Internasional, rasa percaya diri dan pengetahuan mereka yang luas membuat Indonesia terlihat besar di kerumunan orang-orang berkulit putih. Jauh sekali dengan pejabat-pejabat pemerintah lainnya yang pernah saya temui (terutama pada pembukaan pameran budaya di Eropa), setidaknya mereka bagaikan angin segar di tengah-tengah polusi pemerintahan.


Pameran berlangsung dengan sukses, pengunjung berdatangan dari berbagai negara. Dan yang menarik dalam pameran adalah program “guided visit ” untuk grup dari perusahaan, lembaga maupun instansi perbankan, dimana kunjungan juga dilengkapi dengan pengetahuan akan budaya dan sejarah. Nah yang ini menjadi bagian kami berdua, terutama saya yang paling “cerewet” mengenalkan Indonesia kepada para usahawan.Grup pertama yang berpartisipasi dalam program tersebut adalah sebuah grup bank besar Swiss yang beranggotakan 40 orang. Kami berdua agak grogi di depan para bankir, bagaimana caranya berbicara antropologi dengan para bankir yang berkutat dengan angka? Akhirnya suasana yang kaku mencair dengan cepat, apalagi saat mereka mengajukan pertanyaan, sampai terkaget-kaget saya dengan pertanyaan para bankir.
Adakah gorila di Indonesia? Indonesia tidak sama dengan Malaysia? Adakah lapangan terbang? Bisakah menggunakan dolar? Apakah peradaban suku Dayak masih eksis di Indonesia?”
Saat menjawab pertanyaan mereka, kembali terngiang – ngiang di telinga saya, pesan Ibu Moenartining dan Bapak Teras Narang sebelum memasuki pintu masuk imigrasi bandara Lugano untuk pulang ke Indonesia,
“Titip Indonesia ya nak ...”
Arita-CH

Setia dan Wanita

Catatan Sejarah 500 SM - 2008


“Duka nya sudah tak tertahankan lagi, dan sepertinya tidak ada satu hal pun lagi yang ditunggu, dengan terburu-buru, dia (Satyawati) mempersiapkan diri untuk kematian. Ia menarik keris yang dipegangnya sejak tadi, yang kini berpijar kemilau keluar dari sarungnya. Dia kemudian menancapkan diri tanpa rasa takut ke bilah keris, dan darah segar mengalir ke luar seperti cairan mineral merah.”
(kakawin Bharatayuddha.45.1-45.)

Dalam cerita klasik Jawa, Kakawin Bharatayuddha (1157 M), Mpu Sedah menceritakan keberadaan Pujawati, putri dari seorang Brahmana raksasa bernama Resi Bagaspati, yang menikah dengan Salya atau Prabu Salyapati. Salya yang sewaktu muda bernama Narasoma, merasa malu mempunyai mertua seorang raksasa. Mengetahui rasa gundah suaminya, Pujawati lalu memberitahukan hal tersebut kepada ayahanda Resi Bagaspati, yang kemudian meminta anaknya untuk memilih di antara dua, ayahanda atau suami. Berdiri di antara dua pilihan; ayah dan suami, Pujawati memutuskan pilihannya kepada Salya, suami tercinta. Keputusan tersebut membuat bangga ayahanda, Resi Bagaspati, yang kemudian mengganti nama Pujawati menjadi Satyawati. Seorang Satya, 'the true or loyal one' (kakawin Ramayana 17.62; kakawin Bharatayuddha 46.1; kakawin Smaradahana 20.4)

Satya (setia)
Kata “Satya” yang ditemukan dalam bahasa Jawa kuno, merupakan kata yang di adopsi dari bahasa Sanskerta India, dari bentuk kata sifat “Sati”, yang berarti tulus, jujur, loyal (untuk satu suami, raja; bersumpah kepada seseorang), berbudi luhur, baik. Untuk mengenal lebih jauh akan arti dari kata Satya (setia), mari kita mengenal terlebih dahulu arti dari kata Sati.

Sati
Istilah Sati (Su-thi atau Suttee) di India di duga keras berasal dari kisah Dewi Sati, yang juga di kenal dengan nama Dakshayani. Dewi Sati atau Dakshayani di kenal akan tindakan pengorbanan dirinya dengan terjun ke dalam api pembakaran, karena ia tak mampu menahan penghinaan Dakhsa (ayahnya), terhadap Shiva (suaminya). Setelah pembakaran diri dan mati, Dakshayani bereinkarnasi, lahir untuk kedua kalinya sebagai puteri dari raja gunung, Himawan, dengan nama Parvati, yang akhirnya kembali menjadi istri dari Shiva untuk kedua kalinya.

Shiva Carrying Sati on His Trident, circa 1800


Kisah kesetiaan sempurna Dewi Sati kepada Siva, suaminya, sering dikutip untuk membenarkan asal-usul dari praktek Sati di India, praktek yang menggambarkan bentuk kesetiaan terakhir seorang istri dengan mengorbankan diri hidup-hidup di dalam api kremasi mayat suami.

Dalam Sanskerta, Sati dibedakan dalam dua jenis:
  1. Sahamarana, sahagamana atau anvarohana.
    Kematian seorang wanita yang naik ke tumpukan kayu bakar kremasi mayat suami dan mati bersama.
     
  2. Anumarana.
    Mayat suami di kremasi terlebih dahulu dan sang istri kemudian di kremasi terpisah di tempat lain, kadang-kadang dengan abu suami atau kenang-kenangan lain dari suami.
Sedangkan pada masa peperangan, para istri dari pangeran dan raja yang kalah melakukan bunuh diri (Jauhar) untuk menghindari diri jatuh ke tangan musuh yang menang. Jauhar banyak dipraktekkan di antara para bangsawan Rajput.


Swaami (suami) dan Satya (setia)
Di India, bentuk kesetiaan seorang wanita terhadap pasangannya, sudah terpatri dalam dan berlangsung sejak beratus abad. Pada periode epik di India (sekitar 500 SM - 500 M) buku-buku hukum yang disebut Dharmashastra, atau risalah tentang perilaku yang benar (dharma), di kompilasi oleh golongan lelaki Brahman menjadi standar agama yang digunakan untuk mengukur perilaku seseorang.

Di dalam Dharmashastra, tertulis akan ideologi Stridharma, ideologi tentang cara hidup yang benar bagi seorang istri, yang menuntut pengabdian wanita pada satu suami.

Ideologi Stridharma menyatakan bahwa suami bagi seorang wanita adalah semacam “tuhan”, dan dalam bahasa Sanskerta, kata untuk pasangan istri adalah -“Swaami”- (suami) yang secara harafiah diartikan “tuhan dan guru”. Sehingga, kebahagiaan hidup seorang istri yang ideal adalah memuaskan suaminya secara penuh, sedangkan kekhawatiran seorang istri yang sejati adalah ketidakmampuan melakukan pengabdian secara utuh dan menyeluruh.

Pengabdian dalam bentuk kesetiaan yang tidak dapat dipisahkan sekalipun dengan kematian. Keseluruhan sikap dan kesempurnaan ekspresi kesetiaan tertinggi seorang istri dalam suatu perkawinan di India diungkapkan dalam bentuk Sati.

 
The Bride Throws Herself on Her Husband's Funeral Pyre. Persian, Safavid period, first half 17th century. Attributed to Muhammad Qasim

Wanita dan Sati di India
Apakah Sati tepatnya merupakan praktek pengorbanan diri yang asli berasal dari India atau di adopsi dari budaya lain, tidak diketahui dengan pasti. Catatan tertua yang didapati tentang pengorbanan diri wanita di India ditulis sekitar tahun 326 SM oleh Aristobulus dari Cassandreia, seorang sejarawan Yunani yang turut dalam ekspedisi Alexander Agung di Lembah Indus, India. Beliau menemukan adanya praktek pengorbanan wanita di kota Taxila (kini masuk di dalam wilayah Pakistan).

Sejarah India serta teks-teks sastra yang memuat praktek Sati, banyak menarik perhatian bangsa asing ke India. Di dalam pemerintahan kolonial Inggris, pada akhir tahun kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas, tulisan-tulisan tentang Sati segera berkembang dari kisah-kisah yang eksotis hingga tulisan-tulisan yang langsung mengutuk keberadaan praktek Sati.

Praktek Sati akhirnya dilarang oleh Pemerintah Inggris pada tahun 1829 oleh Lord Bentinck, Gubernur-Jenderal India (1828-1835) dan diperkuat kembali di abad 20 pada Sati (Prevention) Act 1987. Namun, terlepas dari larangan hukum pada kenyataannya, hal ini terus terjadi hingga abad ke 21, sebagaimana dibuktikan dengan berita terakhir pada tanggal 13 Oktober 2008, di desa Chechar (India tengah). Seorang janda bernama Lalmati Verma berusia 71 tahun, mengorbankan dirinya kedalam tumpukan api kremasi Shivnandan Verma, suaminya.
 
Catatan praktek Sati di abad ke 20 dan ke 21 di India.
Tanggal kejadian
Nama
Usia
04.09.1987
Roop Kanwar
18 th
Agutus 2002
Kuttu Bai
65 th
2006
Vidyawati
35 th
Agustus 2006
Janakrani
40 th
13.10.2008
Lalmati
71 th


Sati dan Satya. Dari India ke kepulauan Indonesia
Mendengar berita kematian Salya, Satyawati segera pergi menyusulnya. Dengan di temani oleh Sugandhika, sang dayang kesayangan, Satyawati menuju medan perang, menyelinap dalam sungai darah dan tersandung mayat-mayat busuk, mencari-cari tubuh Salya.

Dalam keputusasaan, dia bersiap-siap menusuk diri dengan keris, ketika para dewa yang merasa kasihan padanya menunjukkan keberadaan Salya yang terbaring kaku. Dengan memegang erat-erat, Satyawati mencoba untuk menghidupkan kembali suaminya, memarahinya karena meninggalkan dirinya dan menuduh suaminya tidak pernah benar-benar mencintainya. Menangis dan memohon kepadanya untuk menunggu dia di jembatan gantung menuju surga.

Lalu Satyawati kemudian menusuk dadanya dengan keris dan mati seketika. Dayang setianya, Sugandhika, menarik keris dari dada Satyawati dan menusukkan dalam-dalam ke dadanya sendiri.

Kisah kesetiaan terakhir Satyawati yang di tulis oleh Mpu Sedah pada kakawin Bharatayuddha (1157 M) menggambarkan kenyataan adanya praktek Sati yang (pernah) terjadi di Indonesia. Dalam berbagai literatur kuno di Indonesia, dari kakawin Ramayana (abad ke 9) hingga kidung Sunda, kisah cerita akan pengabdian total hingga kematian menjelang seorang istri didengungkan, mencerminkan realitas akan praktek Sati dalam masyarakat sosial, yang pernah ada di Indonesia. Istilah Sati yang (kemudian) di adopsi menjadi kata “Satya” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perempuan yang loyal dan tak terpisahkan mengikuti suami mereka sekalipun kematian menjelang.

Wanita Satya di Indonesia
Pada masyarakat Jawa keberadaan tradisi Sati di kenal sejak kurang lebih pada abad ke 9. Ada beberapa metode pengorbanan diri wanita Satya di Indonesia, dimana cara pengorbanan diri sedikit berbeda dengan metode Sati yang ada di India.
  1. Pengorbanan dengan menerjunkan diri ke dalam api secara hidup-hidup (seperti yang dilakukan di India).
  2. Pengorbanan dengan menggunakan keris, baik dengan menusuk diri sendiri ataupun ditusuk oleh orang yang telah ditunjuk (biasanya seorang lelaki dari pihak keluarga perempuan).
  3. Pengorbanan dengan menusuk diri dengan keris, lalu meloncat ke dalam api kremasi.
  4. Pengorbanan dengan menenggelamkan diri ke dalam sungai atau laut.
Berapa banyak dan terdapat di daerah mana saja ditemukan wanita Satya yang melakukan pengorbanan diri di Indonesia, tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun, catatan sejarah menunjukkan sebagian besar tradisi pengorbanan diri dilakukan di pulau Jawa dan pulau Bali. Hanya satu catatan didapati akan adanya juga kebiasaan wanita mengorbankan diri, di pulau Belitung.

Tahun 1416
Sekalipun diyakini bahwa praktek Sati dikenal keberadaannya Indonesia sejak abad ke 9, namun catatan tertua akan adanya praktek Sati, ditulis pada periode Majapahit tahun 1416 oleh Ma Huan, seorang penterjemah yang menemani Zheng He (Cheng Ho) dalam ekspedisinya.
Ma Huan mengunjungi pulau Jawa dengan pasukan ekspedisi ketiga Cina pada tahun 1413-15. Dengan melihat secara langsung, ia menggambarkan proses pengorbanan terakhir wanita, saat ia mengunjungi ibu kota Majapahit, Wilwatikta.

"Ada suatu kebiasaan di daerah tersebut, dimana ketika lelaki kaya, kepala desa ataupun bangsawan meninggal dunia, istri dan para selir bersumpah kepada suami mereka, dan berkata, “dalam kematian kami pergi bersamamu”.

Saat hari pemakaman tiba, mereka membangun tumpukan kayu yang tinggi untuk melakukan kremasi. Dua atau tiga orang melayani istri dan selir yang telah bersumpah, menunggu sampai saat kobaran api meninggi, kemudian dengan mengenakan rumput dan bunga di atas kepala, memakai kain dengan desain lima warna, istri dan para selir mulai menaiki tangga menuju ke atas tumpukkan kayu bakar.

Mereka menari, meratap, selama beberapa waktu, lalu kemudian mereka melemparkan diri ke dalam api, terbakar dengan mayat suami mereka. Menyelesaikan pengabdian terakhir dengan mengkremasikan mereka yang hidup bersama dengan mereka yang sudah mati." 

Tahun 1436
Fei Hsin yang juga mendampingi utusan Cheng Ho pada sejumlah ekspedisi, mengunjungi pulau Jawa pada ekspedisi ketujuh Cheng Ho. Ia menulis dalam catatannya di tahun 1436, akan suatu praktek kremasi mayat lelaki bersama dengan istrinya hidup-hidup.

Saat masa berkabung akan meninggalnya seseorang kepala desa karena usia tua, semua istri, selir dan pelayan wanita, masing-masing berjanji untuk mati bersama.

Ketika hari pemakaman tiba, para istri, selir, dan pelayan perempuan, menghiasi kepala mereka dengan mahkota rumput dan bunga, serta menghiasi diri dengan kain berwarna-warni.

Mereka lalu berjalan beriringan menuju pantai atau ke tempat yang sepi, di mana mereka lalu membaringkan mayat suami mereka diatas pasir untuk dicabik-cabik oleh anjing-anjing liar.

Jika anjing-anjing berhasil mencabik bersih daging dari mayat, maka hal ini dianggap sebagai pertanda baik, tetapi jika masih didapati sisa-sisa daging pada mayat tersebut, maka para perempuan tersebut akan meratap mendendangkan lagu kedukaan.

Kemudian, mereka menumpuk kayu bakar dan semua perempuan lalu duduk bersama dengan mayat suami, terbakar bersama-sama.”

Tahun 1515
Tomé Pires, seorang apoteker berasal dari Lisbon, Portugis, yang pernah tinggal di Asia pada abad ke 16 (Malaka, 1512-1515), mencatat dengan seksama akan keberadaan wanita-wanita tegar Satya dalam masyarakat Sunda dan masyarakat Jawa yang mengikuti suaminya sekalipun dalam kematian.

Pada masyarakat Sunda, ada suatu “keharusan” bagi para istri raja dan bangsawan untuk membakar diri saat pengkremasian suami. Sedangkan untuk lelaki yang berkedudukan rendah, hal yang sama juga dilakukan, namun hanya dilakukan oleh para istri yang berkehendak sendiri untuk mengorbankan diri, sedangkan mereka yang memilih tetap hidup, akan memulai kehidupan terpisah dari keluarga dan masyarakat, menjadi “orang buangan” diasingkan dan hidup terasing serta tidak diperbolehkan untuk menikah kembali.

Sedangkan pada masyarakat Jawa, termasuk daerah Blambangan dan Gamda (Surabaya-Panarukan) ia mencatat bahwa ketika seorang raja atau bangsawan meninggal, banyak para istri dan selir-selir mengikuti suami mereka dengan menusuk diri dengan keris atau membakar diri hidup-hidup ataupun menenggelamkan diri dalam laut (hal ini dilakukan terutama pada rakyat biasa). 

Tahun 1524
Antonio Pigafetta, seorang ilmuwan dari Venesia yang menyertai ekspedisi Ferdinand Magellan, mendeskripsikan akan adanya motivasi dan kemauan perempuan (itu sendiri) untuk melakukan tindakan pengorbanan diri.

Dalam catatannya ia menulis bahwa di Jawa, ada suatu kebiasaan untuk mengkremasi tubuh seorang pemimpin yang mati dan bahwa istri yang paling disukainya ditakdirkan untuk dibakar hidup-hidup dalam api yang sama.

"Dihiasi dengan untaian bunga, wanita tersebut diusung dalam tandu oleh empat orang laki-laki, dan dengan ekspresi tenang, wanita itu tertawa lalu menghibur kedua orangtuanya, yang menangisi kematian yang menjelang putri mereka, lalu berkata:

"Malam ini saya akan makan malam bersama suami saya, dan malam ini aku akan tidur disampingnya".

Setibanya di tumpukan kayu kremasi, ia menghibur kembali orangtuanya dengan kata-kata yang sama lalu melemparkan dirinya ke dalam kobaran api yang menjilatnya dengan sempurna." 

Akhir Abad ke 16
Seorang penjelajah Inggris, Thomas Cavendish, yang mengunjungi Jawa dan Bali dalam perjalanannya mengelilingi dunia pada akhir abad keenam belas, menceritakan bahwa ia mendengar informasi dari pihak Portugis bahwa di Blambangan para wanita untuk mengikuti suami hingga ke dunia kematian.

Tidak seperti metode pengorbanan diri dalam catatan Pigafetta (membakar diri), namun pengorbanan diri para wanita dilakukan dengan menusuk diri dengan keris, dan tidak ada penyebutan kematian dengan api. Cavendish mencatat:

“Saat seorang raja meninggal, maka mayatnya akan dikremasikan lalu abunya disimpan dalam suatu wadah. 5 hari setelah acara kremasi, para istri dan selir raja akan mengikuti kematian raja dengan pergi ke suatu tempat yang telah ditentukan.

Istri tertua atau istri favorit raja akan melempar satu bola ke satu arah, dan saat bola tersebut berhenti menggelinding maka tempat perhentian bola tersebut menjadi tempat dimana para istri dan selir berkumpul.

Dengan menghadap ke arah timur dan memegang sebilah keris, mereka mulai menancapkan keris tersebut, lalu terjatuh bermandikan darah, meninggal dengan rasa nyeri di wajah mereka, dan berakhirlah hari-hari mereka.”

Tahun 1633

Ketua dagang Jan Oosterwijk adalah saksi mata Belanda pertama yang menyaksikkan proses pengorbanan diri wanita pada kunjungannya di Bali.

Dalam suatu acara kremasi, Jan Oosterwijk menyaksikan sendiri kremasi 2 orang pangeran diikuti dengan pembakaran diri hidup-hidup dari 76 istri kedua pangeran tersebut (42 istri dari pangeran pertama dan 34 istri dari pangeran kedua). Dimana beberapa wanita menusuk dirinya terlebih dahulu dengan keris lalu melompat ke dalam api kremasi, sedangkan wanita-wanita lainnya langsung menerjang kobaran api hidup-hidup.

Selain acara kremasi 2 orang pangeran, Jan Oosterwijk juga menjadi saksi mata dalam acara kremasi seorang Ratu, dimana 22 dayang pengikut Ratu tersebut melakukan bela (mabela) dengan menerima tusukan keris dari seseorang (lelaki yang telah di pilih dan di tunjuk oleh keluarga) di dada, lalu melompat mengikuti Ratu masuk ke dalam dunia kematian.

06-04-1736
Dalam sebuah laporan yang ditujukan kepada Abraham Patras (Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang ke 24), ditulis bahwa ketika penguasa Blambangan, Bagus Patih, meninggal, mayatnya dikremasi bersama-sama dengan 9 istrinya. 

Tahun 1813 dan 1820
John Crawfurd, seorang dokter Skotlandia, administrator dan penulis, menyertai Stamford Raffles pada ekspedisi militer Lord Minto di Jawa, yang kemudian diangkat menjadi Residen di Pengadilan Yogyakarta pada bulan November 1811. Sebagai Residen, ia mempelajari bahasa Jawa dan menjalin hubungan pribadi dengan beberapa bangsawan Jawa dan sastrawan, lalu bekerja dalam misi diplomatik di Bali dan Sulawesi.

Pada pada tahun 1813, dia mencatat bahwa 20 orang wanita mengorbankan diri terjun ke dalam api kremasi Wayahan Jalanteg (Wayan Jlantik), seorang bangsawan dari Karangasem.

Beberapa tahun kemudian, John Crawfurd mendapat informasi dari raja Blelling (Buleleng, Bali Utara) bahwa ketika ayahnya, penguasa Karangasem, meninggal, 74 perempuan telah mengorbankan diri mereka. 

Tahun 1829
Pierre Dubois, dalam misinya di Bali menggambarkan secara mendetail acara kremasi dari Gusti Gde Ngurah Pamacutan, seorang Raja Badung, pada tahun 1829.

Dalam kremasi ini, 7 perempuan mengorbankan dirinya, termasuk pengasuh raja yang sudah tua dan berambut putih, dimana hanya dibutuhkan waktu kurang dari empat detik untuk mengikuti tuannya dalam kematian.

Dubois mencatat bahwa saat acara kremasi dijalankan, masing-masing dari tujuh wanita mendekati tangga menara pembakaran dengan ditemani oleh keluarganya.

Wanita pertama mengambil keris ayahnya, lalu melukai lengannya dan mengoleskan darah pada dahinya sebelum mengembalikan keris ke ayahnya.

Perempuan itu lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dan menjatuhkan diri ke dalam lubang api. Lima dari perempuan yang tersisa melakukan ritual yang sama, sementara satu wanita memilih mati dengan cara menusukkan keris.

Dengan dikelilingi oleh kerabat terdekat, ia mengambil keris dari tangan ayahnya lalu menusukkan keris lurus dari atas bahunya hingga ke bawah, tepat pada jantungnya, lalu ayah dan saudara-saudaranya melempar wanita tersebut ke dalam api kremasi.

Tahun 1846
Heinrich Zollinger, seorang penjelajah dan ahli botani Swiss mencatat proses pengorbanan diri seorang wanita di Lombok.

"Dengan berpakaian putih-putih, wanita tersebut menerima tusukan keris dari kakak lelakinya. Namun tusukan tersebut tidak membuat ia mati seketika, sehingga salah satu kerabat lelaki dari wanita tersebut mengambil alih keris dan menusuknya hingga tewas, lalu kemudian pihak keluarga melemparkan wanita yang telah menjadi mayat ke dalam api kremasi."

Tahun 1847
Pada tanggal 20 Desember 1847, Helms menghadiri acara kremasi dari Dewa Manggis, raja Gianyar, Bali. Dalam catatannya, Helms menulis bahwa 3 orang istri dari Dewa Manggis berpakaian putih-putih dan menghiasi diri dengan perhiasan, diusung dengan tenda menuju tempat acara kremasi. Saat api kremasi dinyalakan dan terbakar besar, ketiga wanita tersebut melompat ke dalam api, menjadi abu, bersama dengan suami yang telah menjadi abu terlebih dahulu.
 
Tulisan di atas mengungkapkan betapa banyaknya wanita-wanita Indonesia yang berhati tegar, menerapkan pola Satya dalam dunia kehidupan. Tulisan berikut di bawah ini hendak menjelaskan bagaimana kisah sastra dan kidung mampu mendayakan prinsip wanita Satya hingga tertanam dan berakar panjang dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia maupun dalam diri wanita itu sendiri.

Kesetiaan sempurna dalam kesusastraan klasik di Indonesia
Menjadi seorang satya (bagi perempuan/istri) adalah ideologi yang ditanamkan dengan akar yang kuat dan panjang melalui kisah, puisi, dan pertunjukkan/teater selama berabad-abad dalam peranan wanita di kehidupan sosial.

Di dalam imajinasi dunia cerita, cinta adalah sesuatu yang sempurna dan pasangan yang selalu diidamkan adalah pasangan yang tak terpisahkan, selalu bersama sang kekasih hingga kehidupan di dunia berikutnya.

Kisah klasik maupun kidung yang ditemui di Indonesia, menanamkan kekuatan emosi manusia (wanita) akan cinta dan rasa berkabung yang berlebihan.
Kebudayaan berhasil “memancarkan” kelebihan nilai dari perbuatan kesetiaan terakhir seorang wanita, dengan menusuk diri sendiri atau menceburkan diri ke dalam api, untuk selalu bersama dengan kekasih, suami tercinta.

Dimana dengan tindakan tersebut, maka keterpisahan akan dapat dihapuskan dan berakhir dengan kebahagiaan dan kebersamaan pasangan untuk selamanya.

Perbuatan Satya, pembuktian diri sebagai seorang wanita Satya di Indonesia merupakan suatu sikap perbuatan yang tidak hanya didukung oleh masyarakat dan lingkungan secara luas (pada periode tertentu), namun juga merupakan suatu perbuatan yang diyakini dan diamini oleh perempuan (itu sendiri) sebagai perbuatan yang benar.

Seolah-olah, saat seorang bayi perempuan lahir, dalam jiwanya sudah terpatri akan tindakan setia kepada suami, sekalipun harus menjelang dunia kehidupan pada alam lain.

Kakawin Ramayana (abad ke 9)
Dalam Kakawin Ramayana diceritakan akan penipuan Rawana yang menggambarkan ilustrasi kematian Rama kepada Sita. Sita yang merasa terpisah dari Rama lalu bersiap untuk membakar dirinya, menyusul Rama.

Namun tindakannya berhasil digagalkan oleh Trijata (seorang rakshasi yang berteman dengan Sita) yang mengabarkan keberadaan Rama dan Laksmana saat itu.

Kisah tindakan percobaan bunuh diri Sita tidak hanya dilakukan sekali. Pada kisah tindakan bunuh diri Sita yang kedua (Sarga 21.1-21.48), - kisah ini merupakan cerita asli dari Jawa yang tidak ada hubungannya dengan kitab Mahabharata (Bhattikavya)-  terjadi pada masa peperangan antara Rama dan pasukan raksasa.

Saat itu Sita menyangka Rama sudah mati dalam peperangan. Ia lalu mempersiapkan api kremasi (untuk kedua kalinya), namun kembali berhasil digagalkan oleh Trijata yang mendapat kabar dari ayahnya (Wibhisana) akan masih hidupnya Rama.

Kakawin Bharatayuddha (1157). Penulis: Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Periode Jayabhaya 1135-1157
Ada tiga wanita Satya yang menjadi pemeran utama bentuk kesetiaan wanita dalam kisah kakawin Bharatayuddha: Ksiti Sundari, Satyawati, dan Sugandhika.
  1. Kematian Ksiti Sundari untuk menyusul Abimanyu yang meninggal dalam peperangan ditulis oleh Mpu Sedah (penulis bagian pertama Kakawin Bharatayuddha) dan dianggap sebagai 'model perilaku yang tepat, untuk meringankan hati' seorang istri yang terpisah dari suami tercinta. Dengan berdasarkan kesetiaan dan cinta yang tidak dapat dipisahkan sekalipun dengan kematian, Ksiti Sundari lalu mengkremasikan diri hidup-hidup bersama mayat suaminya.
     
  2. Dalam cerita peperangan Pandawa-Korawa, Mpu Panuluh mengisahkan kematian Satyawati yang menusuk diri dengan keris di tengah-tengah mayat-mayat yang bergelimpangan, dihadapan mayat Salya, sang suami tercinta. Mpu Panuluh menggambarkan konsep seorang wanita yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan mengikuti suaminya dalam kematian adalah seorang Satyawati, seorang wanita setia sejati yang telah melengkapi segala tugasnya untuk suami.
     
  3. Sugandhika, dayang setia dari Satyawati, menarik keris yang tertancap di dada Satyawati, dan lalu menusuk dirinya sendiri, menyusul majikannya. Tindakan satya ini, sering disebut mabela (melakukan bela) dalam bahasa jawa kuno. Dimana kata mabela (membela) juga sering digunakan untuk mereka yang meninggal di medan peperangan, membela raja dan tanah air.
Kakawin Hariwangsa (abad ke 12). Penulis: Mpu Panuluh. Periode Jayabhaya 1135-1157
Kisah Rukmini di abad kedua belas bahasa Jawa Kuna versi Krsna-Rukmini, juga merupakan kisah wanita yang terkenal dari tradisi India, yang juga menemukan dirinya tidak mampu menghadapi kenyataan akan hidup sendirian tanpa suami.

Mpu Panuluh mengisahkan tindakan kesedihan terdalam Rukmini saat mendengar kabar akan kematian Krsna, suaminya. Dengan hati yang pecah berkeping-keping dan keris di tangannya, Rukmini bersiap menusukkan diri, menyusul suami ke dunia lain.

Tetapi Krsna yang tiba tepat pada waktunya, melihat sang kekasih dengan keris berkilau di tangannya, langsung merebut dan mencegah Rukmini dari tindakan bunuh diri. Dengan mengatakan betapa besar cinta Krsna pada Rukmini, akhirnya Rukmini terhibur dari lara, dan mereka lalu menghabiskan malam indah bersama dalam gairah bercinta (Hariwangsa 46.1-50.9).
 
Kakawin Smaradahana (abad ke 13). Penulis: Mpu Dharmaja. Periode Kameswara c.1182-1185
Dalam kakawin ini, Mpu Dharmaja menceritakan kesedihan Ratih saat mendengar berita kematian Kama (Smara) yang dibakar oleh Siwa.
"Dengan hati hancur, Ratih berteriak marah kepada para dewa yang menyebabkan kematian suaminyanya.

Ia lalu bergegas pergi ke Gunung Meru dengan didampingi oleh dua dayangnya, Nanda dan Sunanda, untuk mencari mayat Kama. Namun, ketika akhirnya mereka menemukan tempat di mana Kama telah meninggal, yang tersisa hanyalah abu dan asap.

Dengan menghiba-hiba, Ratih memohon pada Kama untuk bertemu kembali di jalan panjang menuju surga. Mendengar jerit tangis Ratih, timbul rasa iba pada Siwa yang kemudian menyalakan api pembakaran. Ratih pun lalu naik ke dalam api, diikuti oleh dua dayang yang setia, Nanda dan Sunanda yang melakukan bela (mabela)."
 
Kakawin Sumanasantaka (abad ke 13). Penulis: Mpu Monaguna. Periode Warsajaya 1204
Mpu Monaguna mengisahkan bentuk kesetiaan istri Raja dari Krthakésika yang menyusul kematian suaminya. Anak perempuan mereka, Indumati, juga turut menunjukkan kesetiaan, disusul oleh dayang setia dari Indumati, Jayawaspa, yang mabela (melakukan bela), menyusul kematian majikannya, Indumati.

Sekalipun dalam kakawin Sumanasantaka tidak menuliskan deskripsi rumit dari ritual kematian para perempuan, namun contoh-contoh yang dibahas menunjukkan popularitas adegan kesetiaan dan kematian dalam tulisan para penyair Jawa kuno selama berabad-abad.
 
Kakawin Sutasoma (abad ke 14). Penulis: Mpu Tantular. Periode Ranamanggala 1367
Mpu Tantular menulis kisah kematian Jayawikrama di medan perang yang membuat Marmmawati menangis sedih berkepanjangan.
"Dengan meratap, ia berkeliling, melewati banyak wanita menangis mencari suami mereka yang dibunuh, tersandung mayat-mayat wanita yang telah menancapkan keris ke tubuh mereka sendiri.

Berpikir kalau Jayawikrama tidak ingin mayatnya ditemukan karena kemarahannya terhadap Marmmawati. Dengan menjerit, Marmmawati memanggil suaminya, mencelanya karena bersembunyi dari istri yang telah datang untuk membuktikan kesetiaan turut dalam kematian.

Seorang pengikut setia, yang secara ajaib telah lolos dari kematian dengan bersembunyi di bawah tumpukan mayat, mendengar keluh kesah Marmmawati, datang dan menjelaskan mengapa mayat Jayawikrama tidak dapat ditemukan.

Begitu besar kekuatan Raja Jayawikrama, sehingga ketika ia meninggal sebuah api besar meledak dari tubuhnya dan ia langsung terbakar menjadi abu. Marmmawati lalu mengangkat kerisnya tingi-tinggi dan menancapkan dalam-dalam pada dada.

Darah segar berhamburan ke udara, bau darah yang seharusnya anyir dan busuk berganti menjadi wangi harum bunga-bunga. Lalu dengan wajah bermandikan darah, dengan tabah dan berani, Marmmawati memberikan penghormatan kepada suami dan melompat cepat ke dalam api yang menyambar panas."
 
Kakawin Arjunawijaya (abad ke 14). Penulis: Mpu Tantular. Periode Ranamanggala 1367
Kisah Citrawati yang merupakan wanita satya kedua dalam kisah Mpu Tantular, menceritakan akan kekeliruan Citrawati, istri penguasa Mahispati, Arjuna Sahasrabahu, yang menganggap bahwa suaminya sudah meninggal. Citrawati yang putus asa keliru membunuh dirinya sendiri, dengan menusukkan keris ke dadanya hingga mati. Namun dengan pertolongan Narmada, dewi sungai, Citrawati dapat hidup kembali dan bersatu dengan suaminya.

Kakawin Siwaratrikalpa (abad ke 15). Penulis: Mpu Tanakung. Periode Suraprabhawa 1466-1478
Kisah Kakawin Siwaratrikalpa berisi puisi yang berasal dari periode dekade penutupan Majapahit. Sementara sebagian besar peran wanita Satya dalam kisah kakawin lainnya adalah para putri bangsawan, namun dalam kakawin Siwaratrikalpa seorang wanita kasta rendah mengikuti contoh dari tindakan Satya para putri.

Ketika pemburu Lubdhaka meninggal karena sakit, istrinya duduk meratapi, menyalahi suami yang meninggalkannya sendirian dengan anak-anak. Satu-satunya jalan keluar yang akan memuaskan dirinya adalah mengikuti suami, tidak peduli kemana pun suami kini berada. 

Kidung Rangga Lawe, 1540
Kidung Rangga Lawe menceritakan kisah setelah pemberontakan Rangga Lawe melawan raja Harsawijaya digagalkan. Dimana saat Rangga Lawe sendiri telah dibunuh, semua istri-istrinya memohon pengampunan Raja dan kemudian mereka menusuk diri mereka sendiri di hadapan mayat suami mereka.

Kidung Sunda, abad ke 16.
Kidung Sunda menceritakan tentang rencana pernikahan antara raja Majapahit, Hayam Wuruk, dan Dyah Pitaloka, putri raja Sunda. Ketika raja Sunda mati dalam pertempuran besar, istri dan anak perempuannya bersiap untuk mengikuti dalam kematian.

Takut bahwa putri Dyah Pitaloka tidak dapat melakukan bunuh diri jika diketahui oleh pihak dari Hayam Wuruk, maka sang ratu mendesak putrinya untuk segera melakukan bunuh diri saat itu juga, daripada pergi dan bunuh diri di medan perang. Setelah putri melakukan belamabela), maka ratu dan istri kedua raja serta semua istri menteri negara lalu pergi ke medan perang dan menusuk diri mereka sendiri di atas masing-masing tubuh suami-suami mereka.
Kidung Wangbang Wideya, 1765
Kidung Bali ini menceritakan pengalaman pangeran Wangbang Wideya sebagai saksi dalam acara ritual kremasi (hidup-hidup) Ratu Lasem yang bersiap mengikuti kematian suaminya. Ada empat wanita yang bersiap melakukan ritual bunuh diri, namun diantara keempat wanita tersebut, Ratu Lasem lah yang berpenampilan paling indah dan cantik.

"Dengan mengendarai kereta dan berpakaian sutra putih, sang Ratu menuju tempat kremasi. Dia lalu bersujud dihadapan mayat suami yang meninggal dalam pertempuran. Dengan keris yang terhunus dan rambut yang terurai lepas sebagai tanda bahwa tidak lagi terikat pada dunia, dia kemudian menikam dadanya. Darah segar berhamburan keluar dari dada, dan dengan darah yang membasahi wajah dan mulutnya, sang Ratu melakukan penghormatan pada suaminya.

Sang Ratu melakukan gerakan yoga yang tidak terlupakan, ia membengkokkan tubuhnya, hingga ke hadapan wajah suaminya, lalu terbakar perlahan dalam api kremasi. Kemudian tiga wanita lainnya melompat terjun langsung ke dalam api kremasi. Semua orang-orang yang hadir memuji mereka, para wanita yang setia kepada suaminya, sedangkan pangeran Wangbang Wideya bergidik perih melihatnya dan hatinya serasa pecah terpukul, melihat kekuatan hati para wanita."

Berbeda dengan kisah dan legenda dalam kesusastraan di Eropa, dimana dongeng dan kisah tersebut dipahami sebagai hiburan, di kepulauan Indonesia dampak dari kesusastraan seperti Kakawin dan Kidung merupakan sesuatu hal yang sangat berarti, dimana komposisi kumpulan teks-teks sarat dan dijiwai oleh makna religius yang membuatnya bersifat sakral dan esoteris.

Kakawin dan Kidung (saat itu) berfungsi sebagai model dari perilaku yang benar untuk semua tingkatan masyarakat, terutama untuk perempuan. Seorang wanita yang Satya pada masa itu adalah wanita yang mampu melengkapi kesempurnaan suatu kesetiaan terhadap suami dan merasa bahagia dapat melakukan hal yang utama, melakukan pengorbanan terakhir, kembali bersatu dengan suami dan dikenang untuk selama-lamanya. 
Pada kenyataannya saat itu, posisi seorang wanita sangatlah sulit untuk terus melanjutkan hidup dengan status sebagai janda. Bukan hanya terbuang dan diasingkan, mereka juga harus menanggung resiko untuk tidak hidup bersama dengan anak-anak mereka. Kehidupan "baru" tanpa suami yang sangat berat, sering juga menjadi bahan pertimbangan untuk memilih mengikuti ritual pengorbanan diri.
Namun bukan berarti tidak ada wanita-wanita yang mengambil keputusan untuk melewati ritual pengorbanan diri, sekalipun harus terbuang dan diasingkan. Baik dalam kisah kehidupan nyata maupun tersurat dalam kisah klasik, sejarah mencatat wanita-wanita yang juga disebut Satya, sekalipun mereka tidak menjelang ajal dengan mengorbankan diri baik pada lidah api maupun di ujung bilah keris.
Tome Pires (1515) melengkapi catatannya dengan fakta-fakta akan mereka (para wanita) yang melewati sisa kehidupannya dalam kesendirian:
"Banyak wanita Jawa yang tidak menikah dan [tetap] perawan. Mereka hidup dan tinggal di atas gunung dan mengakhiri hidup mereka jauh di kedalaman hutan.
Sedangkan para wanita yang tidak membakar diri bersama dengan kremasi suaminya, menarik diri dalam kehidupan bermasyarakat dan berkumpul dengan wanita-wanita lainnya yang tidak melakukan ritual pengorbanan diri, hidup dalam keterasingan di suatu tempat yang jauh dari kehidupan normal.
Dikatakan bahwa ada sejumlah lebih dari seratus ribu wanita di Jawa yang mundur dari kehidupan normal, dan hidup dalam kesucian serta mati dalam keterasingan tanpa sekalipun melakukan interaksi sosial dan komunikasi dengan keluarganya."
Kisah-kisah dalam kidung dan kakawin pun menceritakan hal yang juga terjadi dalam kehidupan nyata, dimana para wanita yang memilih untuk tetap hidup, melanjutkan kehidupannya dalam kesucian dan kesendirian.
Seperti tertulis dalam kakawin Krsnantaka (abad ke 18), saat Krsna meninggal, para istrinya mengorbankan diri pada api kremasi, sedangkan mereka yang tidak melakukan pengorbanan diri di api kremasi dengan ketegaran dan keberanian melakukan "pengorbanan diri" dengan mundur menarik kehidupan mereka dari dunia luas dan menghabiskan sisa hidupnya dalam keterasingan.
 "Mari kita lewati kematian wanita-wanita yang berani dan loyal.
Sedangkan mereka para wanita yang memilih hidup, mengasingkan diri mundur ke dalam hutan.
Mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit kayu, mereka mengikuti cara hidup orang bijak.
Mereka disebut satya karena mereka berpegang teguh kepada ajaran suci.
"
(kakawin Krsnantaka 23.2)

Ditayangkan pada KoKi (Kolom Kita), senin 2 November 2009.


Kepustakaan:
  • Ahmad, Nehaluddin “Sati Tradition - Widow Burning in India: A Socio-legal Examination”, 2009.
  • Creese, H, “Ultimate loyalties. The self-immolation of women in Java and Bali”, in: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no: 1, Leiden, p.131-166.
  • Geertz, Clifford, “Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali”, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1980, p. 98-101.
  • Hallstrom, Lisa Lassell, “Mother of bliss: ?nandamay? M? (1896-1982)”, Oxford University Press, 1999, p. 56.
     
Sumber gambar:
  • Creese, H, “Ultimate loyalties. The self-immolation of women in Java and Bali”, in: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no: 1, Leiden, p.132, 145.
  • Wikimedia Commons, PD-ART.
    India, Himachal Pradesh, Kangra, South Asia from LACMA. Shiva Carrying Sati on His Trident, circa 1800 Painting; Watercolor, Opaque watercolor and gold on paper, 11 1/2 x 16 in. (29.21 x 40.64 cm) Made in: India, Himachal Pradesh, Kangra Purchased with funds provided by Dorothy and Richard Sherwood, Mr. Carl Holmes, William Randolph Hearst Collection, and Mr. Rexford Stead (79.1).
  • Wikimedia Commons, PD-OLD.
    The Bride Throws Herself on Her Husband's Funeral Pyre. Persian, Safavid period, first half 17th century. Attributed to Muhammad Qasim.