Aku Trauma ...


Diterjemahkan dan disadur dari buku “Il Trauma E La Cura, Un Eterno Ritorno. Saggio sopra alcune conoscenze psicologiche nella Grecica antica”, Carocci editore, Roma, 2008.

Catatan:
Kisah dibawah ini saya tulis tanpa merusak garis besar cerita dari salah satu kisah yang terdapat pada buku yang membahas tentang Trauma. Adapun yang membuat kisah ini menarik karena, diantara saksi hidup  -yang kebanyakkan berkebangsaan Italia-  yang diwawancarai oleh penulis buku “Trauma”  -yang juga berkebangsaan Italia-  adalah seorang Bapak yang 100% memiliki darah Indonesia yang mengalir deras. Kisah hidup dan trauma yang dialaminya adalah sebuah kehidupan yang mengandung sejarah. Sejarah yang menceritakan apa yang pernah terjadi di Indonesia, yang pernah terjadi pada kehidupan seorang lelaki Indonesia.
Sengaja nama saksi hidup tersebut saya rubah untuk menjaga privasi beliau.

Selamat membaca!
Arita-CH
* * *

Nama ku NN, lahir di awal tahun empatpuluhan di sebuah kampung kecil yang terletak pada pulau kecil sebelah barat Indonesia. Aku hidup dan tumbuh besar di suatu kampung yang dikelilingi oleh hutan belantara dan lekukan sungai yang meliuk panjang, menyuburkan tanaman rambat serta pohon-pohon besar yang mampu membuat sinar matahari menyerah lemah menerawangi tanah.

Setiap pagi, aku mengayuh dayung selama 2 jam, membawa sampan melaju ke desa tempat dimana aku belajar membaca dan menulis. Saat petang menjelang, aku selalu menghabiskan waktu dengan bermain dan berenang di sungai, melepaskan lelah dan bercanda dengan teman dan alam.
Setelah aku tamat sekolah menengah pertama, aku memutuskan untuk mendayung “sampan” kehidupan” lebih jauh dari biasanya, meninggalkan kampung, sungai dan hutan, meninggalkan pulau kecil, menyeberangi laut Jawa, menimba pengalaman di sebuah kota besar di Pulau Jawa.

Beberapa waktu di Jakarta, suatu kesempatan “menubruk” ku, dan membawa ku ke dalam pendidikkan militer, “menjejal” dalam kehidupan serdadu. Saat itu tahun enampuluhan.
Hanya satu tahun aku beradaptasi dalam dunia baru, suatu tugas datang menghampiri ku, memberikan satu kehormatan tersendiri. Aku ditugaskan untuk bekerja di Istana, menjadi penjaga Presiden Soekarno, orang yang sangat aku hormati.

Trauma I
Dari pagi hingga malam hari, kuhabiskan waktu hanya dalam dunia ku, dunia militer. Tinggal di barak, menunggu tiupan peluit dari komandan untuk memulai hari, mengikuti melodi yang diteriakkan saat berlari mengelilingi komplek, menunggu perintah untuk melewati hari, menunggu saatnya duduk tegak di meja makan, menunggu perintah untuk memegang sendok, perintah untuk memulai menyantap makanan, lalu akhirnya mendengarkan sirene tanda hari telah berakhir. Hari-hari di dunia militer.

Hari itu saat sholat jum’at, aku berdiri tegap siap sedia, menatap lurus ke arah Presiden Soekarno yang sedang menunaikan sholat jum’at. Kupandang punggung beliau dari kejauhan, melewati ratusan orang yang sedang bersembahyang, melakukan gerakan yang sama. Mereka duduk, lalu berdiri, lalu membungkuk lalu duduk kembali, menyembah kepada sang Khalik Maha Agung. Rasa diam menyergap, mengikuti irama gerakan yang berulang, bagaikan dendang abadi pujian agung hanya untukNya. Hingga tiba-tiba, sesuatu mendesing di atas kepala ku, sesuatu yang mengarah kepada Presiden.

Rasa kaget mengejutkan beberapa detik membuat aku terdiam beku, lalu pecahlah keheningan. Peluru panas meluncur tanpa ragu menuju sasaran. Menuju sang Presiden. Serentak hawa kalang kabut memenuhi ruangan, orang-orang berlarian panik ke berbagai penjuru, saat itu adalah untuk pertama kalinya aku melihat satu serangan. Saat pertama kali aku merasakan suatu shock! Namun, sekejap shock berlalu, kuangkat kepala mengarahkan pandangan ke segala penjuru, lalu ku sigap bergerak sesuai dengan instruksi, ku masuk ke dalam reflek seorang prajurit. Ku masuk dalam duniaku, dunia otomatis, dimana diriku hanyalah seorang prajurit dengan nomor panjang, sebagai identitasku.

Aku bukan lagi NN, kini namaku adalah deretan angka-angka ...

Trauma II
Saat ini aku berada jauh sekali dari Jakarta, ditempatkan di sebuah pulau ujung timur Indonesia. Perang antar suku berkecamuk, perintah dari atas sangat jelas dan tegas: tugas kami hanyalah mengawasi dan memastikan keamanan penduduk. Kami tidak boleh memihak suku manapun, tugas kami hanya menghentikan kekacauan dengan menembakkan peluru ke arah atas, menembak angin! Kami bahkan tidak boleh melakukan kontak fisik, tidak boleh ada pemukulan sama sekali dan perintah tersebut ditanamkan dalam-dalam di benak kami, dalam pikiran kami, dalam darah kami.

Suatu pagi yang cerah, kelompok ku sedang melakukan piket patroli. Desa tersebut terlihat sangat tenang, para lelaki pergi ke ladang, burung-burung berteriak dengan berbagai macam tonasi suara, melakonkan aktivitas kehidupan sehari-hari, pagi itu terlihat seperti pagi hari yang tenang di sebuah desa yang hijau, namun tampaknya aku keliru ...

Riuh pekak teriakan mendentang dari arah sebelah kiri ku, bersamaan dengan riuh tersebut kedua mata ku memandang nanar ke arah kanan, tampak sekumpulan manusia yang berlarian ke arah kami dengan wajah garang. Sejenak aku terpaku dengan pandangan mata yang tidak sinkron dengan pendengaran, akhirnya aku menyadari bahwa saat itu kami berada pada titik tengah sebuah pertempuran dua suku yang menyerang dari dua arah yang berlawanan, kami tepat berdiri pada sasaran dua kelompok yang berlari dengan cepat membawa tombak dan panah. Aku tidak sempat bergerak ataupun menghindari pertempuran tersebut. Saat aku menerima pukulan dari berbagai arah pada kepala aku, aku segera ingat bahwa aku memegang senjata api. Namun, saat itu jarak ku dengan kedua kelompok yang sedang dilanda marah sangat dekat sekali. Sekali lagi perintah dari komandan mengiang keras dalam telinga, “tidak boleh melakukan kontak fisik dan melukai penduduk!

Aku terdiam lemah, tak berdaya membela diri, aku mencoba untuk memberontak, namun jumlah mereka terlalu besar dibandingkan kami yang berdiri di tengah-tengah dan tak bisa mempergunakan senjata di tangan kami. Perintah dari komandan menutup mata ku, aku membiarkan diri ku menjadi sasaran pukulan dari kedua grup yang sedang berperang, grup yang hanya ingin menyerang grup lainnya, grup yang tidak bertujuan untuk menyerang kami. Kami hanyalah sekelompok manusia yang kebetulan “salah jalan” dan “salah waktu”. Rasa frustasi menyerang ku dengan kuat, namun perintah tersebut lebih kuat dari rasa sakit yang ku derita. Ku tutup kedua belah mataku, hingga saat kedua belah mata itu terbuka, kudapati diriku terbaring dalam sebuah kamar di rumah sakit, terbalut perban putih, hidung ku mencium bau darah ku yang mulai mengering ...

Hari berganti dan berlalu, diri ku mulai sembuh dari luka-luka dan melanjutkan hari-hari ku sebagai seorang prajurit seperti biasanya, seolah pertempuran tersebut tidak pernah terjadi. Sedikitpun tidak ada rasa benci terhadap suku-suku yang pernah menyerang dan memukul aku. Bukanlah salah mereka kalau aku sampai terluka, namun setiap aku menghadapi dan melihat pertempuran antar suku, aku bisa merasakan luka-luka yang telah mengering kembali meradang. Saat aku menghabiskan malam demi malam di rumah sakit, aku masih sering mendengar teriakan-teriakan peperangan, seolah peristiwa tersebut menjelma menjadi film abadi yang terputar saat malam menjelang.

Mimpi buruk pun menghantui malam demi malam, membangunkan ku dengan rasa pening yang hebat di pagi hari ...

Trauma III
Mimpi buruk sejak peristiwa penyerangan ternyata tidak berhenti pada malam hari. Kini mimpi tersebut menjadi kisah nyata di hari terang benderang. Semakin hari, semakin sering aku menjadi saksi hidup dari pertempuran, menatap mayat-mayat bergelimpangan, darah berceceran dimana-mana. Aku hidup dalam mimpi buruk yang nyata, terlalu nyata hingga membuat sensibilitas aku perlahan memudar. Dimana-mana hanya bau kematian yang tercium, dan aku mulai merasa hidup dalam udara kematian. Aku mulai berkesimpulan bahwa kematian dan aku sudah menjadi sahabat sehari-hari, membuat aku menjadi kebal dengan arti dari suatu kematian. Namun sekali lagi, aku keliru menilai diri ku. Kematian ternyata masih merupakan momok bagi ku...

Hari itu adalah hari liburan, kuhabiskan petang hari dengan bersantai di depan pantai, memandang hamparan air membuat aku rindu akan sungai di kampung halaman. Ku tatap ombak yang menggulung kencang, di kejauhan kulihat dua orang manusia sedang berenang. Reaksi pertama saat melihat mereka adalah terheran-heran menatap mereka yang berani menghadang ombak yang kuat menjerat, namun seketika kusadari, tangan mereka melambai dan samar-samar kudengar teriakan panik dari arah tersebut. Seluruh urat syarafku bereaksi cepat, kulari mencari ban serep mobil yang tergeletak di bangku belakang mobil dan dengan secepat kilat kuterjang ombak Samudra Hindia, berenang menuju ketengah gelombang.

Sambil berenang cepat, kulihat dua wanita sedang berjuang melawan arus ombak, terombang-ambing naik dan turun. Saat aku berhasil mendekati mereka, kuberikan ban tersebut kepada kedua wanita dan mulai berenang mendorong ban tersebut ke arah pantai. Tapi, semakin aku berenang keras ke arah pantai, ombak demi ombak menggulung kami dan membawa kami kembali ketengah samudra.

Semakin lama, kulihat daratan semakin menjauh dan ombak semakin tinggi menggulung kami ke tengah. Ku berjuang melawan arus deras, namun semakin keras ku melawan, pikiranku mulai berteriak bahwa ombak sedang menggulung kami menuju perut samudra, menyeret kami semakin dalam. Rasa takut menggulungku, seperti ombak yang beradu padu dengan lainnya. Di depan mataku, kembali kulihat gambaran gelimpang mayat demi mayat yang kini berwajahkan diriku dan kedua wanita, terombang-ambing di tengah samudra. Mataku mulai perih, dimana-mana hanya ada air dan air, hanya rasa garam air laut yang memenuhi kerongkonganku. Aku panik! Ku lihat diriku perlahan menghampiri sang kematian, hawa busuk mayat seolah mulai merasuki hidungku, paru-paruku mulai terbasahi oleh air asin.

Kala maut mulai menjelang, pertahanan terakhirku hanyalah doa. Ku berdoa, berteriak memohonkan pertolonganNya, menangis dalam ketakutan yang sangat. Tanpa sengaja, kedua tanganku terlepas dari ban yang mengombang-ambingkan kedua wanita tersebut. Kaki ku bergerak tanpa arah, mataku terpejam, kuserahkan kehidupanku hanya kepadaNya.

Entah berapa lama mataku terpejam, hingga tiba saat kakiku menyentuh pasir halus. Ah! Aku menyentuh daratan! Ku lihat sekumpulan orang-orang dipinggir pantai berlarian ke arah ku. Ku tengok kebelakang, dua wanita dalam ban serep mobil memandangku lemah. Kami bertiga selamat! Rasa letih tak terkira menyergapku, kurasakan kekosongan tenaga mengeringkanku.

Sejak saat itu, ku tak mampu lagi menatap bentangan air luas. Aku merasa tersesat di tengah hamparan air, suara debur ombak yang biasanya menidurkanku kini menjadi dentum genderang kematian di telingaku ...

Trauma IV
Kini aku berada di Jakarta, meneruskan sekolah militer, memasuki bagian intelijensi. Tahun ini adalah masa kegelapan di negaraku. Kehidupan politik dan kehidupan sosial bergontokkan satu dengan lainnya, menciptakan aura chaos. Saat dimana rasa saling tidak percaya merasuki dari kelas elite hingga kelas bawah, saat semua orang ketakutan dengan cap Komunis.
Tugasku saat itu adalah mencari dalang dari kerusuhan, tugas yang membuatku “melompat” dalam api bahaya. Beberapa waktu kemudian, kudengar pembunuhan kejam tujuh orang jenderal, lalu pembunuhan-pembunuhan lainnya mulai bermunculan satu demi satu. Dimana-mana hanya ada pembunuhan dan kematian berdalihkan kata “komunis”, bahkan seorang petani yang menghabiskan waktunya hanya di ladang dan tidak mampu membaca dan menulis, harus mati merana tanpa alasan, meninggalkan stempel “komunis” pada keluarga yang ditinggalkan.

Kematian demi kematian menghantui setiap sudut negaraku, bau anyir darah menyelimuti negaraku. Perlahan-lahan kusadari adanya permainan di balik bau busuk mayat, kutemukan rasa “pahit” dunia politik. Tingkat atas mengorbankan tingkat bawah dengan tanpa rasa ragu. Hidupku mulai terguncang, ku tatap idealisme yang hilang dalam permainan ini. Dan kembali aku berada di tengah-tengah, bagaikan pion catur yang siap untuk dikorbankan. Ku ingat kembali peperangan antar suku yang pernah ku alami. Jika bisa memilih, aku memilih untuk berada di tengah-tengah dua suku yang berperang daripada menjadi pion lemah terhimpit kekuatan politik yang serakah, yang selalu tanpa ragu siap sedia mengorbankanku segera.
Ingin rasanya aku keluar dari permainan tersebut, keluar dari dunia militer, namun tampaknya aku tidak mempunyai banyak pilihan. Keluarga ku masih membutuhkan seorang kepala keluarga yang bisa memberikan pemasukkan beras tiap bulan, dan kemampuan serta pengetahuan ku hanyalah di bidang militer.

Ku tak mampu bergerak di dunia lain. Kuteruskan kehidupan sebagai seorang serdadu ...

Trauma V
Tahun tujuhpuluhan, aku ditugaskan untuk mengintai sekelompok grup mafia. Sudah tujuh hari kami berdua mengintai gerak gerik seseorang yang di curigai sebagi kunci dari pencurian uang negara.
Rekanku tiba-tiba merasa lapar, lalu pergi membeli nasi bungkus di warung belakang. Ku diam sendiri mengintai mobil yang masih saja diam tak bergerak sejak beberapa hari ini. Tiba-tiba kulihat seorang lelaki mendekati dan memasuki mobil tersebut. Khawatir intaian kami pergi lari begitu saja, segera kuhampiri lelaki tersebut dan memasuki mobil itu. Ku perintahkan lelaki tersebut untuk mengemudi menuju markas militer dan menyebutkan alasan kenapa dia harus mengikuti kata-kataku. Lelaki tersebut hanya menundukkan kepalanya lalu mulai menjalankan mobil.

Ditengah perjalanan, ia mulai membuka percakapan dan dengan gaya bahasa yang halus, mulai menawarkan suatu diskusi untuk “membuang” barang bukti yang dibawanya. Ku gertak lelaki tersebut untuk menutup mulutnya, namun dia memberhentikan mobil lalu mengambil tas yang tergeletak di bangku belakang. Di bangku belakang, kulihat 7 tas berwarna hitam tergeletak diam, kutatap lelaki tersebut dan ia mulai melemparkan senyuman bak seringai serigala. Perlahan dibukanya tas hitam tersebut dan memandang diriku dengan rasa penuh percaya diri. Rasa penasaran menghampiriku, kulongokkan mata menatap isi tas tersebut dan mendadak aliran darah mengalir deras sekali menjejalku. Tumpukan uang berjejer dengan rapi bagaikan barisan pasukan apel di pagi hari.

Nafasku tertahan, tersedak, kutatap kembali wajah lelaki tersebut yang tersenyum lebar mengatakan bahwa satu tas hitam akan segera menjadi tasku, milikku pribadi, dalam hitungan detik. Ku lihat kembali jejeran kertas tersusun rapi menggunung, terbayang di benakku, dengan jumlah uang tersebut aku bisa keluar dari pekerjaanku, aku bisa menghidupi keluargaku, anak-anakku bisa sekolah hingga universitas, istriku bisa berhenti bekerja sebagai tukang masak di kantin, aku bisa melakukan banyak hal untuk keluargaku, untuk diriku, jika aku menerima tas hitam tersebut.

Namun sesaat, aku merasakan ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak “klik”. Seolah-olah adegan ini sudah terencanakan dari awal, seolah-olah tas hitam itu memang sudah ada disitu menunggu kehadiranku. Sudah beberapa hari ini kami mengintai lelaki yang ada di depanku, namun kenapa baru sekarang dia muncul saat rekan kerjaku pergi, saat aku sendirian? Kurasakan akan adanya kebocoran dalam kelompok kerja kami dan kurasakan adanya “ombak” yang hendak menenggelamkanku kedalam kolam kotoran permainan.

Kututup tas hitam tersebut, kututup mimpi-mimpiku, ku pertahankan kepalaku dari permainan ini dan kuperintahkan lelaki tersebut untuk kembali menjalankan mobil tersebut, menuju markas militer, menuju ruang interogasi.
Sejak kejadian itu, aku berhasil menyelamatkan keluarga dan diriku. Aku berhasil melepaskan diri dari pion permainan, skak mat kujalankan, ku “korbankan” ketua kelompok dan rekan kerjaku. Dugaanku benar, terjadi kebocoran dalam kelompok kerja kami, dan sang pengkhianat adalah ketua dan rekan kerjaku sendiri.

Aku merasa terkhianati ...

Trauma VI
Karirku perlahan mulai meningkat dan berpenghasilan cukup. Anak-anakku mulai memasuki universitas dan istriku tidak lagi bekerja sebagai tukang masak. Kini istriku menjalankan usaha bersama dengan salah seorang kenalannya dan usahanya berjalan lancar, sangat membantu kami untuk mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. Tabungan kami mulai berbuah, menenangkan impian masa depan kami. Namun kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Tahun delapan puluhan kami terjatuh dalam masa buruk. Rekan kerja istriku berlaku curang dan melarikan modal bersama. Tiba-tiba saja kami kehilangan sejumlah uang yang sangat besar, jumlah yang merupakan gaji kerjaku selama 7 tahun. Aku sangat marah, kemarahan bercampur rasa takut, kemarahan melihat masa depan kami yang runtuh begitu saja. Segera aku pergi mencari rekan kerja istriku, dan mendapatinya sedang bersiap lari menuju bandara. Kubawa ia ke suatu tempat lalu menginterogasinya, mempertanyakan pertanggung jawaban darinya.

Sudah dua hari ia berdiam diri tak mau menjawab pertanyaanku, tiba-tiba di suatu siang, sekelompok tentara memasuki tempat aku menginterogasi rekan kerja istriku. Seseorang melaporkan bahwa aku menculik seorang pengusaha. Dalam hitungan menit, aku sudah duduk di depan meja interogasi, meja yang kukenal bertahun-tahun, hanya saat ini aku tidak berdiri dan menginterogasi, aku terduduk menghadap meja itu, bagaikan seorang pendosa.

Kupandang mereka yang menginterogasiku, wajah-wajah yang kukenal, wajah-wajah yang bekerja bersama denganku, kini menatapku seolah aku adalah seorang kriminal. Sesaat aku ingin muntah, perut ini bergejolak memutar dan melilit. Sejak usia 16 tahun aku memasuki dunia militer dan sejak saat itu aku mengabdikan diri seutuhnya hanya untuk militer, dan kini saat aku membutuhkan bantuan dari dunia yang sudah menjadi bagian dari kehidupanku, dia tidak ada bagiku, bahkan dia mengkhianatiku bulat-bulat.
Dunia militer, duniaku, kini berpihak kepada musuhku, kepada lembaran kertas-kertas rupiah ...

Mereka menginterogasiku selama 24 jam tak berhenti, lalu mereka melepaskanku karena tidak adanya alasan kuat untuk menjebloskanku kedalam sel. Tidak ada juga alasan untuk mengembalikan uang kami yang hilang entah dimana rimbanya, tidak ada juga alasan untuk memasukkan rekan kerja istriku kedalam sel, melainkan banyak alasan yang dibuat untuk membuat dia pergi melenggang meninggalkan negeri ini.

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk meninggalkan dunia militer selama-lamanya, meninggalkan dunia yang sudah membesarkanku ...

Penutup
Aku mengambil pensiun dini. Teringat masa-masa saat aku mengalami kesedihan, aku sering berkunjung atau sekedar mencurahkan perasaan hati pada teman-teman sesama militer. Bagiku mereka bukan hanya rekan namun mereka adalah saudara-saudaraku, orang tua ku. Aku tidak pernah bisa mencurahkan perasaan hati pada keluarga, sebab aku tidak bisa membagi dunia militer dengan keluarga. Segala masalah kehidupan yang pernah terjadi, selalu behubungan dengan dunia militer dan bagi aku hanya merekalah, rekan-rekanku, yang bisa memahami dan mengerti permasalahan duniaku.

Kini aku telah meninggalkan dunia militer, duniaku. Kadang aku melakukan kunjungan silahturahmi ke rekan-rekan, berbicara tentang dunia dan kehidupan, namun aku tidak mampu lagi melakukannya dengan perasaan hati yang sama seperti dulu, kini rasa percaya telah memudar. Kini aku merasa sendirian dan hatiku terluka oleh rasa pengkhianatan.

Ketidaksetiaan dunia militer menjebloskanku dalam kesendirian. Aku membenci situasi politik yang memisahkanku dengan duniaku, menjatuhkanku dan membuatku tak berdaya. Aku merasa tidak pernah cukup mampu untuk bisa menerapkan teori yang kukenal sejak berusia 16 tahun, aku merasa tidak cukup tenagaku untuk mengabdi secara total pada negeriku.

Aku trauma dan merasa tidak berguna ...


Ditayangkan di KoKi (Kolom Kita), Rabu, 16 September 2009.
  
Sumber artikel:
  • Il trauma e la cura, un eterno ritorno. Saggio sopra alcune conoscenzepsicologiche nella Grecia antica, Carocci editore, Roma, 2008.

Sumber foto:

  • Buku dan Laut : by Arita


  • Karikatur Monumen Nasional (Monas). Pramono: "Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran", Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1983, hal:19.

Ateisme. Apa dan Siapa


Catatan penulis: 
"Don't judge a book by its cover". Untuk menilai ateisme, janganlah melihat hanya dari ‘sampul’ belaka yang seringkali ‘bergambar’ arogan, sombong, atau mungkin kasar. Namun, ada baiknya membuka lembar halaman demi halaman, apa yang dapat dipaparkan langsung oleh para ateis tentang ateisme. 

Tulisan singkat bertemakan ateisme ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana ateisme itu. Apakah ateisme merupakan prinsip atau agama atau bentuk penyembahan, atau sesuatu yang imoral, atau merupakan suatu grup tertentu, hanya para ateis sendiri yang mampu menjelaskan secara obyektif tentang ateisme, dan bukan mereka yang non ateisme.


Oleh karena itu, tulisan ini merujuk langsung pada berbagai referensi artikel ateis yang ditulis secara ilmiah dan mengajak pembaca untuk mencoba mengenal ateis dari sudut pandang serta definisi yang diutarakan oleh para penulis ateis itu sendiri.


Tulisan ini TIDAK mengajak pembaca untuk menjadi ateis. Namun, adanya definisi yang “salah” mengenai ateisme, dapat menimbulkan kesalahpahaman baik pada diskusi maupun dalam bertindak dan berinteraksi secara sosial. Lebih jauh lagi, kesalahan definisi juga bisa menjurus pada kesalahpahaman nasional, yang berakibatkan jatuhnya beribu-ribu korban manusia secara masal, seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1965-1966.

Defini ateis dalam bahasa.

  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: ate•is /atéis/ n orang yg tidak percaya akan adanya Tuhan.
  • Asal muasal kata ateis dari bahasa Yunani adalah atheos. Kata “a” disini berartikan “tanpa” atau “tidak”. Sedangkan terjemahan langsung dari “theos” berarti sesuatu yang tinggal di langit, bersifat luar biasa dan sangat bercahaya, diintrepetasikan dan diterjemahkan sebagai ‘dewa’ atau ‘Tuhan’. Jadi, dari sudut pandang bahasa Yunani kuno, seorang ateis adalah seseorang yang tidak berdewa atau ber-Tuhan.

Atheos, Era klasik Yunani
Dalam sejarah Yunani, kata atheos mulai dikenal luas dalam karya tulis Plato (circa. 429-347 SM). Kata atheos dalam bahasa Yunani pada mulanya berarti: “tidak berkepercayaan terhadap theos” -sesuatu yang luar biasa, bercahaya dan tinggal di langit-, atau “terkutuk”. Kata ‘atheos’ juga digunakan untuk me-labelkan para kaum cendekiawan yang menyangkal keberadaan Tuhan, dewa atau segala bentuk-bentuk luar biasa bersinar yang tinggal di langit.

Philodemus, seorang filsafat Yunani (ca. 110–35 sm.) mengklasifikasikan orang ateis sbb:
  1. Mereka yang mengatakan bahwa tidak mengetahui apakah ada dewa atau seperti apa bentuknya.
  2. Mereka yang secara terbuka mengatakan bahwa Tuhan tidak ada.
  3. Mereka yang dengan jelas menyiratkan itu.

Dalam sejarah ateisme, ada 3 poin utama yang ditemukan dalam periode klasik Yunani.

  1. Ditemukannya teori ateisme yang juga merupakan salah satu kejadian penting dalam sejarah agama.
  2. Bangsa Yunani menciptakan istilah ‘atheos’, yang kemudian oleh bangsa Romawi istilah ini menjadi atheus, cikal bakal kata ateis dan ateisme.
  3. Ditemukannya kegunaan istilah ‘atheis’ sebagai sarana untuk me-label-kan lawan-lawan. Penemuan isme ateis membuka jalan baru bagi kebebasan intelektual, bersamaan juga terbukanya kemungkinan bagi banyak pihak untuk memberi label terhadap pihak oposisi mereka.

Pertanyaan tentang ateisme

  1. Apakah ateisme adalah agama?
    Menilik dari kacata agamawan, seringkali ateisme didefinisikan sebagai suatu bentuk kepercayaan. Suatu agama. Agama yang rasional dan penuh dengan optimisme. 
    Alister McGrath, seorang teolog Kristen dari Inggris menulis dalam bukunya yang berjudul "The Twilight of Atheism: The Rise and Fall of Disbelief in the Modern World":
    “Atheism is the religion of the autonomous and rational human being, who believes that reason is able to uncover and express the deepest truths of the universe, from the mechanics of the rising sun to the nature and final destiny of humanity” (2004: 220).
    Namun pendapat ini ditolak oleh para ateis. Mereka mengatakan bahwa McGrath berpikir bahwa ateisme merupakan kebalikan keyakinan dalam beragama. Akibatnya, McGrath merumuskan bahwa ateis juga memiliki elemen-elemen agama. Namun sebenarnya, para ateis TIDAK memiliki elemen agamawi. Mereka tidak pernah menyatakan penemuan mereka akan bagaimana kebenaran dari misteri kehidupan serta keberadaan akhir hidup manusia dan alam semesta. Kemungkinan, McGrath merujuk pada pola pandangan Marxism-Leninism dimana penolakan Tuhan merupakan salah satu bagian dari prinsipnya. 

    Karena ateisme tidak berpikir dalam konsep agamawi seperti para teis (orang yang percaya akan keberadaan Tuhan), maka dengan kata lain, posisi ateisme berada dalam posisi baku, jadi pihak teis yang seharusnya membuktikan kebenaran dari pemikiran teisme mereka.

  2. Apakah hubungan Ateisme dengan Teisme?
    Julian Baggini, seorang filsafat Inggris dan penulis buku “Atheism: A Very Short Introduction” mendefinisikan ateisme bertolak belakang dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan teisme.

    Sedangkan Robin Le Poidevin, seorang professor metafisik dari Univeritas Leed, Inggris, dan penulis buku "Arguing for Atheism: An Introduction to the Philosophy of Religion" menyatakan:

  • Seorang ateis lebih merupakan seseorang yang menyangkal keberadaan dan pribadi sang maha pencipta alam semesta daripada seseorang yang hanya hidup secara sederhana tanpa merujuk pada keberadaan sang pencipta alam.
  • Sedangkan seorang teis adalah orang yang menegaskan keberadaan sang pencipta.
Jadi setiap diskusi yang berhubungan dengan ateisme pasti juga berhubungan dengan teisme atau monoteisme. Berbeda dengan pendapat Baggini, Le Poidevin menegaskan lebih jauh bahwa seorang ateis mempunyai pengetahuan tentang agama dan ia menyadari keateisannya secara tegas lugas.
Jadi, seseorang yang hidup sederhana tanpa pernah mengetahui atau pernah mengenal keberadaan agama (monoteisme) ataupun sang pencipta, tidak dapat dikatakan bahwa orang itu ateis.

Kata “A” dalam bahasa Yunani merupakan Alpha privans yang berarti menyangkal semua kata yang diletakkan sesudah huruf “A”. Jadi ateis berarti menyangkal segala sesuatu yang ditegaskan oleh teis. Mereka menyangkal bukan karena mereka tidak tahu, tetapi mereka tidak setuju dengan pernyataan teistik dari teisme. Dengan penyangkalan ini, maka ateisme tidak identik dengan para penganut teisme.


Karena setiap ateisme selalu menyangkut pada teisme maka pertanyaan yang besar adalah, Apakah teisme?
Teisme itu sendiri dapat dikatakan sama dengan –dalam definisi saat ini- monoteisme. Para teis adalah para penganut dari tiga agama besar monoteisme: Yudaisme, Kristen dan Islam.

Lebih dari sekedar hanya percaya pada satu Tuhan, seorang teis juga memiliki konsep akan apa itu Tuhan. Konsep yang menyatakan bahwa Tuhan itu baik. Bukan hanya sekedar baik, tetapi sangatlah baik. Dan kebaikan bukan hanya prinsip dari teistik tapi Tuhan menurut teisme adalah abadi, pencipta alam semesta, mahakuasa, luar biasa, maha tahu, suci, dan hidup.


Ateisme berkaitan dan mengenal konsep akan khalik, khaliknya teistik, yang mempunyai nama dan ditulis dengan huruf besar: Tuhan. Jadi seorang ateis memerhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengan konsep : pencipta, penguasa, maha tahu, suci dan sempurna.


Paul Cliteur, seorang ahli hukum dan filsuf Belanda membatasi konsep ateisme sebagai penyangkalan dari pernyataan pihak teisme.
Ia memberikan contoh sebagai berikut:
Seorang teis menyatakan, Tuhan adalah kasih, sedangkan penyangkalan ateis bahwa “Tuhan itu adalah kasih” bukan karena ia menolak pentingnya arti kasih, tetapi seorang ateis merasa bahwa tidak layak mencampuradukkan emosi manusia dengan keberadaan dari Tuhan yang dianggap oleh para teis sebagai serba maha, berkepribadian dan secara sempurna sangat baik.




Tiga karakter dari ateisme
Untuk melihat lebih jauh ateisme, mari kita coba lihat karakter yang ada pada ateisme.

  1. Ateisme sebagai non teisme, bukan anti teisme
    Charles Bradlaugh (1833-1891), seorang aktivis politik dan juga salah satu ateis Inggris terkenal di abad ke 19 menyatakan bahwa para ateis TIDAK mengatakan bahwa tidak ada Tuhan, namun mereka berpendapat bahwa mereka memiliki ketidakjelasan akan ide atau pengertian naluriah akan Tuhan.

    Bukan ‘Tuhan’ yang disangkal oleh ateis, karena bagi mereka figur Tuhan adalah satu hal yang tidak jelas atau tidak tegas dan tidak sempurna untuk didefinisikan. 
    Jadi secara sederhana, pernyataan teisme akan keberadaan Tuhanlah yang disangkal ateisme, sehingga ateisme dapat disamakan dengan non teisme dan BUKAN anti teisme. 

    Kata “sangkal” dan kata “anti” mempunyai perbedaan makna, dimana kata “sangkal” terjadi karena adanya alasan ketidaksetujuan secara rasional, sedangkan kata “anti” merupakan kata yang berlandaskan pada perasaan, rasa tidak senang dan tidak suka belaka.
  2. Ateis tidak perlu membuktikan pernyataan teisme 
    Seorang yang beragama percaya akan keberadaan Tuhan, sedangkan seorang ateis tidak mempunyai kepercayaan tersebut. Seorang ateis juga tidak memiliki keinginan untuk membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.
    George H. Smith, seorang ateis penulis "Atheism: The Case Against God" merumuskannya sebagai berikut:

"Ateisme, dalam bentuk dasarnya, bukan keyakinan namun merupakan ketiadaannya satu kepercayaan".
Menurut Smith, seorang ateis bukanlah orang yang percaya bahwa Tuhan tidak ada, melainkan, ia tidak percaya akan adanya Tuhan.
Karena ateisme merupakan doktrin yang mengandung peniadaan atau penyangkalan, maka seorang ateis tidak terpengaruh dengan bukti-bukti dari teisme.
Seorang ateis tidak harus memiliki keinginan untuk memecahkan teka-teki alam semesta. Dia tidak harus mengekspresikan kosa kata "kebenaran terdalam dari alam semesta" yang dianggap tidak masuk akal untuk seorang ateis.
Seorang ateis tidak perlu membela atau membuktikan suatu pernyataan, karena pernyataan ‘Tuhan itu ada’ dikeluarkan oleh pihak teis/beragama. Jadi, sudah sewajarnya jika hanya pihak teis yang harus membuktikan pernyataan tersebut. Dan pihak ateis akan menunggu argumen pihak teis dan menimbang apakan argumen tersebut meyakinkan dirinya atau tidak.

  1. Ateisme adalah suatu pilihan yang disadari dan telah dipikirkan dengan matang.
    Unsur ketiga dari posisi ateis adalah sikap psikologis dari ateis itu sendiri: ateisme dianggap sebagai pilihan yang intelektual dan eksplisit. Kita kembali ke dalam pernyataan Le Poidevin di atas: “seseorang yang hidup sederhana tanpa pengetahuan akan Tuhan tidak cukup untuk melabelkan seseorang sebagai ateis”. 

    Paul Cliteur mencontohkan pernyataan tersebut sebagai berikut:
    Misalnya seseorang bertanya kepada kita : 
    Apakah Tuhan? Saya tidak tahu apa artinya. Saya tidak pernah berpikir dalam tentang hal tersebut.

    Bermula dari pertanyaan diatas maka akan banyak yang berpendapat bahwa orang tersebut ateis, namun sesungguhnya TIDAK benar. Apa yang kurang dari orang tersebut adalah pengetahuan atau kesadaran intelektual, sehingga orang tersebut tidak pantas disebut ateis.

    Oleh karena itu, Holbach mengatakan bahwa anak-anak (yang tumbuh dalam lingkungan tidak beragama) tidak pantas juga disebut ateis, dikarenakan mereka belum memiliki kesadaran intelektual untuk memilih dan menilai suatu prinsip/doktrin.

    Satu hari, anak saya mengatakan bahwa teman sekelasnya mengaku sebagai ateis. Seorang anak mengaku ateis mungkin saja karena terbawa pengaruh atau besar dalam lingkungan ateis, namun secara kemampuan intelektual, seorang anak kecil belum memiliki pengetahuan agama yang mendetail dan pengertian rasional yang merupakan dasar utama seseorang menjadi ateis. Jadi, pengakuan seorang anak kecil sebagai ateis, tidak dapat dianggap layak dan tidak bisa diterima.
    Karena seorang ateis adalah orang yang SUDAH mempunyai pengetahuan akan agama, atau mungkin dibesarkan dalam lingkungan keluarga beragama, bahkan mungkin juga adalah orang yang (pernah) beragama, namun memutuskan untuk tidak menjadikan agama sebagai bagian dari dirinya.

    Mereka yang tidak berpengetahuan agama (monoteisme) atau mereka yang menganut politeisme ataupun aliran kepercayaan ataupun pagan, BUKANLAH ateis. Yang utama dalam menilai apakah orang tersebut ateis atau tidak adalah tingkat kesadaran serta pengetahuan intelektual agamawi mereka.

    Penting untuk diketahui dalam menilai ateis adalah mereka MENELAAH semua pilihan atau opsi yang ada, semua argumentasi tradisional akan keberadaan Tuhan.

    Seorang yang (memilih) menjadi ateis adalah seseorang yang MEMPUNYAI pengetahuan akan argumentasi tentang Tuhan, dan MENIMBANG dengan matang ketidakpercayaannya akan keberadaan Tuhan.

    Jadi dalam unsur ketiga ini, seorang ateis bukan seseorang yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan akan Tuhan. Mereka tahu dan menelaah ilmu agama (bahkan mungkin juga dibesarkan dalam keluarga yang beragama), namun mereka memutuskan untuk tidak menjadikan agama sebagai satu iman dalam akal mereka.

Konsep ateisme dan motive untuk ateisme.

  1. Tidak beriman dan beriman
    Banyak orang yang menolak memeluk satu agama dan mempercayai ke-Esaan dan kesempurnaan Tuhan karena hal ini berlawanan atau menciptakan konflik dengan nilai-nilai utama yang mereka yakini. Karena mereka dapat dikatakan sebagai “orang yang tidak berkepercayaan” dalam hubungannya dengan Tuhan, namun mereka dapat juga dikatakan “orang yang berkepercayaan” di dalam kebebasan berpikir dan bertindak, kesetaraan martabat manusia, dsb.

    Di dalam ateis kita menemukan kombinasi dari beriman dan tidak beriman. Mereka beriman, tapi bukan didalam Tuhan dan kadangkala dianggap tidak dapat didamaikan dengan Tuhan.

    Salah satu contohnya adalah pernyataan seorang politikus Amerika, Robert Ingersoll (1833-1899):

    I am an unbeliever, and I am a believer . . . I do not believe in the “Mosaic” account of creation, or in the flood, or the Tower of Babel, or that General Joshua turned back the sun or stopped the earth. I do not believe in the Jonah story . . . and I have my doubts about the broiled quails furnished in the wilderness. Neither do I believe that man is wholly depraved. I have not the least faith in the Eden, stake and apple story. Neither do I believe that God is an eternal jailer; that he is going to be the warden of an everlasting penitentiary in which the most of men are to be eternally tormented. I do not believe that any man can be justly punished or rewarded on account of his belief.

    But I do believe in the nobility of human nature; I believe in love and home, and kindness and humanity; I believe in good fellowship and cheerfulness, in making wife and children happy. I believe in good nature, in giving to others all the rights that you claim for yourself. I believe in free thought, in reason, observation and experience. I believe in self-reliance and in expressing your honest thoughts. I have hope for the whole human race. What will happen to one, will, I hope, happen to all, and that, I hope, will be good. Above all, I believe in Liberty (quoted in Williams: 67).
  2. Kebebasan dalam berkehidupan
    Filsafat Perancis abad ke 20, Jean-Paul Sartre (1905-1980), mengembangkan konsep ateistik eksistensialisme. Konsep yang didasarkan pada teori kebebasan manusia. Menurutnya: Jika kita mencoba untuk membayangkan suatu dunia yang diciptakan oleh pencipta ilahi supranatural, kita, sebagai manusia, tidaklah bebas. Kita hanya bisa memainkan peran yang sudah tertulis untuk kita. Konsekuensinya, hal ini menghancurkan kebebasan manusia secara keseluruhan.
  3. Ateisme atau non-teisme? 
    Dalam istilah populer, ateisme diasosiasikan dengan segala hal yang negatif, baik dari pola pikir maupun tingkah laku, terutama dari cara mereka «membela» pendapatnya. Mereka bereputasi sebagai orang yang arogan, berhaluan keras, penyebar, bersemangat tinggi dan juga tidak sopan atau kasar.

    Reputasi ateisme yang buruk ini membuat George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang ahli sekuler Inggris, menciptakan sebutan ‘sekularisme’. Holyoake menciptakan kata ‘sekularisme’ karena adanya reputasi yang buruk pada kata ateisme. Dia mendefinisikan sekularisme atas keprihatinannya dengan masalah-masalah yang ada di dunia ini.

    Holyoake menyimpulkan sekularisme sebagai berikut:
    1. Secularism maintains the sufficiency of Secular reason for guidance in human duties.
    2. The adequacy of the Utilitarian rule which makes the good of others, the law of duty.
    3. That the duty nearest at hand and most reliable in results is the use of material means, tempered by human sympathy for the attainment of social improvement.
    4. The sinlessness of well-informed sincerity.
    5. That the sign and condition of such sincerity are – Freethought – expository speech – the practice of personal conviction within the limits of neither outraging nor harming others” .

Ateisme dikenal dengan image yang negatif dan setiap penulis yang berusaha menonjolkan ateismenya sebagai bagian dari gaya hidupnya terpaksa sering harus berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang tak terhingga.

Holyoake memberikan salah satu contoh tanya-jawab yang sering ia hadapi:

Tanya: Bukankah ateis terlalu arogan dengan bersikap seolah tahu bahwa Tuhan itu tidak ada?
Jawab: Ateis tidak menyatakan bahwa Tuhan tidak ada, mereka hanya menegaskan bahwa alasan-alasan untuk mempercayai keberadaan Tuhan, tidaklah meyakinkan.

Tanya:Kenapa kita tidak diperbolehkan untuk beriman di dalam Tuhan?
Jawab:Ateis tidak menentang kebebasan berbicara atau kebebasan menentukan sikap hati nurani, mereka hanya mengklaim hak mereka untuk tidak setuju dengan seseorang yang menegaskan keberadaan Tuhan.

Tanya: Tapi, bukankah sikap ateisme sedikit arogan?
Jawab: Ateisme tidaklah lebih arogan daripada agnostisisme atau teisme. Arogansi/keangkuhan tidak berada dalam posisi ateisme melainkan berada dalam sikap orang-orang yang mempertahankan pendapat/dogmatic mereka dalam ketidakinginan mereka mendiskusikan pandangan mereka. Para ateis umumnya senang mendalami suatu diskusi.

Jenis ateisme.

Paul Cliteur membagi ateisme ke dalam tiga jenis:

  1. Private atheisme atau dikenal dengan ‘non teisme’: suatu pola pikir yang menolak pandangan teistik dan menyatakan bahwa keputusan mereka menjadi ateis dilakukan untuk maksud yang baik.
  2. Public atheism: para ateis yang berkeyakinan bahwa mereka patut berbagi prinsip dengan orang awam demi tercapainya masyarakat yang bersusila. Dalam jenis ini didapatkan unsur penyebaran dimana para ateis secara aktif berusaha merubah masyarakat sekitarnya.
  3. Political atheism: dimana satu negara berkeyakinan untuk memberantas segala agama hingga keakarnya, seperti yang terjadi pada Uni Sovyet dan Albania.

Menurut Paul Cliteur, untuk menjadikan ateisme sebagai posisi yang dapat dipertahankan, seharusnya ateisme masuk kedalam jenis ‘private atheism’ atau non-theism. Ateisme yang tepat selayaknya bersikap skeptis terhadap public atheism dan menghapus political atheism.
Namun, karena ateisme jenis pertama juga bisa berkonotasikan ateisme jenis kedua dan jenis ketiga, maka mungkin merupakan strategi yang mudah untuk berhenti menggunakan semua istilah jenis ateisme dan lebih merujuk pada penggunaan istilah ‘non teisme’.

Penutup:
Kesimpulannya, apakah ateisme suatu agama, atau suatu penyembahan, atau suatu grup, atau sesuatu yang imoral? Jawabannya adalah TIDAK, untuk semuanya.


Ateisme bukan satu agama karena mereka tidak memiliki pemikiran elemen agamawi.

Para ateis tidak menyembah kemampuan rasional mereka, karena kata ‘sembah’ bersifat sakral dan rutin. Sedangkan kemampuan rasional tidak mengandung nilai sakral dan tidak memiliki rutinitas.

Ateis bukanlah paham satu grup, karena ateis merupakan pilihan individualistik. Suatu pilihan yang dilakukan sendiri oleh diri sendiri, tanpa memiliki ikatan dalam struktur organisasi.

Ateisme bukanlah suatu pikiran yang imoral, karena mereka memiliki moral untuk membuat dunia menjadi lebih baik lagi dengan menghindari perbuatan jahat berdasarkan nilai-nilai manusiawi dalam kehidupan, bukan berdasarkan perintah agama ataupun rasa takut akan adanya neraka atau hukuman dari Tuhan.

Dan satu hal yang utama, kita tidak bisa dengan gampang memberi cap “ateis” pada seseorang hanya dikarenakan mereka tidak menganut agama monoteisme. Pada saat sekarang ini, walaupun kelihatannya banyak terdapat ateis di dunia ini namun sebenarnya sangatlah sedikit orang yang benar-benar mengaku secara lugas bahwa mereka ateis, karena kebanyakan yang terjadi adalah orang-orang yang di-BERI label atau di-CAP ateis oleh pihak oposisi. Hal ini terjadi tidak hanya dalam dunia politik, namun juga dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Seorang penganut aliran kepercayaan, ataupun politeisme, atau paganisme, bukanlah seorang ateis, karena mereka juga mengimani sesuatu yang lebih kuasa dari manusia dan bersifat luar biasa. Mereka mempunyai iman dan percaya pada sesuatu yang tidak dapat dirasakan oleh indra manusia. Jadi mereka tidak layak dicap sebagai ateis dan terlebih lagi, bukan berarti penganut paham komunisme. Oleh karena itu, peristiwa korban jiwa yang berjatuhan pada tahun 1965-1966 di Indonesia, lebih banyak  yang merupakan peristiwa pembunuhan/kejahatan masal daripada pembasmian paham komunisme.


Kepustakaan:

  • The Cambridge companion to atheism, edited by Michael Martin, Cambridge University Press, 2007.
  • Paul Cliteur, The Definition of Atheism, The Kripke Center, University of Leiden, the Netherlands, Journal of Religion and Society Volume 11, 2009.

Ini Budi!


Ini Budi. Ini ibu Budi. Ini Bapak Budi. Wati kakak Budi. Iwan adik Budi.
Nama “Budi” membawa angan saya melayang pada saat masih mengenakan seragam sekolah dasar. Saat “Budi dan Keluarga” menjadi bagian dari kehidupan saya sehari-hari. Saat guru bahasa Indonesia berdiri di depan kelas dengan penggarisan panjang menunjuk tulisan kapur putih pada papan hitam, saat saya dan teman-teman sekelas melafalkan tulisan itu dengan keras dan lantang. “Ini Budi. Ini ibu Budi. Ini Bapak Budi. Wati kakak Budi. Iwan adik Budi”.

Budi dan keluarga menjadi bagian dari setiap anak-anak di Indonesia. Sekalipun pemeran dalam pelajaran membaca terdiri dari berbagai karakter pribadi (Budi, Amir, Wati, Bapak Budi dan Ibu Budi), namun pemeran utama dalam “teater” ini adalah Budi. Cerita kehidupan keluarga tersebut bertumpu pada kegiatan yang dilakukan Budi, apa yang dipikirkan Budi, bagaimana Budi menikmati hidupnya, bagaimana senangnya Budi bermain bola, dst. Semuanya bertumpu pada Budi dan Budi adalah sang selebritis pilihan .

Entah kenapa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat itu) memilih nama Budi sebagai pemeran utama dalam pelajaran membaca. Kenapa bukan Amir yang menjadi pemeran? Atau kenapa bukan bapak Budi yang saya tidak ketahui namanya? Semuanya itu tidak pernah terpikirkan saat itu, saat saya masih bersekolah di SD.

Arti “Budi” itu sendiri bagi saya saat sekolah dasar adalah: tokoh dalam pelajaran membaca, nama teman sekelas yang duduk di barisan depan dan berada dalam urutan 10 murid terbaik, sebutan bagi seseorang yang bersikap baik hati dan tidak sombong.

Kata “Budi” pun saya pelajari sebagai kata yang menggambarkan sesuatu yang positif. Akal budi, hati budi, budi bicara, budi pekerti, budi daya, budi luhur, segala sesuatu yang berbau “Budi” menjadi contoh yang patut menjadi teladan bagi setiap anak-anak di Indonesia sejak mereka mengenal abjad dan tulis menulis.

Sejak setiap anak menjejakkan kakinya dalam dunia pendidikkan, maka mereka pun menjejakkan kakinya pada dunia BUDI. Mungkinkah pemerintah saat itu memilih “Budi” sebagai pemeran utama yang “membesarkan” setiap anak-anak yang ada di bumi Indonesia supaya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berbudi luhur, baik budi, berbudi bicara, berbudi pekerti dan berhati seperti “Budi”?

Tentu saja setiap bangsa di muka dunia ini menginginkan menjadi bangsa yang baik dan berbudi, setidaknya terlihat (seperti) bangsa baik dan berbudi. Begitu juga dengan bangsa yang lahir dan hidup di bumi pertiwi Indonesia, bangsa yang terkenal dengan keramah-tamahannya dan berbudi bicara, bangsa yang memperkenalkan kata “Budi” sejak dini kepada setiap manusia yang ada di Indonesia, jadi sudah sewajarnya jika bangsa Indonesia (bisa) menjadi bangsa yang berbudi.



Namun pertanyaan saya saat ini, di awal abad ke 21 ini, apakah bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa berbudi? Sudah tepatkah aplikasi «Budi» ke dalam setiap jiwa bangsa Indonesia?



Budiman dan Budiwati Indonesia abad ke 20 dan abad ke 21
Pada akhir abad ke 20, situasi di Indonesia secara kasat mata dapat dikatakan “berbudi dan dihidupi oleh para budiman dan budiwati”. Nama-nama koruptor yang tercuat pun hanya sedikit dibandingkan pada awal abad ke 21. Beberapa teman berpendapat secara kecut asam jawa bahwa memang pada awal abad ke 21, koruptor yang ada berjumlah buanyak gotong royong ramai-ramai membuat dunianya menjadi hijau loh jinawi.



Tapi sekalipun di akhir abad ke 20 hanya sedikit jumlah koruptor yang ngetop, namun dengan otoritas pemerintahan kleptocratic selama 32 tahun, bukan berarti kerugian negara dan kesusahan penduduk lebih sedikit dibandingkan awal abad ke 21.

Lalu benarkah di awal abad ke 21 ini, Indonesia (hanya) dipenuhi dengan orang-orang yang tidak berbudi?
Tentu saja Indonesia tidak hanya dipenuhi oleh mereka. Di pelosok pedalaman, desa, kampung, tempat dimana alam masih menjadi guru dan teknologi masih gagap pakai, saya masih banyak menemui orang-orang yang berbudi. Orang-orang yang berbudi pekerti dan membudidayakan alam serta lingkungan sekitarnya dengan baik dan efektif. Orang-orang yang masih berhati perut, mempunyai hati budi yang turut memikirkan perut sekitarnya. Tapi mengapa mereka yang mencoba mengaplikasikan nilai "Budi" malah masuk dalam kategori penduduk kelas 3 atau kelas akhir atau bahkan korban dari penduduk kelas 1?

Lalu, salahkah menjadi penduduk kelas 1 atau penduduk kelas 2? Salahkah tinggal di kota? Salahkah mengenal modernitas dan teknologi? Jawabannya tentu saja tidak. Lalu siapakah yang patut disalahkan? Salah "Budi" kah?
Jawaban dari pertanyaan ini saya jawab dengan pertanyaan lagi: kenapa harus mencari siapa yang harus dipersalahkan? Berkaca adalah tindakan yang tepat, mencoba mencari "Budi" dalam diri sendiri, dalam identitas diri.

Pertanyaan yang utama adalah kepada siapakah kita mengidentitaskan diri kita? Jawaban yang saya tawarkan adalah berkaca kepada himpunan Budi. Kepada "Budi" yang merupakan satu himpunan yang terdiri dari berbagai elemen baik POSITIF maupun NEGATIF.





Definisi Budi

Ahhh… jadi sesungguhnya apa arti Budi? Benarkah "Budi" juga mengandung elemen bernilai NEGATIF? Ada baiknya kita mencoba untuk mengenal dan mempelajari arti "Budi" jauh lebih dalam lagi. Arti "Budi" sebagai kesatuan dan satuan-satuan yang membentuk "Budi" menjadi satu keutuhan.


Nama "Budi" sejatinya berasal dari bahasa Sansekerta, “buddhi” yang berarti kebijaksanaan, pemahaman, atau kecerdasan. Di dalam Kamus Sansekerta-Inggris, buddhi didefinisikan sebagai "kekuatan untuk membentuk dan mempertahankan konsep-konsep dan gagasan umum, kecerdasan, akal, intelek, pikiran, penegasan, penghakiman " (Monier-Williams 1956:733).

Budi (“buddhi”) dalam bahasa Sansekerta adalah kata benda femina (kata benda maskulin: buddha) yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan kecerdasan. Mempunyai kemampuan dalam berpikir serta mempunyai sifat diskriminatif, yang mampu membedakan kebenaran dari kebohongan sehingga dapat bersikap/bertindak bijaksana.

Dalam mitologi Hindu, Buddhi adalah nama dari istri Ganesha, dimana Ganesha juga dikenal dengan nama Buddhipriya yang berarti suami buddhi. Selain itu defini ini juga bisa berarti suka kecerdasan (Buddhi= cerdas; Priya= suka).

Buddhi juga merupakan salah satu filsafat India yang berisikan seperangkat alat-alat pengetahuan, kearifan dan keputusan. Suatu pengetahuan yang membuat seseorang menjadi kuat sehingga mampu membentuk, memutuskan serta mempertahankan suatu konsep, gagasan, akal, pikiran. Sesuatu yang mendefinisikan seseorang yang mempunyai kepandaian, dan dengan kemampuan diskriminatifnya membuat ia mampu membedakan kebaikan dan keburukan, sehingga mampu memutuskan sesuatu secara bijaksana. Buddhi adalah sesuatu yang ideal bagi setiap insan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi dari “Budi” adalah sebagai berikut:

  • Alat batin yg merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk: pendidikan untuk memperkembangkan badan dan -- manusia.
  • Tabiat; akhlak; watak: orang yg baik -- .
  • Perbuatan baik; kebaikan: ada ubi ada talas, ada -- ada balas .
  • Daya upaya; ikhtiar: mencari -- untuk mengalahkan lawan.
  • Bahasa tingkah laku dan tutur kata; tingkah laku dan kesopanan; -- bicara ;akal budi; -- pekerti; tingkah laku; perangai; akhlak.
  • akal (dl arti kecerdikan menipu atau tipu daya): bermain --.
  • ber•bu•di: 1 v mempunyai budi; 2 v mempunyai kebijaksanaan; berakal; 3 v berkelakuan baik; 4 a murah hati; baik hati.
  • mem•per•bu•di•kan: v memperdayakan; menipu.
  • se•bu•di, (dng) - akal (dng) segala usaha.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, 1991.
  • Lim Kim-Hui, “Budi as the Malay Mind”, IIAS Newsletter no 31, International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden, 2003.
Jadi arti “Budi” dalam bahasa Indonesia merupakan satu himpunan dari segala tabiat, akhlak, watak, perbuatan baik, tingkah laku dan tutur kata, kesopanan perangai, daya upaya, ikhtiar, kecerdikan daya upaya menipu atau tipu daya, yang semuanya ini dianggap sebagai satu kesatuan.


“Budi” dalam KBBI ternyata mempunyai konotasi negatif yang terselimuti sebaran konotasi positif. “Budi” dalam bahasa Indonesia tidak hanya sekedar berarti baik, luhur dan bijaksana, namun “Budi” juga berakal yang bisa digunakan untuk melakukan tipu daya, seperti kata “bermain budi”, “memperbudikan” .

Jadi, benarkah bangsa Indonesia yang mengenal kata “Budi” sejak sekolah dasar menjadi bangsa budiman dan budiwati yang akhirnya mengaplikasikan semua komponen positif dan negatif secara bersamaan? Baik hati dan ramah tamah namun juga munafik dan penipu, bagaikan serigala berbulu domba?

Bagi saya pribadi, “Budi” adalah kata yang tepat dan jujur untuk menggambarkan seorang manusia yang utuh. Setiap manusia mempunyai sifat positif dan negatif. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi baik dan juga mampu menjadi munafik, mampu menjadi pembela keadilan dan mampu menjadi pemberantas keadilan. Kunci utama yang terletak dalam kata “Budi” adalah pengaplikasian posisi serta fungsi dan kombinasi nilai elemen-elemen “Budi” yang terkandung di dalamnya.

Mengutip tulisan Lim Kim-Hui dalam tulisannya yang berjudul “Budi as the Malay Mind” dikatakan, “arti Budi sebenarnya jika dilihat melalui rasionalitas mungkin menuduh “Budi” bermuka dua, munafik, curang, atau tidak tulus dalam mengatakan kebenaran. Tapi klaim ini berlaku di satu sisi, karena dalam arti lain kita mungkin perlu melakukan pemeriksaan lebih pada filosofis dan argumentasi. Misalnya, pada saat terjadi konflik yang memanas, dialektik keteladanan yang kuat (mungkin) bisa merugikan (yaitu, tuntutan kehidupan), dan karena itu orang harus 'berbohong' dalam rangka menjaga keharmonisan. Tapi 'kebohongan' ini harus diuraikan saat konflik sudah mendingin. Inilah semangat sejati dari ‘Budi dan elemennya”.

“Budi” dan elemen-elemennya bekerja sama untuk mewujudkan satu tujuan yang menghasilkan enlightenment (pencerahan/penerangan). Elemen-elemen bernilai positif berada pada posisi dari dalam hingga ke posisi paling depan, dan berfungsi untuk menciptakan ide/gagasan, melakukan dan mewujudkan gagasan sehingga mencapai tujuan dari ”Budi” (kebijaksanaan).

Sedangkan elemen bernilai negatif berada pada posisi dimana ia berfungsi sebagai pendukung dan pertahanan elemen-elemen bernilai positif. Nilai-nilai negatif bekerja dan berfungsi untuk mendukung serta mempertahankan gagasan, ide ataupun tindakan yang diciptakan oleh nilai-nilai positif sehingga kesatuan dari kerjasama nilai positif dengan dukungan nilai negatif menjadi satu pencerahan (enlightenment) yang berakhir pada satu tindakan kebijaksanaan yang bijaksana.

Sejak sekolah dasar, manusia di Indonesia diajarkan dan dikenalkan pada definisi “Budi” yang HANYA bernilai positif. Sedangkan nilai berkonotasi negatif tersembunyi dalam-dalam tanpa diperkenalkan secara luas. Akibatnya, pengaplikasian “Budi” dalam kehidupan hanya berfungsi setengah bagian. Pengaplikasian yang setengah dikarenakan pengetahuan dan pengertian yang ada hanya diberikan sebagian saja, membuat tujuan dari “Budi” (kebijaksanaan) menjadi gagal.

Salah satu contoh pengaplikasian “Budi” yang hanya mengutamakan nilai-nilai positif misalnya adalah pengaplikasian nilai rendah hati sebagai salah satu elemen “Budi”. Pengaplikasian nilai "rendah hati" yang berlebihan untuk mencapai satu keharmonian malah berakhir menjadi "rendah diri". Dimana rasa rendah diri mengakibatkan perubahan peranan manusia menjadi korban sesama manusia, menjadi pihak yang dimangsa.
Adapun masalah yang lebih parah lagi dalam pengaplikasian “Budi” bukan saja karena pengaplikasian “Budi” yang tidak sempurna/setengah, tapi juga PEMBALIKAN dari posisi dan cara kerja fungsi elemen-elemen yang ada pada ”Budi”.

Cara bekerja yang seharusnya bagi “Budi” dan elemen-elemennya adalah pengaplikasian nilai-nilai positif untuk menciptakan dan mewujudkan gagasan dengan dukungan nilai negatif untuk mencapai hasil positif secara keseluruhan yaitu kebijaksanaan.

Salah satu contoh yang paling mudah kita temui adalah cerita rakyat "Kancil & Buaya". Kancil adalah salah satu contoh perwujudan dimana Kancil digambarkan bersikap dan bertidak dengan nilai positif. Untuk mempertahankan konsep dan gagasannya yang positif, ia mengaplikasikan nilai negatif dengan melakukan penipuan. Penipuan disini merupakan hasil bernilai negatif yang berasal dari pengaplikasian nilai positif (ikhtiar dan kecerdikan daya upaya menipu). Hasil akhir dari nilai negatif ini digunakan untuk mendukung aplikasi keseluruhan elemen-elemen bernilai positif yang berakhir pada kebijasanaan (buddhi).

Namun kenyataan yang terjadi saat ini adalah pembalikan fungsi dan posisi “Budi” dan elemennya, dimana elemen-elemen bernilai negatif di jadikan dasar untuk menciptakan suatu gagasan dan mengambil alih nilai positif untuk mencapai hasil negatif secara keseluruhan yaitu keegoisan. Pengaplikasian elemen-elemen “Budi” yaitu pintar (positif) dan penuh akal (positif) dalam “bermain budi” (negatif) untuk memenuhi kepuasan egonya (negatif).

Salah satu contohnya adalah seseorang yang mengetahui dengan jelas dan pasti akan adanya nilai “hutang budi” yang berlaku dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dengan gagasan/ide suatu penipuan yang didasari oleh keegoisan (negatif), seseorang menggunakan akal pikiran (positif) dengan memanipulasi (negatif) prinsip “balas budi” (positif), memanipulasi sifat “budi luhur” (positif) untuk mewujudkan aplikasi keseluruhan dari elemen-elemen bernilai negatif (keegoisan) yang berakhir pada keangkaraan (ahamkara) .



Lalu sekarang, mau dibawa kemana bangsa ini? Bangsa yang mengaplikasikan “Budi” dan elemennya dengan utuh dan benar atau bangsa yang mengaplikasikan “Budi” dan elemen-elemennya dengan terbalik?
Saya sendiripun belum bisa menjadi budiwati yang sempurna dengan segala sifat baik dan sifat buruk. Satu hal yang saya coba aplikasikan dalam kehidupan yang tersisa adalah kembali belajar tentang “Budi”. Kembali belajar, “ini Budi! Ini elemen-elemen Budi. Ini identitas Budi!”. Kembali kepada “Budi”, memahami “Budi” dan berkaca kepada identitas “Budi” yang seharusnya.

Lalu, berusaha mengajari anak saya akan identitas “Budi”, mencoba membuat anak beridentitas “Budi” dengan sebenarnya. Semoga saja dengan mengenalkan dan mengajarkan “Budi” dengan lengkap dan benar, saya masih mampu menyelamatkan dunia masa depan anak bersama buddhi (bijaksana) yang utuh.



Ini cicak tetangga BUDI, ini buaya kenalan BUDI, ini Century bermain BUDI, ini KPK musuh Budi, ini Gayus mem-per-BUDI- daya-kan ...


Arita - CH

Kepustakaan:
 Dimuat di KoKi (Kolom Kita), Senin, 24 Mei 2010 (Klik)