Belajar di luar negeri (1)

21.02.2009.

Awal tahun 2008, ku buka dengan perjalanan “belajar di luar negeri”, disponsori oleh museum Lugano, Swiss. Mendengar kata “luar negeri”, terutama saat mendengar negara tujuan, aku lompat-lompat kecil, tidak berani lompat besar, takut jatuh dari tangga mimpi.

Program “ke luar negeri” berhasil diputuskan dalam komite scientifik Museum Lugano Swiss tahun 2008 dimana kami berdua (suami dan aku), kolaborator ilmiah eksternal Museum Lugano Swiss, terpilih untuk “belajar” di luar negeri Swiss, mengunjungi suatu negara nun jauh letaknya dari pegunungan Alpen, negara yang harus ditempuh dengan penerbangan selama 14 jam dari kota Zurich plus transit 2 jam. Negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara, melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia, antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

“Jalan-jalan keluar negeri” ini berkaitan dalam proyek penelitian antropologi, jadi kami berdua tidak bisa terlalu “berzalan-zalan zambil berziul-ziul” (permisi Ibu Ira-Canada, pinjam istilahnya), namun demikian, saat surat jalan dan tiket diletakkan di tangan, hati kami berdua berdendang ria menyanyikan lagu yang berbeda, suamiku bernyanyi akan “serunya” keluar negeri, hatiku juga bernyanyi akan indahnya keluar negeri untuk memasuki negeri yang telah membesarkan aku dengan segala “kebijaksanaannya”.

Saat kaki kami melangkah keluar dari pintu pesawat, aroma khas mendekap hidungku, udara yang lekat dengan kelembapan merangkulku dengan segala kehangatannya, membuatku kepanasan akan rengkuhannya yang erat. Kedua bola mataku “berlari” terburu-buru, mencoba mengalahkan kaki yang kesemutan tertekuk selama beberapa belas jam. Pusat syarafku harus bergelut dengan anggota tubuhku yang enggan bersinkronisasi, masing-masing ingin saling mendahului, berpacu dengan melodi kerinduan untuk segera tiba di tempat tujuan, menambatkan cinta yang terpisah oleh jarak dan waktu.

Ditemani dengan seorang sepupu, kami bertiga menggerakkan seluruh tenaga untuk menjalani roda penelitian yang “bertempat” di propinsi Kalimantan Tengah, menyelusuri sungai Katingan yang “lahir” di kaki pegunungan Schwaner, meliuk-liuk sepanjang 650 km hingga laut Jawa.

Berhubung jatah sepanjang 650 km terpotong dengan masalah pribadi, sedangkan waktu yang “disediakan” tidak bisa diulur seperti karet, maka penelitian pun “diperpendek” menjadi 400 km.

Penelitian “sependek” 400 km kami arungi dengan mengayuh dayung secepat mungkin. Berbekal fasilitas abad ke 21, dayung digantikan oleh mesin motor Yamaha dan Mitsubitshi. Menumpangi 3 macam jenis dan ukuran perahu, menyusuri sungai Katingan, dari dermaga Kasungan hingga hulu Katingan, lalu kembali ke dermaga Kasungan untuk menumpangi mobil yang juga bermesin Mitsubitshi, menuju Palangka Raya, menaiki kapal terbang yang untungnya tidak bermesin Mitsubitshi, menuju Jakarta, langsung lanjut ke kota Zurich, masuk ke dalam kebekuan salju yang masih belum juga mencair di bulan Maret.

1 April, the april fools' day atau April Mop. Hari yang biasanya “disahkan” untuk berbohong tanpa dianggap bersalah. Tetapi bagi kami, pada tanggal 1 April 2008 lebih merupakan hari untuk mengungkapkan tabir “kebohongan”. Hari ini kami (suami dan saya) menjadi pembicara dalam konferensi “Altra Altri Asia” dengan tema “Pulau Borneo”, di Lugano.

Pertama kali slide peta pulau Borneo terpampang di layar, banyak wajah-wajah yang ternganga bingung, menatap tiga negara di pulau Borneo. Saat kami berdua menjelaskan, menerangkan, “berdakwah”, tentang pulau beserta penduduk aslinya, kembali kami melihat wajah-wajah yang penuh dengan kebingungan bercampur kekaguman. Kutatap wajah-wajah peserta dihadapanku yang terpaku menatap gambar di layar, gambar-gambar yang terekam saat penelitian sepanjang sungai Katingan, gambar-gambar yang “menculik” jiwaku kembali ke kaki pegunungan Schwaner, milir sungai Katingan.

Benakku dipenuhi oleh wajah-wajah penduduk sekitar sungai Katingan. Wajah-wajah yang menatap penuh dengan kekuatan dan semangat hidup, wajah-wajah yang berani menyambut hari esok, tanpa tahu apa yang akan terjadi pada keesokkan hari. Wajah-wajah tua yang bangga menyebutkan jumlah tahun yang telah dilalui, sebagai tanda kemenangan dalam menjalani hidup. Hidup yang kadangkala sering kuanggap sebagai beban yang panjang. Wajah yang tidak akan pernah kulupakan dan terpatri kuat dalam hatiku, wajah yang selalu membuat aku bertanya -tanya, “mampukah aku berdiri tegak seperti mereka?”

Diantara wajah-wajah tersebut, ada dua tokoh yang tidak bisa kulewatkan begitu saja dalam kehidupanku sehari-hari. Sepak terjang dan perjuangan mereka jauh di hutan belantara, menjadi contoh bagi diriku dalam menghadapi hutan belantara gedung bertingkat. Hutan kehidupan abad ke 21 yang dipenuhi dengan semak belukar intrik duniawi yang jauh dari bersahabat. Kedua tokoh ini memenuhi alam pikiranku, kupinta betara kala kembali ke belakang berjalan mundur, kala pertama kali aku bertemu dengan 2 tokoh.

05:07 dini hari.

Hari masih gelap, fajar seolah enggan menyingsing. Kami sudah terlambat 7 menit dari waktu yang dijanjikan. Kulihat tukang perahu kelotok, -perahu bermesin 2 tak berbunyi tok, tok, tok, tok-, sudah siap di dalam perahu, siap menggertak kami yang masih terantuk-antuk. Suara klotok yang menggontok, mendesak kepalaku yang belum teracuni dengan kafein, “ah seandainya ada warung kopi di tengah jalan”. Kami bertiga, Didi sepupuku, sang suami dan aku sendiri, masih terbuai di alam mimpi, terguncang-guncang dalam perahu kecil yang bernyanyi tok tok tok tok. . .

Kami memasuki sungai Samba, anak sungai Katingan, sungai yang akan membawa kami ke desa Tumbang Manggu ( cat.- berbeda dengan bahasa Indonesia, tumbang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rebah jatuh; runtuh, sedangkan tumbang dalam bahasa dayak Ngaju adalah muara. Jadi Tumbang Manggu adalah desa yang terletak di muara sungai Manggu). Tidak ada yang bisa kulihat disekitarnya saat itu, semuanya masih gelap, dingin, ditiup oleh angin sungai pagi hari, kami “tenggelam” dalam kedinginan pagi, diselimuti kehangatan bunyi mesin kelotok, tok tok tok tok.

Satu jam kemudian, matahari mulai menampakkan sinarnya dengan gagah, sekalipun masih jauh terlihat, tetapi ia menumpahkan warna biru terang jauh di ufuk cakrawala. Bentuk kehidupan mulai menampakkan diri, menyinari kami, menjanjikan harapan baru, hari yang indah untuk disongsong.

Disebelah kiri, kulihat kumpulan batang-batang kayu besar terabaikan dipinggir sungai, debit air yang rendah tidak memungkinkan bagi tongkang untuk masuk dan membawa kayu-kayu tersebut ke hilir hingga laut Jawa. Aku menghela napas, perplex, tidak tahu harus berkata apa. Dalam situasi “moderen”, paradoks tercipta diantara kebutuhan menjadi “modern” dan kebutuhan untuk melanjutkan hidup secara tradisional à la turun temurun. Televisi, majalah, iklan, memberikan contoh model akan suatu kehidupan “modern”, pada komunitas pertanian yang tidak mempunyai gambaran “pasti” akan definisi dari suatu “modernitas”. Mereka membiarkan diri mereka memasuki dunia asing, yang dikenalkan oleh orang “asing”, beradaptasi dengan dunia asing, demi orang “asing” yang datang untuk mengambil kekayaan mereka, dan kemudian pergi tanpa meninggalkan apa-apa. Aku kembali ke dalam kenyataan, kini aku berada ditengah hutan raksasa, ditengah-tengah raksasa kayu-kayu dan mesin-mesin.

06 :30

Kami tiba di desa Tumbang Manggu, dimana terletak betang Bintang Patendu. Betang umumnya diartikan sebagai rumah panjang. Dalam bahasa dayak Ngaju sering juga disebut huma hai (rumah besar). Didalam betang, hidup lebih dari satu keluarga, bahkan pada abad ke 18 bisa mencapai 20 keluarga, yang kalau ditotal jumlah manusia yang hidup dalam satu atap mencapai 200 orang.

Pembangunan betang Bintang Patendu dimulai pada tanggal 15 maret 2002, dengan maksud untuk meneruskan dan menjaga budaya dan tradisi Dayak Ngaju yang bisa dikatakan hampir hilang “dari peredaran”. Betang Bintang Patendu dibangun diatas tanah seluas 1,3 hektar, terdiri dari dua bangunan yang dihubungkan dengan satu bagian, yang dinamakan selasar/karayan, seluas 84 m2. Bangunan pertama seluas 171 m2 adalah bangunan utama, dimana terletak ruang pertemuan/balai dan kamar tempat tinggal, sedangkan bangunan kedua adalah ruang dapur dan ruang makan, seluas 135 m2.

Betang yang dibangun diatas 4 meter dari tanah, ditopang oleh 100 potong kayu besi (scie. Eusideroxylon zwageri) atau kayu tabalien (dayak Ngaju), menimbulkan kesan yang sangat kuat akan kekayaan alam dan kehidupan masa lalu, dalam konteks masa sekarang.

Kami menaiki hejan (tangga-bahasa dayak Ngaju) yang terbuat dari 1 batang pohon utuh, memasuki balai pertemuan yang bernama Balai Karungut. Seperti nama balai pertemuan, “karungut”, seperti juga pemilik betang yang adalah seorang artis, the real celebrity of Karungut. Karungut adalah sejenis pantun, yang dilagukan, diiringi dengan musik kecapi, suling dan kangkanong (semacam gambang). Tema karungut berkisar pada ekspresi perasaan manusia, keadaan alam sekitar, mitologi dan legenda/cerita rakyat. Syair-syair Karungut mengajarkan akan kebajikan dan nilai-nilai luhur budaya.

Seperti syair-syair karungut yang berbicara akan keluhuran budaya, begitu juga dengan sang pendendang Karungut, Bapak Syaer Sua. Begitu banyak hal-hal yang dapat kami pelajari dengan mengenal beliau, sekalipun dalam waktu yang singkat.

Bapak Syaer Sua lahir pada tanggal 15 mei 1952 di desa Bukit Rawi tepi sungai Kahayan, sedangkan kedua orangtuanya berasal dari Desa Tumbang Manggu. Bapak Syaer adalah seorang lelaki yang terlihat tegas, pola bicaranya lugas, tanpa tedeng aling-aling, khas orang Dayak Ngaju. Sistim bermasyarakat Dayak Ngaju adalah sistim budaya betang. Suatu betang adalah juga suatu lewu (kampung), orang-orang yang tinggal di dalam betang adalah satu keluarga yang juga berarti penduduk kampung, jadi pada jaman dahulu, suatu kampung terdiri dari satu betang yang besar dimana anggota keluarga, yang otomatis penduduk kampung, vice versa, selalu bekerja bersama-sama, bergotong royong, tanpa perlu menunggu uluran tangan dari pihak luar. Dalam budaya betang terdapat sistim egaliter, di mana kita biasa memanggil orang dengan sebutan “ikau" (-kamu- Dayak Ngaju), kepada orang yang lebih muda, seumur, bahkan yang lebih tua. Nama orang jarang diucapkan dalam percakapan, kebanyakkan menggunakan panggilan seperti Aba (ayah), Mama (paman), Mina (bibi). Bagi orang yang terbiasa dengan adat yang menggunakan sebutan “anda”, akan menganggap nada bersahabat tersebut sebagai nada ketidaksopanan.

Dibalik sikapnya yang lugas, kami merasakan ketulusan dan kebaikan hati. Ketulusannya untuk terus menurunkan dan mengembangkan tradisi yang diwarisi turun temurun dari nenek moyang, tetek tatum (cerita) yang dilantunkan sang ayah kepada anak-anaknya, diterangi oleh sinar pelita damar, mengisahkan riwayat panjang kehidupan dari masa lalu, sebagai pedoman dan contoh dalam menghadapi masa yang akan datang. Prinsip yang tertanam sejak kecil membuat Pak Syaer Sua menggunakan seluruh kemampuannya untuk membangun betang, untuk mempertahankan budaya betang.

Dalam mempertahankan dan menjalankan prinsip-prinsipnya, tidak jarang Pak Syaer menemukan kesulitan-kesulitan, di antara degradasi moral dan penilaian sepihak dari pihak luar, akan ide-ide dan cita-cita pak Syaer. Tidaklah mudah membangun sesuatu yang hampir punah, meleleh dalam gerakan globalisasi dan modernitas instant. Kehidupan terplastikkan oleh sistem instant, semuanya (harus) serba instant, serba “harus” cepat. Berbalapan dengan waktu, berusaha mengalahkan waktu, tanpa melalui proses alami. Hasil yang didapat akhirnya bersifat instant, begitu juga durasi ketahanannya bersifat instant, tidak tahan lama. Yang kesemuanya menuju pada kemiskinan moral dan material. Pak Syaer Sua harus mampu berhadapan dengan generasi yang diserbu oleh ragam instanitas dari berbagai penjuru.

Pada jaman dahulu kala, betang dibikin dan didirikan oleh orang banyak secara gotong royong. Dengan pengetahuan, peralatan yang sederhana, kesabaran dan kegigihan, mereka membangun betang dengan waktu yang lama. Pada masa kini, waktu dan gotong royong mulai punah. Teknologi modern menawarkan bantuan fasilitas dan kecepatan, tetapi tidak ada yang gratis. Pak Syaer harus memutar otaknya berkali-kali untuk bisa mewujudkan betang. Sudah tidak banyak lagi tangan-tangan yang menawarkan bantuan, dibandingkan pada jaman dulu. Secara materi, proyek Betang merupakan proyek yang jauh dari jangkauan kantong pak Syaer. Tetapi keberuntungan selalu datang dibalik kegigihan dan ketekunan, Betang Bintang Patendu dapat terwujud dengan bantuan fasilitas alat berat dari perusahaan perhutanan.

Betang Bintang Patendu berdiri dengan megah, mengingatkan dan mengajak kembali masyarakat untuk “kembali ke asal”, kembali ke budaya betang. Tetapi globalisasi masih bertengger dengan sombongnya. Pendapat-pendapat orang mulai menggerogoti kesabaran pak Syaer. Dari sebutan sebagai pemimpi hingga orang gila, sudah kenyang didengar oleh kedua telinganya, tetapi bukan kata-kata itu yang kadang kala melahirkan kekecewaan dan kemarahan. Kurangnya informasi dan pengetahuan budaya, akan asal-usul betang tersebut, membuat banyak pengunjung betang menilai “rendah” betang Bintang Patendu.

Banyak orang yang berpikiran bahwa betang hanyalah bangunan sisa dari masa purbakala, yang hanya dibangun pada jaman dahulu, begitu juga pikir mereka tentang Betang Bintang Patendu. Dari beberapa komentar-komentar di internet, banyak yang mengimajinasikan untuk menemukan betang tua, reot, “orisinil”, tidak berjendela kaca, akibat dari imajinasi “eksotis” mereka, para pengunjung, menjadi “menyesal” dengan betang Bintang Patendu. Secara tidak langsung mereka “mendakwa” bahwa betang Bintang Patendu hanyalah “betang tiruan”, betang yang telah dimodifikasi, “betang modern”. Tampaknya pengunjung lebih mudah “mendakwa” sebagai tameng dari rasa kekecewaan dan kekesalan akibat imajinasi eksotis masa lampau. Sayangnya, mereka tidak sadar, bahwa “dakwaan” mereka melahirkan kesedihan mendalam di hati Pak Syaer Sua. Pekerjaan besarnya hanya diartikan sebagai suatu bangunan baru tanpa sejarah, tanpa cerita, tanpa arti.

Tetapi Pak Syaer tidak bergeming dari pendiriannya, ia siap malahap (pekik Dayak Ngaju), mengikatkan lawung bahandang (kain merah) di kepala. Dengan sikapnya yang mamut meteng (gagah berani), ia berjalan dengan semangat isen mulang yang berarti hanya boleh pulang dengan kemenangan. Kemenangan atas janji manusia kepada Ranying (sang pencipta), untuk mengelola bumi dengan baik, dan pulang kembali ke nenek moyang di dunia atas dengan kemenangan, bahwa pantai danum kalunen (dunia) yang dipinjamkan Ranying kepada mereka, telah dikelola dengan baik.

Pak Syaer Sua kembali membangun betang kedua pada 15 September 2005, dengan bangunan utama seluas 300 m2, bangunan dapur seluas 96 m2 , dihubungkan oleh pelataran (selasar/kerayan) seluas 128 m2. Betang kedua ini mempunyai balai yang bernama Balai Basara, yang berarti “Balai Bicara”. Balai yang berbicara, sekalipun betang tersebut belum tuntas selesai terpaku masalah dana, tetapi kekuatan dan kegigihan akan tetap ada, sekalipun harus menahan rahang sang angkara globalisasi yang meraung kuat, mencemooh the real celebrity yang tidak dipuja, seorang Syaer Sua akan tetap meneriakkan lahap (pekik), menantang masa depan.

Saat kami sudah kembali ke Jakarta, pak Syaer Sua memberikan aku satu pertanyaan, “bagaimana pendapat kau tentang betang Bintang Patendu dan betang tua?”

Tanpa ragu-ragu aku menjawab dengan lugas,

“semuanya sangat berarti bagi aku, karena semuanya mengandung jiwa semangat nenek moyang. Kedua-duanya adalah betang, rumah nenek moyangku, rumahku juga, dan aku bangga.”

Teman..., kegigihan pak Syaer Sua membuat aku malu pada diriku sendiri, malu karena aku masih suka nelangsa bila orang mencemooh usaha kami, aku masih suka mengasihani diri sendiri, menyalahkan orang yang mencemooh usaha kami mengenalkan Indonesia.

Kini aku mulai berkaca pada tindakan pak Syaer Sua. Tidak sia-sia aku belajar “di luar negeri Swiss”, tepatnya di Indonesia, di Kalimantan Tengah. Kini aku harus “membangun balai basara” dengan lebih banyak basara (bicara) agar auchku (suaraku) dapat memecahkan batu hitam kekalahan.

Tikas toh helo doa dan tabe

Bara ikei bawi hatue

Tangis ingganti hapan tatawe

kalampangan ih gulung mangat rata itah mangkeme

Sekian dulu doa dan salam

Dari kami lelaki dan perempuan

Tangis diganti dengan tertawa

Kalampangan saja cepat agar rata kita rasakan

Karungut “Bara Kampung Hantapang Mujai ” (ciptaan J. Lampe Bulit)

Info:

Betang Bintang Patendu.

Bapak Syaer Sua

Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Senaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah

Video:


Arita-CH

Previous
Next Post »