Selamat Jalan Nyak...

18.09.2008.

Dear Zev, kokiers, kokoers, talkative dan silence readers,

Konon, pada jaman saya masih belum mampu jalan, saya mengalami periode buang-buang air (dari jenis pitik sampai jenis raksasa) yang panjang dan berketerusan tanpa henti. Ibu yang begitu setia menggantikan popok kain, mulai khawatir dengan keadaan saya yang tidak mempunyai jeda berhenti yang cukup panjang, untuk membiarkan ibu bernapas sejenak dengan tenang. Nenek yang selalu mendampingi ibu yang kelelahan dan cucu yang selalu membasahi popok, tidak mampu berkata lebih jauh, selain melontarkan guyonan bercampur nada serius:

walah, ini bocah, punya usus kok lempeng!”

Kakek pun turun tangan, pontang-panting menggenjot sepeda sepulang dari mengajar, bersama dengan S, kakak perempuan Ibu yang juga guru sekolah, bergantian mengurus saya yang masih tetap rajin buang-buang namun tidak pelit memberi senyuman terima kasih, atas segala usaha dan kerjasama yang kompak seluruh keluarga dalam mengurus bocah berusus lempeng.

Saya dilahirkan di Jakarta, di lingkungan yang cukup kental dengan nuansa betawi yang akrab (“resiko” bertetangga dengan Jaja Miharja oii!). Setiap ibu pergi ke pasar sambil menggendong saya dengan kain batik merah buatan Cirebon, para tetangga langsung “menyerbu” dengan pertanyaan,

Pegimane neng, bayinye? Udeh brenti blom, buang-buangnye?”

Ibu hanya menggeleng lemah, lalu melanjutkan langkah tergesa-gesa menuju pasar, sebelum saya kembali “menyerang” dengan bom atomik. Para tetangga memandang Ibu yang menjauh dengan cepat, sambil berdesah,

ye...entar siang aye pinjemin popoknya si entong deh, kasian ntu ibu, dirongrong terus ame bayinye...

Berbagai macam cara di uji coba, dari mantri hingga dokter, dari obat kampung hingga obat rumah sakit, tetap saja tidak kunjung reda kucuran “hujan” membasahi popok. Namun anehnya, sekalipun saya melakukan serangan pembuangan cairan bertubi-tubi, berat badan saya tidak berkurang se-ons pun. Seolah-olah, ASI yang saya konsumsi sempat singgah dan menambah berat badan sebelum akhirnya keluar lagi, mengorbankan berlusin-lusin popok.

Saya tetap tumbuh memanjang dan melebar, menjadi bayi yang gembul. Semakin bertambah rakusnya nafsu minum dan makan, semakin bertambah pula penderitaan Ibu dan Bapak. Toko langganan Ibu di Pasar Senen, semakin gencar melontarkan promosi produk popok bayi dengan warna dan motif yang beraneka, sadar akan kebutuhan konsumen yang melebihi standar frekuensi pemakaian, dan cuaca yang sarat dengan hujan. Setiap melihat matahari yang enggan menyengat jemuran, Bapak akan menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya,

“aduh! Kapan keringnya ini popok? Masa harus beli lagi?”

Para tetangga yang prihatin dengan keadaan kami, sibuk mengajukan proposal daftar nama-nama orang pintar, dari si A hingga si Z (bukan Zev lho!). Bapak tetap mantap, menggeleng dengan hormat untuk menolak, Ibu dan Nenek mulai bimbang, mencoba menimbang-nimbang dan memilah-milah, mana yang masih masuk kategori halal. Hingga akhirnya semua sepakat, untuk tidak pergi ke orang pintar manapun, memilih untuk lebih baik pasrah dengan Dia Yang Paling Pintar, Yang Maha Esa.

Pada suatu hari, kakek saya melakukan rapat meja persegi panjang (berhubung tidak punya meja bundar), lalu berkata dengan suara khas seorang guru kepada murid-muridnya

Mungkin ada baiknya kita mencoba melakukan sesuatu seperti kata orang-orang tua jaman dulu. Kita cari ibu angkat untuk anak ini, mungkin anak ini terlalu berat untuk ditopang oleh seorang ibu. Kita tidak perlu melakukan ritual ataupun upacara apapun, cukup dengan membuat bubur merah bubur putih untuk mengesahkan ibu angkat. Bagaimana? Kalian setuju?”

Bapak terdiam dan mengangguk setuju, nenek serta anggota lainnya turut mengangguk-anggukkan kepala, toch tidak ada salahnya mencoba, hanya Ibu yang sedikit kalut, tidak rela “menyerahkan anaknya kepada wanita lain, sekalipun hanya dalam bentuk simbolis. Nenek segera mengetahui perasaan ibu, setelah mencari kata-kata yang tepat, sambil tersenyum lembut Nenek menatap Ibu dan angkat suara,

Bagaimana kalau S yang menjadi ibu angkat? Dia adalah kakak perempuanmu, seorang ibu dan seorang guru sekolah dasar. Pasti S akan dengan senang hati menjadi ibu angkat dari anakmu. Kamu tidak akan pernah kehilangan anakmu, dia tetap utuh berada dalam lingkaran keluarga kita. Setuju ya?”

Ibu menatap S, sambil menangis Ibu meminta kesediaan S untuk turut menanggung berat penderitaan, menjadi ibu dari anak yang berat, secara bersama-bersama. S tersenyum riang, dan menganggukkan kepalanya dengan ringan.

Tidak ada masalah. Mari kita tanggung bersama si bocah berusus lempeng!

Sejak hari saya mengunyah bubur merah dan bubur putih, maka saya resmi mempunyai dua orang ibu. S menjadi ibu angkat saya dengan panggilan “Enyak”.

Sekalipun kami bukan berasal dari suku Betawi, tetapi sebutan Enyak terasa lebih pas dan akrab di telinga kami semua, baik bagi keluarga maupun bagi para tetangga. Sejak hari itu pula, dengan keajaiban aneh tapi nyata, masalah buang-buang mulai menurun secara progresif, hingga akhirnya berhenti sama sekali

Sayapun mulai berkembang dengan pesat, belajar merangkak dan berjalan, hingga berlari-lari mengejar layangan dengan sesama anak-anak lainnya. Saat saya melarikan diri dari jam tidur siang, sering tetangga sebelah “menangkap” basah dan mengejar saya sambil berteriak

Ini bocah, ngajarin si entong kabur melulu, sini loe, entar aye laporin ame enyak loe baru tahu ye.

Dengan bergetar penuh rasa gentar, saya berbalik pulang ke rumah lewat pintu belakang, masuk ke dalam kamar sambil berpura-pura tidur. Saya memang gentar dengan Enyak, hukuman dari Enyak jauh lebih menakutkan dari hukuman Ibu. Sebagai seorang guru sekolah, Enyak paling tahu kalau saya paling “sebal” menghapal tabel perkalian. Bagi saya, lebih baik dihukum dengan cubitan Ibu di paha, daripada dihukum Enyak untuk berteriak melafalkan tabel perkalian, hiii...

Enyak mempunyai empat orang anak, dua lelaki dan dua perempuan, jumlah yang lebih banyak daripada keluarga saya yang hanya dua bersaudara, satu lelaki dan satu perempuan. Oleh karena itu, saya paling senang menghabiskan hari minggu di rumah Enyak, membuat keonaran bersama dengan empat orang anak Enyak.

Enyak juga adalah seorang juru masak yang tangguh. Seluruh anggota keluarga perempuan, dari Nenek hingga anak-anak perempuannya, semua jago masak. Namun Enyak mempunyai keahlian yang hanya dapat dilakukan oleh Enyak seorang. Hanya Enyak lah sang primadona dalam bidang memasak “Ayam panggang isi tanpa tulang” yang dipanggang menggunakan kayu. Harumnya masakan tersebut mampu membuat saya memutar otak dengan segala akal bulus untuk meng coup d’état ayam tersebut dari “kekuasaan” empat orang sepupu dan adik lelaki saya.

Enyak adalah seorang perempuan yang sangat aktif dalam kegiatan sosial, bahkan pernah diangkat menjadi Kepala RT, suatu kehormatan yang besar, mengingat pada waktu itu masih banyaknya kaum lelaki yang lebih menerima kaumnya sendiri daripada kaum perempuan untuk “merukunkan para tetangga”. Jabatan sebagai seorang Ibu Guru dan Ibu Kepala RT, membuat Enyak semakin terkenal dimata saya. Saya merasa bangga, memiliki dua orang Ibu yang pandai dan mandiri. Kepandaian Enyak dalam berorganisasi, membuat saya banyak belajar dalam berdiplomasi dengan Ibu dan para tetangga, saat tertangkap aksi kejar-kejaran jam tidur siang.

Enyak adalah juga seorang kampiun DJ, gaya bicaranya yang luwes, pendekatannya yang hangat terhadap anak-anak, membuat acara pesta ulang tahun saya selalu meriah. Acara permainan-permainan dan menyanyi bersama, selalu membuat saya enggan mengakui, kalau waktu beranjak dengan cepat. Enyak mengajarkan kami bernyanyi “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” sambil bergaya bersama, seolah-olah kami adalah seorang pelaut yang berani menantang badai ombak lautan, disambung dengan aksi “Aku Seorang Kapiten”, dimana saya mendaulatkan diri secara mutlak untuk menjadi seorang kapiten yang kelaparan, dan “memerintahkan” untuk mempercepat saat pemotongan kue ulang tahun yang sudah menantang sejak siang hari, sejak Enyak selesai menghias kue taart dengan cream coklat penuh taburan kepingan coklat dan buah cherry.

Betara Kala yang penuh dengan kuasa, bergulir bersama dengan detik-detik yang berdetak tanpa henti. Sang Kala menambahkan usia kami, bocah cilik berusus lempeng sudah menjadi seorang wanita dewasa. Saat Enyak mulai memasuki usia lima puluhan, Enyak mengucurkan air mata sedih dan gembira. Gembira menyaksikan anak perempuannya menikah, sedih karena harus merelakan anak perempuan pergi ke luar Indonesia, mengikuti pekerjaan suami. Selang beberapa waktu, kembali Enyak menangis sedih, menyaksikkan anak angkatnya harus meninggalkan Indonesia dengan keadaan yang tiada kejelasan. Hati Enyak trenyuh, kesepian, “kehilangan” dua orang anak perempuan.

Saat saya pertama kali pulang kembali ke Indonesia, keadaan Enyak mulai memprihatinkan. Enyak selalu memikirkan nasib para anak perempuannya. Sekalipun nasib saya berangsur baik, namun saya masih tetap “jauh” dari Enyak. Begitu juga dengan sepupu saya, dia masih tetap hidup jauh dari Enyak. Untuk mengebulkan api asap dapur, ternyata masih harus dilakukan di negeri orang. Kesehatan Enyak mulai menurun perlahan, namun Enyak masih tetap kuat berjalan. Hanya saja, Enyak tidak mampu berdiri lama untuk memasak. Mimpi indah masa kecil akan “Ayam panggang isi tanpa tulang” ala Enyak, tinggallah sebuah mimpi kenangan masa kecil yang indah. Sekalipun salah satu sepupu saya mewariskan bakat memasak dari Enyak, tetap ia tidak mampu membuat “Ayam panggang isi tanpa tulang”.

Setiap saya kembali ke Indonesia, saya selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Enyak, duduk di ruang makan, berbincang-bincang dengan Enyak sambil menyantap masakan buatan sepupu. Enyak sering berkata dengan kalimat yang sama, setiap kali saya mengunjungi beliau,

Ta, kamu tinggal kok jauh-jauh sih. Enyak suka memikirkan nasib kalian. Kasihan Ibu kamu, hanya punya satu anak perempuan. Enyak masih beruntung mempunyai dua orang anak perempuan, namun Enyak masih tetap suka sedih merasakan kehilangan seorang anak perempuan. Bagi seorang Ibu, anak perempuan yang dewasa bagaikan seorang sahabat yang tidak akan pernah berkhianat, yang akan selalu setia. Tempat menampung segala keluh kesah dan rasa bahagia. Enyak sering kangen sama kalian berdua, namun Enyak sadar, Enyak tidak bisa meminta banyak.

Ibu saya memang lebih “pendiam” dibandingkan Enyak. Ibu tidak pernah mengeluhkan keberadaan saya yang jauh dari dirinya, hanya saja, setiap mengantar saya ke Bandara Udara, Ibu selalu menangis tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sedangkan Enyak memang lebih banyak mengungkapkan isi hati dalam perkataan dan keluhan yang sama sekali tidak bernada mengeluh. Enyak hanya mengeluarkan apa yang ia rasa dan pikirkan. Biasanya, setelah Enyak berkata seperti itu, saya terdiam tidak mampu menjawab. Jawaban apa yang harus saya berikan? Saya tidak memiliki pilihan lain saat ini. Saya memilih hidup jauh, dan saya merasa tidak bersalah. Enyak dan Ibu pun tahu, tidak ada seorangpun yang patut dipersalahkan. Hanya saja, berat rasanya konsekuensi yang harus dipikul, sekalipun logika dan pengertian menjadi prioritas.

Januari 2008, saya kembali ke Indonesia, dan tentu saja saya berniat pergi mengunjungi Enyak. Sayang seribu sayang, Ibu saya jatuh sakit. Hampir sebulan saya berkutat, bolak balik antara rumah sakit dan rumah beneran. Situasi dan keadaan membuat saya tidak mampu mengunjungi Enyak. Saat saya mengantar Ibu masuk rumah sakit, saya mendapat kabar kalau Enyak baru saja keluar dari Rumah Sakit. Selama hampir dua bulan saya berada di Indonesia, saya gagal mengunjungi Enyak. Sedih rasanya, namun saya tidak berdaya dengan guliran Betara Kala. Waktu 24 jam sehari tidak cukup melawan kegiatan-kegiatan yang harus saya penuhi, antara pribadi dan pekerjaan. Saya merasa bersalah...

Rabu, 17 September 2008. Jam tujuh pagi, telepon genggam saya bernyanyi dengan nada pesan yang riang, ada satu pesan yang masuk. Dengan enggan saya membaca pesan sambil membersihkan mata yang “ribet” disesaki dengan belek. Melihat sekilas nomor pengirim, saya bergumam “hmmm si adik.

Suami datang menghampiri dengan secangkir kopi hangat dan sepiring roti berlapis mentega dan madu. Sambil meletakkan piring dan gelas, ia bertanya perlahan,

“Dari siapa?”
“Dari adik...”

“Tumben pagi-pagi. Eh salah, sudah siang di Indonesia ya. Ayo diminum kopinya, pagi ini sudah mulai dingin. Musim panas tampaknya perlahan-lahan mulai meninggalkan kita.”

“Adik kirim pesan pendek saja. Enyak meninggal dunia pagi ini...”

Suami menatap terbelalak, lalu memeluk saya dengan ketat tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Saya terdiam seribu bahasa. Tidak mampu melukiskan apa yang ada dalam benak. Segalanya berlalu secara otomatis. Saya raih telepon, menghubungi sepupu, mengucapkan duka cita, berbicara dengan paman dan kembali mengucapkan duka cita. Selesai sudah “ritual” turut berduka cita, saya tekan nomor telepon rumah orang tua. Saya berbicara dengan adik, menanyakan keadaan kabar Ibu, lalu berbicara dengan Ibu. Ibu saya menjawab dengan lemah. Kondisi kesehatannya belum pulih seratus persen, namun sudah jauh lebih baik sejak saya meninggalkan Indonesia. Ibu tidak berkata banyak, hanya menanyakan apakah saya sudah menelpon paman dan sepupu. Selesai berbicara dengan Ibu, kembali saya berbicara dengan adik.

“Ibu ikut melayat, dik?”
“Iya kak, tadi pagi.”
“Ibu tidak apa-apa dik?”

“Tampaknya sih tidak apa-apa kak.”

“Ibu menangis dik?”
“Tidak kak.”

“Kok tidak menangis? Ibu tidak sedih, dik?”

“Kakak ini, pertanyaannya kok aneh-aneh. Jelas Ibu sedih, yang meninggal itu kakak perempuan Ibu, lho kak.”

“Masa Ibu tidak bilang apa-apa?” saya tetap melontarkan pertanyaan.

“Ibu hanya bilang, kalau kakak ibu sudah pergi duluan, itu saja.”

“Oh ya sudah dik, jaga Ibu baik-baik. Jangan sampai stress dengan keadaan berduka.”

“Baik kak.”

Selesai berbicara dengan adik, saya meneruskan acara sarapan pagi. Panas cairan kopi hitam menghangatkan perut saya yang dingin. Saya merasa ada sesuatu yang janggal. Kenapa Ibu tidak menangis? Kenapa saya tidak menangis?

“Menangis itu butuh energi. Ibu dalam keadaan lemah, tentu saja beliau sedih dan berduka, hanya saja Ibu tidak bisa menangis, karena memang tenaga Ibu saat ini sangat terbatas” suami mencoba menjelaskan kebingungan saya.

Saya bergumam lirih, “setidaknya, penderitaan Enyak sudah berakhir. Saya sangat menyayangkan karena saya tidak dapat bertemu Enyak bulan Januari dulu. Saya juga sedih, kalau saya tidak bisa pulang ke Indonesia saat ini, menghadiri pemakaman Enyak. Saya sedih, dan saya tidak berdaya. Tidak banyak pilihan yang harus saya pilih.

Hari rabu saya habiskan dengan bekerja seperti biasa. Malam hari, saya menyalakan lilin dan berdoa, memanjatkan permohonan agar dilapangkan perjalanan Enyak menuju keharibaanNya. Khusyuk saya berdoa, namun rasa janggal tetap ada dalam diri saya. Saya sadar, dalam pikiran saya, Enyak masih hidup dan menunggu saya di Indonesia untuk berbincang-bincang lagi dengannya di ruang makan. Saya tepis pikiran tersebut, dan berkata kepada diri sendiri, “Enyak sudah meninggal dunia, yang harus saya lakukan adalah berdoa dan melepaskannya dengan rela, titik.” Sayapun melangkah ke kamar tidur, membaringkan diri sambil masih tetap bertanya tanpa sadar, “Enyak sudah meninggal dunia?”

Pagi hari, kamis 18 Oktober, kami berdua sudah disibukkan dengan kegiatan yang menumpuk dengan manis, menanti untuk dirapikan. Secara tidak terjadwal, mendadak kami harus pergi ke Milan, mengunjungi pihak Penerbit untuk melakukan koreksi akhir, sebelum masuk ke dalam mesin percetakkan. Saya memilih untuk tinggal dan melakukan pekerjaan lain, masih ada beberapa artikel dan foto yang harus saya koreksi.

Bidang tulisan yang saya ambil adalah bidang yang mengulas budaya dan kematian. Saya mempelajari, melakukan penelitian dan menulis dalam hal-hal yang berbau kematian. Menggali suatu sejarah budaya dan peradaban dari suatu ritual kematian. Kematian yang telah menjadi masa lampau, serta yang mampu menjelaskan akan masa kini. Begitu seringkah saya membaca dan bergaul dengan hal-hal yang berbau kematian, hingga kematian Enyak membuat saya tidak bergeming menangis. Seolah kematian Enyak adalah bagian dari kisah cerita dan penelitian yang saya lakukan.

Tulisan yang saya buat selama hampir dua tahun berjudul “Perasaan menghadapi kematian dalam budaya kami.” Sebentar lagi, tulisan ini akan tercetak dalam sebuah buku. Koreksi tulisan telah di lakukan berulang-ulang kali, baik oleh Direktur Museum, Profesor yang merupakan sahabat merangkap tutor kami, mertua sang ahli psychoanalyze, maupun suami dan tentu saja saya sendiri. Pagi ini, saya baca ulang tulisan tersebut, semakin saya baca, semakin saya melihat adanya kebahagiaan dalam suatu kematian. Kedukaan yang bercampur dengan kebahagiaan, kebahagiaan yang terbalut oleh rasa duka akan kehilangan. Namun, kebahagiaan yang sejati adalah kebahagiaan untuk merelakan, untuk melepaskan, untuk turut merasa gembira, kalau saatnya sudah tiba, kalau masanya sudah datang dan pekerjaan kehidupan dapat diturunkan dari pundak. Kematian adalah jalan menuju surga. Kenapa harus bersedih, menyaksikkan orang yang dicintai, kembali dalam pelukanNya?

Tangis saya pecah. Saya berteriak, mengeluarkan rasa derita, namun kerongkongan saya kering, mencekat. Saya marah dengan rasa egois akan kehilangan, dan sayapun mencoba mendendangkan nyanyian suka, namun duka masih meronta-ronta dalam genggaman, milik saya telah pergi meninggalkan. Saya bertekuk lutut, terjatuh ke lantai yang dingin. Bibir saya bergerak cepat, mengucapkan doa, memohon ampun atas ketidakrelaan saya atas kepergian Enyak. Mata saya basah dengan air mata yang tidak ada habisnya, benak saya dipenuhi oleh masa-masa kecil, masa-masa indah, masa-masa bersama Enyak. Saya lupa wajah Enyak, saat terakhir kali saya melihat ia. Yang memenuhi benak adalah wajah Enyak ketika masih muda, ketika saya masih bocah. Wajah Enyak yang mengajak kami bernyanyi bersama, wajah Enyak yang tersenyum bahagia, melihat saya memakan dengan rakusnya “Ayam panggang isi tanpa tulang”, wajah Enyak yang cantik dan tersenyum. Enyak si hitam manis, yang pernah menjadi Kepala RT, Enyak ibu angkatku. Kembali aku menangis, tanpa mampu menyelesaikan doa, bibir tergetar, doa bernada sengau terputus dengan tangisan yang merintih deras. Saya terkapar di lantai, menekukkan badan bagaikan seorang bayi dalam perut ibu, mengelepar lara dalam kedinginan pagi di musim gugur.

Dear Zev, kokiers, kokoers, talkative dan silence readers, saya menuliskan kisah ini sebagai penghormatan saya yang terakhir kepada Enyak. Kenangan saya yang paling berharga terhadap Enyak, yang hendak saya bagi bersama dengan kalian semua. Kelincahan jari-jemari dalam menekan tuts keyboard mulai terputus-putus dengan serangan rasa cinta saya yang besar terhadap Enyak. Kembali saya menangis, namun dengan kerelaan yang pasrah dan besar. Demi cintamu, Enyakku sayang, kurelakan engkau kembali dalam kehangatan kasihNya.

Selamat jalan Nyak, saya bahagia, benar lho Nyak, saya rela, karena saya cinta Enyak.

Enyak jangan khawatir sama saya ya, saya akan baik-baik menjaga diri dan saya akan sering-sering pulang menengok Ibu dan Bapak.

Selamat Jalan Nyak, ati-ati di jalan ye,...






Ticino, 18 September 2008
Arita-CH

Previous
Next Post »