TICINO

13.07.2007.

Sekelumit kisah menanggapi pertanyaan dari Ascona-Planet Earth

Dear Zev, pembaca Koki & KoKo serta si cantik Ascona yang indah…

Kenapa saya memanggil “Ascona si cantik yang indah?” Karena Ascona yang saya kenal disini, cantik dan indah, sangat menyenangkan dengan pemandangan dan suasananya yang terkenal dengan sebutan “ sorga dunia “ di Ticino.

Ascona yang pernah bernama Burgus de Scona pada tahun 1224, dan juga dikenal dengan nama Aschgunen adalah nama sebuah kota yang termasuk dalam komunitas Locarno, bagian dari kanton Ticino yang terletak di sebelah selatan Swiss. Letak Ascona yang strategis dipinggir danau Maggiore dengan penduduk sebanyak 5000 orang (data statistik tahun 2002, 4000 orang lebih banyak jika dibandingkan data statistik tahun 1521) membuat kota ini adem, tentrem dan alon-alon. Saat-saat menyusuri danau di Ascona, orang-orang yang berlalu-lalang tampak berjalan perlahan tanpa kesusu. Waktu berputar perlahan, seolah-olah sang Betara Kala terbuai dengan semilir angin dan alunan musik Jazz. Itulah Ascona saat musim panas, yang selalu disambangi dengan Festival New Orleans Jazz.

Ascona selalu menjadi impian dari pendatang yang ingin menetap di Ticino, impian untuk mengaitkan tambang bahtera kehidupan, melabuhkan kapal yang digonjang-ganjingkan ombak dunia yang tak terduga pasang surutnya. Pendatang yang gerah dengan bisingnya sebuah kota, semrawutnya angkutan umum yang hilir mudik. Ascona bukan hanya kota adem dan tentram, tetapi juga merupakan kota yang makmur dengan pemasukkan. Turis yang berdatangan setiap saat tanpa mengenal perbedaan musim merupakan salah satu distribusi utama bagi kota ini. Pembangunan hotel, restaurant serta apartemen tidak mengurangi lahan Ascona yang masih hijau royo. Dengan adanya kemakmuran ekonomi serta ketidakpadatan penduduk menjadikan kota Ascona sebagai salah satu kota di Ticino yang termasuk rendah pajak komunitasnya, dengan multiplikasi komunal sebesar 75%. Multiplikator ini ditetapkan oleh komun masing-masing dan bervariasi dari 60% (komun bosco luganese) hingga 100%.

Ada tiga jenis pajak di Swiss yang harus dibayar setiap tahunnya, pajak kantonal, pajak komunal dan pajak federal.

Misalkan saya mencoba hitung-hitungan ala pasar, untuk suatu keluarga yang menetap di Ascona serta mempunyai penghasilan bersih pada tahun 2005 sebesar SFR.50.000 (SFR 1 = USD 0.804/EUR 0.593) maka untuk membayar pajak kantonal dikalikan 2% (pajak kantonal minimum) menjadi SFR. 1.000.-, dengan multiplikasi komunal yang sebesar 75% maka pajak komunal yang harus dibayar SFR 1000 x 75% = SFR. 750.- lalu untuk pajak federal sebesar 0.63% menjadi Sfr.1.000.- x 0.63%= SFR. 63.-. Total pajak yang harus dibayar pada tahun 2006 adalah SFR.1813.- . Untuk mencoba menghitung pajak di komun lain bisa dilihat diwebsite (dalam bahasa Italia) http://www.ti.ch/dfe/DC/MOLTIPLICATORI/default.asp?menu=6

Cukup menarik bukan jumlahnya? Tapi eit tunggu dulu, pajak boleh bayar rendah, tetapi biaya hidup? Pating gedebuk bisa membuat ngglesot kalau tidak cukup tebal persiapan kantongnya. Harga sebuah rumah di Ascona bisa mencapai SFR 8.000/m2, elok tenan ya. Sorga itu indah dan “mahal”, seperti layaknya Ascona, kota yang menyandang predikat “sorga dunia”. Memang benar mahal harga sebuah sorga, baik di dunia maupun di akherat...

Kembali dari sorga ke dunia, dunia di Kanton Ticino tidaklah mirip dengan neraka, mungkin kalau dihayati malah lebih mirip dengan sorga (dihayati loh, jangan dihitung-hitung). “La beauté de l’Italie, la qualité de l’Allemagne” julukan yang diberikan teman saya yang tinggal di Perancis. Keindahan alam Italia dengan kualitas ala Jerman. Ah saya sih mesem-mesem saja mendengar julukan tersebut. Tidak hanya di Ascona tetapi di komun lainnya mempunyai alam Ticino yang indah dan teduh walaupun di musim panas tobat-tobat panasnya nyelekit. Kemana pandangan mata melihat, warna hijau mendominasi, pohon-pohon, tanam-tanaman, gunung serta danau. Pembangunan apartement, gedung dan toko tidak didominasi dengan warna hijau tetapi pembuatan dan biaya bisa dipastikan berdominasikan warna hijau (glek!).

Bagi mereka yang mempunyai pekerjaan berkutat dengan buku-buku, alam Ticino merupakan tempat yang tepat untuk berkonsentrasi mendapatkan inspirasi. Bagi saya pribadi, Ticino seperti kampung kedua. Di daerah tempat saya tinggal, pemandangan bukit dan gunung menjadi menu sarapan pagi yang nikmat bagi mata yang masih belekan bagaikan alien. Saat matahari mulai memerah di ufuk timur maka sang maha ayam bin gagah perkasa membuka hari dengan kokoknya yang pelit, suara merepet bebek-bebek yang cerewet, mencoba menyaingi embikan genit kambing yang tengah menggoda sapi-sapi angkuh ber emoh-emoh, burung-burung yang pecicilan bergosip kiri kanan sejak matahari terbit hingga matahari terbenam di ufuk barat, hingga saatnya pagelaran tepuk gendang sang katak-katak yang mengkletak bersahut-sahutan dengan kelitik jangkrik, menggiring saya ke alam mimpi. Semuanya bersatu padu mengingatkan saya bahwa manusia bukanlah satu-satunya penghuni di tempat ini.

Sugih rasanya dikelilingi nyanyian alam tanpa harus membeli kurungan ayam. Sugih lagi karena tidak perlu repot cari jam dinding, setiap jam suara lonceng pun berdentang dari gereja kecil di atas bukit. Sugih lagi karena tidak perlu beli air mineral bergalon-galon, cukup buka keran ledeng lalu saya mangap selebar-lebarnya, airnya sudah dingin tanpa es batu sedingin air di hulu sungai Katingan, sugih lagi karena tidak terkena strok (stroke) ditengah-tengah kertas struk (struck/tagihan) bulanan yang menumpuk mengalahkan disertasi yang sedang saya ubek-ubek sampai menjadi buluk. Yo sugih terus nrimo dengan privilege yang diberikan alam kepada saya. Kenikmatan alam yang pernah saya rasakan di Jakarta, jaman saya masih kejar-kejaran dengan layangan, walaupun minus sapi-sapi yang angkuh, burung-burung di Jakarta saat itu juga sama pecicilannya, bergosip ria akan cicilan tetangga.

Wuih romantis habis ya...? Tetapi kalau saya putar ulang kisah kasih saya dengan Ticino maka terlihat dengan jelas perbedaan yang sangat jauh bertolak belakang.Pengalaman perkenalan pertama dengan Ticino, masa-masa penjajakan dengannya sangat berkesan mendalam sekali, menorehkan sembilu kebosanan yang luar biasa! Yak betul, saya ditimpa dengan tangga kebosanan entah ada berapa anak tangganya.

Kebiasaan yang hampir mendarah daging, yang untungnya belum tercampur di daging saya menjadi penghalang utama dalam mencintai Ticino. Kehidupan yang terbiasa dengan murat-maritnya macet Jakarta, hingar bingar klakson metromini yang terekam di kepala saya bertahun-tahun ditambah lagi dengan beberapa tahun hidup menjadi ikan sarden ngumplak dalam metro (kereta bawah dan atas tanah), hidup dengan semboyan, “métro, boulot, bistro, dodo” (pergi menaiki kereta metro, kerja, makan, tidur) plus “avvocato” (urusan dengan pengacara) membuat saya shok (shock) dengan “kediaman” alam Ticino. Seperti anak kecil yang disuruh diam sama ibu guru yang galak tapi baik hati, saya duduk diam sambil ngedumel, kemana isi kota Ticino di musim dingin yang sudah pasti dingin? Sepiiii sekaliii, membuat hati menjadi gundah gulana bertanya-tanya, adakah kehidupan di kota ini?

Untunglah orang-orang di Ticino tidak sesepi musim dingin, dengan bermodalkan sapaan “buongiorno” (selamat pagi/selamat siang) maka melelehlah mereka dengan jawaban yang panjang berlika-liku, saking panjangnya saya hanya menangkap bunyi akhir yang kebanyakan berakhiran huruf vokal. Saya yang saat itu hanya mudeng dengan bahasa dari negara yang pernah dipimpin Kaisar Napoléon Bonaparte, jadi plongo-plongo mendengarkan bahasa asalnya keluarga Napoléone Buonaparte (korsika). Untungnya (lagi 2 kali) mereka para “i Ticinesi” tidak protes mendengar saya hanya bisa menjawab dalam bahasa Napoléon Bonaparte, tapi ya itu kadang kala tetap saja percakapan dilanjutkan dengan”seriosa” Napoléone Buonaparte. Para “i Ticinesi” atau orang Ticino umumnya ramah dan mahal cemberut, dengan bahasa Italia, Jerman, Perancis dan tentu saja dialek Ticinese mereka dengan senang hati berbicara ngalor-ngidul!

Sewaktu adik saya berlibur disini, saya sempat garuk-garuk kepala yang sudah bebas ketombe, melihat adik saya asyik berbincang-bincang dengan seorang il Ticinese. Adik saya sibuk nyerocos dengan bahasa dari negaranya Margaret Thatcher, sementara “il Ticinese” golak-golek nyambangin dengan keyakinan “vini, vidi, vinci”. Saya tanya kepada mereka berdua,

“paham bahasa Italia, dik?”, “Capisci l’inglese?”,

keduanya menggelengkan kepala dengan pasti. Lho! Gemblung (!), dari tadi apa saja yang dibicarakan selain kata-kata “yes” dan “si”? Berhubung mereka membahas kancah dunia sepak bola, maka sambung-menyambung si “yes” dan si “si” menjadi satu padu, kaya raya gemah ripah terbalut umba-umba keramahan dua anak bangsa yang berlainan bahasa.

Lain lagi dalam dunia peradministrasian atau masalah perijinan, mereka lebih memilih untuk berkomunikasi dalam bahasa Italia, Jerman atau Prancis, kalau sampai kepepet dipaksa yah bahasa londo Inggris dikeluarkan juga. Walaupun sempat bertemu dengan pegawai yang judeg judesnya dalam meminta ijin bekerja mandiri (mendapat ijin tinggal bukan berarti otomatis mendapatkan ijin kerja, ada 2 macam ijin kerja, dependent/kerja untuk sebuah perusahaan dan independent/mandiri) tetapi pada dasarnya mereka melayani dengan sigap dan efektif, selama persyaratannya lengkap dan jelas maka surat ijin kerja dapat dicap bersanding dengan surat ijin tinggal. Informasi wara-wiri, sana-sini yang lebih akurat dari omongan saya yang ngalor, ngidul, ngetan, ngulon tentang Ticino bisa di klik langsung di internet: www.ch.ch; www.ticino.ch; www.ti.ch; dan www.ascona.ch khusus kota Ascona.

Akhir kisah, dengan bantuan kokok pelit sang ayam, si bebek-bebek cerewet, turut pula kambing yang genit, sapi yang emoh-emohan, burung-burung pating pecicilan serta pagelaran konser simponi kunci F bis dari katak dan jangkrik maka saya jatuh didalam pelukan Ticino, dalam rengkuhan alamnya yang asri membersihkan belek di mata saya setiap paginya .

Demikian sekelumit kisah kasih saya dengan Ticino, semoga bisa menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Ascona di Planet Earth pada koki edisi “Tattto, Multiply`ers & Pesawat Composite (Inggris, Yogya, Perancis)”, kamis 12 Juli 2007.

Dengan persembahan bunga Kamboja yang sedang mekar kepanasan saya pareng, permisi para penghuni KoKi dan KoKo yang saya hormati, are tabe bara Arita.


Air Putih

18.03.2007.

Hai..hai..dan hai, apa kabar si hai hai hai dan kokiers?

Kayaknya sudah lama ya tidak “mendengar” sapaan khas dari si Dia yang suka ber hai hai hai (wajib tiga kali). Kurang wokeh ya kayak nasi tanpa sambal, walaupun mengenyangkan tapi kok kurang nendang gitu... (Tidak komplain ya Zev, hanya mengeluarkan “rasa hati”...)

Saya hari ini menulis tentang air putih yang segar. Bagi saya air putih adalah sebuah idola.

Kalau keadaan cuaca sedang panas terik dan menyengat, maka yang pertama keluar dalam pikiran adalah segelas (kalau perlu sebotol) air putih yang segar mengaliri tenggorokan. Kalau keadaan cuaca dingin dan kering, lagi-lagi segelas air yang saya buru.

Saat saya bangun pada pagi hari (kadang-kadang kesiangan juga) hal pertama yang saya lakukan adalah meminum segelas air putih (setelah itu ya kopi kental...) mau tidur ya menyiapkan segelas air putih disamping ranjang, kalau terbangun karena mimpi buruk ataupun mimpi indah ya segelas air putih yang pertama kali saya gapai. Segelas air putih bisa meredakan kemarahan saya, begitu juga saat saya sedang sedih pasti yang dicari segelas air putih.

Air putih bagi saya bagaikan sebuah idola. Artinya sangat besar sekali, jauh lebih besar daripada dicampur dengan macam-macam. Memang enak sih kalau air putih dicampur sirop, kopi, teh dll, tapi lagi yang paling menyegarkan ya air putih tok.

Bagaimana kalau saya jadi air putih ya? Yang artinya bisa menyegarkan, menenangkan, dan menyenangkan. Waduh kayaknya susah ya.

Susah karena jadi air putih berarti tidak pakai sirop, yang berarti saya tidak terlihat “berwarna” dari luar. Berarti tidak pakai kopi, apalagi kopi merk “x”, yang berarti saya tidak “seterkenal” kopi merk X. Berarti tidak pakai teh dengan berbagai macam rasa, yang berarti saya tidak akan mempunyai “rasa” tertentu yang ngetop.

Jadi air putih itu seperti siapa ya? Menyenangkan, menyegarkan dan menenangkan manusia tanpa manusianya sendiri ingat atau memperhatikan. Menyenangkan, menyegarkan dan menenangkan tetapi tidak “ngetop”. Jangan dibandingkan air mineral dengan air putih karena disini yang saya bicarakan ya air putih tok.

Kalau menurut saya mungkin orang yang seperti air putih yang mengalir di hati banyak manusia diantaranya adalah Ibu Teresa dan Romo Mangun dll.

Siapa lagi ya? Akhirnya saya bengang-bengong di depan monitor komputer, sadar karena sebenarnya bagian yang “dan lain lain” itu buanyaaak sekali. Ibu saya merupakan “air putih” bagi kami sekeluarga, karena dedikasinya yang menyegarkan dan menenangkan kami, tetapi kadangkala kami lupa bahwa arti sang Ibu sangat besar bagaikan segelas airputih yang tidak ada habisnya. Juga Ibu-Ibunya para kokier yang juga merupakan “air putih”bagi para kokier pasti banyak sekali.

Bukan hanya ibu-ibu, bapak-bapak bahkan anak-anak pun bisa menjadi air putih yang menyegarkan dan menenangkan, hanya ya itu, tidak semua orang mampu menjadi air putih dan bening.

Contohnya ya tidak usah jauh-jauh, saya sendiri lah. Mau jadi air putih ya kurang bening, masih ada butiran-butiran coklatnya. Mau menyegarkan tetapi minta imbalan, mau menenangkan tapi milih-milih sama siapa. Mau jadi air putih asal air mineral karena bisa menghasilkan uang, ya bukan air putih (biasa) lagi. Gamblangnya ya menjadi manusia yang bisa menyenangkan, menyegarkan dan menenangkan tapi ya tidak usah neko-neko dan memikirkan imbalannya. Mendedikasikan diri tanpa berpikir akan masuk ke layar kaca, layar televisi ataupun layar monitor.

Kalau banyak manusia yang berbuat dan bertindak seperti air putih, pasti Indonesia bisa terlihat kinclong karena bersih.

Bisa tidak ya saya menjadi air putih?

Kapan ya? Wuiss pokokke harus bisa tenan gitu.

Permisi para kokier, saya mau minum air putih dulu...

Arita-CH

Tuhan, ijinkan saya ber-Tuhan...

11.10.2006.
Dear Zev dan para pembaca, apa kabar ?
Selamat berakhir pekan ya, untuk Zev khususnya, nikmatilah senikmat-nikmatnya…

Zev beberapa tahun yang silam, saya pergi ke sebuah kampung kecil yang sangat terpencil dan sulit akses masuknya, kampung ini terletak di sebuah pulau besar di bumi pertiwi tercinta. Saat itu saya sedang dalam rangka penelitian budaya tidak resmi alias tidak punya sponsor dari institusi manapun karena lebih merupakan “cicilan hutang” saya terhadap kebesaran bangsa yang sedang terorak-arik dalam penggorengan kemelut ekonomi, politik, korupsi, kolusi, dsb,dst, bla bla bla.

Dengan sedikit modal rupiah dan modal dengkul serta pinggang -maksudnya jalan kaki entah berapa kilometer sambil memanggul ransel penuh dengan perlengkapan “tempur” yang sudah kehabisan sebelum pulang- saya menapaki jalur lintas suku asing yang hidupnya bergantung dengan alam semata.

Suatu malam dengan ditemani bulan dan bintang, saya mengobrol dengan seorang bapak tua bernama SY, yang tidak tahu dengan pasti kapan ia lahir, hanya pohon Durian yang menjadi saksi mata hari kelahirannya. Ia menceritakan kisah kehidupannya dengan bahasa Indonesia yang lebih dimengerti daripada saya yang mencoba berbahasa daerah tapi menclo-menclo, tergagap, seperti orang tersedak buah kedondong.
Suatu hari, pak SY “merantau” ke sebuah Desa yang berjarak 3 hari berperahu. Saat ia tiba, banyak orang sedang berkerumun di depan sebuah rumah, ingin tahu apa yang terjadi, ia pun mendatangi kerumunan tersebut.
Ada apa ramai-ramai? Ada perayaan panen?” tanyanya.
Bukan Pak, sekarang lagi pendaftaran untuk pembikinan KTP”, jawab lelaki di sebelahnya.
KTP itu apa?” tanyanya lagi
KTP itu Kartu Tanda Penduduk
Bagaimana caranya untuk buat KTP?” ia semakin penasaran ingin tahu
Ya gampang, tinggal di isi nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, agama, terus di potret dan tanda tangan”.
Ia termangu bingung, tidak mengerti maksud dari semuanya itu. Akhirnya ia meninggalkan kerumunan tersebut, tetapi bapak yang menjelaskan arti dari KTP memanggilnya kembali.
Pak, pak, mau juga bikin KTP?”.
Ia menggelengkan kepalanya, “Tidak, saya tidak mengerti. Karena saya tidak tahu tanggal lahir saya” jawabnya polos.
Ah gampang pak, di kira-kira saja, mungkin sekarang bapak berumur 30 tahun?”
Ia menatap si bapak pasrah, “ya saya tidak tahu berapa tahun umur saya, sudahlah tidak apa-apa, saya tidak bikin KTP”.
Si bapak tidak mau berhenti membujuk, “dikira-kira saja pak umurnya. Bapak agamanya apa? Agama A, atau agama B
Lalu ia menjawab “agama saya ya agama X”.
Si bapak mengerutkan keningnya “wah pak, agama X tidak ada didalam daftar, pilih saja pak yang didalam daftar, ada agama A, B, C atau D. “
Ia menggelengkan kepalanya, “ Tidak bisa, agama saya ya X, agama X itu agama helu, agama dulu, dari jaman nenek moyang kami turun ke bumi. Saya bisa dikutuk tidak bisa pulang ke kampung nenek moyang saat saya mati nanti”.
Tapi pak, yang namanya agama ya cuma A,B,C,D itu saja. Untuk syarat KTP, bapak harus mencantumkan salah satu agama dari A,B,C,D itu.” si bapak berkeras menjelaskan.
Ia kembali menggelengkan kepalanya “Kalau tidak ada agama X di dalam daftar, ya sudah saya tidak bikin KTP”.jawabnya keras.
Si Bapak lalu mendekati dan berkata “Pak, kalau bapak tidak memilih salah satu, berarti bapak tidak beragama. Kalau bapak tidak ada agama, itu berbahaya pak
Ia pun menjadi marah campur bingung, “bahaya bagaimana? Memangnya saya merupakan ancaman?”
Si Bapak berbisik “Kalau tidak ada agama, bapak bisa dibilang komunis, hati-hati pak. Nanti bapak bisa ditangkap, dan plong, masuk penjara.”
Ia pun terkaget-kaget “masuk penjara? saya salah apa? komunis itu apa?”

Sayapun ikut-ikutan kaget mendengar cerita bapak SY yang terjadi sekitar awal tahun 70 an. Lalu sayapun bertanya ke pak SY apakah ia akhirnya mempunyai KTP. Pak SY tersenyum dan menggelengkan kepalanya,
ah tidak, untuk apa? Tetapi anak-anak saya punya KTP semua” jawabnya bangga.
Lalu bagaimana dengan agamanya? Sekarang kan agama X sudah di akui dan mempunyai bagian dalam undang-undang. Pak SY mengangguk-anggukan kepalanya
ya betul, tetapi anak-anak saya mendaftar dengan agama A, biar mudah urusan administrasinya, walaupun aslinya sih masih tetap agama X”.
Saya jadi garuk-garuk kepala.
Melihat saya garuk-garuk kepala kebingungan, pak SY menjelaskan bahwa yang terutama bagi ia dan keluarganya adalah berTuhan. Menyembah ke sang Pencipta Maha Agung, Maha Besar. Menghormati ciptaanNya dan berbuat sesuai dengan ajaranNya, menghindari laranganNya dan menjalani aturanNya, menempatkan IA di atas segalanya maka segalanya akan dimudahkan untuk kembali berpulang ke tempatNya, kampung nenek moyang, karena hidup di dunia hanyalah kampung yang dipinjamkan sementara.
Kalimat pak SY masih tetap tertanam di hati saya. Di negara Indonesia yang mempunyai kekayaan dengan aneka agama sangat sedikit orang yang mempunyai Tuhan. Orang-orang berlomba-lomba menyandang agama, seolah-olah agama merupakan prestis untuk kepentingan pribadi. Para koruptor kelas wahid, menggantungkan agamanya di depan kamera televisi. Para politikus menggunakan agama untuk mendapatkan kemenangan dalam berkarir yang walaupun nantinya dalam proses selanjutnya mereka sama sekali tidak ber-Tuhan. Begitu banyak orang-orang yang “mengtuhankan” ajaran dan melupakan Tuhan yang sejati.
Tuhan yang seharusnya ditempatkan ditengah-tengah, lalu semuanya mengarah hanya ke Tuhan, menjadi terbalik, segalanya harus ditengah-tengah, lalu Tuhan di belakang menjadi tameng kebobrokan.

Ada salah satu puisi Frithjof Schuon, seorang teolog Sufi, dari Basel, Swiss yang sangat saya suka,

Les hommes semblent être en fuite
Qu’est-ce qui les inquiète, qu’est-ce qui les fait fuir?
Ils ne fuient pas seulement l’inconnu qui menace,
Ils se fuient eux-mêmes, ils fuient leurs misères
Leur simple existence. Homme, écoute
Tu es au bord de l’Être, où vas-tu?
Arrête-toi!
……..Dieu est le Centre et le Repos.


Orang-orang kelihatannya melarikan diri
Apa yang membuat mereka khawatir, apa yang membuat mereka melarikan diri?
Mereka tidak hanya melarikan diri dari ancaman asing yang tidak diketahui,
Mereka melarikan diri dari diri mereka sendiri, mereka melarikan diri dari kesengsaraan mereka
keberadaan mereka yang sederhana. Hai manusia, dengar.
Kalian berada diujung keberadaan, mau pergi kemana lagi?
Berhenti!
Tuhan adalah yang utama dan peristirahatan.

Sudahkah saya ber-Tuhan?
Dengan menatap keAgungannya, saya bersimpuh agar saya diijinkan untuk berTuhan dan selalu ber-Tuhan, Amin.


Arita - CH

Nasi campur

Nasi campur
18.10.2006.
Dear Zev dan Para pembaca di seantero belahan bumi,
Kali ini saya ingin menghidangkan nasi campur sederhana di Koki tersayang nan hebat tenan, nasi campur ala tulisan dikarenakan bahan-bahannya terdiri dari kata-kata yang teracik dengan bumbu dan pengalaman seadanya sehingga ya sederhana saja sesuai dengan ukuran ikat pinggang saya yang sudah cukup kenyang dengan dua macam lauk. Hanya tulisan ringan utara selatan yang mungkin tidak menyambung menjadi satu yang bisa saya tuliskan saat ini untuk mengobati rasa rindu saya berkongko ria dengan para kokier di berbagai pelosok.

Dimulai dari warna pirang. Warna pirang bisa kita anggap seperti daging rendang, karena warnanya coklat kepirang-pirangan (maksa nggak ya...?). Daging rendang sedap dan gurih, wuah nikmat rasanya setelah diinapkan beberapa hari. Lalu apa hubungannya dengan warna pirang? Ya mungkin karena sama-sama berwarna kepirang-pirangan.

Minggu kemarin saya ngopi bersama-sama dengan teman-teman. Ngobrolin warna rambut teman saya yang habis diupdate mengikuti pergantian musim, persis warna daun pada musim gugur, agak oranye ke merah-merahan. Iseng-iseng saya tanya, kapan ganti warna pirang? Ih langsung dia melotot! Makin cantik sih, tapi mulutnya jadi mencong karena senewen.
"Enak saja ganti pirang, tak mungkin aku ganti pirang!"
Loh ini anak kok jadi salah paham, saya buru-buru minta maaf, bukan maksud hati menghina, tapi karena melihat kulitnya yang putih bersih, bermata biru, berbadan langsing tinggi semampai, tinggal diganti warna rambut pirang, jadilah Barbie hidup.

Teryata menurut dia dan sebagian teman-teman dari pihak pria , berpendapat kalau rambut pirang sama dengan kecantikkan isi otak ayam, apalagi ditambah dengan buah dada yang membusung ala buah pepaya (entah operasi atau asli), wah komplit otak –otak maksudnya ya lembek dan gurih seperti otak-otak . Bagi mereka (teman-teman ngopi saat itu) wanita pirang bukan tipe wanita yang ideal 100%. Ideal 20 % untuk dipandang tapi 80% mahal di ongkos buat berbagi hidup bersama. Belum lagi prasangka kalau kebanyakkan yang berambut pirang berprofesi dengan menguras keringat dan kantong sang pembeli. Sadis juga ngomongnya, langsung saja saya bilang kalau itu namanya diskriminasi, termasuk rasis loh, karena perbedaan warna rambut langsung pukul rata! Si cantik yang baru ganti warna rambut tetap ngotot mempertahankan pendapatnya tentang warna rambut pirang, sementara dari pihak lelaki malah ketawa-ketiwi, mereka bilang kalau ada yang berambut pirang lewat maka dengan senang hati akan dipandang dari ujung rambut sampai ujung kaki, tapi untuk menelannya bulat-bulat, tungu dulu, satu cangkir kopi tidak cukup. Si cantik bilang kalau saya berpikiran lain karena saya bukan dari dunia mereka, maksudnya dunia kulit putih . Menurut si cantik, ia kesal karena kulitnya tidak bisa coklat, sudah menghabiskan uang untuk berjemur dan solarium, hanya coklat selama satu hingga dua minggu, setelah itu putih lagi! Teman yang dari pihak pria menyambar seperti kompor, bilang kalau kulit coklat lambang gengsi tersendiri! Bergaya saat musim panas, dan juga menyatakan secara tidak langsung kalau ia menghabiskan beberapa lembar uang untuk memperganteng atau mempercantik diri. Apalagi kalau coklat pada musim dingin, berarti nongkrong di solarium berkali-kali. Wah-wah, saya jadi garuk-garuk kepala ingat tetangga saya di Jakarta yang menghabiskan uang entah berapa rupiah agar wajahnya berkulit putih, begitu juga dengan penyanyi terkenal yang menghabiskan entah berapa dolar sehingga kulitnya yang tadinya hitam manis menjadi putih pucat seperti lilin tanpa api. Hampa dan dingin. Kesannya, kulit berwarna masuk dalam golongan kelas terabaikan, tinggal di sudut ruang, bengong menggigit jari hanya mampu melihat tanpa bisa memasuki ruangan tertentu.

Kembali ke warna pirang, saya tidak setuju pukul rata begitu saja, loh itu bisa menjurus ke arah diskriminasi, kalau semua orang berpikiran seperti itu, bisa-bisa si pirang kabur mencari kehidupan baru yang lebih baik, yang menerima si pirang dengan karpet merah, kabur ke Indonesia.
Tuh kan bingung, kok malah jadi ke Indonesia? Lah bagaimana tidak bisa, kalau yang berambut pirang bisa datang dengan mudah ke Indonesia, bahkan menjadi “peduduk gelap” dengan KIMS lengkap, bergaji lebih tinggi dari pada pegawai lokal yang lebih ahli daripada si pirang. tidak membayar pajak ke negara Republik Indonesia. Loh kok bisa? ya bisa, wong namanya saja tidak terdaftar di departemen tenaga kerja. Cerita ini bukan isapan omong kosong belaka, saya tidak tahu apakah pernah dilakukan penelitian dan penghitungan secara statistik, tapi secara pribadi saya tahu cukup banyak orang asing yang punya KIMS aspal, tanpa “izin kerja resmi” ongkang-ongkang kaki di atas pegawai lokal yang sungsang sumbel bayar pajak. Bahkan saking gregetnya saat saya masih tinggal di Jakarta, saya melaporkan keberadaan mereka ke Departemen Tenaga Kerja. Beberapa hari kemudian, gedebak-gedebuk pihak dari Departemen Tenaga kerja datang melakukan pemeriksaan mendadak atas izin kerja para pegawai asing yang digaji cepekceng per jam sementara pegawai lokalnya cepekceng per hari. Suasana chaos hanya berlangsung dalam hitungan 60 hingga 120 menit. Setelah itu seperti yang terjadi dalam cerita-cerita yang sudah- sudah, beberapa amplop membungkam ke galakkan sang petugas. Habis deh chaosnya, berganti dengan senyum lebar, jabat tangan erat, terima kasih atas kerjasamanya...
Saya tidak menuduh semuanya seperti itu, karena saya hanya tahu beberapa saja,tetapi saya penasaran, berapa banyak “orang asing yang menjadi penduduk gelap di Indonesia” dibandingkan dengan “orang Indonesia yang berstatus gelap” di negara asing?
Mereka (sekali lagi tidak semuanya) mengeyam kehidupan lebih layak di Indonesia dibandingkan di negaranya sendiri, bahkan ada yang tidak mau kembali ke Amerika karena tidak mungkin mempunyai tingkat kehidupan yang sama dengan hidupnya di Indonesia. Mereka berbondong-bondong mencari kehidupan yang jauh lebih baik di Indonesia, sementara orang kita tersisih bahkan jadi pergi berduyun-duyun mencari sesuap nasi ke negara lain, bernasib lebih menyedihkan sebagai “penduduk gelap” di luar negeri di bandingkan orang asing yang “berstatus gelap” mengenyam nikmatnya hidup di Indonesia tanpa “takut” dengan petugas negara. Kan semuanya bisa diatur, toch? Woo, dengkulmu!
Apa yang saya tulis bukanlah merupakan penelitian ilmiah ataupun berdasarkan statistik jadi tidak bisa dijadikan standar kalau semuanya seperti itu, hanya berdasarkan segelintir orang yang saya tahu saat saya masih berada di Indonesia. Kadang-kadang tangan saya suka gatal ingin menjewer telinga mereka kuat-kuat. Sedih melihat tuan rumah berdiri dibawah kaki para pendatang yang ugal-ugalan.

Kembali ke negara yang mulai dingin, ke teman-teman “kulit putih” yang ngopi bersama-sama, saya wanti-wanti pesan kepada mereka, janganlah mendiskriminasikan si rambut pirang, pandang mereka sesuai dengan kemampuannya, bukan warna rambutnya nanti kalau dia kabur ke Indonesia lalu jadi “penduduk gelap” kan bisa repot urusannya. Gelar sarjana Indonesia bisa bangkrut tidak laku gara-gara warna rambutnya tidak pirang. Nanti saudara –saudara saya malah buru-buru ganti warna rambut jadi pirang, supaya bisa bersaing mendapatkan cepekceng perjam...

Arita-CH

Bookshelves

Bookshelves
Buku-buku favorit
  • Albert Camus - Le Mythe de Sisyphe
  • Albert Camus - Les Justes
  • Albert Camus - L'étranger
  • Emile Zola - Nana
  • Ernest Hemingway - Le Soleil se lève aussi
  • Ernest Hemingway - Le vieil homme et la mer
  • Ernest Hemingway - Les Neiges du Kilimandjaro
  • Ernest Hemingway - Old Man and the Sea
  • Ernest Hemingway - Paris est une fête
  • Galleria Gottardo (Lugano), Francesco Paolo Campione, Galleria Gottardo, Junita Arneld Maiullari, Switzerland Museo delle culture (Lugano, Bianca Franchetti - La collezione Brignoni. Arte per metamorfosi. Museo delle Culture. Città di Lugano
  • James Redfield - La prophétie des Andes
  • James Redfield - The Celestine Prophecy
  • James Redfield - The Celestine Prophecy: An Adventure
  • Joseph Campbell - Les héros sont éternels
  • Joseph Campbell - Puissance du mythe
  • Joseph Campbell - Masks of God Primitive Mythology
  • Joseph Campbell - Myths, Dreams, and religion
  • Joseph Campbell - Puissance du mythe
  • Joseph Kessel - La règle de l'homme
  • Joseph Kessel - Le bataillon du ciel
  • Joseph Kessel - Le tour du malheur, tome 1 : La fontaine Médicis ; L'affaire Bernan
  • Joseph Kessel - Les Cavaliers
  • Junita Arneld Maiullari - Ngaju sapuyung hats: a brief note.(Travel narrative): An article from: Borneo Research Bulletin
  • Knut Hamsun - La Faim
  • Knut Hamsun - Mais La Vie Continue
  • Knut Hamsun - Mystères
  • Knut Hamsun - Vagabonds
  • Marija Gimbutas - Le langage de la déesse
  • Marija Gimbutas - The Language of the Goddess
  • Mark Twain - Adventures of Huckleberry Finn
  • Paolo Maiullari - Hampatongs in the Daily Life of the Ngaju Dayaks Borneo research bulletin
  • Paolo Maiullari - Hampatongs in the daily life of the Ngaju Dayaks.: An article from: Borneo Research Bulletin
  • Paolo Maiullari & Junita Arneld (currator) - PATONG La grande scultura dei popoli del Borneo dalle Collezioni del Museo delle Culture di Lugano
  • Paulo Coelho - Veronika Decides To Die
  • Paulo Coelho - L'Alchimiste: Roman (French Edition)
  • William Shakespeare - Hamlet (The New Folger Library Shakespeare)
  • Yves Courriere - Joseph Kessel, ou, Sur la piste du lion (French Edition)

Your Thought and Mine

Your Thought and Mine
Your thought is a tree rooted deep in the soil of tradition and whose branches grow in the power of continuity.
My thought is a cloud moving in the space. It turns into drops which, as they fall, form a brook that sings its way into the sea. Then it rises as vapour into the sky.
Your thought is a fortress that neither gale nor the lightning can shake.
My thought is a tender leaf that sways in every direction and finds pleasure in its swaying.
Your thought is an ancient dogma that cannot change you nor can you change it.
My thought is new, and it tests me and I test it morn and eve.

You have your thought and I have mine.

Your thought allows you to believe in the unequal contest of the strong against the weak, and in the tricking of the simple by the subtle ones.
My thought creates in me the desire to till the earth with my hoe, and harvest the crops with my sickle, and build my home with stones and mortar, and weave my raiment with woollen and linen threads.
Your thought urges you to marry wealth and notability.
Mine commends self-reliance.
Your thought advocates fame and show.
Mine counsels me and implores me to cast aside notoriety and treat it like a grain of sand cast upon the shore of eternity.
Your thought instils in your heart arrogance and superiority.
Mine plants within me love for peace and the desire for independence.
Your thought begets dreams of palaces with furniture of sandalwood studded with jewels, and beds made of twisted silk threads.
My thought speaks softly in my ears, Be clean in body and spirit even if you have nowhere to lay your head.
Your thought makes you aspire to titles and offices.
Mine exhorts me to humble service.

You have your thought and I have mine.

Your thought is social science, a religious and political dictionary.
Mine is simple axiom.
Your thought speaks of the beautiful woman, the ugly, the virtuous, the prostitute, the intelligent, and the stupid.
Mine sees in every woman a mother, a sister, or a daughter of every man.
The subjects of your thought are thieves, criminals, and assassins.
Mine declares that thieves are the creatures of monopoly, criminals are the offspring of tyrants, and assassins are akin to the slain.
Your thought describes laws, courts, judges, punishments.
Mine explains that when man makes a law, he either violates it or obeys it. If there is a basic law, we are all one before it. He who disdains the mean is himself mean. He who vaunts his scorn of the sinful vaunts his disdain of all humanity.
Your thought concerns the skilled, the artist, the intellectual, the philosopher, the priest.
Mine speaks of the loving and the affectionate, the sincere, the honest, the forthright, the kindly, and the martyr.
Your thought advocates Judaism, Brahmanism, Buddhism, Christianity, and Islam.
In my thought there is only one universal religion, whose varied paths are but the fingers of the loving hand of the Supreme Being.
In your thought there are the rich, the poor, and the beggared.
My thought holds that there are no riches but life; that we are all beggars, and no benefactor exists save life herself.

You have your thought and I have mine.

According to your thought, the greatness of nations lies in their politics, their parties, their conferences, their alliances and treaties.
But mine proclaims that the importance of nations lies in work, work in the field, work in the vineyards, work with the loom, work in the tannery, work in the quarry, work in the timberyard, work in the office and in the press.
Your thought holds that the glory of the nations is in their heroes. It sings the praises of Rameses, Alexander, Caesar, Hannibal, and Napoleon.
But mine claims that the real heroes are Confucius, Lao-Tse, Socrates, Plato, Abi Taleb, El Gazali, Jalal Ed-din-el Roumy, Copernicus, and Pasteur.
Your thought sees power in armies, cannons, battleships, submarines, aeroplanes, and poison gas.
But mine asserts that power lies in reason, resolution, and truth. No matter how long the tyrant endures, he will be the loser at the end.
Your thought differentiates between pragmatist and idealist, between the part and the whole, between the mystic and materialist.
Mine realizes that life is one and its weights, measures and tables do not coincide with your weights, measures and tables. He whom you suppose an idealist may be a practical man.

You have your thought and I have mine.

Your thought is interested in ruins and museums, mummies and petrified objects.
But mine hovers in the ever-renewed haze and clouds.
Your thought is enthroned on skulls. Since you take pride in it, you glorify it too.
My thought wanders in the obscure and distant valleys.
Your thought trumpets while you dance.
Mine prefers the anguish of death to your music and dancing.
Your thought is the thought of gossip and false pleasure.
Mine is the thought of him who is lost in his own country, of the alien in his own nation, of the solitary among his kinfolk and friends.

You have your thought and I have mine.

Poem by Khalil Gibran - Poet 1883 - 1931



Saya tidak ingin dan tidak akan menjadi ragi usang

18.08.2006.

Dear Zev dan para pembaca, apa kabar?

Tanpa terasa, tahun ini Republik Indonesia sudah berusia 61 tahun, lebih tua dari Malaysia yang merdeka tahun 1957, dan Singapore 1965. Sudah 61 kali perayaan tujuh belasan diadakan. Saya ingat waktu saya masih kecil, tujuh belasan adalah hari yang sangat saya tunggu-tunggu. Hari dimana saya bisa puas berlomba satu harian, dari lomba makan kerupuk, bawa kelereng di sendok, balap karung, sampai panjat pohon pinang pun menjadi favorit saya (walaupun tidak pernah menang). Sore hari, saat tiba waktunya berkarnaval dengan pakaian adat ataupun tradisional, saya akan maju dengan gagah berani mengenakan baju “si Jampang” (walaupun Ibu saya “memaksa” saya mengenakan kebaya yang mana saya tolak mentah-mentah dengan kabur melalui pintu belakang saat akan di sanggul...). Dengan bangga saya berjalan dengan celana panjang hitam, plus sarung kotak-kotak, plus pedang plastik berwarna hijau flashy stabilo, berkopiah pula, sambil bernyanyi

“Aku seorang Kapiten...

mempunyai pedang panjang.

Kalau berjalan, prok, prok, prok.

Aku seorang Kapiten”.

Lalu seperti yang sudah-sudah kami bermain perang-perangan, walaupun jadi kapiten, tapi saya bertahan di kubu bambu runcing melawan “pihak musuh” yang menggunakan senapan plastik berpeluru mulut, alias tet tet tet tet, yaitu mulutnya saja yang ribut menirukan suara mitrayet. Lalu permainan diakhiri dengan kemenangan di pihak bambu runcing dan ditutup dengan teriakan, “Merdeka, Merdeka, Merdeka !” Hidup Indonesia! Rasanya satu hari penuh itu menjadi satu hari yang sangat bersejarah pada kehidupan saya, yang mana hari bersejarah berulang terus, lomba yang sama dan seragam yang sama, permainan yang sama setiap tahunnya, dan kebanggaan yang sama, berada di pihak bambu runcing, meneriakkan kata-kata “merdeka” tiga kali (wajib itu tiga kali, kalau kurang dari tiga kok ya kurang mantap ya...).

Waktu memasuki masa kuliah, “bermain perang-perangan” masih saya lakukan, hanya saja modelnya sudah lain. Saya tidak mengenakan celana panjang hitam, sarung kotak-kotak, pedang plastik berwarna hijau flashy stabilo, dan kopiah. Saya mengenakan seragam hijau, berbaret ungu, dengan emblem bertuliskan yon 14. Saat itu ibu saya berkomentar sambil setengah menggerutu“kamu ini mau jadi sarjana apa tentara-tentaraan sih? Edan tenan anak ini”. Saya hanya menjawab “ya sarjana tapi kalau keadaan kepepet kan bisa juga jadi tentara, demi tanah air tercinta, tanah air beta” Lalu saya sambung sambil bernyanyi-nyanyi “Indonesia, tanah air beta, pusaka, abadi nan jaya...”. Bapak saya yang tentara beneran menepuk kepala saya atas jawaban yang “asal jawab”, tersenyum bangga saat saya berteriak “Medeka” sambil lari ke dapur menyambar tempe goreng yang masih panas. Saat itu setiap perayaan tujuh belasan selalu menjadi hari keramat. Rasa idealis, nasionalis bercampur menjadi satu, ditambah lagi dengan jiwa muda yang selalu menggelora, bersemangat empat lima. Bangga di pihak “bambu runcing”, bangga menyanyikan “Indonesia Raya” dan berjanji dihadapan Ibu pertiwi, membela sampai titik darah terakhir. Merdeka, Merdeka, Merdeka! Hidup Indonesia!

Masa kuliah pun berakhir, masa rimba belantara birokrasi mulai memasuki kehidupan saya. Pontang-panting kanan kiri mencari pekerjaan mulai menggerogoti prinsip idealis. Banyaknya orang yang meminta “uang pelicin” agar bisa mendapatkan pekerjaan bagi “para lulusan segar” membuat saya tersesat di hutan liar “PungLi”. Kesini mahal, kesana mahal, bahkan kadang lebih mahal dari gaji yang akan saya terima selama 1 tahun. Akhirnya saya jadi kesal sendiri, dan tidak bernafsu untuk mencari pekerjaan. Saya memutuskan untuk “menganggur” selama beberapa saat sambil mencari inspirasi agar polusi yang ada di otak saya terhalau.

Suatu hari saya melakukan perjalanan ke suatu tempat di daerah pedalaman. Karena tidak adanya transportasi umum, saya lalu menggunakan jasa taksi “kijang” AsPal. Mobil pribadi yang asli mengangkut penumpang untuk umum tapi palsu karena bukan taksi beneran. Di tengah perjalanan, dimana sebelah kanan dan sebelah kiri sisi jalan hanya dihuni pohon-pohon besar belaka, dengan memiliki tanda-tanda kehidupan binatang-binatang liar, tanpa ada tanda-tanda kehidupan manusia, tiba-tiba mobil berhenti mendadak diiringi derit suara rem yang keras. Bruuk! Hampir seluruh penumpang tersuruk ke depan dengan keberhentian yang tiba-tiba tersebut. Saya sangat terkejut sekali, apakah yang terjadi? Jangan-jangan pak supir menabrak binatang liar.

Saat saya melongok kedepan untuk melihat, ternyata bukan binatang liar yang tampak tetapi sesuatu yang tidak liar, sesuatu yang hidup dan “beradab”, komplit dengan seragam dan topinya. Seperti seragam coklat yang dikenakan teman main saya saat tujuhbelasan dulu. Hanya yang ini beneran, bukan mainan. Yang ini ternyata seragam coklat beneran, komplit dengan topi dan peluitnya, pritt! Bapak berseragam dan pak sopir lalu berbisik-bisik di belakang pohon yang besar sekali, lima belas menit kemudian pak sopir sudah kembali menyetir mobil sambil bersiul-siul, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Penasaran saya bertanya maksud dari pemberhentian tersebut, pak sopir hanya bilang “biasa lah uang pos, untuk rute ini biasanya ada tiga pos”. Saya bengong dan bingung. Di tengah hutan belantara ada 3 pos PungLi? Pak supir dengan enteng menjawab “wah apalagi kalau rute yang dilalui truk, bisa sampai 5 pos”. Saya terpaksa harus menelan mentah-mentah kenyataan tersebut sambil berkomentar “ooo begitu...” Pelan tapi pasti, saya mulai menyadari keberadaan PungLi sudah menapakkan cakarnya di dalam bumi pertiwi. Beberapa hari kemudian, saat saya sedang menunggu “taksi air” (perahu) yang akan membawa saya ke kampung nenek, saya mengenali seorang bapak yang juga sedang menunggu. Bapak yang sama dengan bapak yang menyetop “taksi AsPal” di tengah hutan, bapak yang berseragam. Iseng-iseng saya bertanya “maaf Pak, jam berapa ya sekarang?”. Lalu Bapak tersebut menjawab dan akhirnya saya berhasil membuka percakapan dengan dia. Kami berbincang-bincang akan hal-hal yang umum sampai akhirnya saya bilang kalau saya mengenali dia sebagai bapak berseragam. Bapak tersebut sempat jengah tetapi akhirnya tetap saja melanjutkan percakapan kami. Sampai saya menyinggung persoalan akan “pemasukan ekstra gaji”, si Bapak sempat sedikit sewot. Katanya “Wah mbak, saya kan harus menyetor ke komandan saya, lalu nanti komandan menyetor lagi ke atas”, bersihnya paling saya hanya dapat satu persen. Kalau hanya mengandalkan gaji, saya tidak mampu membiayai istri dan anak-anak saya. Hutang saya buat masuk kerja saja belum lunas.” Deg, kaget saya, jadi si Bapak juga bayar uang pelicin buat masuk kerja, pakai acara mengutang lagi. Waduh, untung saya nggak jadi bayar uang pelicin. Untung saya tidak jadi kerja dengan uang pelicin. Jangan-jangan suatu hari saya bisa menjadi seperti Bapak yang didepan saya ini. Yang meminta uang “pelicin” untuk melicinkan hutangnya. Wah ini seperti lingkaran setan saja, seperti kucing yang berusaha menggigit ekornya sendiri. Berputar-putar di tempat.

Sekembalinya dari “berpetualang”, dan masih “trauma” dengan masalah “uang pelicin”,saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Eh belum sempat sekolah lagi, loh kok malah jatuh cinta, akhirnya menikah, dengan warga negara asing, yang mana di dalam birokrasi dan administrasi sangat kaya dengan masalah “uang pelicin”. Kali ini saya berkeras tidak menggunakan “uang pelicin”, akibatnya surat nikah saya “tertahan” selama beberapa bulan. Tanpa kehadiran Bapak saya yang hampir membalikkan meja, mungkin surat nikah tersebut tidak akan keluar sampai surat perceraian terbuat. Terbentur masalah perceraian, masalah anak dan lain sebagainya, membuat saya semakin melihat betapa bobroknya mental anak–anak ibunda Pertiwi. Benar-benar seperti hutan belantara liar yang tidak kenal ampun, yang berprinsip lebih baik memakan daripada di makan, kanibalisme di dalam birokrasi dan kehidupan membuat kesinisan dalam diri saya mengental dan bergelora dibandingkan semangat juang empat lima saat saya masih menjadi pelajar.

Saat saya pertama kali menginjakkan kaki di negara asing untuk mengejar apa yang menjadi hak saya, saya terbentur dengan status sebagai warga negara Indonesia. Alasannya, tidak ada ikatan perjanjian Internasional antara Indonesia dengan negara tersebut. Lalu saya tidak bisa memperjuangkan hak saya sepenuhnya karena saya bukan warga negara tersebut. Lalu orang yang mengenal Indonesia sebagai negara korupsi, dan sebagainya, dan seterusnya dan berikutnya. Ampun! Kok seperti makan buah Simalakama. Tidak mengaku sebagai bangsa Indonesia akan dibuang dari keluarga, menjadi bangsa Indonesia kok ya pahit, dibuang di negara sendiri dan di negara orang lain. Saya sempat mengalami krisis identitas, saya ini orang apa ya? Orang –aring? Tapi katanya orang-aring pun masih berguna untuk menyuburkan rambut, lah lalu kegunaan saya apa dong kalau saya jadi orang-aring? Apa malah saya sudah menjadi “orang-orangan?” Yang tersenyum kalau ditarik tali di bibir dan menari-nari saat tali temali di kaki saya digerakkan.

Saat saya dalam krisis identitas “orang-orangan”, saya marah kepada diri saya sendiri. Apa yang salah dengan menjadi orang Indonesia dan bagaimana membuktikan bahwa tidak ada yang salah untuk menjadi orang Indonesia. Semuanya berkecamuk dan terpendam dalam otak kecil saya.

Waktu berlalu dan bergulir dengan cepat, sementara situasi dan kenyataan yang ada di Indonesia tidaklah banyak berubah. Menjadi orang Indonesia seolah terpuruk dalam cerita simpang siur dan mendiskreditkan orang Indonesia. Menjadi seorang Indonesia seolah seperti sebuah ragi usang.

Saya ingat Bapak saya pernah bercerita tentang kisah rakyat “Raja Sangumang dan Pangawi”. Dimana kesetiaan Pangawi menggembirakan hati sang raja Sangumang tetapi butob ureng kahaen sakalan (batu kebodohan/kebebalan) yang ada pada Pangawi menyedihkan hati sang Raja Sangumang. Setialah menjadi manusia seperti kesetiaan Pangawi, tetapi bijaksanalah sebijaksana Sangumang. Jangan menjadi ragi usang! Demikian kata Bapak saat saya masih berumur 20 tahun.

Ragi adalah salah satu elemen yang penting dalam pembuatan baram. Ragi yang bagus akan membuat baram tersebut nikmat, tetapi ragi yang usang, lapuk dimakan masa akan terbuang begitu saja dengan sia-sia. Saya tidak ingin menjadi ragi usang!

Kebenaran adalah sesuatu yang yang berhubungan dengan kenyataan. Kebenaran akan suatu pendapat menjadi benar kalau kita bisa menemukannya dalam realitas, dan kebenaran tersebut menjadi palsu pada saat kita tidak bisa menemukannya dalam suatu kenyataan hidup, saat kita tidak bisa berkata apa-apa maka kebenaran tersebut menjadi palsu. Kebenaran yang murni terpuruk dengan ketidakmampuan dalam pengungkapan kenyataan. Saya mencari kebenaran tersebut, saya mencari didalam realitas hidup. Dan saya mencari realitas tersebut tidak hanya sejauh mata memandang kehidupan saya, tetapi sejauh mata memandang cakrawala. Saat saya melihat dari puncak yang tinggi maka saya bisa melihat secara keseluruhan, saat saya melihat tanpa bingkai, saya melihat dengan baik dan semuanya terlihat jauh lebih jelas. Kebenaran dari proposisi, keyakinan, pemikiran, pendapat. Kebenaran yang pribadi bagi diri saya sendiri, hal-hal yang saya yakini benar sejak dulu, lalu terpuruk dengan kepalsuan hidup dan lingkaran setan, yang menutupi kebenaran yang saya yakini. Kebenaran yang tertumpuk oleh kotoran-kotoran dari hanya segelintir manusia-manusia tanpa keyakinan. Kebenaran yang sesungguhnya jauh lebih besar daripada gunung tumpukkan kotoran kebejatan moral dan iman. Karena sesungguhnya orang Indonesia yang benar, jauh lebih banyak dibandingkan orang Indonesia yang tidak benar. Karena Indonesia itu besar dan luas sekali. Jadi sudah seharusnya jika saya memandang akan kebenaran menjadi orang Indonesia dengan lensa “wide angle”. Lensa yang lebar yang mencakup inti dari kebenaran tersebut. Dan saat saya menemukan kebenaran, saya harus mempertahankan dan menunjukkan kebenaran tersebut. Untuk itu saya harus membuktikan apa yang saya yakini, saya harus membuktikan kalau orang Indonesia bukanlah sebuah ragi usang yang tidak berguna lalu dibuang.

Saya tidak ingin dan tidak akan menjadi ragi usang.

Saat ini, “bermain perang-perangan” masih saya lakukan, hanya saja modelnya sudah lain. Saya tidak mengenakan celana panjang hitam, sarung kotak-kotak, pedang plastik berwarna hijau flashy stabilo, dan kopiah. Saya saat ini mengenakan kebaya encim dengan jarik motif Truntum dan rambut bersanggul. Saya akan berjuang sampai tetes tinta saya yang terakhir (kalaupun habis saya pasti beli lagi yang baru) untuk mengenalkan Indonesia yang sebenarnya. Berawal dari “warung” kecil akan barang Indonesia, tulisan-tulisan di organisasi penelitian, hingga kini, saya mencoba membawa Indonesia ke dalam program kebudayaan Internasional. Saya memang masih berjuang untuk program tersebut, dan saya akan tetap berjuang untuk program-program yang berikutnya. Saya tidak ingin dan tidak akan menjadi ragi usang.


Saya akan selalu berteriak dan pasti tiga kali.

Merdekalah Indonesiaku, dari penindasan oleh kebohongan, Merdekalah dari keragu-raguan, Merdekalah Indonesiaku dari ketidaktahuan. Merdeka, Merdeka, Merdeka! Indonesia Raya.

Arita-CH

Wiraswasta di LN

Wiraswasta di LN
30.11.2005.
Dear Zeverina,
Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih dengan adanya kolom ini di Kompas.com. Berbagai cerita dan pengalaman baik yang positif maupun negatif sekalipun membuat kita menyadari bahwa sebagai orang Indonesia dimanapun mereka berada terpencar di berbagai penjuru dunia tetap berkumpul menjadi satu dalam satu bahasa Indonesia di website Indonesia, yang bertempat di Indonesia.

Cerita yang akan saya utarakan mungkin bisa memberi informasi tentang bagaimana hidup di Luar Negeri dengan titik pandang yang berbeda.
Alasan saya meninggalkan Indonesia bukan karena ikut suami, kuliah ataupun bekerja, tetapi karena mencari anak saya yang diculik oleh bekas suami saya (WNA). Singkat kata saya sudah menemukan anak saya dan dikarenakan situasi hukum membuat saya « harus » tetap di Eropa agar bisa selalu dekat dengan anak saya. Maaf saya tidak menceritakan kisah tentang mengapa anak saya diculik dan bagaimana saya bisa menemukannya, mungkin di lain surat saya akan menceritakan pengalaman tersebut.

Saya tinggal di Swiss, dan mempunyai usaha sebagai penjual barang2 dari Indonesia. Pertama kali saya mengajukan ijin menetap disini, saya tidak menemui banyak kesulitan dikarenakan saya sudah punya PR di negara Eropa (FR) sebelumnya tetapi saat saya sudah mendapatkan ijin tinggal ternyata tidak secara otomatis mendapatkan ijin kerja. Ada 2 Ijin kerja, Kesatu, yaitu "Dependent" yang berarti bekerja untuk sebuah instansi dan kedua "Independent" yang berarti sebagai pihak Swasta, dimana saya termasuk dalam kategori kedua.

Waktu saya meminta formulir ijin kerja independent, petugas kepolisian kantonal "tidak mau" memberikan formulir tsb malah menasihati saya untuk mencoba melamar pekerjaan sebagai pelayan di supermarket setempat dimana saya mengartikan "be dependent, don’t be independent". Setelah melalui perdebatan yang cukup seru barulah formulir tersebut diberikan kepada saya.

Melalui proses yang panjang dan sempat ditolak satu kali akhirnya saya bisa mendapatkan ijin kerja Independent. Usaha saya bergerak di bidang kesenian dan permebelan yang saya fokuskan hanya dari Indonesia, walaupun banyak yang menawarkan barang2 dari negara Asia lainnya, bahkan dengan harga yang jauh lebih murah, tetap saya mengambil dari Indonesia.

Sejak awal saya berniat berwiraswasta agar bisa lebih mudah memantau perkembangan anak saya dan pilihan saya hanya Indonesia karena merupakan jembatan bagi saya dan Indonesia, tanah air saya sendiri. Saya bersyukur karena dengan usaha ini memungkinkan saya untuk pulang ke kampung halaman minimum sekali dalam setahun, dan bisa membantu perekonomian Indonesia, walaupun dalam skala kecil. Bahkan sejak itu saya jadi mengenal kebudayaan tanah air jauh lebih dalam dari sebelumnya dan bangga jadi orang Indonesia dimanapun saya berada.

Cerita tentang menjadi penjual barang dari Indonesia banyak suka dan dukanya. Saat saya menawarkan barang Indonesia ke perusahaan Swiss, reaksi pertama yang sering saya terima adalah rasa tidak percaya bahwa sayalah pemilik barang, bahkan ada yang terang-terangan menolak dengan kata-kata pedas bahwa pedagang orang Indonesia adalah penipu dan dia lebih suka membeli barang Indonesia dari orang asia lainnya (negara MI) daripada dari orang Indonesia langsung. Wah mau marah saya mendengarnya, tapi saya berpikir mungkin orang ini pernah ditipu oleh orang Indonesia, saya jadi penasaran dan ingin membuktikan bahwa orang Indonesia bukanlah penipu seperti yang dia kira.Setelah saya jelaskan panjang lebar akan kekuatan hukum dari usaha yang saya jalankan dan dengan dasar hukum Swiss yang mengikat perjanjian kerjasama, akhirnya dapat dijalin pengertian antara orang tersebut dan saya.

Pernah satu kali saya ikut pameran budaya asia dalam skala nasional (canton), dimana stand saya membawa nama Indonesia. Stand itu hanya berukuran 12m2 dikarenakan biaya sewa yang cukup tinggi dan dana dari pihak sendiri. Sebelah stand saya adalah stand dari India dengan luas hampir 50 m2 dan dibiayai oleh pemerintah India. Tapi saya tidak mau minder, biar kecil tapi berbobot, saya minta tolong salah satu teman Indonesia untuk menari Bali dalam acara tersebut, akhirnya tercapailah tujuan saya, stand terkecil tapi paling banyak peminatnya.

Belum habis kebahagiaan saya melihat minat pengunjung yang besar, datanglah pengunjung dari Indonesia. Tentu saja saya senang melihat orang setanah air mengunjungi stand saya, tapi reaksi yang saya terima membuat saya mejadi sedih.. Dia berkata "eh kecil amat stand dari Indonesia, malu-maluin saja. Kalau tidak mampu buat stand yah tidak usah ikut berpartisipasi dong. Masa kalah sama negara Asia lainnya yang lebih miskin dari Indonesia, bikin malu bangsa saja". Aduh, dengar komentar jelek dari bangsa lain masih bisa bikin saya kuat, tapi komentar dari bangsa sendiri, sedih sekali hati saya saat itu.



Satu lagi ada pengunjung orang Indonesia yang enggan bicara sama saya dan memilih bicara dengan karyawan saya (kulit putih) untuk menawarkan kerjasama karena dia pikir saya adalah pegawai, dan yang kulit putih adalah bos saya, aduh mak! Setelah dijelaskan bahwa dia (kulit putih) adalah karyawan, orang itu langsung pergi tanpa permisi. Tapi hati saya digembirakan oleh kunjungan beberapa pemuda-pemudi Indonesia yang masih berstatus pelajar. Ada yang asli 100% keluarga Indonesia yang lahir di Eropa tetapi belum pernah pulang ke Indonesia, mereka senang sekali mendengar dan melihat akan kebudayaan Indonesia yang kaya.

Ada yang memang pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu disini, bangga akan adanya stand Indonesia malah sempat mempertunjukkan kemampuannya bermain wayang kulit. Wah tunas muda seperti inilah yang bisa membuat Indonesia maju! Ada yang mengejek karena saya berkebaya saat bekerja, sementara ada yang memuji karena jarang melihat wanita Indonesia berkebaya, kecuali waktu 17 Agutus di KBRI.

Pernah sekali saya didatangi dua ibu-ibu Indonesia saat sedang pameran, mempertanyakan berapa gaji saya. Saya penasaran akan maksud dari pertanyaan tersebut lalu saya jawab bahwa gaji saya lumayan, ibu tersebut menawarkan pekerjaan lain, ringan tapi banyak uangnya. Jadi escort lady! Ampun! Saya hanya bisa tersenyum kecut dan bilang terima kasih, saya lebih suka yang halal.

Satu hari di toko saya didatangi oleh satu keluarga komplit, ibu, bapak dan ketiga anaknya. Mereka bertanya-tanya tentang kebudayaan Indonesia, tentu saja dengan senang hati saya menjawab dan menerangkan, sampai si Ibu bertanya tentang hal yang aneh akan saya.

Dia pernah berkenalan dengan orang Indonesia di Jerman saat belajar Yoga (sekarang ibu tersebut adalah guru Yoga), dimana kenalan orang Indonesia itu bilang di Indonesia kalau perempuan dengan rambut dikonde tinggi serta acak-acakan (tidak terlalu rapih, agak kusut) berarti orang itu mempunyai kemampuan gaib/paranormal, jadi guru yoga tersebut bertanya apakah benar di Indonesia seperti itu dan kalau benar apakah saya punya kemampuan gaib (karena kebetulan konde saya tidak terlalu rapih). Wah kalau buat jawab apakah saya paranormal tentu saja Tidak. Tapi buat menjawab apakah di Indonesia ada perempuan yang seperti itu, saya cuma bisa berdiplomatis bahwa di Indonesia ada 18.108 pulau, 300 etnis tersebar dari sabang sampai merauke dan saya belum bisa mempelajari semuanya. Sepengetahuan saya sampai hari ini belum pernah mendengar hal tersebut sehingga saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Berjualan barang dari Asia kadang juga dianggap berjualan barang yang aneh yang mempunyai kekuatan gaib, dan saya pikir ini adalah taktik tidak jujur pedagang (yang kebanyakkan orang asing) agar bisa menjual barangnya. Pernah saya berbincang-bincang dengan salah satu pedagang dari negara Asia lainnya. Ia bercerita bahwa untuk menjual lonceng dia menjelaskan ke pengunjung bahwa dengan mendengarkan suara denting lonceng setiap pagi maka segala kesusahan akan hilang hari itu. Saya hampir terbahak-bahak mendengarnya, tetapi waktu dia melakukan aksinya didepan pembeli, persis seperti yang dia katakan kepada saya, eh berhasillah dia menjual lonceng. Bahkan ada yang menjual gental kecil dengan nama "Pangilan buat malaikat", laku keras! Ya ampun mungkin ini bedanya manusia yang berTuhan dengan manusia yang tidak mengenal Tuhan. Biar sudah pintar teknologi dan pendidikkan masih saja mencari alternatif lain selain Tuhan.

Saya punya Gong yang tua dari pulau Jawa dan suaranya merdu sekali. Lalu banyak yang bertanya apakah Gong tersebut mempunyai "isi" yang kuat, apakah bisa mendatangkan kebahagiaan, apakah bisa mendapatkan kedamaian? Saya jawab bahwa Gong ini saya jual karena kualitas keindahan ukirannya, serta kemerduan suaranya, saran saya sebelum anda mencari sesuatu yang ada "isinya", "isilah" diri anda dahulu dengan introspeksi diri dan berdoa. Kalau anda percaya bahwa sesuatu bisa "berisi" masa anda tidak percaya bahwa alam dan seisinya adalah milik dan ciptaan Tuhan. Kadang jawaban saya bikin marah orang tetapi banyak juga yang akhirnya "bertobat".

Lama kelamaan saya menjadi kebal dengan reaksi negatif dari orang Indonesia ataupun tentang Indonesia dan lebih memusatkan perhatian kepada reaksi positif. Ada yang buruk, tetapi banyak juga yang baik sehingga semuanya saya simpulkan bahwa yang baik untuk kebaikan yang buruk pun bisa dijadikan pelajaran agar menjadi lebih baik.

Seperti layaknya dalam kehidupan berusaha ada masa pasang adapula masa surutnya.. Pada saat saya sedang dalam masa surut mertua saya (saya sudah menikah lagi) pernah menyarankan untuk bekerja kantoran saja dimana setiap bulan pasti ada pemasukkan. Tapi saya menolak. Setiap saya ke Indonesia bertemu dengan pengrajin dan keluarganya yang selalu tekun dalam bekerja, jujur dan percaya terhadap saya, takwa dalam kehidupannya dan gigih sebagai pengrajin, menggantungkan sendok nasinya ke tangan pembeli yang salah satunya adalah saya. Lah kalau saya ganti haluan, saya mungkin tidak mengalami masalah, tapi pengrajin tersebut pasti kehilangan satu pembeli yang juga mengakibatkan kekurangan dalam pemasukkan mereka.

Bukan maksud saya untuk menjadi pahlawan bagi mereka tetapi sesusahnya saya disini masih ada kelebihan dan fasilitas negara yang bisa saya dapatkan sedangkan mereka kalau dalam kesusahan tentulah tidak semudah saya disini. Jadi saya berpikir berkali-kali untuk ganti haluan. Namanya orang usaha, ada susahnya ada untungnya, kelebihan dari usaha ini adalah saya mendapat kebahagian batin dimana saya dan Indonesia tidak terputuskan oleh jarak dan tempat . Kebahagian yang tidak bisa dinilai dan digantikan oleh materi.

Terima kasih untuk Zeverina dan Kompas online, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbagi pengalaman hidup, salam sejahtera.


Arita - CH




OPEN DOORS 2006 -Connecting cinema from South East Asia-

OPEN DOORS 2006 -Connecting cinema from South East Asia-
26.09.2006.
Dear Zev dan para pembaca, saya mempunyai kabar yang mungkin sudah agak terlambat tapi saya berharap belum menjadi “basi”.

Kabar ini juga merupakan kado untuk kemerdekaan RI ke 61 dan ulang tahun Koki yang pertama. Locarno International Film Festival ke 59 di Swiss yang berlangsung pada tanggal 2 hingga 12 Agustus 2006, memberikan kebanggaan tersendiri bagi saya sebagai warga negara & orang Indonesia.
Tahun ini pada pada tanggal 9 Agustus, delapan hari sebelum hari kemerdekaan RI ke 61 dan 15 hari sebelum Ulang Tahun KoKi, nama Indonesia tercatat sebagai pemenang dalam kategori “Open Doors Prizes”. “Open Doors 2006” bertemakan “Connecting Cinema from South East Asia” dimana terdapat 50 film yang berkompetisi dari negara-negara Thailand, Malaysia, Singapore dan Indonesia. Yang mana pemenangnya adalah 2 “negara bersaudara” yang hidup bertetangga, yaitu:
  1. The Photograph (Nan Achnas, director; Paquita Widjaja-Afief, producer, Indonesia)
  2. Jermal (Ravi Bharwani, director; Shanty Harmayn and Orlow Seunke, producers, Indonesia)
  3. Living Quietly (Tan Chui Mui, director; Joanna Lee, producer, Malaysia)
Penghargaan diberikan dalam bentuk dana sebesar 10.000 Euro untuk memproduksi dan menghasilkan karya yang benar-benar bermutu.
Pada bulan Maret tahun 2002, skenario The Photograph mendapat Prince Klaus Award di Rotterdam International Film Festival dan Gotenborg Film Fund Award dari Swedia.
Berhubung saya tidak sempat menontonnya, jadi dengan sedih hati saya tidak bisa menguraikan lebih lanjut.
Tapi pokoke, diatas segalanya, Indonesia hidup tenan!

P.S: Zev, mungkin ada pemerhati film atau penulis yang bisa menguraikan lebih lanjut tentang film “The Photograph” dan “Jermal”?
Terima kasih sebelumnya...





Manungsa tan kenan kinira

Manungsa tan kenan kinira
24.08.2006.
Dear Zev dan para pembaca,

Mengutip salah satu tulisan “Ki Ageng” Umar Kayam,
“Manungsa tan kenan kinira, kata orang jawa. Manusia itu tidak dapat terduga. Manusia adalah gudang surprise-surprise. Manusia adalah markas kejutan-kejutan.”

Bermula dari sebuah “kejutan” akan “Usia 57 Masih Hot, "Oversex-Minded?” oleh ibu RO (Bu R.O., dimanakah dikau? Mungkinkah masih ditahan oleh sang Maharaja...?) pada “kolom konsultasi seputar problem seksual wanita” dengan dr. Sylvia Detri Elvira, menjadi letupan-letupan kejutan asmara yang membakar kayu-kayu dengan “Ah Indahnya Seks di Masa Tua, Surat dari Gramsbergen”, api pun merambah, menaikkan suhu keindahan, menjalar, membentuk sebungkah “Kiat Mesra Suami-Istri”, menelusuri aliran sungai akan ”Liku-liku Kehidupan Seks”.

Liku-liku yang kadang indah mengasyikkan, tapi juga kadang biasa dan monoton karena “Tak Semua Pria "Bule" Romantis.” Seperti lidah-lidah api yang membakar “kolom konsultasi seputar problem seksual wanita", kadang besar menjilat-jilat, kadang meredup tapi tetap membakar kayu-kayu menjadi arang, bara apinya yang pas menghangatkan, menyamankan, menemani hidup yang “ Tak melulu soal seks, bisa soal relasi dengan pasangan, teman, bos, dokter/rumah sakit, kehidupan single parent, lajang dll”.

Kejutan demi kejutan mengalir dengan derasnya, karena manusia adalah gudang surprise-surprise maka “kolom konsultasi seputar problem seksual wanita"pun menjadi markasnya kejutan-kejutan, markasnya cerita tidak dapat terduga, markasnya manusia Indonesia dari seluruh penjuru, kolom markasnya kejutan-kejutan adalah KOLOM KITA, racikan si “koki” cantik Zeverina dengan masakannya yang beraneka ragam dan kaya akan rempah-rempah dari sabang sampai merauke, dari Utara ke Selatan, di “Bontang, Inggris, Bali, Belanda, New Jersey, Kuwait, Australia, atau di Kediri”.

Kini satu tahun telah berlalu, doa dikumandangkan, dipanjatkan kepada Khalik untuk keselamatan, kesehatan, rejeki dan umur panjang.
Lalu tiba saatnya menyerbu nasi kuning tumpeng diatas tampah, dikelilingi oleh urap sayur-sayuran dengan ikan asin teri, daging ayam suwir-suwir, telor rebus, dan sambal tempe, tak lupa dengan satu batang cabai merah indah menghiasi pucuk tumpeng.
Penutup mulut (supaya mulutnya berhenti terbuka karena kepedasan...) berisi jajan pasar seperti getuk lindri, tiwul, berselimut taburan gurih kelapa parut, klepon, cucur, onde-onde, ketan putih dan ketan hitam.
Serta merta tak ketinggalan nyanyian “wajib” mengiringi hari yang indah dan bersejarah.

Selamat ulang tahun kami ucapkan
Selamat panjang umur kita kan do'akan
Selamat sejahtera sehat sentosa
Selamat panjang umur dan bahagia

Hip hip horayy Kolom Kita.
Hip hip horayy Zeverina.
Hip hip horayy para pembaca.

Arita-CH



Kangen

Kangen

12.07.2006.

Dear Zev dan para pembaca lainnya,

Hari minggu 9 Juli yang telah lewat merupakan puncak acara dari pertandingan sepak bola dunia, dimana pada hari tersebut juga menjadi moment penting bagi suami dan mertua yang menjagokan Italia. Kami semua berkumpul di rumah mertua untuk nonton bersama-sama, komplit, tiga bersaudara plus satu menantu. Sayang tidak ada singkong goreng dan combro buat cemilan, hanya Pizza ala mertua yang menjadi cemilan plus makan malam depan televisi.

Saya yang “buta” akan dunia persepakbolaan pada awalnya hanya duduk diam (tidak 100% diam karena mulut bergerak-gerak ngemil pizza ala Italia yang sebesar tetampah beras) di depan televisi sambil menunggu saat-saat teriak “Gol”! Maksudnya hitung-hitung meramaikan suasana, sebab saya tidak paham apa-apa. Detik berlalu berganti menit, pizza saya akhirnya habis juga, televisi pun masih seru dengan permainan kejar satu bola oleh 22 orang, dan komentatornya itu... wah yahud!


Saya merasakan gegap gempita dan membawa saya masuk ke dalam alam persepakbolaan secara natural. Komentator yang berteriak, menyebutkan nama pemain satu persatu, berkomentar tentang pemain –wah saya lupa namanya siapa – sebagai “nostra fortezza, nostra sicurezza (benteng pertahanan kami, keamanan kami)”, lalu saat-saat bola terlempar ke dalam jaring dimana semua teriak “golllll!”, saya juga akhirnya berteriak cukup keras, menyamai suara suami. Saat pemain bermain dengan jelek, komentator lalu berteori “wah si ...anu.. pasti sudah kecapaian, mestinya begini-begitu, bla, bla, bla...”. Saat Zidane (yang ini akhirnya saya ingat namanya) menanduk pemain Italia dengan kepalanya yang polos plontos, sang komentator pun menjerit seakan-akan Zidane sedang menyeruduk si komentator, begitu juga mertua, ipar-ipar dan suami saya. Waduh duh duh, keseruduk Prancis!. Wasit pun meniup pluitnya, pritttttt, kartu merah melompat dari kantung atas baju si Wasit, undangan buat Zidane keluar dari jagat raya persepakbolaan.

Kembali saya mendengar komentar dari para komentator, bahkan ada yang berteriak mencaci maki (di televisi juga lupa tata krama ya...?). Lalu akhirnya kemenangan diraih, segala pujian, dan teori-teori, saya dengar dari komentator televisi juga komentator intern, yaitu mertua, ipar-ipar dan suami saya. Pertandingan pun berakhir, klakson terdengar dimana-mana, secara tiba-tiba jalan-jalan yang sunyi sepi dan lenggang menjadi penuh sorak-sorai, riuh rendah klakson dan teriakan dengan arak-arakan kemenangan atas Italia.

Saya yang “buta” akan dunia persepakbolaan ikut berjingkrak-jingkrak, wuih ramai tenan! Lho kok saya jadi bisa ikut berjingkrak-jingkrak, padahal “buta”, tetapi para komentator, baik dari televisi dan para intern yaitu mertua dan anak-anaknya, menjadi “tongkat” saya dalam menikmati pertandingan besar yang saya tidak begitu paham sebesar apa tadinya, tapi berkat “tongkat” saya yaitu para komentator-komentator, saya bisa mereka-reka berapa besarnya. Saat para presiden-presiden ikut-ikutan gigit jari, melongok lesu atau berjingrak-jingrak (tetapi tidak seperti saya, jingkrakan mereka lebih elegan...), semua tergambar (eh maksudnya terdengar) yah itu dia berkat si komentator. Wah untung ada “tongkat” jadi si buta dari gua antah berantah (bukan gua hantu loh) bisa mereka-reka, untung ada komentator yang berkomentar, jadi bisa mengerti jalan permainan, lumayan sih, lulus tes standar ujian nasional.

Zev tersayang, dan juga para pembaca lainnya.
Kok saya kangeeeen yahhhh sama si KOKO yang tak lain dan tak bukan adalah kolom komentar...

Arita-CH