Hidup didalam jaman edan

21.06.2006.

Dear Zev dan pembaca KOKI, bagaimana kabarnya?

Berkat dari Tuhan, kesehatan, kekuatan dan penerangan dari sang Khalik merupakan harapan yang saya panjatkan bagi Zevi dan para pembaca semua, dan Mbak Kentik khususnya – turut berduka cita dan prihatin, saya medoakan Mbak Kentik agar mendekatkan diri kepada Tuhan Y.M.E. dengan membuka hati dan berpasrah diri kepadaNya. Amin.



Musim panas saat ini mulai memanas. Saat siang dan malam hari, aliran udara panas yang masuk dari tiga jendela yang terbuka lebar mengaliri ruang apartemen kami. Malam ini saya susah tidur, puanaasnya kering kerontang. Mata yang mengantuk akhirnya mengalah dengan udara panas yang menggigit, saya pun memilih duduk di dekat jendela memandang langit bersih bebas awan, dihiasi kelap-kelip bintang-bintang (persis seperti lagu Bintang Kecil yang sering kunyanyikan saat umur lima tahun). Diluar suara kodok-kodok bersahut-sahutan, mungkin sedang memanggil sang hujan yang tak kunjung turun. Suara riuh rendah kodok bagaikan mantra ajaib yang membawa pikiran saya melayang ke Bumi Pertiwi, Tanah Air beta, dimana suara kodok-kodoknya lebih garing daripada kodok made in Switzerland.




Pikiran saya kembali mundur ke 3 tahun yang silam, saat malam hari di tengah hutan Kalimantan, juga dengan ditemani lagu panggilan hujan dari kodok-kodok made in Indonesia, saya mengobrol dengan Ayah sambil menunggu sang kantuk yang terlambat datang. Obrolan Ayah dan anak awalnya hanyalah obrolan ringan belaka dimana madhep ngalor dan madhep ngidul ya podo wae, putar-putar masalah kehidupan sehari-hari sampai akhirnya jatuh ke masalah panas dan jaman. Dulu waktu saya masih di Paris, mengalami musim panas pada bulan Agustus wuah panas kering, sekering moodnya orang-orang yang terpaksa dan yang tidak terpaksa harus tetap tinggal di kota (Paris pada musim panas bisa dikatakan sepi dengan orang lokal yang sebagian besar pergi berlibur). Mood yang kering kadang mengundang keagresifan yang membuat hati menjadi ikut panas dan bertingkah laku edan.



Ayah saya pernah bilang, badan boleh panas tapi pikiran jangan ikutan panas.

Kepanasan yang kita terima baiknya diendapkan didalam hati sampai adem ayem baru diolah jadinya tidak menggosongkan pikiran kita.

Wuih ngomong enak, wong kadang Ayah juga cepet “kepanasan” kok, protes saya.

Beliau tersenyum geli waktu saya protes.

“Iya ya, tapi kan sekarang sudah berkurang kecepatan reaksi panasnya toh, sudah tua saya, sudah jadi kakek”, kelit Ayah.

Lalu beliau berkata bahwa dunia pun menua, jaman pun berubah-ubah dan semakin lama kok ya jaman semakin edan. Apa karena semakin tua jadi semakin edan? Ya mudah-mudahan tidaklah, atau mungkin karena tidak mau terima menjadi tua akhirnya menjadi edan?


“ya embuh lah Yah”, jawab saya.

“Loh kamu jawab embuh itu artinya tidak tahu apa tidak mau tahu?” tanya Ayah.

”Ya dua-duanya, tidak tahu kenapa jadi begini dan tidak mau tahu kenapa harus begini”, jawab saya sejujurnya.





Jawaban itu melompat begitu saja tanpa saya pikir lebih dahulu, keluar dari hati nurani saya yang mungkin juga kelelahan mencari tahu sebabnya. Jaman memang edan, melihat “catatan kehidupan pribadi” saya dulu dimana posisi benar menjadi salah, posisi salah menjadi benar. Mencari keadilan dibilang tidak adil, loh yang adil malah dibilang tidak benar, malah jadi mbalelo.

Ayah saya termangu teringat situasi saat saya “kritis” dimana hari demi hari hanya disibukkan dengan berbagai strategi dan usaha dalam mencari keadilan di dalam badan keadilan hukum Indonesia. Mbalelo!




“Sekarang bagaimana keadaan kamu? Dengan hidup kamu sekarang? “ tanya Ayah dengan harap-harap cemas akan jawaban saya.




Kehidupan saya sekarang?

Ya jauh lebih baik walaupun jaman masih edan dan yang edan masih banyak, walaupun edan semakin menua tetapi edan-edan muda mulai bermunculan menggantikan edan-edan tua yang pensiun. Jaman masih edan, yang edan semakin hebat melesat jauh ke depan, yang tidak edan ya jalan juga walaupun perlahan. Saya pilih yang tidak edan saja walaupun harus jalan perlahan sambil menunduk memperhatikan kerikil-kerikil agar tidak mengenai kaki, menunduk memohon petunjuk kepada Yang Kuasa sang Khalik agar tidak tersesat di jalan karena kebanyakkan menunduk. Dan jalan terus, berhenti kalau lelah, nanti disambung lagi. Waspada dengan keadaan.




Saya bilang tidak mau tahu kenapa jaman harus jadi edan dan orang menjadi edan karena saya memang tidak tahu harus darimana memulai mencari tahu. Terlalu rancu bagi saya. Yang saya tahu dan mau tahu adalah bagaimana membuat diri saya menjadi tidak edan dan keluarga saya menjadi tidak ikut edan. Bagaimana bertahan untuk tidak terbawa arus dengan sang edan walaupun alirannya yang sangat kuat. Bertahan tidak menjadi bagian dari keEdanan mungkin sudah merupakan pengurangan dari orang-orang edan, daripada saya menjadi edan memikirkan bagaimana jaman menjadi edan.



Ayah saya diam duduk tercenung, suara kodok masih bersahut-sahutan lalu beliau menghirup tehnya yang sudah dingin sejak tadi.

“Jadi sekarang kamu bahagia?” tanyanya setelah menghabiskan tehnya yang dingin.

“Bahagia toh tidak ikut-ikutan menjadi edan?” lalu tambahnya lagi sambil tersenyum meringis,

“Saya kok jadi ingat waktu saya dulu masih sekolah lanjutan perwira, saya pernah baca tulisannya Ronggowarsito, yang isinya...”

Amenangi jaman edan

Ewuh aya ing pambudi

Milu edan ora tahan

Yen tan milu anglakoni

Boya kaduman melik

Kaliren wekasanipun

Ndilalah karsa Allah

Begja-begjane kang lali

Luwih begja kang eling lawan waspada”

Hidup didalam jaman edan, memang repot.

Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman

tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.

Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.

R. Ng. Ronggowarsito, Serat-Kalatida, "Sinom", 7


Percakapan malam hari tersebut membuat saya penasaran ingin mencari tahu tentang pujangga Jawa nan terkenal itu. Sepulang dari Kalimantan akhirnya saya mendapatkan tulisan sang pujangga dan tertegun saat membaca penutup dari gubahan Serat-Kalatida, "Sinom"

Sageda sabar santosa

Mati sajroning ngaurip

Kalis ing reh aruraha

Murka angkara sumingkir

Tarlen meleng malat sih

Sanityaseng tyas mematuh

Badharing sapudhendha

Antuk mayar sawetawis

Borong angga sawarga mesi martaya
Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa,
seolah-olah dapat mati didalam hidup.
Lepas dari kerepotan
serta jauh dari keangakara murkaan.
Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya.
Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami

R. Ng. Ronggowarsito, Serat-Kalatida, "Sinom", 12


Terima kasih Tuhan dari kesabaran yang Kau berikan kepada kami.

Untuk mati dari keEdanan.

Kami serahkan jiwa dan raga dan kami...


Mendadak saya mendengar lagi suara kodok-kodok made in Switzerland, menyentakkan saya,

sudah jam tiga pagi...


Kodok ngorek… kodok ngorek…..

Ngorek neng blumbangan…..

Teot…teblung ,teot…. teblung..

Teot teot …teblung…………



Senang bisa berbagi rasa dengan kamu Zev, dan pembaca koki lainnya

Bahagia bisa menjadi bagian dari kalian semua ...



Arita-CH

Previous
Next Post »