Bekerja di Restaurant

01.06.2006.

Dear Zeverina, kita berjumpa lagi di Tahun yang baru, selamat Tahun Baru untuk Zeverina dan juga para pembaca. Tahun baru, energi baru, semangat baru, batin juga baru karena bertambahnya pengalaman dan hikmat, dan siap untukmenghadapi tantangan baru. Sukses dan damai buat semuanya!


Kali ini surat saya bercerita tentang pengalaman saya dulu sewaktu masih “muda” mungkin tepatnya saat stamina saya memungkinkan untuk tidur hanya beberapa jam perhari.

Pertama kali saya tinggal di Paris, saya sempat kerja di restaurant, tidak tanggung-tanggung 3 restaurant dalam satu hari yang mana saya lakoni selama satu tahun dan akhirnya hanya satu restaurant pada dua tahun terakhir. Jadwal saya mulai dari jam 09:00 pagi sudah bekerja di sebuah kedai kopi hingga jam 11:00,jam 12 :00 siang sudah pindah ke sebuah restaurant wine bar yang menyediakan makan siang hingga jam 15 :00. Jam 16 :30 saya sudah didalam metro menuju restaurant lainnya untuk bekerja lagi hingga pukul 03 :00 pagi.

Saya nyenggol sedikit tentang topik "Tip" yang pernah dimuat, pertama kali saya dapat tip saat itu sejumlah 10 Franc (saat itu 1 Franc sekitar Rp 4’000.-) wah antara senang dan kaget. Senang karena ada tambahan, kaget karena biasanya saya yang suka kasih tip sewaktu masih di Indonesia. Di setiap restaurant dimana saya bekerja, tip selalu dibagi rata setelah usai kerja bahkan sampai koki masak pun menerima pembagian tip. Kadang kala memang ada yang menggerutu saat dapat Tip kecil karena pembagian pun menjadi kecil, tetapi hal itu tidak pernah mengurangi servis pelayanan kami.
Prinsipnya, ada atau tidak mendapat tip, kami sebagai pekerja diwajibkan untuk menomorsatukan pelayanan. Kata “wajib” disini merupakan keharusan karena pemilik restaurant selalu menegaskan hal itu, bahkan ada salah satu pemilik restaurant yang marah-marah saat pelayanan berkurang dan mengancam akan menghapuskan kebijaksanaan “menerima tip” kalau pekerjaan kita masih payah. Sebuah rumah makan bukan hanya menjual makanan tetapi juga pelayanan, tanpa pelayanan tidak akan ada pelanggan yang bertahan hingga bertahun-tahun.


Sebenarnya dengan adanya tip secara tidak langsung sangat membantu para pekerja. Bekerja di restaurant dibayar per jam, tetapi tidak selalu menurut teori benar-benar hingga ke detiknya. Seperti misalnya, saat menutup restaurant kami harus membersihkan semuanya, mengepel lantai dapur, menata meja dan menghitung kembali stock untuk persiapan esok harinya. Hal-hal seperti itu dimana resminya jam kerja selesai pukul 02:00 pagi pada prakteknya menjadi pukul 03:00 pagi atau lebih, yang mana sisa satu hingga dua jam tersebut tidak masuk ke dalam hitungan gaji. Jadi kalau tamu hanya sedikit, yang bibirnya manyun semua orang, pemilik dan pekerja. Mengenai besarnya tip pada dasarnya tidak ada penentuan jumlah tetap, rata-rata memberi 10% dari bon, ada yang lebih ada juga yang kurang.

Mengenai cara pemberian Tip, di Paris (Perancis) dan di Swiss berbeda. Di Paris orang membayar dengan uang, kartu kredit atau cek. Jadi setelah menulis cek atau memberikan kartu kredit atau menerima kembalian pembayaran, mereka lalu meninggalkan uang tip di dalam kotak bon atau piring pipih alas bon. Di Swiss lain lagi, kebanyakan mereka menggunakan uang atau kartu kredit dalam metode pembayaran. Saat pembayaran dengan uang kas, contohnya, total bon sebesar SFr. (Swiss Franc) 120 maka mereka (klien) akan bilang “SFr.140.-“.yang artinya SFr.20.- untuk tip. Minum kopi SFr. 3.-, mereka kasih SFr. 5.- dan bilang “ SFr.4.- S’il vous plaît (tolong)”. Jadi pemberian tip dijumlahkan dengan total bon. Mereka tidak pernah bilang “ambil kembaliannya” karena berkesan superior jadi yang mereka katakan hanya “baik untuk saya SFr. 4.-“.


Selain tip ada satu hal lagi yang ingin saya ceritakan, yaitu tabiat para “Le Parisien” Orang – orang lokal di Paris di restaurant lokal. Satu malam di musim panas yang panas sekali, ada satu meja dengan pasangan yang sedang dimabuk cinta. Mulai dari berpegangan tangan diatas meja, hingga berciuman. Benar-benar panas, sepanas musim panas! Sampai tiba saatnya saya datang ke tempat mereka untuk membawa bon, dan juga untuk pertama kalinya saya bertugas sebagai kasir, ternyata panasnya api cinta mereka memanas dalam hal lain. Seperti biasa, bon saya berikan ke pihak pria, lalu 5 menit kemudian setelah meneliti item yang tertulis, sang Pria berkata dengan tenang, “Sayang,bagian kamu Fr.110.-, bagian aku Fr.100.-“. Sang wanita menaikkan alisnya lalu mengambil kertas bon. 10 detik kemudian sang wanita berkata, “kamu kan juga minum wine dan makan menu x, kenapa hanya bayar Fr.100.-? dengan santai sang Pria menjawab “Sayang aku kan cuma minum satu gelas, kamu tiga gelas, aku makan hanya 25% dari menu, sisanya kamu yang habisin”. Sang cinta pun berubah menjadi ahli ekonomi, masing-masing sewot lalu minta pembuktian sesuai dengan data-data yang ada (2 piring kosong, botol 100% kosong dan 1 gelas 75% kosong milik sang wanita). Wah saya ditengah-tengah mereka jadi bingung, kaget tidak karuan, berdoa mudah-mudahan saya tidak menjadi juri, sampai akhirnya keputusan total pembayaran tetap sang wanita Fr 110.- , sang Pria Fr.100.- dimana sisa 25% wine didalam gelas diminum hingga tetes terakhir oleh sang Wanita karena tidak bisa dikembalikan ke restaurant, dan perdebatan itu sendiri memakan waktu hampir 20 menit. Saya ceritakan hal itu ke pemilik restaurant dan dia bilang bahwa itu adalah hal yang pertama dan permulaan bagi petualangan saya untuk mengenal “orang lokal”, selamat datang di Paris. Dan memang pertengkaran antar pasangan saat pembayaran akhirnya menjadi hal yang rutin bagi saya.
Bukan hanya saat pembayaran bahkan saat pemesanan makanan, sang wanita bilang ingin anggur, sang Pria nyeletuk lebih cepat dan keras “air keran saja”, karena kalau bilang “air” berarti air mineral yang notabene “tidak gratis”.
Yang lebih parah ada satu kelompok dari 5 wanita yang akan makan bersama, menu yang dipilih adalah Fr 90.- per orang, sama untuk semuanya. Satu wanita keberatan karena uangnya hanya Fr. 70.- dan ingin mengambil “ a la carte” atau porsi kecil, empat wanita lainnya tidak setuju dan mulai menggerutu, tidak kompak, tidak seru, etc. Yang hanya punya uang Fr. 70.- mulai pucat dan hampir menangis. Saya jadi tidak tega, kasihan sekali melihat dia, lalu saya tanya dengan manager saya apakah saya bisa menambahkan sisanya (Fr. 20.-), tapi ternyata tidak bisa karena dianggap tidak sopan. Lalu saya tanya lagi kenapa teman-temannya yang berjumlah 4 orang tidak patungan masing-masing Fr. 5.- ? Manager saya hanya bilang, itu kan prinsip, kalau mau keluar makan bareng, minimum ya harus bawa Fr. 100.- di kantong, jadi salah dia sendiri. Wah tidak habis pikir saya, sampai wanita tersebut pulang dengan menangis dan ke empat wanita lainnya dengan santai memesan dan menyantap makanan serta menghabiskan satu malam dengan mengorol dengan asyiknya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Masalah prinsip apa pelit?
Menurut para “Parisien” hal itu merupakan prinsip tapi bagi saya pribadi susah untuk menerima hal tersebut. Setelah tiga tahun bekerja di restauran yang kliennya bisa dibilang hampir 90% orang lokal, saya hampir pukul rata kalau mereka termasuk golongan “ekonom”. Dalam arti mereka bisa menghabiskan sampai Fr 500.- per malam dengan menu komplet dari a-x tetapi saat pembayaran mereka hitung dari a-z. Yang bikin saya susah kalau meja grup 10 hingga 15 orang, masing-masing menunya lain, saya harus patroli satu demi satu menghitung karena bon hanya satu lembar tapi yang bayar banyak dengan jumlah yang berbeda, pusing!



Tentu saja tidak semua Lokal Paris seperti itu, banyak juga yang sederhana, simple langsung bayar (mungkin di rumah hitung-hitungan lagi ya?), sedangkan kalau memasuki restauran “Fine Dining” lain lagi ekonomnya, sang Pria dapat daftar menu dengan harga sedangkan sang Wanita dapat daftar menu tanpa harga, jadi yang wanita mempunyai kebebasan penuh buat memilih tapi yang pria memutuskan pilihan. Biasanya kalau jatuh ke yang mahal maka sang Pria menjadi ahli kuliner yang berkomentar “Sayang, menu itu tidak bagus buat program diet mu” atau “saya tahu yang lebih enak dan sangat cocok dimakan saat musim panas. Ringan dan rendah kolestrol” etc. Sekali lagi, tidak semuanya seperti itu, hanya saja diantara kami para pekerja asing(non perancis), berpendapat hampir 80% “Parisien” berprinsip seperti itu.
Di Swiss lain lagi, pada dasarnya harga menu di Restaurant memang mahal dan kebanyakan orang Swiss memakan dalam porsi kecil, jadi sangat jarang sekali saya menemukan situasi “ekonomis” seperti saat saya di Paris.



Bicara soal restaurant, saya jadi lapar Zev, minggu depan saya pulang ke Indonesia, dan pasti saya akan ke restaurant dimana saya tidak akan menemukan situasi ala “Parisien” ataupun menu porsi “Swiss”, mudah-mudahan juga tanpa formalin, Amin.


Sampai ketemu lagi Zev, dan sekali lagi saya ucapkan “Sukses dan damai buat semuanya!”


Arita-CH




Previous
Next Post »