Tuhan, ijinkan saya ber-Tuhan...

11.10.2006.
Dear Zev dan para pembaca, apa kabar ?
Selamat berakhir pekan ya, untuk Zev khususnya, nikmatilah senikmat-nikmatnya…

Zev beberapa tahun yang silam, saya pergi ke sebuah kampung kecil yang sangat terpencil dan sulit akses masuknya, kampung ini terletak di sebuah pulau besar di bumi pertiwi tercinta. Saat itu saya sedang dalam rangka penelitian budaya tidak resmi alias tidak punya sponsor dari institusi manapun karena lebih merupakan “cicilan hutang” saya terhadap kebesaran bangsa yang sedang terorak-arik dalam penggorengan kemelut ekonomi, politik, korupsi, kolusi, dsb,dst, bla bla bla.

Dengan sedikit modal rupiah dan modal dengkul serta pinggang -maksudnya jalan kaki entah berapa kilometer sambil memanggul ransel penuh dengan perlengkapan “tempur” yang sudah kehabisan sebelum pulang- saya menapaki jalur lintas suku asing yang hidupnya bergantung dengan alam semata.

Suatu malam dengan ditemani bulan dan bintang, saya mengobrol dengan seorang bapak tua bernama SY, yang tidak tahu dengan pasti kapan ia lahir, hanya pohon Durian yang menjadi saksi mata hari kelahirannya. Ia menceritakan kisah kehidupannya dengan bahasa Indonesia yang lebih dimengerti daripada saya yang mencoba berbahasa daerah tapi menclo-menclo, tergagap, seperti orang tersedak buah kedondong.
Suatu hari, pak SY “merantau” ke sebuah Desa yang berjarak 3 hari berperahu. Saat ia tiba, banyak orang sedang berkerumun di depan sebuah rumah, ingin tahu apa yang terjadi, ia pun mendatangi kerumunan tersebut.
Ada apa ramai-ramai? Ada perayaan panen?” tanyanya.
Bukan Pak, sekarang lagi pendaftaran untuk pembikinan KTP”, jawab lelaki di sebelahnya.
KTP itu apa?” tanyanya lagi
KTP itu Kartu Tanda Penduduk
Bagaimana caranya untuk buat KTP?” ia semakin penasaran ingin tahu
Ya gampang, tinggal di isi nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, agama, terus di potret dan tanda tangan”.
Ia termangu bingung, tidak mengerti maksud dari semuanya itu. Akhirnya ia meninggalkan kerumunan tersebut, tetapi bapak yang menjelaskan arti dari KTP memanggilnya kembali.
Pak, pak, mau juga bikin KTP?”.
Ia menggelengkan kepalanya, “Tidak, saya tidak mengerti. Karena saya tidak tahu tanggal lahir saya” jawabnya polos.
Ah gampang pak, di kira-kira saja, mungkin sekarang bapak berumur 30 tahun?”
Ia menatap si bapak pasrah, “ya saya tidak tahu berapa tahun umur saya, sudahlah tidak apa-apa, saya tidak bikin KTP”.
Si bapak tidak mau berhenti membujuk, “dikira-kira saja pak umurnya. Bapak agamanya apa? Agama A, atau agama B
Lalu ia menjawab “agama saya ya agama X”.
Si bapak mengerutkan keningnya “wah pak, agama X tidak ada didalam daftar, pilih saja pak yang didalam daftar, ada agama A, B, C atau D. “
Ia menggelengkan kepalanya, “ Tidak bisa, agama saya ya X, agama X itu agama helu, agama dulu, dari jaman nenek moyang kami turun ke bumi. Saya bisa dikutuk tidak bisa pulang ke kampung nenek moyang saat saya mati nanti”.
Tapi pak, yang namanya agama ya cuma A,B,C,D itu saja. Untuk syarat KTP, bapak harus mencantumkan salah satu agama dari A,B,C,D itu.” si bapak berkeras menjelaskan.
Ia kembali menggelengkan kepalanya “Kalau tidak ada agama X di dalam daftar, ya sudah saya tidak bikin KTP”.jawabnya keras.
Si Bapak lalu mendekati dan berkata “Pak, kalau bapak tidak memilih salah satu, berarti bapak tidak beragama. Kalau bapak tidak ada agama, itu berbahaya pak
Ia pun menjadi marah campur bingung, “bahaya bagaimana? Memangnya saya merupakan ancaman?”
Si Bapak berbisik “Kalau tidak ada agama, bapak bisa dibilang komunis, hati-hati pak. Nanti bapak bisa ditangkap, dan plong, masuk penjara.”
Ia pun terkaget-kaget “masuk penjara? saya salah apa? komunis itu apa?”

Sayapun ikut-ikutan kaget mendengar cerita bapak SY yang terjadi sekitar awal tahun 70 an. Lalu sayapun bertanya ke pak SY apakah ia akhirnya mempunyai KTP. Pak SY tersenyum dan menggelengkan kepalanya,
ah tidak, untuk apa? Tetapi anak-anak saya punya KTP semua” jawabnya bangga.
Lalu bagaimana dengan agamanya? Sekarang kan agama X sudah di akui dan mempunyai bagian dalam undang-undang. Pak SY mengangguk-anggukan kepalanya
ya betul, tetapi anak-anak saya mendaftar dengan agama A, biar mudah urusan administrasinya, walaupun aslinya sih masih tetap agama X”.
Saya jadi garuk-garuk kepala.
Melihat saya garuk-garuk kepala kebingungan, pak SY menjelaskan bahwa yang terutama bagi ia dan keluarganya adalah berTuhan. Menyembah ke sang Pencipta Maha Agung, Maha Besar. Menghormati ciptaanNya dan berbuat sesuai dengan ajaranNya, menghindari laranganNya dan menjalani aturanNya, menempatkan IA di atas segalanya maka segalanya akan dimudahkan untuk kembali berpulang ke tempatNya, kampung nenek moyang, karena hidup di dunia hanyalah kampung yang dipinjamkan sementara.
Kalimat pak SY masih tetap tertanam di hati saya. Di negara Indonesia yang mempunyai kekayaan dengan aneka agama sangat sedikit orang yang mempunyai Tuhan. Orang-orang berlomba-lomba menyandang agama, seolah-olah agama merupakan prestis untuk kepentingan pribadi. Para koruptor kelas wahid, menggantungkan agamanya di depan kamera televisi. Para politikus menggunakan agama untuk mendapatkan kemenangan dalam berkarir yang walaupun nantinya dalam proses selanjutnya mereka sama sekali tidak ber-Tuhan. Begitu banyak orang-orang yang “mengtuhankan” ajaran dan melupakan Tuhan yang sejati.
Tuhan yang seharusnya ditempatkan ditengah-tengah, lalu semuanya mengarah hanya ke Tuhan, menjadi terbalik, segalanya harus ditengah-tengah, lalu Tuhan di belakang menjadi tameng kebobrokan.

Ada salah satu puisi Frithjof Schuon, seorang teolog Sufi, dari Basel, Swiss yang sangat saya suka,

Les hommes semblent être en fuite
Qu’est-ce qui les inquiète, qu’est-ce qui les fait fuir?
Ils ne fuient pas seulement l’inconnu qui menace,
Ils se fuient eux-mêmes, ils fuient leurs misères
Leur simple existence. Homme, écoute
Tu es au bord de l’Être, où vas-tu?
Arrête-toi!
……..Dieu est le Centre et le Repos.


Orang-orang kelihatannya melarikan diri
Apa yang membuat mereka khawatir, apa yang membuat mereka melarikan diri?
Mereka tidak hanya melarikan diri dari ancaman asing yang tidak diketahui,
Mereka melarikan diri dari diri mereka sendiri, mereka melarikan diri dari kesengsaraan mereka
keberadaan mereka yang sederhana. Hai manusia, dengar.
Kalian berada diujung keberadaan, mau pergi kemana lagi?
Berhenti!
Tuhan adalah yang utama dan peristirahatan.

Sudahkah saya ber-Tuhan?
Dengan menatap keAgungannya, saya bersimpuh agar saya diijinkan untuk berTuhan dan selalu ber-Tuhan, Amin.


Arita - CH
Previous
Next Post »