TICINO

13.07.2007.

Sekelumit kisah menanggapi pertanyaan dari Ascona-Planet Earth

Dear Zev, pembaca Koki & KoKo serta si cantik Ascona yang indah…

Kenapa saya memanggil “Ascona si cantik yang indah?” Karena Ascona yang saya kenal disini, cantik dan indah, sangat menyenangkan dengan pemandangan dan suasananya yang terkenal dengan sebutan “ sorga dunia “ di Ticino.

Ascona yang pernah bernama Burgus de Scona pada tahun 1224, dan juga dikenal dengan nama Aschgunen adalah nama sebuah kota yang termasuk dalam komunitas Locarno, bagian dari kanton Ticino yang terletak di sebelah selatan Swiss. Letak Ascona yang strategis dipinggir danau Maggiore dengan penduduk sebanyak 5000 orang (data statistik tahun 2002, 4000 orang lebih banyak jika dibandingkan data statistik tahun 1521) membuat kota ini adem, tentrem dan alon-alon. Saat-saat menyusuri danau di Ascona, orang-orang yang berlalu-lalang tampak berjalan perlahan tanpa kesusu. Waktu berputar perlahan, seolah-olah sang Betara Kala terbuai dengan semilir angin dan alunan musik Jazz. Itulah Ascona saat musim panas, yang selalu disambangi dengan Festival New Orleans Jazz.

Ascona selalu menjadi impian dari pendatang yang ingin menetap di Ticino, impian untuk mengaitkan tambang bahtera kehidupan, melabuhkan kapal yang digonjang-ganjingkan ombak dunia yang tak terduga pasang surutnya. Pendatang yang gerah dengan bisingnya sebuah kota, semrawutnya angkutan umum yang hilir mudik. Ascona bukan hanya kota adem dan tentram, tetapi juga merupakan kota yang makmur dengan pemasukkan. Turis yang berdatangan setiap saat tanpa mengenal perbedaan musim merupakan salah satu distribusi utama bagi kota ini. Pembangunan hotel, restaurant serta apartemen tidak mengurangi lahan Ascona yang masih hijau royo. Dengan adanya kemakmuran ekonomi serta ketidakpadatan penduduk menjadikan kota Ascona sebagai salah satu kota di Ticino yang termasuk rendah pajak komunitasnya, dengan multiplikasi komunal sebesar 75%. Multiplikator ini ditetapkan oleh komun masing-masing dan bervariasi dari 60% (komun bosco luganese) hingga 100%.

Ada tiga jenis pajak di Swiss yang harus dibayar setiap tahunnya, pajak kantonal, pajak komunal dan pajak federal.

Misalkan saya mencoba hitung-hitungan ala pasar, untuk suatu keluarga yang menetap di Ascona serta mempunyai penghasilan bersih pada tahun 2005 sebesar SFR.50.000 (SFR 1 = USD 0.804/EUR 0.593) maka untuk membayar pajak kantonal dikalikan 2% (pajak kantonal minimum) menjadi SFR. 1.000.-, dengan multiplikasi komunal yang sebesar 75% maka pajak komunal yang harus dibayar SFR 1000 x 75% = SFR. 750.- lalu untuk pajak federal sebesar 0.63% menjadi Sfr.1.000.- x 0.63%= SFR. 63.-. Total pajak yang harus dibayar pada tahun 2006 adalah SFR.1813.- . Untuk mencoba menghitung pajak di komun lain bisa dilihat diwebsite (dalam bahasa Italia) http://www.ti.ch/dfe/DC/MOLTIPLICATORI/default.asp?menu=6

Cukup menarik bukan jumlahnya? Tapi eit tunggu dulu, pajak boleh bayar rendah, tetapi biaya hidup? Pating gedebuk bisa membuat ngglesot kalau tidak cukup tebal persiapan kantongnya. Harga sebuah rumah di Ascona bisa mencapai SFR 8.000/m2, elok tenan ya. Sorga itu indah dan “mahal”, seperti layaknya Ascona, kota yang menyandang predikat “sorga dunia”. Memang benar mahal harga sebuah sorga, baik di dunia maupun di akherat...

Kembali dari sorga ke dunia, dunia di Kanton Ticino tidaklah mirip dengan neraka, mungkin kalau dihayati malah lebih mirip dengan sorga (dihayati loh, jangan dihitung-hitung). “La beauté de l’Italie, la qualité de l’Allemagne” julukan yang diberikan teman saya yang tinggal di Perancis. Keindahan alam Italia dengan kualitas ala Jerman. Ah saya sih mesem-mesem saja mendengar julukan tersebut. Tidak hanya di Ascona tetapi di komun lainnya mempunyai alam Ticino yang indah dan teduh walaupun di musim panas tobat-tobat panasnya nyelekit. Kemana pandangan mata melihat, warna hijau mendominasi, pohon-pohon, tanam-tanaman, gunung serta danau. Pembangunan apartement, gedung dan toko tidak didominasi dengan warna hijau tetapi pembuatan dan biaya bisa dipastikan berdominasikan warna hijau (glek!).

Bagi mereka yang mempunyai pekerjaan berkutat dengan buku-buku, alam Ticino merupakan tempat yang tepat untuk berkonsentrasi mendapatkan inspirasi. Bagi saya pribadi, Ticino seperti kampung kedua. Di daerah tempat saya tinggal, pemandangan bukit dan gunung menjadi menu sarapan pagi yang nikmat bagi mata yang masih belekan bagaikan alien. Saat matahari mulai memerah di ufuk timur maka sang maha ayam bin gagah perkasa membuka hari dengan kokoknya yang pelit, suara merepet bebek-bebek yang cerewet, mencoba menyaingi embikan genit kambing yang tengah menggoda sapi-sapi angkuh ber emoh-emoh, burung-burung yang pecicilan bergosip kiri kanan sejak matahari terbit hingga matahari terbenam di ufuk barat, hingga saatnya pagelaran tepuk gendang sang katak-katak yang mengkletak bersahut-sahutan dengan kelitik jangkrik, menggiring saya ke alam mimpi. Semuanya bersatu padu mengingatkan saya bahwa manusia bukanlah satu-satunya penghuni di tempat ini.

Sugih rasanya dikelilingi nyanyian alam tanpa harus membeli kurungan ayam. Sugih lagi karena tidak perlu repot cari jam dinding, setiap jam suara lonceng pun berdentang dari gereja kecil di atas bukit. Sugih lagi karena tidak perlu beli air mineral bergalon-galon, cukup buka keran ledeng lalu saya mangap selebar-lebarnya, airnya sudah dingin tanpa es batu sedingin air di hulu sungai Katingan, sugih lagi karena tidak terkena strok (stroke) ditengah-tengah kertas struk (struck/tagihan) bulanan yang menumpuk mengalahkan disertasi yang sedang saya ubek-ubek sampai menjadi buluk. Yo sugih terus nrimo dengan privilege yang diberikan alam kepada saya. Kenikmatan alam yang pernah saya rasakan di Jakarta, jaman saya masih kejar-kejaran dengan layangan, walaupun minus sapi-sapi yang angkuh, burung-burung di Jakarta saat itu juga sama pecicilannya, bergosip ria akan cicilan tetangga.

Wuih romantis habis ya...? Tetapi kalau saya putar ulang kisah kasih saya dengan Ticino maka terlihat dengan jelas perbedaan yang sangat jauh bertolak belakang.Pengalaman perkenalan pertama dengan Ticino, masa-masa penjajakan dengannya sangat berkesan mendalam sekali, menorehkan sembilu kebosanan yang luar biasa! Yak betul, saya ditimpa dengan tangga kebosanan entah ada berapa anak tangganya.

Kebiasaan yang hampir mendarah daging, yang untungnya belum tercampur di daging saya menjadi penghalang utama dalam mencintai Ticino. Kehidupan yang terbiasa dengan murat-maritnya macet Jakarta, hingar bingar klakson metromini yang terekam di kepala saya bertahun-tahun ditambah lagi dengan beberapa tahun hidup menjadi ikan sarden ngumplak dalam metro (kereta bawah dan atas tanah), hidup dengan semboyan, “métro, boulot, bistro, dodo” (pergi menaiki kereta metro, kerja, makan, tidur) plus “avvocato” (urusan dengan pengacara) membuat saya shok (shock) dengan “kediaman” alam Ticino. Seperti anak kecil yang disuruh diam sama ibu guru yang galak tapi baik hati, saya duduk diam sambil ngedumel, kemana isi kota Ticino di musim dingin yang sudah pasti dingin? Sepiiii sekaliii, membuat hati menjadi gundah gulana bertanya-tanya, adakah kehidupan di kota ini?

Untunglah orang-orang di Ticino tidak sesepi musim dingin, dengan bermodalkan sapaan “buongiorno” (selamat pagi/selamat siang) maka melelehlah mereka dengan jawaban yang panjang berlika-liku, saking panjangnya saya hanya menangkap bunyi akhir yang kebanyakan berakhiran huruf vokal. Saya yang saat itu hanya mudeng dengan bahasa dari negara yang pernah dipimpin Kaisar Napoléon Bonaparte, jadi plongo-plongo mendengarkan bahasa asalnya keluarga Napoléone Buonaparte (korsika). Untungnya (lagi 2 kali) mereka para “i Ticinesi” tidak protes mendengar saya hanya bisa menjawab dalam bahasa Napoléon Bonaparte, tapi ya itu kadang kala tetap saja percakapan dilanjutkan dengan”seriosa” Napoléone Buonaparte. Para “i Ticinesi” atau orang Ticino umumnya ramah dan mahal cemberut, dengan bahasa Italia, Jerman, Perancis dan tentu saja dialek Ticinese mereka dengan senang hati berbicara ngalor-ngidul!

Sewaktu adik saya berlibur disini, saya sempat garuk-garuk kepala yang sudah bebas ketombe, melihat adik saya asyik berbincang-bincang dengan seorang il Ticinese. Adik saya sibuk nyerocos dengan bahasa dari negaranya Margaret Thatcher, sementara “il Ticinese” golak-golek nyambangin dengan keyakinan “vini, vidi, vinci”. Saya tanya kepada mereka berdua,

“paham bahasa Italia, dik?”, “Capisci l’inglese?”,

keduanya menggelengkan kepala dengan pasti. Lho! Gemblung (!), dari tadi apa saja yang dibicarakan selain kata-kata “yes” dan “si”? Berhubung mereka membahas kancah dunia sepak bola, maka sambung-menyambung si “yes” dan si “si” menjadi satu padu, kaya raya gemah ripah terbalut umba-umba keramahan dua anak bangsa yang berlainan bahasa.

Lain lagi dalam dunia peradministrasian atau masalah perijinan, mereka lebih memilih untuk berkomunikasi dalam bahasa Italia, Jerman atau Prancis, kalau sampai kepepet dipaksa yah bahasa londo Inggris dikeluarkan juga. Walaupun sempat bertemu dengan pegawai yang judeg judesnya dalam meminta ijin bekerja mandiri (mendapat ijin tinggal bukan berarti otomatis mendapatkan ijin kerja, ada 2 macam ijin kerja, dependent/kerja untuk sebuah perusahaan dan independent/mandiri) tetapi pada dasarnya mereka melayani dengan sigap dan efektif, selama persyaratannya lengkap dan jelas maka surat ijin kerja dapat dicap bersanding dengan surat ijin tinggal. Informasi wara-wiri, sana-sini yang lebih akurat dari omongan saya yang ngalor, ngidul, ngetan, ngulon tentang Ticino bisa di klik langsung di internet: www.ch.ch; www.ticino.ch; www.ti.ch; dan www.ascona.ch khusus kota Ascona.

Akhir kisah, dengan bantuan kokok pelit sang ayam, si bebek-bebek cerewet, turut pula kambing yang genit, sapi yang emoh-emohan, burung-burung pating pecicilan serta pagelaran konser simponi kunci F bis dari katak dan jangkrik maka saya jatuh didalam pelukan Ticino, dalam rengkuhan alamnya yang asri membersihkan belek di mata saya setiap paginya .

Demikian sekelumit kisah kasih saya dengan Ticino, semoga bisa menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Ascona di Planet Earth pada koki edisi “Tattto, Multiply`ers & Pesawat Composite (Inggris, Yogya, Perancis)”, kamis 12 Juli 2007.

Dengan persembahan bunga Kamboja yang sedang mekar kepanasan saya pareng, permisi para penghuni KoKi dan KoKo yang saya hormati, are tabe bara Arita.


Previous
Next Post »