Saya tidak ingin dan tidak akan menjadi ragi usang

18.08.2006.

Dear Zev dan para pembaca, apa kabar?

Tanpa terasa, tahun ini Republik Indonesia sudah berusia 61 tahun, lebih tua dari Malaysia yang merdeka tahun 1957, dan Singapore 1965. Sudah 61 kali perayaan tujuh belasan diadakan. Saya ingat waktu saya masih kecil, tujuh belasan adalah hari yang sangat saya tunggu-tunggu. Hari dimana saya bisa puas berlomba satu harian, dari lomba makan kerupuk, bawa kelereng di sendok, balap karung, sampai panjat pohon pinang pun menjadi favorit saya (walaupun tidak pernah menang). Sore hari, saat tiba waktunya berkarnaval dengan pakaian adat ataupun tradisional, saya akan maju dengan gagah berani mengenakan baju “si Jampang” (walaupun Ibu saya “memaksa” saya mengenakan kebaya yang mana saya tolak mentah-mentah dengan kabur melalui pintu belakang saat akan di sanggul...). Dengan bangga saya berjalan dengan celana panjang hitam, plus sarung kotak-kotak, plus pedang plastik berwarna hijau flashy stabilo, berkopiah pula, sambil bernyanyi

“Aku seorang Kapiten...

mempunyai pedang panjang.

Kalau berjalan, prok, prok, prok.

Aku seorang Kapiten”.

Lalu seperti yang sudah-sudah kami bermain perang-perangan, walaupun jadi kapiten, tapi saya bertahan di kubu bambu runcing melawan “pihak musuh” yang menggunakan senapan plastik berpeluru mulut, alias tet tet tet tet, yaitu mulutnya saja yang ribut menirukan suara mitrayet. Lalu permainan diakhiri dengan kemenangan di pihak bambu runcing dan ditutup dengan teriakan, “Merdeka, Merdeka, Merdeka !” Hidup Indonesia! Rasanya satu hari penuh itu menjadi satu hari yang sangat bersejarah pada kehidupan saya, yang mana hari bersejarah berulang terus, lomba yang sama dan seragam yang sama, permainan yang sama setiap tahunnya, dan kebanggaan yang sama, berada di pihak bambu runcing, meneriakkan kata-kata “merdeka” tiga kali (wajib itu tiga kali, kalau kurang dari tiga kok ya kurang mantap ya...).

Waktu memasuki masa kuliah, “bermain perang-perangan” masih saya lakukan, hanya saja modelnya sudah lain. Saya tidak mengenakan celana panjang hitam, sarung kotak-kotak, pedang plastik berwarna hijau flashy stabilo, dan kopiah. Saya mengenakan seragam hijau, berbaret ungu, dengan emblem bertuliskan yon 14. Saat itu ibu saya berkomentar sambil setengah menggerutu“kamu ini mau jadi sarjana apa tentara-tentaraan sih? Edan tenan anak ini”. Saya hanya menjawab “ya sarjana tapi kalau keadaan kepepet kan bisa juga jadi tentara, demi tanah air tercinta, tanah air beta” Lalu saya sambung sambil bernyanyi-nyanyi “Indonesia, tanah air beta, pusaka, abadi nan jaya...”. Bapak saya yang tentara beneran menepuk kepala saya atas jawaban yang “asal jawab”, tersenyum bangga saat saya berteriak “Medeka” sambil lari ke dapur menyambar tempe goreng yang masih panas. Saat itu setiap perayaan tujuh belasan selalu menjadi hari keramat. Rasa idealis, nasionalis bercampur menjadi satu, ditambah lagi dengan jiwa muda yang selalu menggelora, bersemangat empat lima. Bangga di pihak “bambu runcing”, bangga menyanyikan “Indonesia Raya” dan berjanji dihadapan Ibu pertiwi, membela sampai titik darah terakhir. Merdeka, Merdeka, Merdeka! Hidup Indonesia!

Masa kuliah pun berakhir, masa rimba belantara birokrasi mulai memasuki kehidupan saya. Pontang-panting kanan kiri mencari pekerjaan mulai menggerogoti prinsip idealis. Banyaknya orang yang meminta “uang pelicin” agar bisa mendapatkan pekerjaan bagi “para lulusan segar” membuat saya tersesat di hutan liar “PungLi”. Kesini mahal, kesana mahal, bahkan kadang lebih mahal dari gaji yang akan saya terima selama 1 tahun. Akhirnya saya jadi kesal sendiri, dan tidak bernafsu untuk mencari pekerjaan. Saya memutuskan untuk “menganggur” selama beberapa saat sambil mencari inspirasi agar polusi yang ada di otak saya terhalau.

Suatu hari saya melakukan perjalanan ke suatu tempat di daerah pedalaman. Karena tidak adanya transportasi umum, saya lalu menggunakan jasa taksi “kijang” AsPal. Mobil pribadi yang asli mengangkut penumpang untuk umum tapi palsu karena bukan taksi beneran. Di tengah perjalanan, dimana sebelah kanan dan sebelah kiri sisi jalan hanya dihuni pohon-pohon besar belaka, dengan memiliki tanda-tanda kehidupan binatang-binatang liar, tanpa ada tanda-tanda kehidupan manusia, tiba-tiba mobil berhenti mendadak diiringi derit suara rem yang keras. Bruuk! Hampir seluruh penumpang tersuruk ke depan dengan keberhentian yang tiba-tiba tersebut. Saya sangat terkejut sekali, apakah yang terjadi? Jangan-jangan pak supir menabrak binatang liar.

Saat saya melongok kedepan untuk melihat, ternyata bukan binatang liar yang tampak tetapi sesuatu yang tidak liar, sesuatu yang hidup dan “beradab”, komplit dengan seragam dan topinya. Seperti seragam coklat yang dikenakan teman main saya saat tujuhbelasan dulu. Hanya yang ini beneran, bukan mainan. Yang ini ternyata seragam coklat beneran, komplit dengan topi dan peluitnya, pritt! Bapak berseragam dan pak sopir lalu berbisik-bisik di belakang pohon yang besar sekali, lima belas menit kemudian pak sopir sudah kembali menyetir mobil sambil bersiul-siul, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Penasaran saya bertanya maksud dari pemberhentian tersebut, pak sopir hanya bilang “biasa lah uang pos, untuk rute ini biasanya ada tiga pos”. Saya bengong dan bingung. Di tengah hutan belantara ada 3 pos PungLi? Pak supir dengan enteng menjawab “wah apalagi kalau rute yang dilalui truk, bisa sampai 5 pos”. Saya terpaksa harus menelan mentah-mentah kenyataan tersebut sambil berkomentar “ooo begitu...” Pelan tapi pasti, saya mulai menyadari keberadaan PungLi sudah menapakkan cakarnya di dalam bumi pertiwi. Beberapa hari kemudian, saat saya sedang menunggu “taksi air” (perahu) yang akan membawa saya ke kampung nenek, saya mengenali seorang bapak yang juga sedang menunggu. Bapak yang sama dengan bapak yang menyetop “taksi AsPal” di tengah hutan, bapak yang berseragam. Iseng-iseng saya bertanya “maaf Pak, jam berapa ya sekarang?”. Lalu Bapak tersebut menjawab dan akhirnya saya berhasil membuka percakapan dengan dia. Kami berbincang-bincang akan hal-hal yang umum sampai akhirnya saya bilang kalau saya mengenali dia sebagai bapak berseragam. Bapak tersebut sempat jengah tetapi akhirnya tetap saja melanjutkan percakapan kami. Sampai saya menyinggung persoalan akan “pemasukan ekstra gaji”, si Bapak sempat sedikit sewot. Katanya “Wah mbak, saya kan harus menyetor ke komandan saya, lalu nanti komandan menyetor lagi ke atas”, bersihnya paling saya hanya dapat satu persen. Kalau hanya mengandalkan gaji, saya tidak mampu membiayai istri dan anak-anak saya. Hutang saya buat masuk kerja saja belum lunas.” Deg, kaget saya, jadi si Bapak juga bayar uang pelicin buat masuk kerja, pakai acara mengutang lagi. Waduh, untung saya nggak jadi bayar uang pelicin. Untung saya tidak jadi kerja dengan uang pelicin. Jangan-jangan suatu hari saya bisa menjadi seperti Bapak yang didepan saya ini. Yang meminta uang “pelicin” untuk melicinkan hutangnya. Wah ini seperti lingkaran setan saja, seperti kucing yang berusaha menggigit ekornya sendiri. Berputar-putar di tempat.

Sekembalinya dari “berpetualang”, dan masih “trauma” dengan masalah “uang pelicin”,saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Eh belum sempat sekolah lagi, loh kok malah jatuh cinta, akhirnya menikah, dengan warga negara asing, yang mana di dalam birokrasi dan administrasi sangat kaya dengan masalah “uang pelicin”. Kali ini saya berkeras tidak menggunakan “uang pelicin”, akibatnya surat nikah saya “tertahan” selama beberapa bulan. Tanpa kehadiran Bapak saya yang hampir membalikkan meja, mungkin surat nikah tersebut tidak akan keluar sampai surat perceraian terbuat. Terbentur masalah perceraian, masalah anak dan lain sebagainya, membuat saya semakin melihat betapa bobroknya mental anak–anak ibunda Pertiwi. Benar-benar seperti hutan belantara liar yang tidak kenal ampun, yang berprinsip lebih baik memakan daripada di makan, kanibalisme di dalam birokrasi dan kehidupan membuat kesinisan dalam diri saya mengental dan bergelora dibandingkan semangat juang empat lima saat saya masih menjadi pelajar.

Saat saya pertama kali menginjakkan kaki di negara asing untuk mengejar apa yang menjadi hak saya, saya terbentur dengan status sebagai warga negara Indonesia. Alasannya, tidak ada ikatan perjanjian Internasional antara Indonesia dengan negara tersebut. Lalu saya tidak bisa memperjuangkan hak saya sepenuhnya karena saya bukan warga negara tersebut. Lalu orang yang mengenal Indonesia sebagai negara korupsi, dan sebagainya, dan seterusnya dan berikutnya. Ampun! Kok seperti makan buah Simalakama. Tidak mengaku sebagai bangsa Indonesia akan dibuang dari keluarga, menjadi bangsa Indonesia kok ya pahit, dibuang di negara sendiri dan di negara orang lain. Saya sempat mengalami krisis identitas, saya ini orang apa ya? Orang –aring? Tapi katanya orang-aring pun masih berguna untuk menyuburkan rambut, lah lalu kegunaan saya apa dong kalau saya jadi orang-aring? Apa malah saya sudah menjadi “orang-orangan?” Yang tersenyum kalau ditarik tali di bibir dan menari-nari saat tali temali di kaki saya digerakkan.

Saat saya dalam krisis identitas “orang-orangan”, saya marah kepada diri saya sendiri. Apa yang salah dengan menjadi orang Indonesia dan bagaimana membuktikan bahwa tidak ada yang salah untuk menjadi orang Indonesia. Semuanya berkecamuk dan terpendam dalam otak kecil saya.

Waktu berlalu dan bergulir dengan cepat, sementara situasi dan kenyataan yang ada di Indonesia tidaklah banyak berubah. Menjadi orang Indonesia seolah terpuruk dalam cerita simpang siur dan mendiskreditkan orang Indonesia. Menjadi seorang Indonesia seolah seperti sebuah ragi usang.

Saya ingat Bapak saya pernah bercerita tentang kisah rakyat “Raja Sangumang dan Pangawi”. Dimana kesetiaan Pangawi menggembirakan hati sang raja Sangumang tetapi butob ureng kahaen sakalan (batu kebodohan/kebebalan) yang ada pada Pangawi menyedihkan hati sang Raja Sangumang. Setialah menjadi manusia seperti kesetiaan Pangawi, tetapi bijaksanalah sebijaksana Sangumang. Jangan menjadi ragi usang! Demikian kata Bapak saat saya masih berumur 20 tahun.

Ragi adalah salah satu elemen yang penting dalam pembuatan baram. Ragi yang bagus akan membuat baram tersebut nikmat, tetapi ragi yang usang, lapuk dimakan masa akan terbuang begitu saja dengan sia-sia. Saya tidak ingin menjadi ragi usang!

Kebenaran adalah sesuatu yang yang berhubungan dengan kenyataan. Kebenaran akan suatu pendapat menjadi benar kalau kita bisa menemukannya dalam realitas, dan kebenaran tersebut menjadi palsu pada saat kita tidak bisa menemukannya dalam suatu kenyataan hidup, saat kita tidak bisa berkata apa-apa maka kebenaran tersebut menjadi palsu. Kebenaran yang murni terpuruk dengan ketidakmampuan dalam pengungkapan kenyataan. Saya mencari kebenaran tersebut, saya mencari didalam realitas hidup. Dan saya mencari realitas tersebut tidak hanya sejauh mata memandang kehidupan saya, tetapi sejauh mata memandang cakrawala. Saat saya melihat dari puncak yang tinggi maka saya bisa melihat secara keseluruhan, saat saya melihat tanpa bingkai, saya melihat dengan baik dan semuanya terlihat jauh lebih jelas. Kebenaran dari proposisi, keyakinan, pemikiran, pendapat. Kebenaran yang pribadi bagi diri saya sendiri, hal-hal yang saya yakini benar sejak dulu, lalu terpuruk dengan kepalsuan hidup dan lingkaran setan, yang menutupi kebenaran yang saya yakini. Kebenaran yang tertumpuk oleh kotoran-kotoran dari hanya segelintir manusia-manusia tanpa keyakinan. Kebenaran yang sesungguhnya jauh lebih besar daripada gunung tumpukkan kotoran kebejatan moral dan iman. Karena sesungguhnya orang Indonesia yang benar, jauh lebih banyak dibandingkan orang Indonesia yang tidak benar. Karena Indonesia itu besar dan luas sekali. Jadi sudah seharusnya jika saya memandang akan kebenaran menjadi orang Indonesia dengan lensa “wide angle”. Lensa yang lebar yang mencakup inti dari kebenaran tersebut. Dan saat saya menemukan kebenaran, saya harus mempertahankan dan menunjukkan kebenaran tersebut. Untuk itu saya harus membuktikan apa yang saya yakini, saya harus membuktikan kalau orang Indonesia bukanlah sebuah ragi usang yang tidak berguna lalu dibuang.

Saya tidak ingin dan tidak akan menjadi ragi usang.

Saat ini, “bermain perang-perangan” masih saya lakukan, hanya saja modelnya sudah lain. Saya tidak mengenakan celana panjang hitam, sarung kotak-kotak, pedang plastik berwarna hijau flashy stabilo, dan kopiah. Saya saat ini mengenakan kebaya encim dengan jarik motif Truntum dan rambut bersanggul. Saya akan berjuang sampai tetes tinta saya yang terakhir (kalaupun habis saya pasti beli lagi yang baru) untuk mengenalkan Indonesia yang sebenarnya. Berawal dari “warung” kecil akan barang Indonesia, tulisan-tulisan di organisasi penelitian, hingga kini, saya mencoba membawa Indonesia ke dalam program kebudayaan Internasional. Saya memang masih berjuang untuk program tersebut, dan saya akan tetap berjuang untuk program-program yang berikutnya. Saya tidak ingin dan tidak akan menjadi ragi usang.


Saya akan selalu berteriak dan pasti tiga kali.

Merdekalah Indonesiaku, dari penindasan oleh kebohongan, Merdekalah dari keragu-raguan, Merdekalah Indonesiaku dari ketidaktahuan. Merdeka, Merdeka, Merdeka! Indonesia Raya.

Arita-CH
Previous
Next Post »