Nasi campur

18.10.2006.
Dear Zev dan Para pembaca di seantero belahan bumi,
Kali ini saya ingin menghidangkan nasi campur sederhana di Koki tersayang nan hebat tenan, nasi campur ala tulisan dikarenakan bahan-bahannya terdiri dari kata-kata yang teracik dengan bumbu dan pengalaman seadanya sehingga ya sederhana saja sesuai dengan ukuran ikat pinggang saya yang sudah cukup kenyang dengan dua macam lauk. Hanya tulisan ringan utara selatan yang mungkin tidak menyambung menjadi satu yang bisa saya tuliskan saat ini untuk mengobati rasa rindu saya berkongko ria dengan para kokier di berbagai pelosok.

Dimulai dari warna pirang. Warna pirang bisa kita anggap seperti daging rendang, karena warnanya coklat kepirang-pirangan (maksa nggak ya...?). Daging rendang sedap dan gurih, wuah nikmat rasanya setelah diinapkan beberapa hari. Lalu apa hubungannya dengan warna pirang? Ya mungkin karena sama-sama berwarna kepirang-pirangan.

Minggu kemarin saya ngopi bersama-sama dengan teman-teman. Ngobrolin warna rambut teman saya yang habis diupdate mengikuti pergantian musim, persis warna daun pada musim gugur, agak oranye ke merah-merahan. Iseng-iseng saya tanya, kapan ganti warna pirang? Ih langsung dia melotot! Makin cantik sih, tapi mulutnya jadi mencong karena senewen.
"Enak saja ganti pirang, tak mungkin aku ganti pirang!"
Loh ini anak kok jadi salah paham, saya buru-buru minta maaf, bukan maksud hati menghina, tapi karena melihat kulitnya yang putih bersih, bermata biru, berbadan langsing tinggi semampai, tinggal diganti warna rambut pirang, jadilah Barbie hidup.

Teryata menurut dia dan sebagian teman-teman dari pihak pria , berpendapat kalau rambut pirang sama dengan kecantikkan isi otak ayam, apalagi ditambah dengan buah dada yang membusung ala buah pepaya (entah operasi atau asli), wah komplit otak –otak maksudnya ya lembek dan gurih seperti otak-otak . Bagi mereka (teman-teman ngopi saat itu) wanita pirang bukan tipe wanita yang ideal 100%. Ideal 20 % untuk dipandang tapi 80% mahal di ongkos buat berbagi hidup bersama. Belum lagi prasangka kalau kebanyakkan yang berambut pirang berprofesi dengan menguras keringat dan kantong sang pembeli. Sadis juga ngomongnya, langsung saja saya bilang kalau itu namanya diskriminasi, termasuk rasis loh, karena perbedaan warna rambut langsung pukul rata! Si cantik yang baru ganti warna rambut tetap ngotot mempertahankan pendapatnya tentang warna rambut pirang, sementara dari pihak lelaki malah ketawa-ketiwi, mereka bilang kalau ada yang berambut pirang lewat maka dengan senang hati akan dipandang dari ujung rambut sampai ujung kaki, tapi untuk menelannya bulat-bulat, tungu dulu, satu cangkir kopi tidak cukup. Si cantik bilang kalau saya berpikiran lain karena saya bukan dari dunia mereka, maksudnya dunia kulit putih . Menurut si cantik, ia kesal karena kulitnya tidak bisa coklat, sudah menghabiskan uang untuk berjemur dan solarium, hanya coklat selama satu hingga dua minggu, setelah itu putih lagi! Teman yang dari pihak pria menyambar seperti kompor, bilang kalau kulit coklat lambang gengsi tersendiri! Bergaya saat musim panas, dan juga menyatakan secara tidak langsung kalau ia menghabiskan beberapa lembar uang untuk memperganteng atau mempercantik diri. Apalagi kalau coklat pada musim dingin, berarti nongkrong di solarium berkali-kali. Wah-wah, saya jadi garuk-garuk kepala ingat tetangga saya di Jakarta yang menghabiskan uang entah berapa rupiah agar wajahnya berkulit putih, begitu juga dengan penyanyi terkenal yang menghabiskan entah berapa dolar sehingga kulitnya yang tadinya hitam manis menjadi putih pucat seperti lilin tanpa api. Hampa dan dingin. Kesannya, kulit berwarna masuk dalam golongan kelas terabaikan, tinggal di sudut ruang, bengong menggigit jari hanya mampu melihat tanpa bisa memasuki ruangan tertentu.

Kembali ke warna pirang, saya tidak setuju pukul rata begitu saja, loh itu bisa menjurus ke arah diskriminasi, kalau semua orang berpikiran seperti itu, bisa-bisa si pirang kabur mencari kehidupan baru yang lebih baik, yang menerima si pirang dengan karpet merah, kabur ke Indonesia.
Tuh kan bingung, kok malah jadi ke Indonesia? Lah bagaimana tidak bisa, kalau yang berambut pirang bisa datang dengan mudah ke Indonesia, bahkan menjadi “peduduk gelap” dengan KIMS lengkap, bergaji lebih tinggi dari pada pegawai lokal yang lebih ahli daripada si pirang. tidak membayar pajak ke negara Republik Indonesia. Loh kok bisa? ya bisa, wong namanya saja tidak terdaftar di departemen tenaga kerja. Cerita ini bukan isapan omong kosong belaka, saya tidak tahu apakah pernah dilakukan penelitian dan penghitungan secara statistik, tapi secara pribadi saya tahu cukup banyak orang asing yang punya KIMS aspal, tanpa “izin kerja resmi” ongkang-ongkang kaki di atas pegawai lokal yang sungsang sumbel bayar pajak. Bahkan saking gregetnya saat saya masih tinggal di Jakarta, saya melaporkan keberadaan mereka ke Departemen Tenaga Kerja. Beberapa hari kemudian, gedebak-gedebuk pihak dari Departemen Tenaga kerja datang melakukan pemeriksaan mendadak atas izin kerja para pegawai asing yang digaji cepekceng per jam sementara pegawai lokalnya cepekceng per hari. Suasana chaos hanya berlangsung dalam hitungan 60 hingga 120 menit. Setelah itu seperti yang terjadi dalam cerita-cerita yang sudah- sudah, beberapa amplop membungkam ke galakkan sang petugas. Habis deh chaosnya, berganti dengan senyum lebar, jabat tangan erat, terima kasih atas kerjasamanya...
Saya tidak menuduh semuanya seperti itu, karena saya hanya tahu beberapa saja,tetapi saya penasaran, berapa banyak “orang asing yang menjadi penduduk gelap di Indonesia” dibandingkan dengan “orang Indonesia yang berstatus gelap” di negara asing?
Mereka (sekali lagi tidak semuanya) mengeyam kehidupan lebih layak di Indonesia dibandingkan di negaranya sendiri, bahkan ada yang tidak mau kembali ke Amerika karena tidak mungkin mempunyai tingkat kehidupan yang sama dengan hidupnya di Indonesia. Mereka berbondong-bondong mencari kehidupan yang jauh lebih baik di Indonesia, sementara orang kita tersisih bahkan jadi pergi berduyun-duyun mencari sesuap nasi ke negara lain, bernasib lebih menyedihkan sebagai “penduduk gelap” di luar negeri di bandingkan orang asing yang “berstatus gelap” mengenyam nikmatnya hidup di Indonesia tanpa “takut” dengan petugas negara. Kan semuanya bisa diatur, toch? Woo, dengkulmu!
Apa yang saya tulis bukanlah merupakan penelitian ilmiah ataupun berdasarkan statistik jadi tidak bisa dijadikan standar kalau semuanya seperti itu, hanya berdasarkan segelintir orang yang saya tahu saat saya masih berada di Indonesia. Kadang-kadang tangan saya suka gatal ingin menjewer telinga mereka kuat-kuat. Sedih melihat tuan rumah berdiri dibawah kaki para pendatang yang ugal-ugalan.

Kembali ke negara yang mulai dingin, ke teman-teman “kulit putih” yang ngopi bersama-sama, saya wanti-wanti pesan kepada mereka, janganlah mendiskriminasikan si rambut pirang, pandang mereka sesuai dengan kemampuannya, bukan warna rambutnya nanti kalau dia kabur ke Indonesia lalu jadi “penduduk gelap” kan bisa repot urusannya. Gelar sarjana Indonesia bisa bangkrut tidak laku gara-gara warna rambutnya tidak pirang. Nanti saudara –saudara saya malah buru-buru ganti warna rambut jadi pirang, supaya bisa bersaing mendapatkan cepekceng perjam...

Arita-CH
Previous
Next Post »