Bawang Merah & Bawang Putih

24.06.2008.

Dear Zev & Kompas community,














Dulu sewaktu saya masih piyit, seumuran sama dengan jagung (kurang lebih), saya paling suka duduk manis mendengarkan cerita Bawang Merah dan Bawang Putih yang dilantunkan oleh Sanggar Sangrila. Hampir seribu kali saya mendengarkan kisah tersebut, dan seribu kali pula saya membenci si Bawang Merah dan mengasihani si Bawang Putih. Komentar saya setelah kaset berhenti selalu sama, “ih jahat banget deh si Bawang Merah, bisanya ngomel, dan ngomel saja. Rasanya tiada hari tanpa ngomel bin gerundel.”

Di dalam kehidupan, baik profesional maupun pribadi, sering kali kita berusaha untuk tidak menjadi si Bawang Merah yang judes, galak, bin pencemburu, cucunya raja ngomel. Tetapi pada kenyataannya, tindakan ala Bawang Merah banyak kita dengar, temui ataupun lakukan. Telak mutlak profil Bawang Merah lebih populer dibandingkan profil Bawang Putih.

Saat acara pesta, arisan, kendurian ataupun sekedar berchit-chat, menu utama yang paling ramai penggemarnya adalah bergosip dengan basis kecemburuan ala Bawang Merah versus Bawang Putih. Begitu besarnya kharisma Bawang Merah bercokol dalam kehidupan sosial maupun kehidupan pribadi. Kanibalisme psikologis ala Bawang Merah lebih mudah disuguhkan dalam praktek nyata, sedangkan welas asih dan kesabaran Bawang Putih lebih pantas (hanya) dilantunkan sebagai teori dalam berkhotbah untuk menampilkan kesan seorang legowo atau seorang legowati.

Dalam strata kehidupan sosial, baik si kaya maupun si miskin, cenderung untuk memilih menjadi Bawang Merah daripada menjadi Bawang Putih. Sekalipun Bawang Merah adalah karakter antagonis, tetapi pada dasarnya, tidak ada seorangpun yang ingin menderita dan menjadi Bawang Putih, bahkan Bawang Putih sendiripun akan menolak keras menjalani peran tersebut, kalau saja ia diberikan kesempatan untuk memilih peran.

Dalam kehidupan yang telah terjalani berpuluh tahun, saya berusaha keras untuk tidak menjadi Bawang Merah. Saat kaset Sanggar Sangrila berhenti berputar menceritakan kisah Bawang Merah dan Bawang putih, saya berjanji pada diri sendiri bahwa menjadi Bawang Merah adalah sesuatu yang haram. Tetapi tampaknya bertindak dan berbuat tidak seringan dan semudah mengucapkan suatu janji. Saat saya mengalami kekalahan dalam bermain kelereng, ingin rasanya saya mencuri kelereng dari pihak pemenang, mengomelinya sampai serak suara. Saat saya kesal dengan teman sebangku di sekolah yang pelit informasi saat ulangan, ingin rasanya saya “menyumpahi” panjang lebar atas kesombongannya untuk tidak “membagi” secuil pengetahuannya.

Saat saya memasuki dunia dewasa, cemburu rasanya melihat sahabat yang bergonta-ganti mobil seperti berganti pakaian dalam. Sambil memikirkan niat-niat jahat, saya membayangkan diri saya sendiri bergonta-ganti mobil seperti ganti tisue saat sedang pilek berat. Mulai memasuki dunia pekerjaan, sifat Bawang Merah dalam diri saya mulai menjadi-jadi, apalagi saat terjadi kenaikan gaji, saya nelangsa bengong, melihat jumlah dalam slip pembayaran yang tidak bergeming dari angka bulan lalu, timbul keinginan untuk menjegal langkah mereka yang mengalami peningkatan jumlah dalam slip gaji.

Karakter si Bawang Merah membayangi terus dalam setiap langkah saya meniti hidup ini. Semakin saya berjuang untuk menjauhinya, semakin erat ia menghembuskan aura. Phuifh, sampai terengah-engah saya menahan beratnya, tetapi berat rasanya untuk mendorong karakter Bawang Merah. Usaha untuk mendorong ke depan, ke belakang maupun ke samping kiri dan ke samping kanan tampaknya tidak terlalu membawa hasil. Karakter Bawang Merah tetap bertengger kuat, menebar pesona, bertahta angkuh di dalam pikiran saya.

Saya memang berusaha keras untuk tidak menjadi Bawang Merah, tetapi saya tidak pernah secuil pun berniat untuk menjadi Bawang Putih. Namun, saya sangat-sangat ingin mempunyai keberuntungan seperti Bawang Putih. Bagaimana ya untuk bisa beruntung seperti si Bawang Putih tanpa harus menderita dengan menjadi seperti Bawang Putih. Wuah, tampaknya memang pemikiran ala Bawang Merah jauh lebih praktis, memiliki kecendrungan untuk JAHAT dan CURANG lebih besar peluangnya. Lebih mudah untuk membuat orang menangis daripada diri sendiri yang harus menangis. Memang bawang merah sering membuat orang menangis, terutama bagi mereka yang senang memasak, paling sengsara mempersiapkan menu bawang goreng.

Sering juga saya dengan terpaksa harus menjadi bawang putih, yang “ditendang-tendang” terkadang di dahi dan punggung, hak-hak asasi dibanting-banting seperti mencuci sprai ranjang ukuran king size tanpa mesin cuci, tetapi apakah saya bersikap pasrah, legowo dan menjadi legowati seperti dalam teori kebaikan? No way! saya akan berusaha untuk mencari orang yang bisa dijadikan sprai ukuran king size.

Jadi apa maunya saya? Niatnya untuk tidak menjadi Bawang Merah, tetapi kebiasaan ngomel menjadi trade mark di dalam kehidupan. Maunya hidup bahagia selama-lamanya seperti si Bawang Putih, tetapi saya ogah menangis menderita untuk mencapainya.

Dengan berlalunya usia, saya mulai belajar untuk mengomeli diri sendiri daripada mengomeli orang lain. Semakin banyak hari bergulir, susah payah saya menerapkan bawang merah dan bawang putih hanya pada diri saya sendiri. Menindas dan menjadi korban yang tertindas atas tingkah laku diri sendiri membuat saya mulai melangkah dengan kewaspadaan extra hati-hati.

Tampaknya saya harus menindas diri sendiri untuk bisa mengetahui apa artinya tertindas, tampaknya peran Bawang Putih memang tidak terhindarkan dalam lingkaran kehidupan yang berputar tanpa mau kompromi. Mungkin konsep Bawang Merah dan Bawang Putih ada untuk menyatakan secara absolut betapa bahagianya si Bawang Putih. Konsep “blessing in disguise” terterap nyata dalam kisah Bawang Merah dan Bawang Putih.

Menurut bapak gedhe Joseph Addison

Our real blessings often appear to us in the shape of pains, losses and disappointments

Lain komentar wong londo, lain pula kata Iwan Fals dalam lagunya yang berjudul “Maaf cintaku”

Ingin kuludahi mukamu yang cantik
agar kau mengerti bahwa kau memang cantik
ingin kucongkel keluar indah matamu
agar engkau tahu memang indah matamu

Mmh, untuk mengetahui bahwa saya cantik, tampaknya seseorang harus meludahi saya untuk mengaklamasikan kecantikkan saya. Wah wah, menjadi Bawang putih sekaligus menjadi bawang merah tampaknya lebih aman daripada harus menunggu seseorang untuk meludahi muka hanya untuk menyatakan kecantikkan saya. Lho, by the way, benarkah saya cantik? Saya memandangi diri saya sendiri di depan cermin, sambil menghitung satu persatu jerawat yang banyak timbul di musim panas, sambil bertanya-tanya dan bergumam, “apa yang kau cari, Arita?”. Tiba-tiba sekelebat ide menggetarkan saya. Segera saya menatap lekat bayangan sendiri dan menjawab dengan pertanyaan yang antusias, “bagaimana ya, caranya menjadi bawang bombay?

Maaf teman, aku menggurui kamu...
Are tabe bara (banyak salam dari)
Arita-CH
Previous
Next Post »