Puas, Puas, Puas...?

10.09.2007.

Masih kecil kok disini ???

bayangin kalau satu malam bisa empat lima orang...

anak sebesar itu…

(sumber: http://www.journeyman.tv/download.php?id=10744)


Dear Zev, kokier, kokoer, seanteronya...

Kata-kata diatas keluar dari mulut seorang wanita tuna susila yang terheran-heran dengan dua orang rekan kerjanya. Keheranannya terpicu karena status mereka, dua orang perempuan, yang sama dengan dirinya sendiri, wanita tuna susila.


Lho kok sesama rekan bingung?

Ya bingung karena sesungguhnya ia menyadari bahwa pekerjaan yang sedang dilakonin bukanlah suatu pekerjaan yang “indah” bagi panca indera manusia yang mengenal, menghayati arti sebuah susila, bahkan untuk mereka para wanita tuna susila sekalipun.

Dan ia semakin bingung karena dua orang “rekan kerjanya” adalah dua anak perempuan yang pada saat pertama kali datang ke “tempat kerja” sama sekali belum pernah mendapatkan haid! Bisa dibayangkan berapa sebenarnya umur mereka, yang pasti masih dikategorikan di bawah umur.


Anak-anak tersebut berasal dari sebuah desa di salah satu pulau kecil di Indonesia. Di iming-imingi pekerjaan di kota besar sebagai penjaga toko di pulau Jawa, mereka tertarik demi kemajuan hidup keluarga yang serba terbatas. Akhirnya mereka malah terdampar dalam kompleks pelacuran di Batam dan mengalah pasrah dengan sang mucikari yang mengharuskan mereka bekerja keras bahkan sampai lima orang dalam satu harinya, berhubung permintaan akan perempuan di bawah umur sangat melimpah ruah. Mereka pun tidak berani pulang kampung, karena bukan hanya takut dengan mucikari dan tukang pukul tetapi mereka juga sangat takut dengan orang tua mereka, yang diyakini akan membunuh mereka jika sang ayah mendapati apa sebenarnya yang sedang dilakukan sang anak dalam mencari sesuap nasi.

Mencari sesuap nasi! Yak betul, sesuap nasi, karena “penghasilan” mereka hanya untuk sesuap nasi sedangkan sang mucikari dan komplotannya mendapatkan bergudang-gudang nasi, komplit dengan persediaan untuk menyuapkan nasi ke mulut-mulut para “oknum pejabat” yang mingkem disumpal oleh nasi komplit, bukan nasi angking!

Wong ndeso, ucapan ini menjadi ngetop sejak Tukul tampil di acara “Empat Mata”.

Lho deh, kok tiba-tiba malah ke Tukul? Apa hubungannya cerita wanita tuna susila dengan Tukul? Hubungan dua cerita yang berbeda ini dijembatani oleh asal muasal mereka yang semuanya berasal dari desa. Mereka adalah wong ndeso.

Wong ndeso, meninggalkan desanya ke tempat wong kota. Tukul yang katanya “wong ndeso” berhasil menjadi “wong ndeso dengan rejeki wong kota”, dan mungkin masih banyak lagi yang bernasib sama dengan Tukul, berhasil dalam berusaha di kota. Tapi ada berapa yang berhasil dan ada berapa yang gagal, jatuh tertimpa entah berapa tangga dalam rumah tangganya?

Nasib dua orang anak kecil, haruskah berakhir di sebuah tempat pelacuran? Bagaimana dengan anak-anak kecil lainnya yang masih disembunyikan dalam tempat-tempat yang bertedeng aling panti pijat? Begitu juga dengan para wong ndeso dewasa terpaksa menerima nasib di kejar-kejar oleh kebutuhan perut yang membuat para aparat mengejar mereka dengan alasan menjambret, mencuri, merampok, melacur dan entah berapa banyak alasan yang membuat mereka lari-lari...


Itu baru nasib jelek dari wong ndeso yang meninggalkan desanya, bagaimana dengan wong ndeso yang masih tinggal di desa? Ada pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan desa jauh lebih baik daripada kehidupan di kota. Betulkah hal tersebut masih berlaku untuk saat ini? Saat dimana globalisasi diartikan sebagai terjamahnya desa kecil oleh oknum orang kota yang tidak bertanggung jawab dengan perbuatannya. Orang-orang kota yang tidak hanya warga negara Indonesia tetapi juga warga negara asing.


Suatu hari, beberapa tahun yang silam, saya sedang berada di ruang kedatangan sebuah bandar udara yang hanya mampu menampung pesawat berbadan kecil. Di sebelah saya duduk dua orang warga negara asing berkulit non putih asyik berbincang-bincang dengan bahasa Perancis. Bukan maksud untuk menguping, tetapi Tuhan menganugerahkan sepasang kuping yang berfungsi dengan baik sehingga dapat mendengar dengan jelas ucapan dua lelaki di sebelah saya yang merasa aman berbicara bebas dalam bahasa Perancis di sebuah tempat yang jauh sekali dari kota besar. Begitu besarnya rasa aman membuat mereka memperbincangkan strategi tentang penyaluran “pil ajaib”.

Heh! Tersentak saya mendengarnya, pil ajaib? Tukang obatkah mereka? Kalau iya obat apa? Kok dari tadi saya tidak mendengar kata “apotik”? Yang saya dengar hanya persoalan akan berapa banyak pil yang disalurkan, dan berapa jumlah uang yang harus di bayarkan aux flics atau ke polisi. Flic adalah sebutan lain daripada polisi, jadi flics berarti polisi-polisi. Lho kok jual obat pakai acara uang (pelicin) polisi polisi, jual obat apa? Saya menjadi khawatir, firasat jelek mulai menghantui.

Antara ragu dan yakin, saya coba-coba mengatakan firasat jelek saya ke polisi setempat dengan tata bahasa yang dibuat sehalus mungkin tanpa berkesan menuduh, hanya memperingati atau bisa dikatakan sebagai pemberitahuan informasi belaka, eh ujung-ujungnya malah saya di nasehati panjang lebar tentang kenyamanan bagi investor asing demi kemajuan suatu daerah yang terbelakang, hingga ancaman penjara karena jika dugaan saya salah berarti saya menuduh atau merusak nama baik seorang wisatawan/investor. Bersitegang dengan mereka membuat kepala saya pening, akhirnya saya hanya meminta mereka untuk lebih “memperhatikan” dengan seksama para orang asing tersebut dan tentu saja tanpa mengganggu “kenyamanan” para investor asing. Mudah-mudahan memang tukang obat sungguhan yang menjual obat untuk mengobati penyakit bukan menciptakan penyakit! Perjalanan saya lanjutkan dengan mobil selama 5 jam ditambah lagi menyeberangi sungai dengan perahu kecil bermotor tempel, pikiran saya masih digelayuti dengan peristiwa di ruang tunggu bandara, menggelayut berat tanpa tahu harus bagaimana berbuat dan bersikap. Mungkin memang saya yang terlalu berprasangka buruk...

Sesampai saya di tempat tujuan, di sebuah desa, pikiran saya mulai tenang, disambut dengan ketenangan desa yang berpenduduk sedikit, sarat dengan kekayaan alam. Rasanya bahagia melihat keragaman para penduduk kampung, wong ndeso yang ragam, tepa selira, saling memiliki satu sama lainnya, bergotong royong, dimana sila ke empat dari Pancasila “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” masih dilakukan dalam kehidupan mereka. Minimum seminggu sekali mereka berkumpul di balai desa untuk musyawarah dalam menghadapi persoalan – persoalan di kampung tersebut. Persoalan bagaimana membuka ladang, kapan saat menebarkan bibit tanaman, bagaimana pelaksanaan panen sampai masalah dalam kehidupan keluarga yang akhirnya menjadi masalah seluruh kampung. Dari pernikahan, kelahiran hingga kematian. Beberapa hari setelah kedatangan saya ke kampung tersebut, saya mendengar “perbendaharaan” baru di dalam daftar masalah kampung tersebut. Masalah pil!

Salah satu warga kampung dipastikan terkena “penyakit asing” alias mabuk pil ajaib. Kampung yang terletak di tengah hutan belantara kurang lebih 200 km dari kabupaten sudah masuk dalam daerah penyebaran pil Ekstasi!

Masalah tersebut merupakan masalah baru bagi penduduk kampung itu.

Bagaimana dengan masalah lainnya yang timbul karena oknum wong kota?


Saya pindahkan alur cerita ini ke dua tahun yang lalu, dimana saya melakukan penelitian budaya di sebuah daerah yang 5 tahun kebelakang masih berwarna hijo royo, penuh dengan pohon-pohon yang berdiameter 50 cm. Saat saya mendekati kampung, daerah tersebut masih hijo royo, tetapi tidak lagi ditumbuhi dengan pohon-pohon berdiameter 50 cm, tetapi di rambahi oleh pohon-pohon kelapa sawit. Melihat hal tersebut saya berpikir akan adanya kemajuan secara ekonomi bagi penduduk kampung, bagi wong ndeso. Apalagi begitu banyaknya kendaraan pick-up dengan kemampuan berpenggerak empat roda (4wd) model terbaru berseliweran was-wis-wes menebar debu tanah merah yang memerihkan mata.


Ucapan selamat atas keberhasilan daerah, saya sampaikan dengan tulus kepada kepala kampung. Kepala kampung yang masih relatif muda hanya manthuk-manthuk mendengarnya, lalu mulailah beliau bercerita panjang lebar bahwa rejeki wong ndeso malah menurun dengan diambilnya lahan ladang mereka untuk perkebunan kelapa sawit yang rakus dengan lahan tanah. Mereka terpaksa harus mencari tempat berladang yang jauh dari tempat tinggal mereka. Tanah yang mereka miliki turun-temurun di ambil begitu saja dengan jumlah ganti rugi seadanya. Permintaan mereka untuk memiliki konsesi eksploitasi tanah di abaikan begitu saja karena pemilikkan tanah hanya berdasarkan adat. Masih ditambah dengan adanya para pendatang yang menguasai tempat dan menjadi “tuan rumah” dimana ungkapan “it’s not for the bread only” (bukan hanya semata-mata untuk roti saja) di aplikasikan dalam kehidupan di sebuah kampung yang mendadak menjadi “far west”. Maksud dari kata-kata itu adalah hidup tidak hanya untuk makan belaka tetapi juga keperluan akan kebutuhan rohani, dimana di kampung itu seperti biasanya ada acara tradisi, melakukan tarian rakyat atau sekedar menembang lagu daerah di balai desa, sarat akan nilai budaya. Kini dengan adanya “lahan baru” dan para pendatang, kegiatan yang “it’s not for the bread only” berubah dengan adanya pembangunan dan pertemuan-pertemuan karaoke plus plus plus.


Pembabatan hutan pun dilakukan untuk ekspansi perkebunan yang bernilai jual tinggi, pembakaran pun terjadi dimana sang raja boleh membakar hutan tetapi penduduk tidak boleh menyulut api untuk kayu bakar tetapi malah di tekan karena dianggap penyebab asap yang merupakan bencana internasional. Sang tuan rumah jadi pekerja di “bekas” tanah nenek moyang dengan pendapatan seadanya, sedangkan oknum-oknum yang dari kota ya tetap rejekinya kota sekalipun oknum. Menurut teori, para petani diberikan bagian dari lahan kelapa sawit, dengan mengalihkan kebun-kebun tradisional komunitas masyarakat menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada prakteknya, memang betul mereka mendapatkan lahan kelapa sawit, tetapi (ada lagi tapinya...) menurut salah seorang peneliti LIPI dalam kajiannya mengatakan bahwa “Keterbatasan lahan yang dimiliki, pengelolaan kebun yang tidak optimal, dan penentuan harga sepihak yang tidak menguntungkan petani, merupakan faktor penting dalam mempengaruhi kesejahteraan petani. Akibatnya petani tetap hidup miskin, terjerat hutang atau terjebak dalam permainan pemodal”. Masih ditambah lagi bencana ekologis, terjadinya bencana lingkungan, baik banjir maupun kekeringan, dikarenakan terganggunya fungsi aliran air lahan karena tanah tak lagi mampu menyerap air dan menyimpannya.

Kembali ke kepala kampung yang terlihat mendadak “tua” setelah bercerita walaupun umurnya masih relatif muda. Ia hanya bisa menghela napasnya dan berkata


Ya bagaimana? Kami hanya orang desa yang hanya tahu bahwa kami pernah punya hukum adat yang dibuat oleh orang desa sejak jaman dahulu, kini kami harus memahami peraturan dari kota”.


Peraturan yang dibuat sesuai dengan tuntutan jaman demi kesejahteraan bersama yang dibentuk di kota,dan dilanggar oleh oknum orang kota.

Wong ndeso akhirnya menjadi serba salah, meninggalkan kampung untuk pergi ke kota tidaklah lagi menjanjikan peningkatan taraf hidup. Tetap tinggal di desa, malah terdesak, tersisih oleh kebutuhan yang mendesak akan kepentingan sepihak yang dengan keras-keras meneriakkan slogan-slogan akan kesejahteraan bersama yang kebanyakkan menjadi kesejahteraan bersama keluarga oknum orang kota.

Kini pada abad globalisasi dan keterbukaan, wong ndeso harus lebih pintar. Wong ndeso harus belajar jauh lebih banyak daripada wong kota. Wong ndeso harus bisa berpikir berpuluh kali lipat daripada wong kota, dan oleh karena itu, anak-anak wong ndeso yang wis ben pintar-pintar harus bisa menuntut ilmu lebih tinggi dari wong kota. Oleh karena itu maka Wong ndeso yang hidupnya sudah sugih di kota maupun di desa diharapkan bisa membantu pendidikkan bagi anak-anak di desa. Mereka yang menuntut ilmu jauh di negeri orang diharapkan bisa kembali ke desanya untuk menolong, membangun dan menjaga desanya dari ekspansi oknum wong kota yang tidak melakukan sila kelima dari Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Wong deso harus mampu mengenal dan mempraktekkan hukum serta undang-undang agar kesejahteraan bersama antara wong kota dan wong ndeso bisa diwujudkan. Diharapkan juga wong ndeso bisa menjadi aparat hukum dan penegak hukum yang taat akan hukum dan bekerja sesuai dengan hukum (mungkin bisa di pertebal lagi dengan hukum adat ?).

Sehingga pada saat investor (sungguhan, bukan investor pil ajaib) baik dari kota maupun luar negeri memasuki desa, maka wong ndeso bisa menikmati kehidupan di desanya tanpa harus ekspor tenaga kerja ke luar negeri, tanpa harus mendengar cerita bahwa anak mereka menjadi wanita tuna susila di panti pijat dan sebagainya, yang mengarah kepada kesejahteraan yang merata bagi kedua belah pihak, wong ndeso dan wong kota. Wong ndeso dengan rejeki wong kota tanpa harus ke kota mengais rejeki.

Sayangnya untuk saat ini masih banyak wong ndeso yang tertindas di dalam dan di luar desa, baik secara materil dan moril.


Sebagai penutup, saya kutipkan suatu kejadian yang tertulis dalam sebuah artikel pembuatan film tentang budaya di sebuah desa kecil, di suatu tempat di Indonesia, yang dilakukan oleh sebuah televisi asing dibantu oleh peneliti asing budaya Indonesia.

“[..] I argue that the activists' interest in making a film, and their decisions during its shooting were part of their larger organizational strategies, with potentially far-reaching political and economic consequences. [Indonesia, Dayaks, religion, identity, tourism, filmmaking]

[..]

The official damages were four downed banana trees, six shingles off a roof, and

a trip to the polyclinic for a grandmother who experienced shok (shock)

when loud noises and strong winds from the helicopter persuaded her that her house was turning

to stone.

[..]

(sumber: talking heads: capturing Dayak deathways on film)

Puas, puas, puas… ?”

Arita-CH

Previous
Next Post »