Belajar di luar negeri (2)

13.04.2009.

Dear Zev, Kokiers, kokoers, pokoknya dear semua komunitas KoKi....

Senang rasanya melihat edisi 9 April 2008, dimana semua aspirasi tertampung dalam logo yang menganut asas musyawarah dan mufakat. Akhirnya terbit juga logo dari kolom yang mengayomi dan menampung “kehidupan” kita dengan segala welas asih dan dedikasi maju terus pantang mundur.

1 April 2008, hari yang kutulis sebagai hari untuk mengungkapkan tabir “kebohongan”, berlangsung dengan sukses. Kutulis kata “kebohongan” dengan tanda kutip, karena sedikit berbeda dengan kebohongan tanpa tanda kutip. Kebohongan dengan tanda kutip disini, tidak sama artinya dengan arti kebohongan menurut kamus besar bahasa Indonesia. Kebohongan dengan tanda kutip disini lebih merupakan, unspoken truth. Kebenaran yang tidak dikatakan, yang disimpan dibalik sebagian dari kebenaran lainnya. Salah satu contoh misalnya adalah pengetahuan penduduk Lugano akan keberadaan pulau Borneo. Selama ini, banyak dari penduduk Lugano (menurut survey pribadi) dicekoki oleh iklan-iklan parawisata untuk berwisata petualang di Borneo. Begitu hebatnya iklan tersebut, membuat pengetahuan dasar mereka tentang Borneo menjadi rancu. Borneo yang mereka kenal adalah suatu kawasan yang terletak di satu negara. Jadi pengetahuan mereka bukanlah Borneo yang “menampung” tiga negara, tetapi lebih condong hanya satu negara yang menampung Borneo. Dengan waktu yang sangat terbatas, kami berusaha semaksimum mungkin, mengatakan kebenaran yang tak terkatakan, di sore hari, selasa 1 April 2008.

Kembali kepada dua tokoh, yang tidak bisa kulewatkan begitu saja, pada saat aku belajar di luar negeri. Kini saatnya aku menceritakan, seorang bapak yang sederhana, hidup di tengah keramaian bunyi burung dan binatang yang lalu lalang di alam bebas.

Cerita ini sebenarnya sudah selesai kuketik sejak 8 April 2008, tetapi waktu kubaca KoKiResensi: Tino Saroengallo Bukan Okonkwo, edisi 9 April, mataku terbelalak, lho kok masalah si bapak tokoh kedua ini bisa mirip-mirip dengan masalah yang dihadapi oleh Tino Saroengallo?

Bapak ini biasa kami panggil dengan sebutan, Pang Sayen. Sayen bukanlah nama yang diberikan kedua orangtuanya, tetapi adalah nama dari anak pertamanya. Pada suku dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, saat seseorang mempunyai anak pertama, maka ia akan dipanggil dengan menggunakan nama anak pertama. Jika anak pertama bernama Sayen, maka sang ayah akan dipanggil dengan sebutan, pang (kependekkan dari Japang) atau pak Sayen, yang berarti bapaknya Sayen. Sedangkan sang ibu akan dipanggil dengan sebutan indang atau indu Sayen, yang berarti, ibunya Sayen. Nama Pang Sayen adalah Suner Sukur, lahir di Kampung Tewang Darayu, Katingan Tengah, propinsi Kalimantan Tengah. Tanggal kelahiran beliau tidak diketahui dengan pasti, hanya tempat kelahiran yang jelas terekam dalam cerita keluarga. Tepat dibawah pohon durian yang belum berbuah, saat sang ibu sedang menumbuk padi, Suner, anak bapak Sukur, lahir dengan santainya tanpa bantuan dokter yang memang belum ada.

Pertemuanku tahun ini dengan pang Sayen bukan pertemuan yang pertama. Masih terkenang “goro-goro” yang dimainkan oleh pang Sayen, saat pertama kali aku bertemu muka dengannya tahun 1992, di Jakarta. Pang Sayen dan keluarga mengunjungi Jakarta untuk bertemu dengan ayahku yang masih sepupu. Dengan menumpangi kapal laut dari Banjarmasin, pang Sayen menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Tanjung Priuk, Jakarta. Aku yang saat itu ditugaskan menjadi supir plus pemandu wisata, sempat kebingungan, menemukan mereka ditengah-tengah serbuan penumpang yang turun dari kapal laut. Sambil garuk-garuk kepala, kuingat-ingat pesan yang diwanti-wantikan oleh ayah “pokoknya kamu cari saja bapak yang berkumis, berkopiah dan berkaki telanjang tanpa alas kaki, titik.” Tengkuk ini rasanya berat, terus menerus menunduk, memelototi kaki-kaki penumpang yang beraneka macam. Akhirnya usahaku mendapatkan hasil, mataku menabrak sepasang kaki besar, lebar, tanpa alas, menyangga badan lelaki berkumis, berjenggot, beralis tebal dan berkopiah. Goro-goro mulai terjadi saat pang Sayen mulai dipelototi satpam-satpam dari berbagai jenis bangunan di Jakarta. Bukan hanya dipelototi tetapi juga dilarang masuk! Gerah dengan peraturan yang bertubi-tubi, akhirnya kubujuk pang Sayen untuk membeli sepatu. Seluruh toko sepatu, di pasar Baru Jakarta, kami sambangi tanpa pandang bulu, pokoknya beli sepatu! Tapi apa daya, standar ukuran dan model sepatu tidak mampu bersanding dengan “sepatu” alam yang lekat di kaki pang Sayen. Akhirnya kami semua menyerah, program jalan-jalan tetap dilanjutkan dengan (hanya) menatap Jakarta dari balik kaca mobil.

Tahun 2008 ini merupakan kunjunganku ke pang Sayen yang kesekian kalinya, tetapi baru sekarang, aku mulai mempelajari secara dalam, kearifan dan “daya ramal” pang Sayen, akan masa depan, masa yang akan datang, masa saat kematian menjelang.

Sengaja artikel ini kukemas dalam bentuk narasi, sebagaimana pang Sayen bakesah (bercerita) kepadaku, sambil menghabiskan entah berapa piring nasi kelapa, gelas kopi dan kelapa muda.

“Namaku Suner Sukur, biasa dipanggil dengan sebutan pang Sayen. Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang masih tetap memegang teguh adat, tradisi serta agama yang diturunkan oleh tatu hiang (nenek moyang), pada jaman Lewu Telo (kampung tiga). Jamannya Raja Buno (nenek moyang manusia) turun ke Pantai Danum Kalunen (bumi). Sewaktu aku kecil, aku mengenal agama kami dengan nama, agama helo (agama dulu), yang kemudian pada jaman merdeka, dikenal dengan nama, Kaharingan (diajukan oleh Damang J. Salilah tahun 1945, diresmikan negara tahun 1980). Bagiku, rasanya lebih nyaman dengan sebutan agama helo, apalagi bisa dikatakan kalau aku ini uluh helo (orang dulu). Agama helo telah berperan banyak dalam hidupku, dari sejak ku lahir, menikah, mempunyai anak dan tentu saja juga nanti, pada saat aku mati.

Menurutku, kematian bukan hal yang menyeramkan atau menyedihkan. Memang aku akan bersedih pada saat aku ngalingu (teringat) keluarga dan kehidupan di pantai danum kalunen (bumi), tapi, kematian adalah suatu jalan. Seperti juga kelahiran, kematian adalah jalan untuk pergi ke suatu tempat. Kematian yang kukenal adalah suatu jalan untuk buli lewu (pulang kampung) tatu hiang (nenek moyang), kampung yang makmur dan berkecukupan segalanya (lewu tatau). Nah, jadi untuk apa aku takut dan bersedih untuk pulang ke kampung halaman yang makmur dan bertemu kembali dengan nenek moyang?

Tetapi kutegaskan, memang benar ada yang kutakutkan pada saat kematian. Aku sangat takut tidak bisa buli lewu tatu hiang (pulang ke kampung nenek moyang). Aku takut jika nanti liau ku (arwahku) tetap terbenam di bawah sana, di tempatnya Raja Entai Nyahu dan Kameluh Tantan Dayu, dewa dan dewi lewu (kampung) Bukit Pasahan Raung, penguasa dunia alam kubur.

Nah, lebih dahulu akan kuceritakan pengetahuanku tentang kematian. Menurut tetek tatum (cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi), jiwa yang meninggalkan badan yang sudah mati akan menjadi liau (arwah). Liau itu lalu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah liau (arwah) yang murni. Nah, liau yang murni ini akan langsung lompat, menuju suatu tempat di dunia atas, menunggu liau bagian kedua. Liau (arwah) bagian kedua adalah liau (arwah) yang terbentuk dan melekat dengan badan, terisi oleh perbuatan badaniah semasa hidup. Nah, liau ini tidak murni seperti liau yang pertama, karena sudah campur aduk dengan perbuatan semasa hidup, dari yang baik sampai yang jelek. Liau bagian kedua ini akan masuk kedalam dunia alam kubur, menunggu saatnya pembersihan, hingga saat tiba waktunya, untuk bersatu lagi dengan liau pertama yang murni, lalu lompat ke langit yang paling atas, langsung buli lewu (pulang kampung), berjumpa lagi dengan tatu hiang (nenek moyang).

Bagian yang sangat berarti saat aku mati adalah saat liau bagian kedua dibersihkan, lalu, liau bagian pertama yang murni disatukan dengan liau bagian kedua yang sudah bersih, untuk diantar lompat ke langit ketujuh dengan menggunakan banama bulau (kapal emas) balunas tambun belum (dengan lunas kapal berbentuk ular air). Nah, jadi aku harus meyakinkan diriku, bahwa setelah penguburanku, kelak keluargaku yang masih hidup akan melakukan upacara untuk membersihkan liau, menyatukan dua bagian liau dan memberangkatkan liau dengan banama bulau (perahu emas) berlunas tambun.

Saat yang penting adalah saat keluargaku membongkar kembali kuburanku setelah beberapa waktu/tahun, membersihkan tulang-tulangku, kemudian meletakkan tulang-tulangku yang sudah bersih di peti yang baru, masuk ke dalam pambak (sebutan untuk mausoleum pada suku dayak Ngaju daerah katingan hilir hingga katingan tengah). Acara ini dinamakan acara pesta Tiwah. Suatu pesta terakhir untuk melancarkan keberangkatanku selama-lamanya.

Nah, untuk buli lewu tatu hiang (pulang ke kampung nenek moyang), aku tidak bisa pergi sendirian, manusia pun tidak bisa ikut aku mengantar, karena mereka itu masih hidup. Nah, yang bisa mengantar aku pulang adalah nenek moyangku, keturunan dari saudara-saudara Raja Buno, nenek moyang para kalunen (manusia) di bumi, yang tinggal di langit atas sana. Nenek moyangku juga yang akan mensucikan liau, melepaskan pengaruh buruk dari kehidupanku, menyatukan kedua liau dan mengantar pulang. Tapi nenek moyangku ini, mereka tinggal di langit atas, mereka tidak akan tahu bahwa aku membutuhkan mereka, kalau mereka tidak di beritahu. Oleh karena itu, pada saat tiwah, keluargaku yang masih hidup akan memberitahu dan meminta nenek moyangku, untuk membersihkan, mensucikan, menyatukan dan mengantar liau (arwah) hingga tiba tempat di tujuan. Acara tiwah itu benar-benar merupakan suatu pesta, bagi yang hidup maupun yang meninggal. Bagi yang almarhum, tiwah adalah pesta keberhasilan untuk bisa buli lewu tatu hiang di lewu tatau. Bagi yang hidup juga merupakan pesta, karena selain acara makan-makan, mereka juga berhasil melancarkan kepulangan sang almarhum, berhasil memenuhi permintaan yang sangat penting dari almarhum, permintaan yang bisa dikiaskan sebagai “pembayaran hutang” pribadi, antara yang masih hidup dan yang sudah meninggal.

Nah, kembali kuulang lagi kata-kataku, yang aku takutkan adalah tidak bisa buli lewu tatu hiang (pulang kampung nenek moyang). Aku takut jika nanti liau ku (arwahku) tetap terbenam di bawah sana, terpisah dengan bagian liauku yang lain, yang menungguku di suatu tempat di langit atas. Bagaimana nasibku? Terdiam tanpa arah dan tujuan dalam dunia alam kubur, terbenam bersama dengan pengaruh buruk dan sial kematian. Kematian seperti itulah yang kutakutkan, kematian yang dingin dan gelap.

Anak-anakku hampir semuanya adalah peladang, sama seperti aku. Pekerjaan kami adalah berladang padi, sayur-sayuran, serta berkebun rotan dan karet. Kadangkala kami pergi berburu dan menjala ikan untuk melengkapi makanan dan menutup biaya kebutuhan sampingan, seperti gula, kopi, teh, susu, baju dan lain-lainnya. Kebutuhan pangan kami mencukupi, bahkan kadang berlebih. Kami tidak pernah membeli beras, bahkan kami bisa menjual beras dengan harga murah, untuk membantu kampung tetangga yang gagal panen. Kampung kami tidak miskin, hidup kami cukup.

Generasiku dan generasi anak-anakku sudah banyak berbeda. Mereka, anak-anakku, bukanlah lagi penganut agama helu. Heh, mungkin karena mereka bukan lagi uluh helu (orang dulu) seperti aku. Generasi mereka adalah generasi yang tidak tahu lagi bagaimana caranya menganyam keba (tas punggung dari rotan), membuat pasuran (alat untuk menangkap ikan), ataupun membuat alat kebutuhan rumah tangga dari kayu. Generasi aku adalah generasi yang tidak tahu sama sekali bagaimana menggunakan telepon tangan, bagaimana menggunakan kompor, baik kompor minyak tanah maupun gas. Bahkan aku baru sekali ini melihat televisi yang bisa merangkap sebagai mesin tik (komputer laptop).

Tetapi mereka, anak-anakku, adalah anak-anak yang baik dan hormat kepada orang tua, juga kepada orang-orang yang lebih tua. Akupun juga menghormati pilihan mereka untuk tidak menganut agama helu, karena agama bagiku adalah suatu pilihan hidup. Seperti anak-anakku yang memilih agama lain, aku, istri dan orang-orang tua disekitarku juga memilih untuk tetap menganut agama helu. Untungnya aku dan istriku, sekalipun anak-anak kami tidak lagi menganut agama helu, mereka masih tetap menghormati dan menghargai tradisi uluh helu. Aku sebagai uluh helu dan penganut agama helu sadar sesadarnya bahwa, jaman sekarang bukanlah jaman helu (jaman dulu) lagi, jaman sekarang adalah jaman serba praktis. Seperti anak-anak kami yang masih dan tetap menghormati tradisi uluh helu, akupun berusaha memahami jaman sekarang, jaman serba praktis. Oleh sebab itu, aku berusaha agar kelak pelaksanaan pesta tiwahku dilakukan secara praktis, sesuai dengan jaman yang serba praktis.

Benar pesta tiwah itu tidak praktis, lamanya bisa berlangsung antara tujuh sampai tigapuluh hari, bahkan bisa lebih, biayanya pun tinggi. Masih ku ingat pesta tiwah abaku (ayahku) pada tahun 1960, kami harus mendayung jauh hingga ke kota sampit, untuk membeli kerbau dan sapi dengan biaya dan ongkos yang tinggi. Tahun ini, kudengar dari temanku yang baru saja mengadakan pesta tiwah bulan desember 2007, untuk almarhum istrinya yang meninggal 5 tahun yang lalu. Ia menghabiskan 30 juta hanya untuk membangun pambak baru (mausoleum) dan 2 sapundu (tiang kayu pengikat korban binatang), belum biaya untuk membeli kerbau, sapi, dan biaya-biaya lainnya.

Akupun kelak membutuhkan pambak baru. Sebenarnya masih ada pambak lama, tempat tulang belulang almarhum abaku (ayah) dan datu-datu (kakek nenek dahulu). Tetapi pambak tersebut sudah terlalu tua dan penuh dengan beratus-ratus tulang. Dibutuhkan pambak baru untuk tulang-tulang istri dan aku kelak.

Nah, karena jaman sekarang adalah jaman serba praktis, maka aku pikir, pesta tiwahku nanti akan menjadi “pesta yang tidak praktis” bagi anak-anakku. Harga-harga kebutuhan tiwah semakin melambung tinggi, menambah ketidakpraktisan dalam jaman serba praktis. Ketakutanku pun menjadi bertambah, bagaimana kalau “ketidakpraktisan” tiwah menjadi halangan bagi liau-liauku untuk bersatu dan lumpat buli lewu tatau? Bisa merana nanti aku di liang kubur.

Sekalipun masih ada para tetua adat dan orang-orang tua yang masih tetap berpegang dengan tata cara adat, tetapi aku tetap harus meyakinkan diriku, bahwa anak-anakku, yang masuk dalam generasi serba praktis, pasti akan melaksanakan pesta tiwah yang “tidak praktis”. Nah, maka itu, aku mulai menyiapkan diri.

Sejak tahun 2006, aku membeli tanah dan membangun pambak baru untuk aku dan istriku kelak. Pemahat dan pematung sapundu pun sudah kuhubungi, kayu–kayu tabalien (kayu besi/ulin) untuk sapundu sudah kubeli, tujuh gong, satu gendang, kangkanong (gamelan kecil) dan katambong (gendang/drum kecil) sudah siap di rumahku. Uang untuk membeli kerbau dan sapi sudah tersedia, dan tertulis dalam surat wasiat, yang dibikin di hadapan anak-anak dan penghulu (panatua) adat. Begitu juga dengan uang untuk membayar pemahat dan pisor (sebutan untuk pendoa & pemimpin upacara agama helu/kaharingan pada suku dayak Ngaju Katingan) sudah terkumpul. Semuanya tertulis dan diketahui oleh panatua adat dan keluarga besar. Setidaknya aku sudah menyiapkan sebagian besar dari upacara tiwahku, upacara yang akan memberitahu dan meminta nenek moyangku, untuk mengantar aku, pulang bersama, buli lewu tatau, buli lewu tatu hiang. Aku sudah mempersiapkan diri kami semua, anak-anakku, istri dan aku sendiri, bahwa kami uluh helu, yang penuh dengan tata cara dan adat yang “tidak praktis”, masih sanggup mengatasi jaman yang serba praktis.

Kini aku tidak takut lagi, kujalani sisa hidupku dengan tetap berladang, menjala dan menganyam. Setiap pagi pisau ku asah, untuk membelah rotan dan menganyamnya, sehingga menjadi keranjang ataupun benda lainnya. Kulewati hari demi hari dengan bekerja dan bersyukur, tanpa rasa takut dan khawatir. Kini aku siap pulang, tidak ada lagi yang kutakuti. Tugasku sekarang adalah mengisi waktu yang tersisa, dengan berbuat sesuai dengan ajaran agama helu, tetap menjadi uluh helu, sambil sekali-kali menceritakan kepada ikau (kamu - Arita), akan kesah-kesah (kisah-kisah) keluhuran tatu hiang dulu.”

Zev, Kokiers, kokoers, kutatap pang Sayen yang asyik dengan pipa yang dibuatnya sendiri. Wajah yang dihiasi dengan alis, kumis dan janggut yang memutih. Wajah uluh helu (orang dulu) yang tegar dan siap menyongsong, bukan hanya masa depan, tetapi juga masa kematian dan masa depan anak-anaknya. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam, tanpa berani membuka suara. Sekalipun kata-kata pang Sayen tidak bermaksud mengguruiku, tetapi, identitas diri pang Sayen telah mengguruiku dengan telak.

Identitas manusia terletak pada sejarah dan sumber dari sejarah tersebut. Sumber sejarah paling jauh yang dapat ditemukan, terletak pada mitos penciptaan manusia. Seseorang atau suatu komunitas menemukan akar mereka dalam mitos penciptaan manusia, menciptakan rasa kebersamaan, kekuatan, stabilitas dan rasa aman menghadapi ancaman dari pihak luar yang tidak dikenal.

Pang Sayen dan keluarga memiliki identitas, yang berasal dari masa dulu, terprojeksikan pada masa sekarang dan masa depan. Identitas yang merupakan harta berharga, yang dapat membuat pang Sayen hidup setiap hari dengan rasa damai.

Kutatap dengan sedikit rasa iri pada pang Sayen, lelaki yang damai, dengan identitas mengalir deras dalam hidupnya. Kucari-cari identitas diriku di tumpukkan buku-buku dan sela-sela dompetku yang tipis.

Kupanggil dengan keras sang identitas, “dimana kau, hai identitasku?” Sayup-sayup kudengar jawaban, dari suara yang jauh terdengar, “aku disini, terhalang oleh buku-buku dan perhitungan logikamu.”

Terima kasih setulusnya kuucapkan pada Zev, kokiers dan kokoers yang berada di seantero 166 negara, bahagia menjadi bagian dari kalian, beruntung bisa belajar dari sekian banyak pengalaman yang tertulis.

Are tabe bara (banyak salam dari)

Arita-CH

Previous
Next Post »