Psyché, kupu-kupu putih, & Zhonghua

30.10.2007.

Psyché, kupu-kupu putih, dan Zhonghua (“bangsa tengah”)

Mengetahui dan mengenal budaya teman akan menambah pengetahuan dan kebijaksanaan diri untuk menghormati dan bertoleransi, di dalam dunia yang penuh dengan syak prasangka karena ketidaktahuan.

Dear Zev, para Kokier, Kokoer dan pembaca Kolom Kita, sebelumnya saya meminta ijin untuk menulis lebih panjang dari biasanya. Tulisan ini pada dasarnya berawal dari kebetulan yang tidak disengaja. Sejak tahun lalu hingga kini (dan masih belum tahu kapan selesai), saya menulis tentang kematian dan upacaranya dalam sudut pandang budaya satu suku tertentu. Secara tidak disengaja saya membaca tulisan JC tentang peringatan kematian 49 hari sang Ibunda. Oleh karena itu saya berpikir untuk berbagi pengetahuan yang sangat sedikit saya ketahui. Tulisan ini sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu sebelumnya, saya haturkan banyak terima kasih atas waktunya membaca tulisan ini.

Di bumi, kehidupan berdampingan dengan kematian. Definisi kematian secara umum adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan atau berhentinya sesuatu yang menghidupkan dalam organisme biologis. Tetapi, kepastian akan keakhiran total “seluruh kehidupan” saat kematian datang, tidak selalu dapat didefinisikan “total” dikarenakan berbagai macam kebudayaan yang mempercayai adanya kehidupan jiwa di dalam badan.

Menurut berbagai macam budaya, saat kehidupan badaniah berakhir, jiwa yang adalah energi vital kehidupan memasuki dimensi yang berbeda, yang turut mengubah sifatnya dari sebuah energi vital kehidupan menjadi energi vital dalam kehidupan yang lain. Prana (Sansekerta), Nephesh (Ibrani ), Pneuma (Yunani ), Qalbi (Arab)- adalah sesuatu yang menghidupkan manusia dan berhubungan dengan sang Pencipta, sang Pemilik, sang Tertinggi, ataupun nenek moyang, cikal bakal manusia pertama terjadi. Psyché (Yunani) dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai jiwa, suatu bagian dari manusia yang tidak bersifat jasmani, tetapi bersifat roh dan tetap hidup setelah tubuh jasmani mati. Forma kekalnya tidak terhambat oleh kegelapan dan keterbatasan "gua", di alam pikiran ini jiwa itu mudah mengakses semua pengetahuan.

Tulisan ini ingin menceritakan sedikit tentang perjalanan psyché ‘setelah’ hidup badaniah dan sikap keluarga almarhum menurut sudut pandang tradisi dari “Zhongguo” (Negara Tengah), yang dalam dialek Hokkien dikenal dengan nama Tiongkok.

Perilaku manusia terhadap kematian meliputi komponen akan pengertian, kasih sayang, dan kehilangan, yang juga refleksi diri manusia terhadap kematian. Berdasarkan komponen dasar maka diasumsikan bahwa konsep kematian adalah universal dan variasi dari sikap terhadap kematian serta acara ritualnya di seluruh dunia sangat minim adanya.

Bagaimanapun juga, pengalaman dan ekspresi manusia terhadap rasa kehilangan, dipertajam oleh konteks sosial dan budaya. Dengan adanya faktor struktur sosial dalam peristiwa kematian maka dapat dipelajari perkembangan dari suatu kebudayaan, yang menggambarkan sejarah budaya dari suatu masyarakat.

Pengalaman dan ekspresi saat menghadapi kematian sangat beragam dan “kompleks” bagi “Zhonghua” (bangsa tengah), dimana, 3 doktrin besar (San jiao) mendominasi dalam kehidupan beragama. Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme

Konfusius atau Kong Qiu hidup pada periode 551 SM - 479 SM. Ajarannya digambarkan sebagai filsafat yang menekankan pada kedamaian, hierarki dan tingkat pemerintahan. Ajaran utamanya menjelaskan 5 dasar dalam hubungan sosial, antara penguasa dan rakyat, ayah dan anak, saudara tua dengan saudara muda, suami dan istri, serta sesama teman. Pada periode dinasti Han (202 SM-220) dengan dukungan penuh dari pemerintah maka ajaran ini ditetapkan menjadi suatu ajaran yang bernama Konfusianisme -berasal dari nama Kong Qiu- dan tersebar, terutama, pada kelas sosial atas.

Taoisme merujuk pada variasi filosofis, tradisi dan konsep keagamaan Zhonghua. Taoisme mengkonsiderasikan dua elemen, agama dan filsafat, dengan penekanan terhadap kemerdekaan individual dan hubungannya dengan kekuatan hidup secara alamiah. Taoisme lebih menfokuskan cara untuk mendapatkan keharmonian secara alamiah daripada merubah lingkungan yang ada disekitarnya. Jika ada orang yang meninggal muda, bukanlah suatu nasib tetapi lebih merupakan kesalahan dari diri orang tersebut yang tidak “mengurus” tubuhnya dengan baik.

Dua karya tulis Taoisme yang menonjol adalah kitab “Dao De Jing”atau Tao Te Ching, “Kitab klasik tentang jalan kebaikan serta kekuatannya”ditulis oleh Lao Zi atau Lao-tseu dan Kitab Zhuangzi yang merupakan juga nama dari sang penulis, Zhuang Zhou / Zhuangzi (±. 370-301 SM.). Taoisme mempertajam kedudukkannya dalam jajaran agama pada abad ke 2 dengan gerakan Tianshi Dao, “jalan dewa-dewa angkasa”, yang didirikan oleh Zhang Daoling.

Buddhisme sebagai salah satu agama mayoritas Zhonghua (bangsa tengah) diperkirakan memasuki Zhongguo (“negara tengah’) dari India pada abad ke 1 dan mendominasi sejak pertengahan abad ke 4 hingga abad ke 8. Doktrin dari Buddhisme berazaskan dalam Empat Kesunyataan Mulia: (1) Hidup itu adalah penderitaan/ketidakpuasan; (2) Penderitaan akan ketidakpuasan berasal dari kenginan; (3) untuk menghilangkan penderitaan maka keinginanpun harus diakhiri sehingga terbebas dari ketidakpuasan (4) Jalan untuk menghilangkan penderitaan dengan sikap hidup yang benar, dikenal dengan nama “Jalan Mulia Berunsur Delapan”. Keadaan yang paling akhir, adalah nirvana, dimana tercapainya kedamaian, tanpa ketidakpuasan diri.

Saat kita memandang pada periode jauh kebelakang, dunia pandang Zhonghua hanya melihat batas tipis antara agama dan budaya. Sebelum periode jaman modern, kata “agama” tidak dapat diketemukan secara spesifik dalam bahasa Zhonghua tua. Untuk dapat menjelaskan agama adalah dengan menanggapi pokok umum dari budaya. Ada 2 pokok utama kosmologik dalam dunia pandang kebudayaan ini;

  1. Metafora Yin-Yang
  2. Keluarga sebagai dasar kepercayaan beragama.

Yin-Yang mengekespresikan kepercayaan alam apotropaic dimana dua kekuatan yang berlawanan berputar membuang jauh kejahatan dan pada saat yang sama mereka mencari kebaikan. Kekuatan Yin-Yang berada dalam kesatuan yang konstan dan saling mempengaruhi. Sekalipun dua kekuatan tersebut memiliki konflik dasar, kedua kekuatan tersebut juga saling melengkapi.

“Agama keluarga” adalah bentuk lain dari budaya beragama Zhonghua. Penghormatan kepada leluhur adalah kewajiban utama dalam beragama, meliputi upacara, sikap dan pemeliharaan martabat keluarga dan sosial.


Sistim religious Zhonghua bersifat polytheisme, penyembahan berbagai macam dewa untuk berbagai macam tujuan. Struktur sosial “Negara Tengah” yang awalnya berlandaskan pada masyarakat pertanian membuat mereka bergantung kepada tanah untuk menunjang kehidupan, sehingga bentuk persembahan dan pemujaan banyak dilakukan terhadap Dewa Tanah. Dalam beberapa hal, kepercayaan tradisional berkembang dari produk kehidupan pertanian, berlanjut dengan mengkombinasikan aspek-aspek yang berbeda akan keyakinan dan tradisi. Ekspresi beragama dilakukan dengan mengkombinasikan penghormatan kepada leluhur, etika Konfusian, pengabdian kepada dewa-dewa setempat, penguniversalan Zhonghua, beberapa buddhisme dan pratek upacara yang berhubungan dengan cenayang, firasat/ramalan, ilmu gaib dan takhayul. Hingga hari ini, pengaruh dari percampuran tersebut, sekalipun tidak seragam ataupun sama, banyak ditemukan pada individual dan keluarga Zhonghua dan juga pada masyarakat dan keturunan Zhonghua di Indonesia, yang masih banyak menganut kepercayaan tradisional, yaitu tradisi kepercayaan rakyat, yang merupakan sinkretisme Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme. Dalam buku “Fengshen yanyi” (pelantikan dewa-dewa), abad ke 16, tertulis peribahasa yang berbunyi “ Tiga ajaran -emas dan cinnabar (batu mineral, basque armine) Daoisme, kesucian figur-figur buddhisme, beserta pandangan kemanusiaan dan kebenaran dari konfusianisme- pada dasarnya adalah satu tradisi”. Bermula dari pendapat tentang “Trinitarian idea” maka kata “syncretism” (penyatuan aliran) digunakan dalam menggambarkan kepercayaan religius Zhonghua, dimana sering didengar kata “tiga ajaran melebur menjadi satu (San Jiao He Yi).”

Bagi Zhonghua, orang tua mempunyai peranan penting dalam keberuntungan, kesehatan dan kesuksesan hidup. Lebih jauh lagi, melakukan penghormatan mendalam kepada orang tua atau orang yang dianggap lebih tua akan memberikan berkat kepada seluruh keluarga, sebaliknya ketidakberuntungan dan malapetaka akan menimpa jika melakukan perbuatan yang menimbulkan ketidaksenangan dan kemarahan orang tua.

Menurut penulis Zhang (1993), pemujaan leluhur banyak dilakukan terutama pada jaman dinasti Shang (1600—1046 SM). Setelah periode 1100 SM hingga 256 SM pemakaian kata “pemujaan” dianggap kurang tepat. Karena pemujaan lebih dimaksudkan dalam arti “segenap hati” oleh karena itu, kata “pembaktian diri” dianggap lebih mewakili, sehingga penghormatan diberikan tidak hanya bagi mereka yang masih hidup tetapi juga untuk orangtua/leluhur yang sudah tiada. Menghormati orang tua atau orang yang lebih tua dianggap sebagai perbuatan yang bijaksana, dan menghormati mereka yang sudah meninggal merupakan perbuatan yang sangat bijaksana.

Bagi masyarakat dunia secara umum, melakukan dan menghadiri acara pemakaman merupakan tanda hormat seseorang terhadap almarhum. Hal ini juga berlaku bagi budaya Zhonghua. Dengan sedikit perbedaan konotasi, perayaan pemakaman yang dilaksanakan keluarga almarhum lebih menekankan pada“kewajiban anak untuk berbakti terhadap orang tua” (hsiao atau xiao). Sebuah sistim dimana sang anak diwajibkan untuk membantu secara ekonomi maupun moral, menyayangi, memberikan status dan martabat kepada orang tua. Diatas semua kewajiban, kewajiban yang paling utama bagi anak adalah melaksanakan acara kematian bagi orang tua secara lengkap dan terperinci (kegiatan upacara dari sejak kematian, saat penguburan hingga setelah penguburan dilakukan). Semakin besar, lengkap, rumit dan terperinci perayaan upacara kematian, prosesi dan “penggambaran” rasa berduka maka semakin terangkat status keluarga. Oleh karena itu, saat “mengantar” psyché dari orang tua maka perayaan upacara diadakan sebesar, selengkap dan serinci mungkin. Rasa berduka cita, kehilangan karena kematian, lebih merupakan urusan umum (public affair) daripada masalah pribadi. Pada saat pemakaman, anggota keluarga, seluruh teman dan para kenalan akan menyampaikan rasa duka cita serta dukungan moral bagi anggota keluarga almarhum.

Banyaknya penelitian yang menuliskan bahwa pelaksanaan upacara kematian, sebelum dan sesudah pemakaman mengandung elemen Buddhisme, Taoisme dan kepercayaan adat serta takhayul profane Zhonghua. Selama acara pemakaman, dupa dibakar, para anggota keluarga membakar uang kertas dan kertas lainnya yang bersimbolkan kebutuhan hidup secara material. Kegiatan ini dilakukan untuk menjamin tercukupnya kebutuhan hidup almarhum di “dunia baru”. Sebelum peti ditutup, selimut dan pakaian membungkus almarhum, agar tetap merasa hangat saat tiba di “dunia” lain. Prosesi pemakaman adalah prosesi yang rumit dan terperinci. Pada saat mayat disemayamkan di rumah, selembar kertas putih bertuliskan kematian dan nama almarhum diletakkan pada pintu masuk utama. Didalam rumah, disiapkan altar sementara lengkap dengan foto almarhum, serta kursi atau dalam Buddhisme dikenal dengan nama “kursi teratai”, terletak di tengah. Biasanya kursi terbuat dari kertas atau kayu berbentuk persegi panjang yang bertuliskan nama almarhum, dan merupakan tempat sementara bagi psyché. Persembahan seperti bunga, lilin, dupa, makanan dan minuman diletakkan. Para tamu akan memberikan penghormatan dan persembahan, membungkuk ke arah foto almarhum, mempersembahkan uang atau poster kepada keluarga almarhum yang bertuliskan penghormatan dan kenangan mereka. Biasanya poster untuk acara kematian berwarna putih, tetapi jika almarhum meninggal pada saat berumur lebih dari 80 tahun maka poster berwarna merah di buat untuk merayakan hidup panjang yang telah dilalui.

Kebanyakkan dari perayaan pemakaman Zhonghua juga dipenuhi dengan karangan bunga duka. Kertas yang bertuliskan kenangan atas almarhum serta nama dari para pemberi rangkaian bunga terletak di tengah rangkaian bunga yang berbentuk lingkaran. Semakin banyak karangan bunga maka semakin terlihat martabat dan status hubungan almarhum dengan pemberi karangan bunga. Begitu juga posisi peletakkan karangan bunga menggambarkan seberapa dekat hubungan almarhum dengan pemberi. Karangan bunga dari keluarga terdekat akan diletakkan sedekat mungkin dengan peti mayat, dibandingkan dengan pemberi karangan bunga yang mempunyai hubungan jauh.

Peti mayat diletakkan bersama dengan karangan bunga di dalam mobil/kereta mayat. Prosesi pemakaman biasanya dilakukan dengan mengitari tempat persemayaman, kemudian menuju komplek pemakaman. Sebelum menuju ke tempat pemakaman, rombongan akan menuju ke rumah almarhum. Pengendara mobil/kereta mayat akan menuju ke pintu depan rumah dan membuka pintu. Hal ini dilakukan agar roh-roh jahat yang masih ada di rumah almarhum dapat segera pergi meninggalkan rumah tersebut dan juga agar almarhum dapat mengetahui jalan menuju rumahnya “yang dahulu”. Setelah pemakaman, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam, yang kadang kala dilakukan di restoran yang menyediakan menu “makan malam setelah pemakaman”, dimana biasanya dihidangkan menu vegetarian.

Perayaan upacara setelah pemakaman sama penting artinya dengan upacara saat pemakaman. Dalam tradisi Zhonghua kuno, periode perkabungan berlangsung selama 7 tahun, pada masa sekarang periode berkabung berlangsung selama 49 hari. Seluruh keluarga bertemu bersama di komplek pemakaman pada hari ke 3 setelah penguburan dan melakukan pembakaran uang dan persembahan makanan. Hal ini juga dilakukan pada hari ke 7, hingga hari ke 49 setelah kematian.

Upacara hari ketujuh setelah kematian biasanya dilakukan di kuil ataupun di rumah keluarga almarhum. Menurut budaya profane Zhonghua, dipercayai bahwa pada hari ke tujuh setelah kematian, arwah almarhum akan mengunjungi rumah keluarga. Lempeng merah dengan nama lengkap almarhum diletakkan di depan rumah untuk menjamin agar arwah almarhum dapat menemukan kembali rumahnya. Perayaan upacara kematian pada hari ke 7 juga menggambarkan prinsip Buddhisme karena diyakini bahwa psyché yang berada di tempat “yang tidak pasti” mempersiapkan keberangkatannya melalui proses kematian pada setiap tujuh hari. Oleh karena itu, saatnya bagi keluarga untuk menolong agar psyché dapat “lahir kembali” dalam keadaan dan berkualitas baik. Hari ke 49 dianggap hari yang penting karena menandakan titik akhir antara kelahiran dan kematian. Pada Buddhisme, umumnya acara ini dilakukan untuk kepentingan almarhum pada waktu memasuki tingkat kelanjutan kelahiran di tanah yang suci setelah melalui kematian dengan pertolongan kasih Ēmítuó Fó/Amida/Amitābha Buddha.

Selama periode 49 hari, anggota keluarga almarhum diharuskan memakai pakaian berkabung. Anak laki-laki almarhum mengikat kain hitam pada lengan baju mereka, kain warna biru bagi cucu lelaki dan kain hijau diikatkan pada lengan baju cicit lelaki, sedangkan anggota keluarga perempuan menyematkan bunga rajutan wool berwarna pada rambut mereka. Istri dan anak perempuan almarhum mengenakan bunga rajut putih, anggota keluarga jauh menyematkan bunga rajut berwarna biru atau hijau pada rambutnya. Anggota keluarga akan meneruskan mengenang almarhum, dimana anak lelaki tertua membakar dupa dekat lempeng prasasti almarhum atau foto almarhum yang diletakkan di dalam rumah. Pada perayaan “Hari Menyapu Kuburan” yang dikenal dengan “festival Qingming/Qing Ming Jie” atau di Indonesia lebih dikenal sebagai Ceng Beng (bahasa Hokkien), para anggota keluarga mengunjungi makam almarhum. Pembersihan makam dan pembakaran uang kertas dilakukan. Qingmingjie, atau festival Qing Ming ditetapkan sebagai “Hari Menyapu Kuburan Nasional” sejak tahun 1935 di Zhongguo. Upacara ini dilakukan untuk mengenang almarhum, serta merupakan salah satu cara bagi anggota keluarga untuk memastikan bahwa almarhum tidak mengalami “kelaparan” dan terpenuhi kebutuhannya.

Perayaan upacara kematian berguna bagi tiga pihak: almarhum, keluarga almarhum dan komunitas masyarakat. Dengan perayaan ini, almarhum dapat melanjutkan perjalanannya pada kehidupan dan status yang baru; bagi keluarga almarhum upacara merupakan forum untuk mengekspresikan perasaan berduka cita serta pembaktian diri; dan bagi komunitas secara lebar merupakan kesempatan dan sarana dalam memberikan bantuan sosial dan dukungan moral.

Masyarakat Zhonghua mempercayai adanya kelangsungan hubungan antara yang sudah meninggal dengan keluarga yang masih hidup. Arwah almarhum melangsungkan kehidupannya dan keluarga yang masih hidup, bertanggung jawab dalam meneruskan perhatian kepada mereka. Tindakan ini merupakan bagian dari konsep berbakti (hsiao atau xiao). Kegagalan dalam mengurus almarhum akan mendatangkan ketidakberuntungan tidak hanya pada keluarga terdekat tetapi juga bagi seluruh anggota keluarga besar. Jika penguburan tidak dilangsungkan secara tepat dan lengkap, jika tempat pemakaman dilakukan di tempat yang tidak cocok, dan jika penghormatan serta persembahan tidak dilakukan sesuai dengan waktunya, maka Psyché berubah menjadi “hantu yang lapar” (hungry ghost), yang akan mendatangi, mengganggu, dan menimbulkan wabah pada anggota keluarga yang hidup. Untuk menghindari hal ini, keluarga akan mendatangi ahli ramal untuk menanyakan tempat yang cocok dan tanggal dari penguburan, agar almarhum dapat berisirahat di tempat yang tenang dengan tanah yang baik, menghadap ke arah yang menguntungkan.

Sekalipun ada beberapa cara dan adat yang berubah dan penyesuaian keadaan oleh para Zhonghua, imigrant Zhonghua ataupun yang berkelahiran di luar “negara tengah”, masih banyak Zhonghua yang tetap membakar dupa, uang kertas dan pakaian kertas, menjamin arwah leluhur tetap terpelihara pada kehidupan barunya.

Bagi Zhonghua, kematian dan upacara kematian pertama (premiere funeral) berasosiasikan pada ketidakberuntungan, berbeda dengan upacara kematian kedua (second funeral) yang disambut dengan kegembiraan. Mereka takut akan adanya potensi ketidakberuntungan dalam acara pemakaman. Konsekuensinya, banyak dari mereka yang memunggungi peti yang terbuka. Ketika para tamu selesai memberikan penghormatan terakhir, hadiah kecil berbentuk permen dan uang koin yang dibungkus dengan kertas putih, diberikan. Uang koin tersebut digunakan untuk membeli sesuatu yang manis, sedangkan permen harus dimakan saat itu juga, lalu kertas pembungkus dibuang sebelum mereka tiba di rumah, atau meminum teh manis sebelum memasuki rumah sebagai tanda bahwa mereka telah membuang jauh ketidakberuntungan.


Ketakutan terhadap ketidakberuntungan bagi diri sendiri ataupun bagi orang lain terilustrasikan dalam beberapa bentuk hadiah dan jenis warna yang melambangkan kematian. Contohnya, orang Zhonghua tidak akan menganggap saputangan sebagai hadiah karena benda tersebut merupakan lambang dari tangis, duka cita dan kematian. Begitu juga dengan jenis warna, warna putih melambangkan kematian, sedangkan warna merah mendatangkan keberuntungan dan keberhasilan. Hal ini juga merupakan salah satu alasan mengapa tempat persembahyangan Zhonghua (kuil, kelenteng, dll) didominasi dengan warna merah. Dalam adat kuno Zhonghua, pengantin diharuskan berpakaian warna merah, yang melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan, berlawanan dengan cara berpakaian pengantin adat lain yang menggunakan warna putih. Konsekuensinya, mengenakan pita putih pada rambut dikonsiderasikan sebagai tanda pembawa kemalangan.

Sekalipun kematian dimasukkan dalam kategori tabu atau ketidakberuntungan, ketika orang yang sudah tua meninggal dunia, mereka percaya bahwa dia tetap hidup selamanya dan keyakinan ini membawa kegembiraan. Tetapi pada saat seorang anak meninggal, orang Zhonghua percaya bahwa hal tersebut tidaklah konsisten dengan kehidupan alamiah. Ada pepatah Zhonghua yang mengatakan “rambut putih tidak mengirim pergi rambut hitam”. Ketika seorang anak meninggal maka keluarga yang ditinggalkan menganggap kematian tersebut sebagai hal yang memalukan dan mereka akan “menghukum” diri mereka sendiri, karena diyakini bahwa para dewa tidak memberkati kehidupan mereka. Jika manusia hidup berkelakuan baik maka mereka akan mempunyai umur panjang dan banyak anak. Semua anak akan panjang umur dan berhasil dalam kehidupannya. Tetapi, jika tiba-tiba salah satu anak meninggal, maka ada sesuatu yang salah. Para Dewa tidak memberkati, sehingga jika orang tua sang anak yang sudah berambut putih dan tua, tidak akan menghadiri pemakaman karena rasa malu yang besar.

Aplikasi nilai dan upacara dalam kematian ini dilaksanakan dengan berbagai macam alasan. Dalam beberapa hal sistim nilai tradisi budaya Zhonghua tertanam tidak hanya pada pelaksanaan pemakaman tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Menyelamatkan “muka” (martabat) keluarga dan “pembaktian diri terhadap orang tua” merupakan bagian dari pengertian akan nilai-nilai budaya Zhonghua yang konstan keberadaannya.

Bagaimanapun juga, beberapa pendapat memberikan alasan akan hubungan antara yang sudah meninggal dengan yang masih hidup. Banyak dari acara ritual ini dilakukan karena adanya rasa takut terhadap roh jahat dan keinginan untuk mengusir ketidakberuntungan. Mereka percaya bahwa keberuntungan dan ketidakberuntungan dalam hidup tergantung dari bagaimana mereka bersikap dan berbakti terhadap orang tua. Pendapat lain mengatakan bahwa acara perayaan kematian dilakukan bukan hanya sekedar kegiatan religius tetapi juga berguna bagi mereka untuk mempertahankan identitas Zhonghua, mekanisme untuk melestarikan budaya Zhonghua pada tanah air mereka yang “baru”.

King (1991) mencatat, bahwa masyarakat Zhonghua berdiri diatas prinsip-prinsip dari “martabat” dan “kewajiban”. Hal ini adalah konsep dari sosial budaya yang membantu untuk mengerti struktur sosial Zhonghua. Konsep sosial budaya adalah kunci pembangunan dan contoh baku bagi sikap hidup sosial sehari-hari. King menekankan bahwa sekalipun modernisasi dan budaya barat mempengaruhi negara Taiwan, Hongkong dan “negara tengah” Zhongguo itu sendiri, konsep sosial budaya tetap merupakan pola baku bagi sikap sosial Zhonghua dan struktur sosialitas.

Struktur sosial dari masyarakat Zhonghua berfokus pada garis silsilah pihak ayah (paternal lineage). Mempunyai anak lelaki pewaris keturunan adalah hal yang vital karena mereka adalah peran utama dalam ,melaksanaan pembaktian kepada nenek moyang. Mereka percaya bahwa “kekekalan” dapat dicapai jika garis silsilah keluarga diabadikan, dan hal tersebut hanya bisa disempurnakan oleh anak lelaki tertua, yang tidak hanya membawa nama marga keluarga tetapi juga melakukan upacara pada makam leluhur. Anak lelaki tertua bertanggung jawab dalam memenuhi pelaksanaan upacara, pada saat festival Qing Ming, meletakkan lempeng papan nama leluhur dan membakar dupa untuk leluhur, di dalam rumahnya. Penulisan kata “Xiong” (kakak lelaki tertua) dalam pictograph Zhonghua digambar dalam bentuk ” dimana bentuk “” berarti mulut, melambangkan tugas kewajiban anak lelaki tertua, sebagai orang yang “berbicara” mewakili keluarga.

Sangatlah tidak mungkin untuk tidak memperhitungkan prinsip beragama di dalam sikap menghadapi dan pelaksanaan upacara dalam kematian. Terlihat dengan jelas bahwa “alunan” dari Konfusianisme, Taoisme, Buddhisme dan takhayul rakyat domestik berdampingan bersama dalam tata cara menghadapi dan pelaksanaan upacara dalam kematian.

Cara peraturan khusus dalam pakaian berkabung dan posisi peletakkan karangan bunga dari anggota keluarga dan teman-teman, adalah hal yang penting dalam nilai budaya Zhonghua yang mendorong ketaatan kepada autoritas dan struktur hierarki. Hal ini juga didukung oleh Konfusius yang mempercayai kelakuan yang tepat akan mengalir secara alamiah dari struktur yang benar. Pakaian berkabung berguna untuk membedakan anggota keluarga dan kedudukkan mereka pada struktur sosial dan hubungan dekat dengan almarhum. Penempatan karangan bunga juga berfungsi sebagai lambang dari kedudukkan pemberi karangan bunga dalam struktur komunitas.

Begitupula kepercayaan akan kematian dan penerapannya, didasarkan oleh kepentingan dari gabungan keluarga dan keharmonian antar anggota keluarga, yang juga menggambarkan prinsip dari Taoisme .

Menurut tradisi buddhisme, diantaranya, kematian bukanlah sesuatu keakhiran, dimana siklus hidup berlangsung pada dunia akhirat. Oleh karena itu, pembakaran uang kertas dan barang seperti milik pribadi lebih dilihat dari sudut pandang akan “jaminan sosial” almarhum pada kehidupan yang baru.

Akan tetapi, beberapa kepercayaan Zhonghua menyatakan bahwa ritual tersebut dilaksanakan untuk menghindari “roh yang lapar”. Dalam cerita rakyat kuno dikatakan bahwa jiwa manusia mempunyai dua kekuatan, Shen dan Gui. Shen melambangkan sifat baik/positif dari almarhum, seperti cahaya dan kehangatan. Sedangkan Gui melambangkan keprimitifan dasar alamiah manusia seperti kegelapan dan kedinginan. Setelah manusia meninggal, dua kekuatan jiwa tersebut terpisah dan meninggalkan badan. Jika upacara pemakaman tidak dilakukan dengan benar maka Gui akan kembali memasuki tubuh almarhum dan menghantui anggota keluarga.

Simbol binatang dalam upacara kematian

Jade Girde-Pendant
Chinese Jade Girde-Pendant
Han Dynasty, 206-220 B.C.

Penggunaan figur binatang sebagai simbol dalam kematian banyak digunakan dalam adat Zhonghua. Diantara begitu banyak figur binatang, dua diantaranya adalah tonggeret (cicada) dan kupu-kupu.

Chinese Tongue Amulet
Chinese Tongue Amulet. Brown jade
Han Dynasty, 206-220 B.C.

Beberapa anthropolog dan arkeolog mengetahui bahwa budaya Zhonghua kuno mempercayai tonggeret sebagai symbol dari kelahiran kembali dan keabadian. Penggunaan tonggeret sebagai simbol kelahiran kembali setelah kematian, diduga terjadi pada ± tahun 500 SM -1000. “Simbol binatang sakral” ini digunakan sejak periode Han (202 SM – 220) dalam bentuk ukiran batu giok. Benda ini dikenal dengan nama yang bervariasi, yaitu “giok pemakaman” (funeral jade), “penangkal kematian” (amulets of death), “jimat lidah” (tongue amulets) atau juga dengan nama "Han yü" yang berarti “diletakkan di dalam mulut”. Benda ini diletakkan pada lidah almarhum dengan maksud untuk menarik kehidupan kembali dengan keajaiban akan kasih. Beberapa bentuk dari benda ini adalah ceper dan berukir, tetapi kebanyakkan berbentuk seperti bentuk asli tonggeret atau sedikit lebih lebar dengan detail variasi yang terperinci.

Binatang kupu-kupu sendiri mempunyai arti yang beragam, tergantung dari situasi dan tujuan pemakaiannya. Figur kupu-kupu lebih merupakan lambang yang universal dan banyak ditemukan pada budaya-budaya besar di dunia. Dalam bahasa Yunani, Psyché adalah kupu-kupu dan juga berarti roh. Psyché ialah roh manusia yang dimurnikan dengan penderitaan dan ketidakberhasilan, lalu kemudian dipersiapkan untuk menikmati kesucian dan kebenaran dari kebahagiaan. Dalam cerita Yunani kuno, tertulis kisah Psyché dan Eros dimana Psyché adalah putri yang paling cantik dari 3 anak perempuan Raja Yunani, ia mengalami ketidakberuntungan dan penderitaan tetapi pada saat kematiannya ia hidup kembali. Melalui Eros, suami Psyché yang tidak terlihat, Psyche belajar tentang cinta dan bangkit dari penderitaannya, dengan hasrat dan usaha, dia berhasil hidup kembali dan memenangkan kecantikan spritual.

Bagi para Zhonghua, kupu-kupu berwarna putih dapat ditemukan pada saat upacara kematian dimana warna putih itu sendiri merupakan lambang kematian. Proses kehidupan kupu-kupu dan transformasinya, dari larva menjadi kupu-kupu merupakan simbol dari kehidupan manusia, sejak kelahiran hingga kematian dan lalu kelahiran kembali karena kasih Ēmítuó Fó dalam kehidupan yang baru.

Dari Piramid hingga Kayon.

Didalam kehidupan semesta, poros vertical kosmologi pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, dunia bawah, bumi dan dunia atas, dimana Löffler (1968:22) mendefinisikan letak bumi di antara langit dan air, serta banyaknya lambang dengan figure binatang melata, binatang bersayap (burung) dan ikan. Ketiga bagian poros vertical tersebut dapat juga dilihat dalam bentuk rumah hingga monument kosmik. Dari bentuk Piramid di Mesir hingga Kayon atau Gunungan (pohon kosmik) dalam pertunjukkan wayang Jawa dan menara Bade dalam upacara Ngaben di Bali.

Piramid sendiri dalam definisi esoteris melambangkan poros dunia dan pencerahan. Piramid merupakan perpaduan dari berbagai bentuk: bagian dasar yang berbentuk kotak melambangkan dunia, puncaknya adalah lambang dari awal dan akhir segalanya, sedangkan lekuk/lereng yang adalah sisi segitiga menghubungkan puncak dengan dasar, melambangkan api, wahyu agung dan lipat tiga prinsip dari penciptaan yang merupakan simbol dari seluruh ciptaan. Bentuk Piramid juga dikenal dengan nama lain atau bentuk lain, yaitu Pohon kehidupan atau pohon semesta yang menggabungkan konsep semesta dunia. Dapat juga digambarkan sebagai Pohon pengetahuan, pohon kesuburan, pohon keinginan, pohon pendakian yang artinya dari bumi naik ke dunia atas atau dari bumi menurun ke dunia bawah. Pohon kehidupan berperan mempersatukan, mengatur elemen dalam setiap sistim mitologis tua.

Kepustakaan

  • Jung, M. (1998), Chinese American family therapy: A new model for clinicians
  • Kalish, R. A. and Reynolds, D.K. (1976), Death and ethnicity: A psycho-cultural study
  • Kastenbaum, R. and Aisenberg, R. (1972), The psychology of death
  • King, A.Y.C. (1991), Kuan-his and network building: A sociological interpretation
  • Klass, D. and Goss, R.E. (1998), Asian ways of grief, In Kenneth J. Doka and Joyce D. Davidson (Eds.), Living with grief: Who we are, how we grieve
  • Lee, E. (1991) , Mourning rituals in Chinese culture, In E Walsh and M. McGoldrick (Eds.), Living beyond loss: Death in the family
  • Löffler, Lorenz G (1968), Beast, bird, and fish: An essay in South-East Asian symbolism, In Folk Religion and the Worldview in the Southwestern Pacific
  • Plopper, Clifford H. (1926),Chinese Religion Seen through the Proverb
  • Rosenblatt, P.C. (1988), Grief: The social context of private feelings
  • Tanner, J.G. (1995), Death, dying, and grief in the Chinese-American culture, In J.K. Parry and A.S. Ryan (Eds.), A cross-cultural look at death, dying, and religion
  • Yang, C.K. (1961), Religion in Chinese society
  • Zhang, Z. (1993), A brief account of traditional Chinese festival customs
  • Teiser, Stephen F. (1996), The Spirits of Chinese Religion

Arita-CH



Previous
Next Post »