Chastity

07.04.2006.

Dear Zev, bagaimana kabarnya hari ini ? Semoga lebih baik dari kemarin! Begitu juga dengan pembaca lainnya, semoga juga hari ini lebih baik dari yang kemarin.

Membaca artikel tentang "Keperawanan" dan "angka 6 di Swedia", saya jadi tergelitik untuk "nimbrung", tapi bukan untuk "mentungin" kepalanya Bung Sarimin melainkan membahas akan masalah keperawanan itu sendiri, mumpung malam ini tidak terlalu banyak kerjaan.

Membaca arti "perawan" dalam bahasa Indonesia maka akan dikonotasikan dalam konteks perempuan dimana "Seorang perawan adalah seorang wanita yang belum pernah mengadakan hubungan seks", sedangkan pada bahasa asing, "Virginity" lebih bersifat pada keadaan sesuatu yang belum tersentuh apapun. Dimana secara tradisional kata "virgin" digunakan untuk menjelaskan keadaan seseorang yang belum pernah melakukan kegiatan seksual. Status "virginity" itu sendiri mempunyai arti dan nilai yang tinggi pada budaya dan agama di dalam masyarakat yang mana diartikan dengan "tidak melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan".

Secara fisik, lebih mudah mengetahui "virginity" seorang wanita, sedangkan pada pria tidak terdapat indikator untuk mengetahui keadaan "virginity". Hanya status sosial yang membedakan pria yang "perjaka" atau pria yang sudah menikah. Namun bukan berarti tidak ada pria yang "virgin", contohnya "Bung Sarimin" yang mengatakan bahwa dirinya masih "virgin", nah dalam hal ini saya ingin mengenalkan sebuah kata kepada para pembaca, yaitu "Chastity".

"Chastity" dalam konteks budaya dan agama adalah sebuah virtue (Latin virtus; Greek ἀρετή) -kesempurnaan moral- yang dihubungkan dengan keadaan murni fisik dan jiwa, "Abstaining from sex on moral grounds, not having extramarital sexual relations, behaving in a pure way, with no immoral thoughts".

Kata yang berasal dari bahasa Perancis "chasteté", diambil dari bahasa Latin "castitas", castus, yang di artikan dengan "sexual abstinence", "Fidélité" kesetiaan, untuk tidak melakukan hubungan seksual secara sadar dan sukarela. Salah satu filosof Yunani, Plato, mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan "chasteté" dan terkenal dengan "Platonic Love".

Adapun inti dari "Chastity" adalah pengendalian diri secara sadar untuk tidak melakukan hubungan seksual, sekalipun harus tidur seranjang dengan wanita-wanita cantik tanpa sehelai benang melekat di badan mereka. Wah kayaknya susah juga ya kalau dikerubungin wanita-wanita cantik tak berpakaian! Tapi hal ini ada dan tercatat dalam sejarah, salah satunya adalah seorang tokoh terkenal dari India, Mahatma Gandhi.

Pada pertengahan umur 30, Mahatma Gandhi mengangkat sumpah bramahcharya yang tidak hanya total Chastity, tetapi juga menghapuskan gairah dan keinginan seksual dengan bertiduran dengan wanita (bukan istri) tanpa pakaian.

Hal-hal yang bertentangan dengan Chastity adalah, perselingkuhan, masturbasi, pelacuran, pemerkosaan, dan homoseksual. Untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan, terdapat suatu alat yang bernama "Chastity belt" yang berbetuk seperti celana dalam bergembok yang didisain untuk menghalangi terjadinya kegiatan seksual dan masturbasi, salah satunya di buat dan di patenkan di U.S - US Patent 995600 oleh Jonas E. Heyser

Berbicara mengenai "Keperawanan" di pihak wanita, menurut Bung Sarimin definisi "keperawanan" lebih dari sekedar selaput dara saja. Jadi kalau saya tidak salah kaprah, artinya ya lahir batin, perawan di fisik, juga di jiwa. Begitu juga dengan pihak lelaki, mempunyai kesempurnaan moral dan pengendalian diri terhadap keinginan seksual secara fisik maupun pikiran. Seperti kata Dante (1265-1321) "lust detracts from true love".

Chastity bukanlah hal yang susah di praktekkan di negara yang nilai - nilai agama dan adat masih kuat. Baik agama Islam, Kristen, Buddha maupun Hindu mengajarkan hal yang sama, pengendalian diri dan pikiran dari sesuatu yang berhubungan dengan seksual. Kecuali di negara yang masih memiliki tribu/suku yang "primitif" (saya kira di Afrika tetapi saya lupa nama sukunya), dimana seorang perempuan yang belum melakukan hubungan seksual sebelum menikah dianggap memalukan dan tidak populer.

Jadi berbahagialah menjadi orang Indonesia yang nilai adat dan agamanya masih dijunjung tinggi. Kalaupun kita membaca tentang penelitian dimana penyimpangan-penyimpangan terjadi toh masih belum bisa dijadikan sebagai definisi mutlak kalau moral bangsa kita sudah bobrok 100%. Saya sendiri tidak setuju dengan RUU APP, karena menurut pendapat saya pribadi, ujung-ujungnya adalah uang! Eksploitasi yang berhubungan dengan seks adalah sumber mata air yang besar bagi segelintir pihak yang duduk di pemerintahan dimana dengan berbagai alasan entah moral dan agama, pihak-pihak tertentu akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari rakyat Indonesia sendiri.

Wah-wah saya malah ngawur ngomongin politik.

Sudah dulu ya Zev, saya sudah ngantuk berat, salam sejahtera buat seluruh pembaca Koki, dan sukses untuk hari ini dan esok!

Arita-CH

Previous
Next Post »