Menikahi 3 Bocah

03.10.2008.

Menikahi 3 Bocah, Mengikuti Sunnah Rasullulah?
Pilih, ambil, coret lainnya. Saya (sudah) mengikuti Sunnah Rasullulah
 
Dear Zev, Kokiers, kokoers dan komentators,
Sebelum kutuliskan kata-kataku, ada baiknya kembali saya memberikan sedikit info tentang latar belakang profesi saya yang adalah seorang antropolog. Sebagai seorang antropolog, saya diharuskan untuk memisahkan dengan jelas, mana informasi dan fakta, mana yang merupakan pendapat saya. Oleh karena itu, saya sudah dibiasakan dan diwajibkan terbiasa untuk melihat dan menerima perbedaan. Maka, sekalipun saya berkolaborasi untuk menulis suatu tema yang berbeda dengan agama saya, namun bagi diri ini, bukanlah suatu hal yang bertentangan. Tulisan bagian saya yang berjudul Pilih, ambil, coret lainnya. Saya (sudah) mengikuti Sunnah Rasullulah, saya buka dengan sekilas sejarah tentang Nabi Muhammad S.A.W.
Muhammad ibnu Abdillah dilahirkan di Mekah pada tahun 569 (Hamidullah,1969:10). Pada tahun 594, saat beliau berumur 25 tahun, beliau menikah dengan seorang JANDA yang berusia di atas beliau, bernama Khadijah bint al-Khuwaylid, berumur sekitar 40 tahun.
Khadijah adalah seorang wanita kelas atas diantara para Quraish. Kehidupannya yang bersih dari cacat dan noda membuat beliau terkenal dengan panggilan Al-Tâhirah, "The pure lady". Pernikahannya dengan Nabi Muhammad S.A.W memberikan kontradiksi akan pendapat tentang gambaran wanita Arab yang pasiv, modest dan tertutup. Sebagai informasi tambahan, pada saat jaman Khadijah hidup, sistim sosial masyarakat Arab bersifat matrilineal (garis keturunan ibu). Dalam tradisi ini, perempuan bisa menjadi “pemimpin” untuk memungkinkan wanita meminang seorang lelaki untuk menikah dengannya. Pernikahan dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W pada masa muda dan beliau setia mendampingi SATU-SATUNYA istri beliau, hingga ajal menjelang Khadijah, datang memisahkan mereka berdua. Pernikahan MONOGAMI yang berusia sekitar duapuluh limatahun terputus oleh kematian. Pada saat itu Nabi Muhammad S.A.W. berusia lima puluh tahunan.
Setelah kematian Khadijah, Nabi Muhammad S.A.W.menduda selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Kematian Khadijah sangat memukul kehidupan Nabi Muhammad S.A.W. Tahun-tahun yang penuh dengan duka bagi Nabi Muhammad S.A.W., seorang suami yang ditinggalkan istrinya, tahun-tahun ini dikenal sebagai tahun berkabung ‘am al-huzn.
Pernikahan kedua Nabi Muhammad S.A.W adalah dengan seorang JANDA bernama Sawdah Bint Zam'ah Ibn Qays dari suku Quraysh, Makkah. Sawdah termasuk dalam rombongan muslim yang berimigrasi ke Abyssinia dengan suaminya, Sakran bin' Amr. Setelah kematian Sakran bin' Amr suaminya, Sawdah mengalami masa-masa sulit dan berat untuk beradaptasi dengan keadaan yang berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya, ditambahkan lagi dengan kepergian suaminya untuk selama-lamanya.
Nabi Muhammad S.A.W pun mengalami hal yang sulit setelah kematian Khadijah, apalagi dengan adanya dua anak perempuan yang masih membutuhkan perhatian yang besar, Umm Kulthûm dan Fâtimah. Seorang perempuan bernama Khawlah bint al-Hakeem, yang juga merupakan sahabat terdekat Nabi Muhammad S.A.W, turut bersedih hati melihat keadaan beliau dan menyarankan beliau untuk menikah lagi. Reaksi pertama dari Nabi Muhammad S.A.W saat mendengarkan saran dari Khawlah adalah menangis dan berkata
“Menurutmu, apakah ada yang bisa menggantikan Khadijah?”.
Namun Khawlah melanjutkan dengan mengingatkan pada situasi keadaan yang membutuhkan kehadiran seorang istri untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan seorang ibu untuk mengurus anak-anak. Khawlah memberikan dua pilihan kepada beliau, seorang perawan muda bernama Aisya dan seorang janda berusia setengah baya bernama Sawdah. Nabi Muhammad S.A.W berkata, “Pergilah ke rumah keluarga Sawdah, dan katakanlah, aku hendak meminangnya menjadi istriku.”
Kurang lebih setahun setelah pernikahannya dengan Sawdah, Nabi Muhammad S.A.W dijodohkan secara resmi dengan Aisya bint Abu Bakr. Abu Bakr, ayah dari Aisya, adalah seorang yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad S.A.W, bahkan hubungan mereka dipererat dengan mengangkat Nabi Muhammad S.A.W sebagai saudara. Abu Bakr adalah seorang yang sangat menyayangi Nabi Muhammad S.A.W, bahkan ia sangat menginginkan memperkuat hubungan kekeluargaan mereka dengan pernikahan, keinginan tersebut dikokohkan dengan menjodohkan dan menikahkan anak perempuannya dengan Nabi Muhammad S.A.W.
Saya sengaja menulis kata dijodohkan disini, karena maksud dari konotasi dijodohkan adalah pengikatan hubungan pernikahan secara resmi tanpa melakukan hubungan seksual. Aisya dijodohkan pada usia dini, dan baru memasuki hubungan perkawinan suami istri saat ia memasuki masa pubertas (bulugh), dimana secara fisik, badaniah sudah siap melakukan proses reproduksi.
Setelah pernikahannya yang ketiga dengan Aisya, Nabi Muhammad S.A.W menikah kembali dengan 9 orang janda dan satu orang budak perawan (Maryah Qibtiyah).
William Montgomery Watt menulis bahwa, struktur keluarga Arab pada awalnya berdasarkan matrilineal, lalu kemudian berubah menjadi patrilinial (garis keturunan ayah). Sejak terjadinya perang Uhud pada tanggal 23 Maret tahun 625 (3 Shawwal 3 AH), banyak perempuan yang kehilangan suami dan anak-anak yang kehilangan ayah mereka. Dalam kejadian ini, maka struktur poligami dilakukan untuk melepaskan dan mengangkat penderitaan para janda dan para anak yatim (the “ayah” of polygamy, Surat al-Nisa’ 4: 34). Namun, kebanyakkan dari para lelaki muslim, menginterpretasikan kebijaksanaan “ayah” untuk memperkuat “kepentingan” mereka dalam berpoligami (cat: mempunyai banyak istri) dengan menggunakan nilai-nilai karakteristik patriotik. Pergeseran dari struktur keluarga yang bersifat matrilineal ke patrilineal semakin besar bersamaan dengan meningkatnya nilai karakteristik patriotik dalam masyarakat islam (Watt, 1956).
Pada tahun 632, diusianya yang ke 63 tahun, Nabi Muhammad S.A.W menghembuskan napas terakhir.
Kembali kepada judul "Pilih, ambil, coret lainnya. Saya (sudah) mengikuti Sunnah Rasullulah", saya kembali kepada kisah “besar” Ki Puji dan ulahnya.
Apa yang benar dan apa yang salah, ditetapkan dalam norma-norma/hukum yang ada. Seseorang yang dianggap imoral adalah jika mereka melanggar norma-norma sosial yang berlaku pada masyarakat. Relativitas moral akibatnya mampu membuat manusia (bisa) mengekspose standar dari hipokrit menjadi yang benar. Norma-norma yang berlaku pada jaman Nabi Muhammad S.A.W adalah norma budaya Semitic (Yahudi, Arab, Syria, dll), yang menyatakan bahwa seorang wanita yang sudah memasuki masa pubertas adalah wanita yang sudah siap memasuki masa reproduksi.
Dalam pernikahan Aisya dengan Nabi Muhammad S.A.W, dimana Aisya berusia muda, memacu perdebatan sengit akibat adanya penafsiran negatif dalam perkawinan mereka. Saya berpendapat bahwa penafsiran tersebut negatif adanya, dikarenakan pada Semitic Culture, perkawinan dengan wanita ataupun perempuan yang sudah memasuki masa pubertas adalah hal yang dianggap normal dalam arti, secara fisik badan mereka sudah siap melakukan proses reproduksi. Adapun masa pubertas pada tiap-tiap negara sangatlah berbeda. Umumnya, mereka yang tinggal di negara bermusim dingin, lebih lambat mengalami pubertas dibandingkan mereka yang tinggal di negara bermusim panas saja (Ploss, Bartels, Bartels, 1988:563).
Ada beberapa teori timeline yang diberikan oleh para sejarawan tentang usia Aisya. Sebuah buku yang berjudul "Hazrat Aisha: A study of her age at the time of her marriage", ditulis oleh Ruqaiyyah Waris Maqsood, dengan berdasarkan penelitian dari Maulana Muhummed Farooq Khan. Buku ini diterbitkan oleh IPCI (UK) pada tahun 1996. Buku ini mengupas akan keakuratan informasi yang diberikan oleh sejarawan Hisham ibh Urwah. Pada intinya, isi dari buku ini kurang lebih telah terwakilkan dengan penjelasan Reef diatas.
Kembali kepada era tahun 600 an, kedewasaan mental seorang perempuan pada era ini berlangsung lebih cepat dibandingkan pada masa sekarang. Pada umumnya, mental perempuan (sudah) dipersiapkan sejak dini oleh keluarga (sebagai lingkungan yang paling dekat) dengan pengetahuan akan konsep suatu pernikahan. Keadaan pada jaman tahun 600 an, jauh berbeda dengan situasi sekarang, dimana saat sekarang, perkembangan kedewasaan mental berevolusi dengan metode yang berbeda, dibandingkan jaman dulu, ditambah dengan lingkungan keluarga serta sekitarnya yang tidak selalu mempersiapkan mental anak sejak dini tentang suatu konsep pernikahan.
Tulisan saya diatas bukanlah hendak meresmikan perbuatan Ki Puji sebagai perbuatan yang sesuai dengan norma-norma. Namun menekankan, perbedaan pada, standar dari norma-norma, budaya konsep pernikahan, penerapan pola pernikahan, pola masyarakat sosial, serta kondisi hidup masyarakat yang jauh berbeda dibandingkan saat era tahun 600-an. Ada sederet alasan akan pernikahan usia muda dalam Semitic culture, namun satu hal yang patut dicatat mengenai perbedaan penerapan konsep pernikahan, KEDUA BELAH PIHAK berada dalam lingkungan lingkaran keluarga besar yang sudah disiapkan terlebih dahulu oleh lingkungannya, pernikahan dilakukan dalam lingkup yang terbatas (the larger family circle), serta KEDUA BELAH PIHAK masing-masing memahami serta menerapkan pola budaya ini secara turun temurun.


Berbeda dengan pernikahan usia dini yang dilakukan oleh Ki Puji, yang (mencoba) memakai nilai karakter patriotik, dengan alasan membantu, masalah perekonomian dll, namun menerapkan pola PILIH-PILIH SIAPA (anak kecil) yang harus dibantu. Dalam kasus ini, cerita menjadi berbeda, dengan pola dasar konsep pernikahan yang berbeda, lingkup ruang yang berbeda dan penerapan budaya yang berbeda. Menurut pendapat saya, adanya penerapan budaya yang berat sebelah, mendasarkan (menggunakan alasan) nilai karakteristik patriotik yang tidak jelas, kasus ini (ki Puji dan para “ki Puji lainnya”) cenderung lebih mengutamakan alasan untuk kepentingan pribadi, yang lebih jauh lagi menjurus kepada sexual misconduct.
Kenapa saya memberi judul Pilih, ambil, coret lainnya. Saya (sudah) mengikuti sunah Rasullulah ?
Kembali kita lihat poin-poin penting sejarah Nabi Muhammad S.A.W dalam kehidupan pernikahannya.
1. Menikahi seorang Janda yang berusia diatas usianya sendiri.
2. Hidup secara monogami hingga kematian istri.
3. Memilih untuk menikahi janda berusia setengah baya, dari dua pilihan yang diberikan, seorang perawan muda (Aisya) dan seorang janda berusia setengah baya (Sawdah Bint Zam'ah Ibn Qays).
4. Menikahi 11 janda dan dua orang perawan (Aisya bint Abu Bakr dan Maryah Qibtiyah).
5. Dari ke 11 janda, kebanyakkan sudah berusia lanjut, kehilangan suami, korban perang, kehilangan tempat tinggal dan saudara.
Sekarang bagaimana dengan penafsiran kata “Saya punya dasar agama juga. Enggak ngawur. Saya mengikuti sunnah rasullullah”?
Marilah kita bersama-sama mencoba melihat kebanyakkan dari “mereka” yang mendeklarasikan diri bahwa “ia mengikuti sunnah rasullullah” dan membandingkan bagaimana sejarah berkata (dan menulis) akan sebenarnya Nabi Muhammad S.A.W bersikap dan bertindak.
Dari lima point diatas, berdasarkan kenyataan yang terlihat pada dunia kehidupan sehari-hari ataupun berita dari media cetak dan televisi, terpampang hanya segelintir kaum lelaki muslimin yang BENAR-BENAR menjalankan sunnah (tindakan) rasullullah yang sesungguhnya dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W dalam kehidupannya. Sedangkan sisanya, yang kebanyakkan berjumlah mayoritas, lebih sering bertindak dan bersikap: Pilih, ambil, coret lainnya. Saya (sudah) mengikuti sunah Rasullulah.
Sekarang saya kembalikan pertayaan-pertanyaan kepada para pembaca, dengan mendasarkan pada riwayat sejarah Nabi Muhammad S.A.W:
1. Apakah anda (laki-laki berusia duapuluh tahunan) bersedia menikahi seorang janda yang berusia diatas usianya sendiri (empatpuluh tahunan)?
2. Apakah anda (laki-laki) bersedia hidup secara monogami hingga kematian istri?
3. Apakah anda (laki-laki) mampu MEMILIH untuk menikahi Janda berusia SETENGAH BAYA diantara dua pilihan, yaitu seorang perawan muda dan seorang janda berusia setengah baya?
4. Apakah anda (laki-laki) mampu menikahi (hanya) dua orang perawan dan (selebihnya adalah )11 janda?
5. Apakah anda (laki-laki) bersedia menikahi 11 orang janda yang mana sebagian besar adalah janda yang sudah berusia lanjut, kehilangan suami, korban perang, kehilangan tempat tinggal dan saudara?
Saya memang bukan seorang muslimah, dan saya hanya tahu segelintir akan sejarah besar dari Nabi Muhammad S.A.W, namun pergerakan dan pergeseran nilai moral dari sunnah (tindakan) rasullullah terlalu besar dan mencolok mata, untuk diabaikan begitu saja. Dasar suatu moralitas, menjadi bagaikan sekeping uang logam bermata dua, yang diciptakan demi kepentingan sepihak dengan memanipulasi moralitas suatu norma-norma. Suatu struktur keluarga patrilineal, yang seharusnya dilakukan untuk mengangkat nilai lebih dari karakteristik patriotik, malah menjadi struktur keluarga “pahlawan kesiangan”. Suatu norma yang seharusnya berbasiskan suatu tindakan luhur, dipilih yang “enaknya” saja lalu dipraktekkan dengan saenak jidatnya, kemudian menjadi sikap yang “diagung-agungkan” oleh sebagian pihak.
Suatu sikap yang bersifat lebih dalam konsep choose & pick, “saya pilih (yang enak), saya ambil, saya coret sisanya (yang tidak enak). Saya berada dalam kebenaran (absolut).” Lalu, pantaskah kita menonton dan membiarkan mereka mencontoh semau hati sendiri, membiarkan nilai kebajikan bergeser semakin jauh lagi dengan alasan bertindak secara patriotik?
Mampukah hukum di Indonesia bertindak sesuai dengan norma-norma hukum yang sudah tercantum dalam undang-undang perkawinan di negara Republik Indonesia, yang (sebenarnya) tidak menentang ataupun bertentangan dengan Sunnah Rasullulah yang sesungguhnya telah tersurat?
Pantaskah Ki Puji mengatakan “sudah mengikuti sunah Rasullulah”, jika alasan sang Nabi sendiri menikahi Aisya BUKAN karena usianya yang muda, BUKAN karena “suka sama yang kecil”?
“I will not follow your vain desires: if I did I would stray from the path and be not of the company of those who receive guidance" Qur'an - Surah al-An'aam - 6:56
We hear and we obey, surrender to The Creator...
Salam sejahtera,
Reef & Arita.
Referensi buku:
  • “Kiai Nikahi ABG, Secara Medis Membahayakan”,
    http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/24/04361491/
  • Abû Imân cAbd ar-Rahmân Robert Squires, “The Young Marriage of Aishah. Mother of the Believers”, Florida.
  • Al-Isabah Fi Tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar Al-Asqalani, vol.4, Maktabatu'l Riyadh Al-haditha, Al Riyad, 1978, p.377 http://saifulelsaba.wordpress.com/2008/yah-saat-dinikahi-rasul-SAW/
  • http://www.prophetmuhammadforall.org
  • http://www.usc.edu/dept/MSA/history/.AISHAH_BINT_ABI_BAKR.html
  • Mahd? Rizq All?h A?mad, Syed Iqbal Zaheer “A Biography of the Prophet of Islam: In the Light of the Original Sources, an Analytical Study”, Darussalam, 2005, P. 253.
  • Muhammad Hamidullah, “Introduction to Islam”, Centre Culturel Islamique, Paris, 1969, p.12
  • Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Arabic, dar Ihya Al-Turath Al-Arabi, vol.6, Beirut, p.210.
  • Ploss Herman H., Bartels Max and Bartels Paul, “Woman”, Volume I, Lord & Bransby, 1988, p.563.
  • Ruqaiyyah Waris Maqsood, “Hazrat Aisha: A study of her age at the time of her marriage”, IPCI (UK),London, 1996.
  • Ruqaiyyah Waris Maqsood, “Thinking about Marriage”, The Muslim Women’s Institute, in association with The Muslim Parliament of Great Britain, London, 2005, P.12
  • Tarikhu'l-umam wa'l-mamluk, Al Tabari, vol. 4., Arabic, dara'lfikr, Beirut, 1979, p.50
  • The Beloved Companions: Mothers of the Believers: Sawdah Bint Zam'ah Ibn Qays Amr Khaled.
  • Watt, W. Montgomery, “Muhammad at Medina”, Oxford University Press, London, 1956.
  • Watt, W. Montgomery, “Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali”, Edinburgh: University, 1963.
  • Zain, Syed Abu Zafar, “The Prophet of Islam, the Ideal Husband”, Kazi Publications, Lahore , 1983, pp. 10-12.


Previous
Next Post »